Você está na página 1de 61

Jurnal Permukiman ISSN : 1907 4352

Volume 6 No. 2 Agustus 2011

Jurnal Permukiman adalah majalah berkala yang memuat karya tulis ilmiah di bidang permukiman meliputi kawasan
perkotaan/ perdesaan, bangunan gedung yang berada di dalamnya, serta sarana dan prasarana yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Diterbitkan sejak tahun 1985 dengan nama Jurnal Penelitian Permukiman dan
tahun 2006 berganti menjadi Jurnal Permukiman dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus
dan November.

Pelindung : Kepala Pusat Litbang Permukiman


Penanggung Jawab : Kepala Bidang Sumber Daya Kelitbangan

Mitra Bestari : Prof. R. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M. Agr. (Bidang Bahan Bangunan, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Prof. Ir. Iswandi Imran, MASc. Ph. D. (Bidang Rekayasa Struktur, Institut Teknologi
Bandung)
Dr. Ir. Tri Padmi (Bidang Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung)
Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc., Ph. D. (Bidang Arsitektur, Institut Teknologi
Bandung)

Dewan Penelaah Naskah : Prof. R. Dr. Ir. Suprapto, MSc. FPE. (Bidang Teknik Struktur, Pusat Litbang
Permukiman)
Andriati Amir Husin, MSi. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang Permukiman)
Ir. Nurhasanah Sutjahjo, M.M. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan,
Pusat Litbang Permukiman)
Dr. Ir. Anita Firmanti, E.S., M.T. (Bidang Bahan Bangunan, Pusat Litbang
Permukiman)
Drs. Achmad Hidajat Effendi (Bidang Bahan Bangunan., Pusat Litbang Permukiman)
Ir. Silvia F. Herina, M.T. (Bidang Teknik Sipil, Pusat Litbang Permukiman)
Ir. Arief Sabaruddin, CES. (Bidang Perumahan dan Permukiman, Pusat Litbang
Permukiman)
Dra. Sri Astuti, MSA. (Bidang Bangunan Tapak, Pusat Litbang Permukiman)
Dr. Andreas Wibowo, S.T., M.T. (Bidang Struktur dan Konstruksi, Pusat Litbang
Permukiman)
Sarbidi, S.T., M.T. (Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Pusat Litbang
Permukiman)
Lia Yulia Iriani, S.H. (Bidang, Kebijakan Ilmu dan Teknologi, Pusat Litbang
Permukiman)

Redaksi Pelaksana : Drs. Rudy Ridwan Effendy, M.T.


Dra. Roosdharmawati
Drs. Arif Sugiarto, M.M.
Nitnit Anitya, S.S.

Alamat Redaksi : Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393 P.O. Box 812
Bandung 40008
Tlp. 022-7798393 (4 saluran) Fax. 022-7798392 E-mail : info@puskim.pu.go.id

Akreditasi
Jurnal Permukiman ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah : Terakreditasi B Nomor 299/AU2/P2MBI/08/2010
Berdasarkan Kutipan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor 754/D.2/2010 Tanggal 26 Agustus 2010
Jurnal Permukiman ISSN : 1907 4352
Volume 6 No. 2 Agustus 2011

Pengantar Redaksi

Segenap puji syukur kami panjatkan kepadaNya sehingga redaksi dapat menerbitkan kembali hasil karya
para penulis didalam edisi yang kedua dalam tahun ini. Tulisan pembuka ditulis oleh Fitrijani Anggraini
mengenai Aspek Kelembagaan pada Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Regional. Akibat
kurang efektifnya TPA bersama (TPA Regional) membuat unit pelaksana teknik daerah dengan pola
pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah sebagai alternatif pengelola tanpa mengutamakan
mencari keuntungan didasarkan pada prinsip efisiensi & produktif.

Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah dengan Cara 3R (Reduce, Reuse,
Recycle) di Lingkungan Perumahan Ditinjau dari Segi Sosial Ekonomi Masyarakat merupakan hasil
karya penulis Aryenti. Dipaparkan didalam tulisan tersebut bahwa pengelolaan sampah melalui
pendekatan 3R cocok diterapkan di lingkungan permukiman. Peran serta masyarakat dalam hal ini
sangat dibutuhkan diantaranya dalam proses sosialisasi dimulai dari tahap kognitif (mengetahui), tahap
afektif (memperhatikan), tahap penilaian, tahap mencoba, tahap adopsi, dan tahap memelihara peran
serta masyarakat tersebut.

Perubahan pola hidup akan mengubah pula pola permukiman karena dipengaruhi oleh faktor sosial,
ekonomi dan budaya. Didalam penelitian Deasy Widyastomo mengenai Perubahan Pola Permukiman
Tradisional Suku Sentani di Pesisir Danau Sentani, pola hidup pun merubah cara hidup komunal
menjadi individual serta merubah pola permukiman dari linier menjadi menyebar.

Heni Suhaeni melakukan penelitian tentang Kepadatan Penduduk dan Hunian Berpengaruh terhadap
Kemampuan Adaptasi Penduduk di Lingkungan Perumahan Padat. Kepadatan penduduk dan hunian
yang tinggi berpengaruh terhadap kemampuan manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya.
Dalam batas-batas tertentu kondisi tersebut berpengaruh untuk mencapai optimalisasi dalam
kehidupannya.

Respon institusi pemadam kebakaran terkendala oleh tidak dimungkinkannya mutual aid dan automatic
aid yang ada, serta keterbatasan kendaraan dan personilnya. Paparan Agus Sarwono dalam tulisan yang
berjudul Peningkatan Layanan Institusi Pemadam Kebakaran melalui Penerapan Rencana Induk
Kebakaran (RIK) menjelaskan bahwa RIK menjadi acuan untuk kurun waktu 5-10 tahun kedepan
disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah-nya.

Tulisan penutup, Teguh Esa Wibawa dan Suprapto melakukan penelitian mengenai Pengaruh
Temperatur Tinggi terhadap Kekuatan Leleh dan Kuat Tarik pada Bahan Baja melalui Uji Ketahanan Api.
Kerentanan baja terhadap perubahan temperatur akan berpengaruh pada fungsinya diakibatkan
penurunan kekuatan struktur baja tersebut. Untuk melindungi elemen baja dari pengaruh kebakaran,
diantaranya adalah dengan encasment method yang menggunakan gypsum board sebagai bahan
pelapisnya.

i
Jurnal Permukiman ISSN : 1907 4352
Volume 6 No. 1 April 2011

Daftar Isi
Pengantar Redaksi i

Daftar Isi ii

Aspek Kelembagaan pada Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah


Regional (Institutional Aspects in the Management of Regional Final Waste
Processing Site) 65 - 74
Fitrijani Anggraeni

Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah dengan Cara 3R :


Reduce, Reuse, Recycle di Lingkungan Permukiman Ditinjau dari Segi Sosial
Ekonomi Masyarakat ( Increase of Community Participation in the Management of
Trash Using 3R : Reduce, Reuse, Recycle Program in Settlement Environment Viewed
from Socio Economic Aspect) 75 - 83
Aryenti

Perubahan Pola Permukiman Tradisional Suku Sentani di Pesisir Danau Sentani


(The Alteration in the Traditional Settlement Patterns of Sentani Tribe at Sentani
Lake Shores) 84 - 92
Deasy Widyastomo

Kepadatan Penduduk dan Hunian Berpengaruh terhadap Kemampuan Adaptasi


Penduduk di Lingkungan Perumahan Padat (Population Density has Effected on the
Inhabitants Adaptation in the Densely Housing Environment) 93 - 99
Heni Suhaeni

Peningkatan Layanan Institusi Pemadam Kebakaran melalui Penerapan Rencana


Induk Kebakaran, Studi Kasus : Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Service
Improvement of Fire Department through the Implementation of Fire Urban Master
Plan, Case Study of Pontianak, West Kalimantan) 100 - 107
Agus Sarwono

Pengaruh Temperatur Tinggi terhadap Kekuatan Leleh dan Daya Tarik pada Bahan
Baja melalui Uji Ketahanan Api (Impact of Fire Temperature to the Yield and Tensile
Strength of Steel Structure) 108 - 115
Teguh Esa Wibawa, Suprapto

Abstrak/Abstract 116-119

Indeks Subjek 120

ii
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 65-74

ASPEK KELEMBAGAAN PADA PENGELOLAAN


TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH REGIONAL
(Institutional Aspects in the Management of Regional Final Waste Processing Site)

Oleh : Fitrijani Anggraini


Pusat Litbang Permukiman
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan-Kab. Bandung 40393
Email : fitrijania@yahoo.com
Diterima : 02 Maret 2011; Disetujui : 27 Mei 2011

Abstrak
Kelangkaan lahan untuk dijadikan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), memicu berkembangnya pemanfaatan
dan pengadaan TPA bersama (TPA Regional) oleh beberapa kota/ kabupaten yang letaknya berdekatan.
Namun dalam pelaksanaannya TPA Regional sering kurang efektif antara lain akibat struktur kelembagaan
yang besar tapi miskin fungsi, koordinasi yang kurang antar dan inter lembaga Pemerintah Daerah, masih
adanya tumpang tindih tugas dan fungsi kelembagaan antara kabupaten yang satu dengan kabupaten yang
lain bila terjadi permasalahan. Metode pelaksanaannya dimulai dengan identifikasi permasalahan
persampahan, pengolahan data sekunder dan data primer menggunakan teknik analisis manajement SWOT
(strengths, weakness, opportunities and threats) untuk menentukan sistem kerjasama kelembagaan
regional. Berdasarkan analisa SWOT lembaga pengelola yang terbaik adalah Unit Pelaksana Teknik Daerah
(UPTD) provinsi. Keberadaan UPTD sangat menguntungkan karena UPTD tetap dalam kendali dinas terkait
dan mudah untuk mengontrol pelaksanaannya di lapangan. Kabupaten/ kota yang ikut serta dalam TPA
Regional dapat mengirim sampah ke lokasi TPA dengan hanya dibebankan tipping fee. Pengangkutan
sampah dari sumber sampah ke TPA atau dari sumber sampah ke depo (stasiun pemindahan) tetap menjadi
tanggung jawab Dinas Kebersihan kabupaten/ kota masing-masing. Salah satu alternatif pengelolaan TPA
Regional adalah UPTD dengan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Kata Kunci : Pengelolaan sampah, TPA Regional, kelembagaan, UPTD, BLUD

Abstract
Scarcity of land for final disposal site triggers the development of joint landfill (regional landfill)
procurement and utilization by adjacent regencies or cities. However, in practice, regional landfills are less
effective due to lack of functional large institutional structures, lack of coordination between local
governments, and overlapping duties and functions of an institution among several regencies or cities. This
study begins with the identification of the problems of solid waste, processing of secondary data, and primary
data management using SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats) analysis to determine the
institutional system of regional cooperation. Based on the SWOT analysis, the best managing institution is the
UPTD of a province. The existence of UPTD is very suitable because it remains in control of the departments
concerned and of the field implementation. Regencies and cities willing to participate in a regional landfill
can just send their solid waste to the regional landfill for the price of a tipping fee. Transportation of solid
waste to the final disposal site or from sources of solid waste to the transfer depot remains the responsibility
of the sanitation department of each regency or city. One alternative is to manage the landfill through UPTD
with Local Public Service Board financial management.
Keywords : Solid waste management, regional landfill, institutional, UPTD, BLUD

PENDAHULUAN tersebut telah diterbitkan Peraturan Pemerintah


Berlakunya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 No. 50 tahun 2007 yang dapat mengakomodasikan
tentang Pemerintah Daerah maka setiap kepentingan masyarakat yang lebih luas yaitu
pemerintah kabupaten/ kota sebagai daerah melalui kerjasama antar daerah yang seimbang,
otonom dituntut untuk menyediakan pelayanan selaras dan serasi terutama untuk melakukan
publik yang optimal dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektifitas, pelayanan publik, sinergi dan
kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain saling menguntungkan.
daerah harus mampu mengelola pelayanan publik Salah satu dampak pertumbuhan dan
secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk perkembangan kota yang cukup pesat adalah
kepentingan masyarakat secara luas. Dalam usaha bertambah besarnya volume timbulan sampah
untuk melakukan pelayanan publik yang optimal yang diproduksi oleh masyarakat di perkotaan

65
Aspek Kelembagaan pada Pengelolaan (Fitrijani Anggraini)

serta pusat kegiatan ekonomi (pasar, perhotelan, analisis yang telah dilakukan sebelumnya, maka
tempat wisata, restoran, perindustrian, pertokoan). didapat rekomendasi TPA Regional terpilih
(Puslitbang Permukiman, 2009). kabupaten/ kota
Permasalahan sampah di Indonesia dari tahun ke
yang akan ikut serta dalam TPA Regional hanya
tahun terus meningkat. Dan semakin sulit mencari
mengirim sampah ke lokasi TPA Regional dengan
lahan untuk dijadikan TPA, memicu
hanya dibebankan tipping fee. Pengangkutan
berkembangnya pemanfaatan dan pengadaan TPA
sampah dari sumber sampah sampai TPA atau dari
bersama (TPA Regional) oleh beberapa kota/
sumber sampah ke depo tetap menjadi tanggung
kabupaten yang letaknya berdekatan. Namun
jawab Dinas Kebersihan masing-masing
dalam pelaksanaannya TPA Regional sering kurang
kabupaten/ kota, pembagian kewenangan dapat
efektif antara lain akibat strukur kelembagaan
dilihat pada gambar 1.
yang besar tapi miskin fungsi, koordinasi yang
kurang antar dan inter lembaga Pemerintah Secara umum isi pasal-pasal Nota Kesepakatan
Daerah, masih adanya tumpang tindih tugas dan Bersama adalah : dasar kerja sama yang akan
fungsi kelembagaan antara kabupaten yang satu dilakukan, tujuan kerjasama, lingkup kerjasama,
dengan kabupaten yang lain bila terjadi pelaksanaan kerjasama, peranan masing-masing
permasalahan. Sesungguhnya, Pemerintah Daerah pihak, pembiayaan kerjasama, hasil kerjasama,
sudah ada payung hukum untuk menyusun jangka waktu kerjasama, penyelesaian perselisihan
kebijakan regionalisasi TPA di daerahnya, yaitu dan penutup.
kebijakan nasional tentang Pengelolaan Sampah,
Pengelolaan sampah merupakan kewenangan
yang sudah diatur di dalam Undang-undang No. 18
daerah otonom atau desentralisasi. Peraturan
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Pemerintah No. 14/1987 dan Undang-undang No.
Menghadapi permasalahan tersebut diatas, maka
33/2004 mengenai Perimbangan Keuangan antara
perlu dilakukan kajian aspek kelembagaan
Pusat dan Daerah semakin memperkuat posisi
pengelolaan sampah regional. Tujuan kajian adalah
daerah otonom dalam melakukan pengelolaan
untuk mengetahui gambaran yang obyektif tentang
sampah di daerahnya sendiri.
kondisi dan posisi lembaga yang terbentuk,
sehingga dapat terpilih lembaga yang terbaik bagi Untuk melakukan pengelolaan sampah di
kebutuhan pengelolaan TPA Regional. daerahnya sendiri tidak harus diartikan bahwa
daerah yang bersangkutan harus melakukan
TINJAUAN PUSTAKA sendiri penanganan sampah terutama pada saat
Pada tahap awal kegiatan pembentukan TPA pemrosesan akhir sampah. Untuk hal itu antar
Regional adalah pembuatan dokumen kesepakatan daerah dapat melakukan kerjasama melalui
kerjasama. Kesepakatan kerja sama ini disusun pengelolaan TPA Regional yaitu yang melibatkan
oleh para pihak kabupaten/ kota yang berniat lebih dari satu kabupaten/ kota, dengan berbagai
mengadakan kerjasama pengelolaan pertimbangan, efisiensi dan efektifitas.
(pemusnahan) sampah pada suatu lokasi tempat Pelaksanaan kerjasama TPA Regional, didahului
pembuangan akhir sampah secara bergabung dengan menentukan obyek-obyek kerjasama, studi
(disebut TPA Regional). Inisiatif pembuatan kerja kelayakan dan kelembagaan. Proses pelaksanaan
sama tersebut dapat berasal dari satu pihak atau TPA Regional, dapat dilihat pada gambar 2.
beberapa pihak yang terlibat, dengan tujuan
memperoleh manfaat/ keuntungan yang lebih Alternatif Badan Pengelola (Operator) TPA
besar daripada menggunakan TPA sampah secara Regional dapat diusulkan sebagai berikut :
sendiri. Umumnya inisiatif awal berasal dari a. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Provinsi
kabupaten atau kota yang mempunyai problem atau UPTD Kabupaten
pada penyediaan lahan untuk TPA atau kabupaten b. Perusahaan Daerah (Perusda)
yang melihat peluang untuk mendapatkan c. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
manfaat/ keuntungan jika menggunakan TPA d. Lembaga Pengelola milik Peserta TPA Regional
sampah secara bersama (TPA Regional). Dari hasil e. Pihak ketiga

66
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 65-74

TPPA Sampah Regional

Pewadahan/ Pengumpulan Pemindahan Pengangkutan


Pemilihan
TPA lokal

Lokal Regional
Gambar 1 Komponen Kegiatan Pengelolaan Sampah (Sudartoyo, 2009)

KEPUTUSAN POLITIS MoU / Nota Kesepahaman

PENENTUAN OBJEK KERJASAMA MASUK RPJM


masing-masing daerah
STUDI KELAYAKAN SETIAP OBJEK yang bekerjasama dan
Provinsi

RENCANA TEKNIS

RENCANA PEMBIAYAAN RENCANA KELEMBAGAAN

PERJANJIAN KERJASAMA
MASUK
MASUKDOKUMEN RKP DAN
DOKUMEN RKP DAN ANGGARAN
ANGGARANAPBD
APBD
MASING-MASING
MASING-MASINGDAERAH
DAERAH YANG BEKERJASAMA
ANG BEKERJASAMA

PELAKSANAAN

OPERASIONAL
Gambar 2 Proses Kerjasama (Hatta, Cahyo, 2009)

67
Aspek Kelembagaan pada Pengelolaan (Fitrijani Anggraini)

Lembaga pengelolaan TPA Regional dibedakan atas BADAN KERJASAMA


lembaga yang melakukan pengaturan dan - Merupakan Forum Pimpinan Daerah
pengawasan pengelolaan TPA Regional. Hubungan - Memiliki Kantor Sekretariat
kerjasama antara lembaga TPA Regional, dapat
dilihat pada gambar 3 dan gambar 4.
LEMBAGA PENGELOLA OBYEK KERJASAMA
Pemerintah Kota Pemerintah Kabupaten
- Memiliki tugas mengelola kegiatan operasional obyek
Walikota DPRD Bupati DPRD kerjasama (contoh: TPA Bersama)
- Alternatif bentuk lembaga: UPT, BLUD, Swasta
Gambar 4 Lembaga Kerjasama
(Hatta, Cahyo dan Siburian, Agusteno, 2009)
Naskah
Kerjasama Keterangan :
TPA : Tempat Pemrosesan Akhir sampah
Lembaga Pengelolaan TPA Regional UPT : Unit Pelaksana Teknis
BLUD : Badan Layanan Umum Daerah
Badan Pengawas Badan Pengatur
TPA Regional TPA Regional Langkahlangkah proses penyiapan kelembagaan
TPA Regional berdasarkan pada perUndang-
Badan Pengelola
undangan yang berlaku serta proses pembelajaran
TPA Regional dari pembentukan TPA Regional yang sudah ada.
Langkah-langkah tersebut dapat dalam tabel 1.
Gambar 3 Hubungan Kerjasama Antar Lembaga (Puslitbang
Permukiman, 2009)

Tabel 1 Proses Pentahapan Pembentukan Kelembagaan Sampah Regional


Dasar Hukum Proses Output
- UU No. 32 Tahun 2004 tentang Adanya kesepakatan mengelola Surat Keputusan Bersama
Pemerintahan Daerah sampah bersama
- PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Pemerintahan
Daerah
- SK Gubernur

- Sekretariat bersama Pembentukan Tim Teknis/ Tim SK Gubernur


- BLU Penyiapan

- PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Perjanjian kerjasama Surat Keputusan Bersama
Cara Pelaksanaan Pemerintahan
Daerah
- SK Gubernur

- PP No. 50 Tahun 2007 Pembentukan UPTD Provinsi SK Gubernur/ Peraturan Bupati/


- SK Gubernur Walikota
- PP No. 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum
Sumber: Puslitbang Permukiman, 2009

Bentuk kelembagaan kerjasama disesuaikan lembaga kerjasama. Sesuai dengan kewenangan


dengan kapasitas Pemerintah Daerah-Pemerintah yang diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007, lembaga
Daerah yang bekerjasama. Setidaknya bentuk pengelola adalah unit kerja di organisasi Perangkat
Sekretariat Bersama menjadi opsi minimalis Daerah (OPD) Pemerintah Provinsi.

10 tahun -
JANGKA WAKTU 0-5 tahun 6-10 tahun keatas

- Sekretariat - Badan - Badan Layanan


BENTUK Bersama Pelaksana Umum (BLU)
KELEMBAGAAN - Sifatnya - Sifatnya - Operasional
koordinatif operasional - Otonomi
- Memiliki aset - Fleksibel
Gambar 5 Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan TPA Regional
(Puslitbang Sebranmas, 2009)

68
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 65-74

Pengembangan kelembagaan kerjasama menjadi nama Kartamantul ini seakan telah menjadi ikon
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum bagi bentuk kerjasama antar daerah. Kerjasama ini
(PPK-BLU), dapat dilihat gambar 5. Bentuk dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta,
organisasi disesuaikan dengan Peraturan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, sehingga
Pemerintah No. 41 Tahun 2007, peluangnya disingkat menjadi Kartamantul. Bentuk
sebagai UPTD di bawah dinas yang membidangi kerjasamanya dilakukan antara lain dalam hal :
keciptakaryaan di tingkat Pemerintahan Provinsi. sharing pendanaan untuk operasional dan
Pengelolaan sampah merupakan kegiatan pemeliharaan TPA Piyungan, penetapan teknologi
operasional, sehingga lembaga pengelolanya harus pengolahan sampah, pengelolaan lingkungan
berperan sebagai operator. Lembaga pengelola secara terpadu, penetapan tarif retribusi secara
berbentuk Sekretariat Bersama atau Badan terpadu.
Kerjasama akan mengalami kesulitan untuk
Perjanjian kerjasama pengelolaan Tempat
bertindak sebagai operator.
Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah di Piyungan
Kapasitas kelembagaan, pengelola UPTD dapat ditandatangani di Yogyakarta tanggal 28 November
ditingkatkan dengan pola pengelolaan keuangan 2001. Dasar Hukum Perjanjian Kerjasama antar
BLUD sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Pemerintah Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman
Tahun 2005, dan Permendagri No. 61 Tahun 2007. dan Kabupaten Bantul, No. 07/Perj/Bt/2001,
Badan ini merupakan unit di bawah Pemerintah 05/PK.KDH/2001, dan 02/PK/2001 tentang
Daerah tapi manajemennya harus berbentuk Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)
korporatisasi. Lembaga pengelola sampah regional Sampah di Piyungan Kabupaten Bantul. Perjanjian
di provinsi sebagai penyedia (provider) layanan kerjasama ini dibuat atas dasar saling membantu
Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir dan menguntungkan dalam pengelolaan operasi
Sampah (TPPAS), dan Lembaga Pengelola Sampah dan pemeliharaan prasarana dan sarana TPA
Lokal di kota/kabupaten sebagai pengguna jasa dengan tujuan agar pemanfaatan, pengelolaan dan
(user/konsumer), (Sudartoyo, 2009). pengembangan TPA dapat dilakukan secara efektif
dan efisien serta memenuhi standar teknis
METODA PENELITIAN lingkungan.
Kajian dilaksanakan dengan metode eksploratif Instansi yang terkait dalam pengelolaan TPA
terhadap kelembagaan yang telah ada dan Piyungan ialah : Bappeda kabupaten/ kota, Dinas
diterapkan oleh beberapa instansi di lapangan. Pekerjaan Umum, Dinas Kebersihan, Keindahan
Kajian menggunakan data sekunder dan data dan Pemakaman (DKKP), Dinas Kimpraswilhub,
primer. Data primer diperoleh dari survei pada Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan.
instansi terkait dan wawancara dengan para ahli Perjanjian kerjasama ini terdiri dari 25 pasal, yaitu
kelembagaan persampahan. Survei dilakukan di : dasar dan tujuan, prinsip perjanjian kerjasama,
Yogyakarta, Sleman, Bantul (Kartamantul); ruang lingkup, pengelolaan operasi dan
Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan pemeliharaan, pengembangan prasarana dan
(Sarbagita); Bandung dan Bogor (Pusat sarana, pembentukan organisasi, pembina,
Pengelolaan Persampahan Jawa Barat-P3JB). pengawas, susunan personalia tim pengawas,
Hasil analisis data sekunder dan data primer fungsi dan tugas tim pengawas, penetapan dan
adalah lembaga pengelola TPA Regional masing- pendapatan personel, pengelolaan lingkungan
masing lokasi dan alternatif lembaga pengelola hidup, pembiayaan dan pengembangan prasarana,
tingkat provinsi/ kota dan atau kabupaten serta penarikan dan pembagian retribusi setempat pada
proses pentahapan pembentukan kelembagaan TPA, kewajiban para pihak, hak para pihak,
pengelola sampah regional. kewajiban pengelola, hak pengelola, jangka waktu
dan sanksi.
Pembahasan menggunakan metode SWOT
(strengths, weaknesses, opportunities dan treats) Sekretariat Bersama Kartamantul adalah suatu
terhadap alternatif lembaga pengelola regional, inovasi kerjasama antara tiga Pemerintah Daerah
yang telah ada (dihasilkan) dari analisis data yang terdiri dari pemerintah Kota Yogyakarta,
sebelumnya. Selanjutnya disusun perbandingan pemerintah Kabupaten Sleman dan Kabupaten
berdasarkan indikator internal dan eksternal. Bantul yang keberadaannya merupakan
konsekuensi logis adanya Undang-undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sistem
HASIL
pengelolaan dilaksanakan dengan cara bergiliran
Kartamantul oleh masing-masing kabupaten/ kota anggota
Bentuk kerjasama pengelolaan prasarana dan Kartamantul setiap 2 (dua) tahun sekali.
sarana perkotaan Yogyakarta khususnya untuk
bidang persampahan yang lebih dikenal dengan

69
Aspek Kelembagaan pada Pengelolaan (Fitrijani Anggraini)

Sedangkan sistem operasional secara teknis ketiga kabupaten yang akan menjalin
dilaksanakan oleh Unit Pengelola TPAS Piyungan. kerjasama dengan Kabupaten Bangli;
2) Sudah adanya TPA Regional Sarbagita yang
Pada tahun 2007 disepakati Kabupaten Bantul
akan melayani pengelolaan persampahan di
menjadi koordinator pengelolaan lokasi TPA
salah satu wilayah perencanaan yaitu
Piyungan, yang disebut dengan Sekretariat
Kabupaten Gianyar;
Bersama Kartamantul. yang merupakan Inovasi
3) Sudah ada TPA di masing-masing kabupaten
Kerjasama antara tiga Pemerintah Daerah yaitu
dimana berdasarkan hasil analisa masih dapat
Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah
menerima buangan sampah sampai periode
Kabupaten Sleman dan Pemerintah Kabupaten
perencanaan 5 10 tahun, meskipun perlu
Bantul yang keberadaannya merupakan
mendapat pembenahan dalam aspek teknologi
konsekuensi logis adanya Undang-undang No.
pembuangan akhir.
22/1999. Pada pelaksanaannya dibantu oleh
instansi pengelola Dinas Pekerjaan Umum Bantul Pengelolaan sampah selama ini ditangani oleh
dan dilaksanakan oleh Unit TPAS Piyungan. Unit Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan
Pengelola TPAS Piyungan adalah lembaga yang Pertamanan Kabupaten Bangli (DLHKP). Institusi
bertanggung jawab kepada dinas teknis pengelola ini didirikan tahun 2003 berdasarkan Perda No. 11
sampah kabupaten/kota yang tahun anggaran Tahun 2003 tentang pembentukan organisasi
bersangkutan menerima giliran pengelolaan. Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan
Pertamanan Kabupaten Bangli. Untuk pengelolaan
Sarbagita
sampah di lokasi TPA telah dibentuk Unit
Sarbagita adalah suatu ikatan kerjasama wilayah
Pelaksana Teknis (UPT) Dinas pengelolaan sampah
yang terdiri dari Kota Denpasar, Kabupaten
akhir berdasarkan Peraturan Bupati Bangli No. 5
Badung, Kabupaten Tabanan dan Kabupaten
Tahun 2007.
Gianyar dalam rangka memecahkan berbagai
permasalahan pengelolaan lingkungan hidup dan Pusat Pengelolaan Persampahan Jawa Barat
kebersihan secara terpadu terutama untuk (P3JB)
mewujudkan kepentingan bersama di wilayah Dalam rangka penanganan persampahan yang
Sarbagita. Sarbagita dibentuk pada tanggal 16 April bersifat regional di wilayah Jawa Barat, pemerintah
2001 berdasarkan Keputusan Bersama antara daerah kabupaten/kota di wilayah Metro Bandung
Walikota Denpasar (No. 357 Tahun 2001), Bupati dan wilayah Bogor-Bogor-Depok (BoBodek)
Badung (No. 1403 Tahun 2001) Bupati Gianyar sepakat untuk membentuk lembaga penanganan
(No. 130 Tahun 2001), Bupati Tabanan (No. 150 persampahan regional. Melalui Peraturan
Tahun 2001). Titik berat program pengelolaan Gubernur No. 31 Tahun 2007 tentang Pusat
sampah Sarbagita adalah kerjasama pemerintah Pengelolaan Persampahan Jawa Barat dibentuk
dan swasta (KPS) dan peran serta masyarakat lembaga yang berfungsi untuk menangani
(PSM). Pengelolaan sampah Sarbagita saat ini perencanaan, pembangunan sarana dan prasarana,
ditangani oleh lembaga-lembaga yang terdiri dari : pengelolaan, penanganan, pemrosesan akhir,
- Badan Pengelola Sarbagita (BPS) pengembangan serta pengawasan pengelolaan
- Badan Pengatur dan Pengendalian Sarbagita persampahan regional di Jawa Barat, yang diberi
(BPPKS) nama Pusat Pengelolaan Persampahan Jawa Barat
- Badan Pengawas Pengelolaan Kebersihan (P3JB).
Sarbagita (BP2KS)
Penetapan Legoknangka di Kabupaten Bandung
Bangli dan Leuwigajah di Kabupaten Bandung Barat serta
Pengembangan pelayanan TPA Bangli meliputi : Cinambo di Kabupaten Bogor sebagai tempat
1) Kabupaten Bangli : Peningkatan pelayanan di pemrosesan akhir sampah (TPA) regional
seluruh kecamatan (Republika online, 2009). TPA Legoknangka seluas
2) Kabupaten Klungkung : Kecamatan delapan hektar dan Leuwigajah seluas 43 hektar
Banjarangkan akan digunakan untuk mengolah sampah dari Kota
3) Kabupaten Gianyar : Kecamatan Tampak Siring dan Kabupaten Bandung, Cimahi, Sumedang, dan
4) Kabupaten Karangasem : Kecamatan Rendang, Garut. Sementara itu, TPA Cinambo akan
Kecamatan Sidemen dan Kecamatan Selat. digunakan untuk pengolahan sampah dari Bogor,
Depok, dan Bekasi.
Wilayah-wilayah regional pelayanan tersebut
ditentukan berdasarkan beberapa kriteria dan Pengolahan sampah itu ditangani pemerintah
pertimbangan berikut ini : daerah, tentunya Pemerintah Provinsi Jawa Barat
1) Radius jangkauan pelayanan (10 30) km yang akan menjadi koordinatornya, dalam hal ini
sudah mempertimbangkan keterdekatan P3JB. Implemetasi kerjasama regional beberapa
secara administrasi kecamatan-kecamatan di instansi pemerintah daerah dikumpulkan pada

70
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 65-74

tabel 2. Berdasarkan data-data informasi pustaka indikator kelemahan dan kekuatan sebagiamana
dan hasil lapangan dapat dirumuskan indikator- ditampilkan pada tabel 3, tabel 4 dan tabel 5.
Tabel 2 Implementasi Kerjasama Regional
No Karakteristik Lembaga Kerjasama
1. Yogyakarta-Sleman-Bantul (Kartamantul)
Dasar hukum Surat Keputusan Bersama (SKB) bupati/ walikota daerah Sekretariat bersama
Kartamantul Kartamantul
Ada Sharing pembiayaan dan resiko
Ada lembaga kerjasama yangg dibentuk
Kerjasama dalam pengelolaan TPA
Lembaga kerjasama bersifat koordinatif
Operator TPA bergiliran setiap 3 tahun dari masing-masing daerah
Tidak ada pemisahan antara operator dan pengawas

2. Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita)
Dasar hukum SKB bupati/ walikota daerah Sarbagita Badan Pengelola Kebersihan
Ada sharing pembiayaan dan resiko SARBAGITA (BPKS)
Ada lembaga kerjasama yang dibentuk
Kerjasama dalam pengelolaan TPA
Lembaga kerjasama bersifat operasional (operator utama)
Bukan merupakan unsur perangkat daerah (non-SKPD)
Diperbolehkan mengembangkan pembiayaan swadana

3. Metro Bandung (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi)


Dasar hukum Pergub No. 31/2007 P3JB
Belum ada MoU kerjasama antar Pemerintah Daerah
Inisiasi dan fasilitasi Pemerintah Provinsi Jabar
Kurang fleksibel dalam menbangun jaringan
Pembiayaan kurang fleksibel
Belum ada tata cara pelimpahan wewenang dari kabupaten/ kota ke provinsi

PEMBAHASAN pelaksanaannya di lapangan. Faktor internal dan


Berdasarkan pada tabel 3, 4 dan 5 didapatkan eksternal harus dipertimbangkan dalam analisis
alternatif lembaga pengelola adalah UPTD SWOT (Freddy Rangkuti, 2008). Faktor internal
kabupaten dan UPTD provinsi. Keberadaan UPTD perlu ditetapkan faktor-faktor utama yang menjadi
kebersihan yang ada dapat digunakan untuk kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness)
menangani TPA Regional sebagai langkah awal lembaga pengelola sebagai landasan untuk
yang lebih mudah bila dibandingkan dengan menetapkan pilihan yang terbaik bagi kebutuhan
membentuk badan usaha baru. lembaga pengelolaan TPA Regional.
Keberadaan UPTD tetap dalam kendali dinas
terkait dan mudah dalam mengontrol
Tabel 3 Indikator Kekuatan dan Kelemahan
UPTD Provinsi UPTD Kabupaten/ Kota
No Uraian
Kekuatan Kelemahan Kekuatan Kelemahan

1. Sumber Daya Manusia (kualitas dan kuantitas)

2. Sharing resiko

3. Proses pembentukan lembaga

4. Monitoring dan evaluasi


Kontinuitas pelayanan dan pembuangan sampah
5.
dari kabupaten/ kota lain
6. Penetapan tipping fee

7. Biaya investasi dan operasi

8. Dukungan dana pusat/ provinsi

9. Berakhirnya kerjasama
Sumber: Hasil analisis, 2009

71
Aspek Kelembagaan pada Pengelolaan (Fitrijani Anggraini)

Tabel 4 Indikator Peluang dan Ancaman


No. Uraian UPTD Provinsi UPTD Kabupaten/ Kota
Peluang Ancaman Peluang Ancaman
1.
Sesuai dengan peraturan yang ada (UU No. 32 Tahun 2004,
PP No. 50 Tahun 2007 dan PP No. 18 Tahun 2008)
2, Sesuai dengan tujuan kerjasama
3. Sesuai dengan manfaat kerjasama
4. Penyaluran dana
5. Penyelesaian masalah teknis
6. Kontinuitas pemkab/ kota dalam memasok sampahnya
7. Penyelesaian perselisihan
8. Rendahnya Pendapatan Asli Daerah pemkab/ kota yang
menyebabkan efisiensi penagihan tipping fee menjadi rendah
Sumber: Hasil analisis, 2009

Tabel 5 di bawah ini menjelaskan tentang


perbandingan pengelolaan bersama UPTD provinsi
dan pengelolaan UPTD kabupaten/ kota.
Tabel 5 Perbandingan UPTD Provinsi dan UPTD Kabupaten/ Kota
No Aspek UPTD Provinsi UPTD Kabupaten/ Kota
1. Pembentukan kelembagaan Lebih kompleks dan birokratis Lebih sederhana dan mudah
(SK gubernur) (SK bupati/ walikota)
2. Sharing resiko Ditanggung bersama kabupaten/ kota Ditanggung kabupaten/ kota pemilik
yang terlibat lahan TPA
3. Proses pengambil keputusan Lama Pendek, tanpa menunggu kesepakatan
dari kabupaten/ kota lainnya
4. Kontinuitas pelayanan dan pembuangan Terjamin Tidak terjamin
sampah dari kabupaten/ kota lain
5. Penetapan tipping fee Bersama kabupaten/ kota lainnya Kabupaten/ kota yang pemilik lahan
TPA sendiri
6. Biaya investasi dan operasi Pusat dan sharing provinsi Pusat dan kabupaten/ kota yang
terlibat
7. Dukungan dana pusat/ provinsi Sangat mungkin dilakukan Sangat sulit dilakukan
8. Potensi kerjasama Sumber Daya Manusia Dari seluruh kabupaten/ kota yang Kabupaten/ kota pemilik lahan TPA
terlibat
9. Tersedianya kualitas Sumber Daya Meningkat dengan terjadinya tukar Tidak terjadi tukar menukar
Manusia yang baik menukar pengetahuan, kepala UPTD pengetahuan, kepala UPTD eselon IV
eselon III
10. Berakhirnya kerjasama Modal dan aset milik provinsi Modal dan aset yang dikeluarkan
harus diatur dalam sebuah perjanjian,
sehingga tidak ada perselisihan
Sumber: Hasil analisis, 2009

UPTD provinsi merupakan unsur pelaksana teknis penyelenggaraan TPA Regional kepada masyarakat
operasional. Pembentukannya harus dilandasi tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan
dengan Surat Keputusan Gubernur. UPTD provinsi, didasarkan pada prinsip efisiensi dan
karena letaknya di tingkat yang lebih atas dalam produktivitas. Pemerintah sudah mengeluarkan
hirarki kepemerintahan, maka dapat mengatasi peraturan tentang Pengelolaan Keuangan Badan
kelemahan yang ada di dalam UPTD kabupaten. Layanan Umum (Daerah) yaitu Peraturan
Penyaluran dana dari tingkat pusat dan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang
penyerahan dana sharing dari kabupaten jika Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan
diberlakukan tidak akan menimbulkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun
kecemburuan sosial dari kabupaten lainnya. 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Dengan demikian seluruh prinsip kerjasama Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.
seperti prinsip efisiensi, efektifitas, sinergi, saling
Konsep pendanaan ke depan adalah lembaga
menguntungkan, kesepakatan bersama, itikad baik,
tersebut diberi kemudahan dalam pengelolaan
mengutamakan kepentingan nasional dan
keuangannya, dengan konsekuensi lambat laun
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
pendanaan yang bersumber dari APBD
Indonesia, persamaan kedudukan, transparansi,
presentasenya semakin dikurangi. Sehingga
keadilan dan kepastian hukum dapat dilaksanakan.
diharapkan di kemudian hari bisa mandiri. Salah
Salah satu alternatif pengelolaan TPA Regional satunya adalah dengan menerapkan Pola
adalah dengan UPTD dengan Pola Pengelolaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Daerah (PPK-BLUD) yang secara operasional
BLUD dibentuk untuk memberikan pelayanan memberikan pelayanan langsung pada masyarakat.

72
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 65-74

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Regional dengan hanya dibebankan tipping fee.
Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Pengangkutan sampah dari sumber sampah
Keuangan Badan dan Layanan Umum Daerah, sampai TPA atau dari sumber sampah ke depo
disebutkan bahwa BLUD adalah Satuan Kerja tetap menjadi tanggung jawab Dinas Kebersihan
Perangkat Daerah (SKPD) atau Unit Kerja pada masing-masing kabupaten/ kota. Bentuk lembaga
SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang pengelola sampah yang tidak sesuai dengan
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada peraturan perUndang-undangan, akan mengalami
masyarakat tanpa mengutamakan mencari kesulitan dalam pengalokasian anggaran dan
keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya pertanggungjawabannya. Salah satu alternatif
didasarkan pada prinsip efisiensi dan pengelolaan TPA Regional adalah UPTD dengan
produktivitas. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Daerah (BLUD).
BLUD bukan merupakan suatu kelembagaan,
tetapi hanya pola keuangan saja. Untuk itu apabila Saran
akan menerapkan PPK-BLUD lembaganya harus Peningkatan status kelembagaan secara simultan
ada terlebih dahulu. Untuk pengaturan menjadi UPTD-PPK BLUD dapat dilakukan secara
kelembagaan di daerah dengan Peraturan Daerah bertahap atau penuh.
dan Peraturan Kepala Daerah, dengan berpedoman
pada Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 UCAPAN TERIMA KASIH
tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kepala
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2007 tentang Satuan Kerja, Pejabat Pembuat Komitmen,
Penataan Organisasi Perangkat Daerah. Pembimbing, Koordinator dan tim peneliti kegiatan
Dalam pelaksanaannya Pola Pengelolaan Keuangan Pengkajian Penerapan TPA Regional, Pusat
Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) adalah Penelitian dan Pengembangan Permukiman,
pola pengelolaan keuangan yang memberikan Kementerian Pekerjaan Umum.
fleksibilitas berupa keluasaan untuk meningkatkan Karya tulis ini bersumber dari Laporan Pengkajian
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka Penerapan TPA Regional yang dibiayai dengan
mencapai tujuannya, yaitu memajukan APBN Tahun Anggaran 2009.
kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari
DAFTAR PUSTAKA
ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada
umumnya. ........... 2009. Kajian Sinergi Pemerintah Daerah,
Swasta dan Masyarakat di Bidang
Saat ini beberapa kabupaten/kota dalam lingkup Kelembagaan dan Partisipasi dalam
regional telah menginisiasi dibentuknya UPTD Pengelolaan Sampah, Pusat Penelitian dan
(Unit Pelaksanaan Teknis Daerah) untuk mengelola Pengembangan Sebranmas. Departemen
TPA Regional yang akan ditindaklanjuti dengan Pekerjaan Umum
melengkapi persyaratan-persyaratan dalam ............ 2009. Laporan Akhir Pengkajian Penerapan
pembentukan BLUD. Pembentukan BLUD ini harus TPA Regional. Pusat Litbang Permukiman.
diawali dengan kemauan dari Pemerintah Daerah. Departemen Pekerjaan Umum.
Dalam proses pembentukan BLUD terdapat Fernando, Arie. 2007. Pemilihan Teknologi
persyaratan-persyaratan, yaitu persyaratan Pengolahan Sampah, Pembiayaan dan Institusi
substansif, teknis dan administratif. Diharapkan TPA Regional (Studi Kasus: Kota Jakarta Barat,
dengan terbentuknya BLUD ini berdampak positif Kabupaten dan Kota Tangerang serta
yaitu : (1) meningkatkan pelayanan persampahan Kabupaten Serang, Tesis S2). Universitas
(2) berkurangnya beban APBN (3) meningkatkan Indonesia.
kepercayaan dalam hal pengelolaan persampahan Hatta, Cahyo dan Siburian, Agusteno. Oktober
(4) meningkatkan perekonomian daerah. 2009. Proses dan Lembaga Kerjasama, Ditjen
Bina Bangda. Depdagri.
KESIMPULAN DAN SARAN Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Kesimpulan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang
Berdasarkan analisa SWOT lembaga pengelola Pembagian Urusan Pemerintah Antara
yang terbaik adalah UPTD provinsi. Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
UPTD sangat menguntungkan karena UPTD tetap Pemerintah Daerah/ Kota.
dalam kendali dinas terkait dan mudah untuk Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang
mengontrol pelaksanaannya di lapangan. organisasi Perangkat Daerah.
kabupaten/ kota yang akan ikut serta dalam TPA
Regional hanya mengirim sampah ke lokasi TPA

73
Aspek Kelembagaan pada Pengelolaan (Fitrijani Anggraini)

Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2007 tentang Sudartoyo. Oktober 2009. Aspek Kelembagaan
Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah. Dalam Pengelolaan Sampah Regional, Pusat
Rangkuti, Freddy. 2008. Analisis SWOT Teknik Pengelolaan Persampahan Jawa Barat. Dinas
Membedah Kasus Bisnis-Reorientasi Konsep Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa
Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Barat.
Abad 21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun
Utama. 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.
Republika online (Jumat, 13 Maret 2009)

74
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 75-83

PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT


DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN CARA 3R
(REDUCE, REUSE, RECYCLE) DI LINGKUNGAN PERMUKIMAN
DITINJAU DARI SEGI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
(Increase of Community Participation in the Management of Trash Using 3R :
Reduce, Reuse, Recyle Program in Settlement Environment Viewed
from Socio-Economic Aspect)

Oleh : Aryenti
Pusat Litbang Permukiman
JL. Panyaungan, Cileunyi Wetan Kab. Bandung 40393
Email: aryenti2008@yahoo.com
Diterima : 12 Agustus 2010; Disetujui : 06 Juni 2011

Abstrak
Pengelolaan sampah dengan pendekatan 3R merupakan suatu solusi alternatif penanganan sampah sejak
dari sumber. Pada beberapa lokasi percontohan di perumahan yang menerapkan program penanganan
sampah dengan konsep 3R, belum sepenuhnya dapat dikatakan berhasil, fakta dilapangan menunjukkan
bahwa partisipasi dan bentuk-bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah sangat
dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonominya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 60% masyarakat
golongan berpenghasilan rendah dan sedang sebagian besar telah melaksanakan program 3R sejak dari
sumber, sedangkan masyarakat golongan berpenghasilan tinggi belum secara optimal melaksanakan.
Adanya keterkaitan antara status sosial ekonomi masyarakat dengan tingkat partisipasi dalam pengelolaan
sampah. Model pengelolaan sampah dengan cara 3R sangat cocok diterapkan di lingkungan permukiman.
Sosialisasi dalam pengelolaan sampah 3R dilakukan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan dengan
menggunakan metode komunikasi. Sedangkan tahap peningkatan peran serta masyarakat dimulai dari
tahap kognitif (tahap mengetahui), tahap afektif (tahap memperhatikan), tahap melakukan penilaian,
tahap mencoba, tahap adopsi dan tahap memelihara peran serta masyarakat. Metode yang digunakan
dalam penilaian sosial ekonomi masyarakat adalah menggunakan penilaian objektif, dimana penilaian
dilakukan terhadap jumlah pendapatan dan tingkat pendidikan. Pengumpulan data dilakukan melalui
penelusuran pengamatan langsung di lapangan dalam kebiasaan perilaku hidup sehari-hari pada ketiga
golongan masyarakat tersebut, populasinya adalah ibu-ibu rumah tangga yang bermukim di perumahan
Perum Bumi Baros Kencana Kabupaten Sukabumi yaitu RW 16 dan 17. Sasaran yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah meningkatnya partisipasi ketiga golongan masyarakat dalam pengelolaan sampah 3R
di lingkungan permukiman.
Kata Kunci : Partisipasi, masyarakat, sosial ekonomi, pengelolaan, sampah 3R

Abstract
The 3R waste management approach is an alternative solution to deal with wastes from their source. At
several pilot sites of residential waste management program with the 3R concept, the approach is yet to
succeed. The facts in the field indicate that participation and other forms of community involvement are
strongly influenced by socio-economic level. The result shows that 60 % of low-and-moderate income groups
have largely implement the 3R program, while the high-income group does not perform it optimally. 3R
waste management is, in a way, very suitable to be applied in housing. Socialization of 3R waste management
is carried out at the planning and execution stages by using a certain method of communication. Increase of
public participation starts from the cognitive phase, affective phase, assessment phase, trial phase, adoption
phase, through the phase of maintaining public participation. The method used in the assessment of socio-
economic conditions is objective assessment, where assessment is made to the amount of income and
education levels. Data is collected through direct observation in the field of the everyday habits of the three
segments of society, mostly consisting of housewives in Perum Bumi Baros Kencana Sukabumi housing of RW
16 and 17. A target to be achieved in this research is the increasing participation of the three community
groups in the 3R waste management.
Keywords : Participation, community, social economics, management, waste 3R

75
Peningkatan Partisipasi Masyarakat (Aryenti)

PENDAHULUAN Beberapa parameter yang akan dikaji adalah,


Latar Belakang upaya melakukan pemilahan, membayar restribusi
Berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2008, sampah, keikutsertaan dalam setiap kegiatan
tentang Pengelolaan Sampah dan Permen kebersihan, dan organisasi pengelola.
Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M2006, tentang Tujuan
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan peran
Pengelolaan Persampahan dilakukan melalui serta masyarakat dalam pengelolaan sampah
penanganan dan pengurangan (pasal 19). dengan cara 3R sejak dari sumber dengan
Sedangkan menurut data Kementerian Lingkungan melibatkan ketiga golongan sosial ekonomi
Hidup (KLH) tahun 2008 setiap orang membuang masyarakat, agar tercipta lingkungan yang sehat
sampah kurang lebih 800 gram/hari/orang. dan nyaman.
Sedangkan pemerintah baru mampu
mengumpulkan dan mengangkut sampah sekitar KAJIAN PUSTAKA
60 70% dari total jumlah sampah yang ada.
Pemberdayaan Masyarakat
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka sampah
Ife (1996: 182), menyatakan bahwa pemberdayaan
haruslah dikelola dengan baik disertai upaya
adalah konsep untuk meningkatkan kapasitas
pemanfaatannya sehingga diharapkan mempunyai
masyarakat (to take increase their capacity)
keuntungan berupa nilai tambah. Untuk itu
sehingga dapat menentukan masa depannya
partisipasi masyarakat dalam program 3R
sendiri sesuai dengan sumber daya, kesempatan,
merupakan aspek yang sangat menunjang untuk
pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.
keberhasilan program tersebut. Sasaran MDG
Konsep ini memberikan kesempatan sebesar-
dengan pengelolaan sampah berbasis 3R
besarnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi
diharapkan dapat meningkatkan cakupan
dalam setiap kegiatan. Untuk tercapainya tujuan
pelayanan dari 40% tahun 2000 menjadi 70% pada
partisipasi perlu dilakukan proses fasilitasi
tahun 2015, didukung oleh kesiapan manajemen
masyarakat Winarni (2004: 140), agar masyarakat
dan dukungan peraturan ditingkat pusat maupun
memiliki berbagai kemampuan, yaitu :
di daerah.
- Menganalisis situasi yang ada di lingkungannya.
Sejak dicanangkannya program 3R pada tahun - Mencari pemecahan masalah berdasarkan
2007, dapat direduksi sampah sekitar 3% dari kemampuan dan sumber daya yang mereka
volume sampah yang ada. Berdasarkan data miliki.
lapangan dan hasil penelitian sebelumnya, - Mengembangkan usahanya dengan segala
program percontohan 3R yang diterapkan kemampuan dan sumber daya yang mereka
dibeberapa kota di Indonesia masih banyak yang miliki.
belum melakukannya secara optimal, hal ini - Mengembangkan sistem untuk mengakses
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, sumber daya yang diperlukan.
masih kurangnya kesadaran masyarakat akan
Selanjutnya Adi (2002: 181) dalam pelaksanaan
kebersihan, peraturan yang ada kurang dipatuhi,
pemberdayaan masyarakat mendeskripsikan
perilaku dan kebiasaan masyarakat yang sulit
tahapan-tahapan yang harus dilalui, yaitu :
berubah. Oleh karena itu, masyarakat perlu
- Tahap persiapan, penyiapan tenaga dan
mendapat pengetahuan dan pengertian yang benar
persiapan lapangan.
tentang perlunya mengurangi sampah sejak dari
- Tahap pengkajian, baik secara individual
sumber sampah itu dihasilkan, disamping hal
maupun kelompok-kelompok masyarakat.
tersebut faktor sosial ekonomi dan budaya juga
- Tahap perencanaan alternatif pembuatan
berpengaruh terhadap pelaksanaan program 3R di
program.
masyarakat. Tingkat partisipasi dan keterlibatan
- Tahap pemformulasian rencana aksi, cara atau
masyarakat dalam mengelola sampah organik
langkah mencapai tujuan.
dapur dan sampah organik rumah tangga dapat
- Tahap pelaksanaan program, implementasi
dilihat dari tingkat sosial ekonomi masyarakat
kegiatan lapangan.
tersebut.
- Tahap evaluasi, penilaian dan pengawasan.
Keberhasilan pengelolaan sampah pada lingkungan - Tahap terminasi, mengakhiri suatu kegiatan.
permukiman sangat dipengaruhi oleh peran serta
Peningkatan peran serta masyarakat menurut
masyarakat sebagai penghasil sampah. Dari
Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata
analisis sosial budaya, peningkatan peran serta
Pedesaan (2003:67), dapat dilakukan melalui
masyarakat merupakan suatu alternatif dalam
tahapan-tahapan berikut ini :
mewujudkan kebersihan lingkungan yang erat
1. Tahapan kognitif atau tahapan mengetahui,
hubungannya dengan pola perilaku masyarakat itu
pada tahap ini masyarakat memperoleh
sendiri.

76
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 75-83

informasi atau pengetahuan tentang apa yang terlegalisir serta sesuai dengan aspirasi
dilakukan dalam pengelolaan sampah dalam masyarakat.
berbagai hal melalui berbagai media. 2. Adanya dukungan peraturan setingkat
2. Tahapan afektif atau tahapan memperhatikan, kelurahan untuk pelaksanaan pengelolaan
setelah seseorang sampai pada tahap sampah berbasis masyarakat.
mengetahui maka akan mempengaruhi 3. Adanya dana untuk operasional pengelolaan
selanjutnya yaitu memperhatikan dengan cara maupun biaya pemeliharaan atau investasi
mencari kejelasan tentang pengelolaan sampah penambahan prasarana yang sesuai dengan
yang mereka dengar lihat atau baca. Tahapan ini kebutuhan. Dana tersebut dapat berasal dari
juga disebut tahap menarik perhatian atau iuran masyarakat maupun hasil penjualan
tahap kesadaran karena seseorang baru kompos atau material daur ulang yang cash
mengetahui bahwa adanya pengelolaan sampah flow-nya diketahui bersama secara transparan.
akan memberikan manfaat yang besar bagi 4. Adanya dukungan teknologi ramah lingkungan
dirinya atau lingkungan. dan tersedianya prasarana dan sarana
3. Tahapan melakukan penilaian, setelah persampahan skala kawasan sesuai kebutuhan
memperhatikan tentang penyelenggaraan masyarakat.
pengelolaan sampah dan menarik baginya maka 5. Adanya peran aktif masyarakat untuk
akan melakukan penilaian dari berbagai aspek melaksanakan program 3R terutama yang
keuntungan dari pengelolaan sampah tersebut. berkaitan dengan perubahan perilaku dan
4. Tahapan mencoba, apabila dari hasil budaya memilah sejak dari sumbernya.
penilaiannya terhadap penyelenggaraan 6. Adanya dukungan dari instansi pengelola
pengelolaan sampah disimpulkan memberikan sampah tingkat perkotaan untuk pengangkutan
manfaat, maka selanjutnya akan mencoba untuk residu, penyerapan produk kompos dan
berperan serta. material daur ulang serta penanganan lanjutan
5. Tahapan adopsi, atau tahapan penerapan. sampah B3 rumah tangga sesuai ketentuan yang
Jika program pendidikan dan kepedulian telah berlaku.
direncanakan dan diterapkan dengan baik, 7. Adanya pola monitoring dan evaluasi dari
maka keikutsertaan dan dukungan masyarakat instansi terkait baik ditingkat kelurahan,
akan tumbuh dengan mantap dalam tahap ini. kecamatan, kota/kabupaten bahkan tingkat
6. Tahap memelihara peran serta, dukungan yang lebih tinggi, yaitu provinsi dan pemerintah
dalam program pengelolaan persampahan telah pusat. Hasil monitoring dan evaluasi dapat
tercermin dan perlu dibangun melalui digunakan sebagai bahan masukan bagi proses
pendidikan berkala dan usaha kepedulian. replikasi atau pengembangan yang diperlukan
Insentif atau bantuan dana juga penghargaan serta pendataan yang lebih akurat untuk
pada masyarakat untuk menjaga dan mengetahui hasil pencapaian program 3R
meningkatkan partisipasi lebih lanjut. secara nasional.
Pemberdayaan Pengelolaan Sampah 3R Kelas Sosial Ekonomi Masyarakat
Berbasis Masyarakat Dalam masyarakat, kita temui berbagai golongan
Pengelolaan sampah dengan konsep 3R tidak masyarakat yang pada praktiknya terdapat
hanya menyangkut aspek teknis semata, namun perbedaan tingkat antara golongan satu dengan
yang jauh lebih penting adalah menyangkut lainnya.
masalah sosial dalam rangka mendorong
Nasution (1986:88), menyatakan bahwa pekerjaan
perubahan sikap dan pola pikir menuju
merupakan aspek sosial penting yang menentukan
terwujudnya masyarakat yang ramah lingkungan
status sosial atau kedudukan seseorang
dan berkelanjutan (Strategi Nasional 3R, KLH,
dimasyarakat dengan mengetahui jenis-jenis
2007). Proses pemberdayaan masyarakat meliputi
pekerjaan seseorang maka kita akan bisa menduga
antara lain sosialisasi/ penyuluhan, pelatihan,
tinggi rendahnya pendidikan, standar hidup dan
percontohan, pengembangan kegiatan.
kebiasaankebiasaan sehari-hari keluarga mereka.
Aspek Keberlanjutan Program Kita bahkan bisa membaca selera bacaan, selera
Aspek keberlanjutan pengelolaan sampah terpadu rekreasi, standar moral dan orientasi
berbasis masyarakat merupakan hal yang sangat keagamaannya, dengan kata lain jenis pekerjaan
penting untuk menjaga kesinambungan proses merupakan bagian dari cara hidup yang sangat
pengelolaan yang sudah terbina. Hal-hal yang perlu berbeda dengan jenis-jenis pekerjaan lainnya.
diperhatikan dalam beberapa aspek keberlanjutan Untuk itu dengan mengetahui jenis-jenis pekerjaan
adalah sebagai berikut : seseorang kita akan dapat menafsirkan apakah
1. Adanya lembaga kelompok masyarakat sebagai orang tersebut termasuk golongan masyarakat
organisasi pengelola yang tidak formal namun berpenghasilan rendah, sedang atau tinggi.

77
Peningkatan Partisipasi Masyarakat (Aryenti)

Perbedaan tingkat penghasilan juga akan Melihat keadaan tersebut diatas partisipasi
mempengaruhi nilai dan gaya hidup mereka antara golongan masyarakat ini terhadap lingkungan di
satu dan lainnya. perkotaan tidak dapat dikesampingkan. Golongan
masyarakat ini sangat besar pengaruhnya terhadap
Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah
lingkungan, mereka dapat diandalkan untuk
3R
berpartisipasi dalam pengelolaan sampah 3R
Keberhasilan pengelolaan sampah pada lingkungan
sebagai tenaga kerja pembuat kompos dan
permukiman sangat dipengaruhi oleh peran serta
pendaur ulang sampah, pemulung, bandar sampah.
masyarakat sebagai penghasil sampah. Dari
analisis sosial budaya, peningkatan peran serta Peran Masyarakat Golongan Berpenghasilan
masyarakat merupakan suatu alternatif dalam Sedang dalam Pengelolaan Sampah 3R
mewujudkan kebersihan lingkungan yang erat Dilihat dari kemampuan golongan masyarakat ini,
hubungannya dengan pola perilaku masyarakat itu umumnya mereka sudah mendiami perumahan
sendiri. Pendapatan masyarakat pada kota-kota yang permanen dan mereka bermukim pada
besar dapat digolongkan menjadi tiga kelas perumahan-perumahan yang dibangun oleh
pendapatan yaitu, masyarakat golongan pemerintah dengan cara mencicil. Menurut data
berpenghasilan rendah, masyarakat golongan BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2008 golongan
berpenghasilan sedang, masyarakat golongan masyarakat berpenghasilan sedang adalah
berpenghasilan tinggi (Prayogo Mirhad, 1992). pendapatan rata-rata lebih dari Rp 1.500.000,- s/d
Melihat ketiga golongan pendapatan tersebut 2.500.000,- per bulan. Golongan masyarakat ini
diatas mereka turut terlibat dalam pengelolaan mempunyai potensi yang dapat digali, karena
lingkungan, namun ketiga golongan masyarakat tingkat pendidikan dan ekonomi mereka sudah
tersebut memiliki bentuk keterlibatan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup
berbeda-beda, untuk itu partisipasi ketiga sehari-hari, walaupun dalam batas-batas tertentu.
golongan masyarakat tersebut dapat dilihat pada Mengingat kemampuan dan sosial ekonomi
uraian dibawah ini. masyarakat golongan tersebut, golongan
masyarakat ini dapat dilibatkan dalam pengelolaan
Peran Masyarakat Golongan Berpenghasilan
sampah 3R dan dapat pula dijadikan objek dan
Rendah dalam Pengelolaan Sampah 3R
subjek untuk dibina sebagai kader-kader dalam
Sebagian masyarakat di perkotaan termasuk
pengelolaan sampah 3R. Mengapa mereka dapat
golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang
dijadikan objek maupun subjek dalam pengelolaan
berasal dari pedesaan, biasanya masyarakat ini
sampah, dikarenakan masyarakat golongan ini
pindah ke kota untuk mengadu nasib karena
dilihat dari segi pendidikan. Rata-rata mereka
sempitnya lapangan kerja di desa (DR. Albert
berpendidikan tingkat menengah ke atas, hal ini
Wijaya, 1998). Menurut data BPS (Badan Pusat
akan mempengaruhi mereka untuk terlibat dan
Statistik) tahun 2008 golongan masyarakat
merasa terhimbau untuk menjaga dan mengawasi
berpenghasilan rendah, adalah pendapatan rata-
kebersihan lingkungan. Dilihat dari segi ekonomi
rata kurang dari Rp 1.500.000,- per bulan. Mereka
golongan masyarakat ini dapat memberikan
pindah ke kota dengan harapan bisa merubah
sebagian kontribusi baik dalam bentuk materil
nasib ke arah yang lebih baik. Biasanya masyarakat
maupun dalam moril untuk menunjang
yang pindah ke kota adalah masyarakat yang
terlaksananya program pengelolaan sampah 3R.
kurang mampu dan tidak punya lahan di desanya
Sebagai kader golongan masyarakat ini dapat
untuk digarap, dengan ketiadaan modal, rendahnya
berpartisipasi dalam perencanaan dan manajemen
pendidikan, terbatasnya keterampilan, mereka
pengelolaan sampah, partisipasi dapat berupa
pindah ke kota mengadu nasib, di kota mereka
sumbangan pendapat, ide, gagasan tentang sistem
tinggal di lingkungan kumuh, dengan segala
pengelolaan sampah, menghadiri pertemuan warga
fasilitas yang terbatas, seperti drainase kurang
untuk secara aktif membahas masalah
berfungsi, jalan lingkungan yang becek, sampah
persampahan, membentuk kesepakatan warga
yang berserakan dimana-mana, MCK yang tidak
dalam mengelola sampah, termasuk memilih ketua
memenuhi syarat kesehatan, air bersih yang
dan keanggotaan organisasi pengelola sampah.
kurang, rumah yang tidak memenuhi kesehatan.
Berpartisipasi secara langsung sebagai tenaga
Untuk kelangsungan hidup di kota, mereka hanya
pengolah sampah atau daur ulang sampah.
menjual tenaga untuk mendapatkan upah sebagai
hasil kerja mereka. Tenaga mereka diperlukan Peran Masyarakat Golongan Berpenghasilan
masyarakat kota untuk pekerjaan-pekerjaan Tinggi dalam Pengelolaan Sampah 3R
tertentu seperti pembantu rumah tangga, petugas Berdasarkan hasil pengamatan dari berbagai
kebersihan, kuli pada bangunan-bangunan, literatur dan pengamatan dilapangan partisipasi
pengangkut sampah, petugas keamanan. masyarakat golongan ini dalam pengelolaan
lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek

78
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 75-83

diantaranya adalah aspek pendidikan. Aspek sampah, kedua tong sampah tersebut masing-
pendidikan pada golongan masyarakat ini dengan masing untuk sampah organik dapur berwarna
keahliannya menghasilkan sesuatu, baik dalam biru dan sampah anorganik rumah tangga
bentuk barang maupun uang, sehingga dapat berwarna kuning. Tempat sampah dipasang diatas
dikatakan mempunyai status yang terpandang di permukaan tanah dengan besi sebagai penyangga
masyarakat. Dari segi pendapatan, mereka sudah diletakkan di depan rumah agar mudah dalam
dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, baik pengambilan oleh petugas sampah.
kebutuhan jasmani maupun rohani. Maka dengan
Untuk pengomposan skala komunal berupa tong
demikian golongan masyarakat ini dapat
plastik dengan ukuran diameter 35 cm, tinggi 65
dikategorikan golongan masyarakat
cm, volume 25-30 liter. Komposter komunal
berpenghasilan tinggi. Menurut data BPS (Badan
digunakan hanya untuk sampah organik dapur
Pusat Statistik) tahun 2008 golongan masyarakat
untuk pembuatan kompos. Satu unit komposter
berpenghasilan tinggi, adalah berpendapatan rata-
digunakan untuk 10 KK diletakkan di halaman
rata lebih dari Rp 3.500.000,- per bulan.
rumah salah seorang warga RT.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, pendapatan
masyarakat antara satu sama lain berbeda-beda Gambar 1 Komposter Individual dan Komunal
tergantung jenis/ profesi pekerjaan yang
dilakukan. Dalam menjalani kehidupannya
golongan masyarakat ini betul-betul
memanfaatkan waktunya secara teratur seperti,
waktu betul-betul digunakan untuk bekerja untuk
mencapai prestasi setinggi mungkin, sedangkan
waktu libur benar-benar dimanfaatkan untuk
berlibur bersama keluarga. Namun demikian
meskipun waktu yang dimiliki sangat terbatas,
pada saat-saat tertentu mereka dapat diminta
untuk melaksanakan kerja bakti bersama Tempat Sampah Individual Komposter Komunal
masyarakat lainnya misalnya dalam keadaan
darurat banjir, tidak berfungsinya selokan karena PENGUMPULAN DATA
penuh dengan sampah, dengan suka rela mereka Metode pengumpulan data dilakukan berdasarkan :
akan turun bergotong royong. Dengan kekayaan - Hasil kajian lapangan program pengelolaan
yang dimiliki biasanya mereka menjadi donatur sampah 3R pada perumahan Perum Bumi Baros
dalam kegiatan-kegiatan kebersihan maupun Kencana Kabupaten Sukabumi yaitu pada RW 16
dalam pembangunan di lingkungannya. dan 17.
- Hasil wawancara dan penyebaran kuesioner
METODOLOGI terhadap 2 RW yang mendapat bantuan program
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian 3R dari pemerintah, respondennya adalah ibu-
survei dengan metode objektif. Berdasarkan ibu rumah tangga, pengelola TPS, tokoh
metode ini stratifikasi sosial masyarakat masyarakat, kader Posyandu, serta kelompok
ditentukan dengan menggunakan penilaian Dasawisma.
objektif, yaitu mempelajari dan mengamati kondisi - Teknik pengambilan sampelnya menggunakan
sosial ekonomi masyarakat, dimana pengamatan teknik random sampling 30 responden yang
dilakukan dengan penilaian terhadap tingkat mewakili ke dua RW tersebut.
partisipasi masyarakat dalam melaksanakan
pengelolaan sampah 3R yaitu dari kegiatan HASIL DAN PEMBAHASAN
pengomposan dan daur ulang sampah anorganik. Penerapan Pengelolaan Sampah 3R di
Penerapan komposter skala individual dilakukan di Masyarakat
masing-masing KK, sedangkan untuk komposter Hasil monitoring dan evaluasi penerapan
komunal penggunaannya untuk 10 KK. Lokasi pengelolaan sampah 3R pada masyarakat
pengelolaan sampah 3R adalah di Perumahan perumahan Perum Bumi Baros Kencana Kabupaten
Perum Bumi Baros Kencana Kabupaten Sukabumi Sukabumi, diterapkan pada dua RW yaitu RW 16
yaitu pada RW 16 dan 17. RW 16 terdiri dari 6 RT dan 17. Sarana pengelolaan sampah berupa
dengan jumlah KK 180, RW 17 terdiri dari 8 RT komposter komunal dan individual dengan hasil
dengan jumlah KK 200. sebagai berikut :
Setiap rumah tangga diberi satu unit tempat
sampah terbuat dari paralon dengan ukuran
diameter 15 cm tinggi 50 cm dengan volume 9 L

79
Peningkatan Partisipasi Masyarakat (Aryenti)

Tabel 1 Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam cara 3R dan mendapat bantuan komposter dari
Pengelolaan Sampah 3R Dinas Kebersihan di kedua RW tersebut. Gambaran
Peran Masyarakat Tenaga Gagasan/ Ide Iuran perilaku masyarakat terhadap pengelolaan sampah
Masyarakat terlihat dengan adanya perbedaanperbedaan
Berpenghasilan - - pada ketiga golongan masyarakat tersebut baik
Rendah dalam kebiasaan maupun partisipasi dalam
Masyarakat
Berpenghasilan
pengelolaan sampah seperti berikut ini :
Sedang
Sikap dan Perilaku Golongan Masyarakat
Masyarakat
Berpenghasilan Tinggi Berpenghasilan Rendah dalam Pengelolaan
Sumber: Data Rangkuman Penelitian Sampah
Sosialisasi oleh Dinas Kebersihan mengenai
Hasil tabulasi data tersebut menggambarkan pengelolaan sampah 3R dilakukan dalam dua tahap
bahwa partisipasi masyarakat berpenghasilan yaitu tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan.
rendah dalam pengelolaan sampah berupa tenaga, Pada tahap perencanaan sosialisasi dilakukan
sedangkan partisipasi golongan masyarakat selama 1 hari dengan materi pengenalan program
berpenghasilan sedang berupa tenaga, gagasan/ 3R pada masyarakat sedangkan pada tahap
ide dan iuran. Golongan masyarakat pelaksanaan adalah pengenalan model teknologi
berpenghasilan tinggi berupa gagasan/ ide, iuran komposter dan praktek langsung cara pembuatan
dan tenaga. kompos dan cara pemilahan sampah anorganik
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat yang masih mempunyai nilai ekonomi. Pembuatan
Golongan masyarakat kedua RW ini pada kompos dilakukan pada komposter komunal
umumnya 70% didominasi oleh golongan dengan menggunakan cairan activator EM4.
masyarakat berpenghasilan rendah, dengan mata Komposter individual digunakan hanya untuk
pencarian sebagai buruh bangunan, buruh tani, memisahkan sampah organik dapur dan anorganik
pedagang keliling, seperti tukang baso, pedagang rumah tangga. Untuk sampah anorganik belum
sayur, pedagang gorengan. Sedangkan 15% dilakukan daur ulang baru pada tahap pemilahan.
golongan masyarakat berpenghasilan sedang, Setelah sosialisasi selesai selanjutnya pengelolaan
berprofesi sebagai guru, PNS, ABRI dan usaha toko diserahkan pada masyarakat dengan penanggung
kelontong. Masyarakat berpenghasilan tinggi jawab RW masing-masing. Tahap pelaksanaan
hanya sebagian kecil 10% mempunyai usaha sosialisasi dilakukan 1 hari. Peserta sosialisasi
catering dan usaha perdagangan dibidang bahan adalah masyarakat dua RW yaitu RW 16 dan 17
bangunan dan juragan tani. PKK, Posyandu, ketua RT dan RW, lurah serta
Kebiasaan Masyarakat dalam Pengelolaan dihadiri pula oleh camat setempat.
Sampah Sebelum Menggunakan Komposter Metode yang digunakan dalam sosialisasi adalah
Pada awalnya pengelolaan sampah pada kedua RW metode pemberdayaan masyarakat dengan teknik
dilakukan dengan sistem kumpul angkut buang. komunikasi. Respon masyarakat setelah sosialisasi
Masyarakat pada kedua RW ini belum berjalan selama 1 bulan, baru 30% yang
melaksanakan pemilahan sampah antara sampah melaksanakan program 3R. Selanjutnya dengan
basah dan kering. Masyarakat belum terbiasa turunnya kader-kader PKK langsung ke
memilah sampah sejak dari sumber. Sampah yang masyarakat sebagai pendamping, terlihat adanya
dibuang ke dalam komposter masih dalam keadaan perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam
tercampur. Untuk pengangkutan sampah dari memperlakukan sampah. Empat bulan setelah
rumah ke rumah dilakukan oleh petugas sampah pendampingan, 60% masyarakat sudah mulai
yang dikelola oleh RW masing-masing. Juga iuran melakukan pengomposan dan pemilahan. Respon
sampah ditangani oleh masing-masing RW dimana masyarakat tidak terjadi begitu saja, itupun
setiap KK dikenakan iuran Rp. 3.000,- per bulan. dilakukan secara bertahap. Pelaksanaan
Bagi masyarakat yang enggan membayar iuran, pendampingan dilakukan pada saat arisan dan
sampah dibuang ke lahan-lahan kosong yang ada di pengajian. Namun peningkatan partisipasi
dekat rumah atau ditanam dengan menggali masyarakat tidak ditunjang oleh fasilitas sarana
lubang, namun ada juga yang membuang sampah yang memadai. Tempat sampah individual yang
ke sungai dekat perumahan. diberikan pada masyarakat volumenya terlalu kecil
sehingga tidak dapat menampung sampah dalam
PENGUKURAN PEMAHAMAN MASYARAKAT jumlah yang banyak dan akibatnya sampah sering
TERHADAP PENGELOLAAN SAMPAH meluber keluar.
Pemahaman masyarakat muncul setelah adanya Sedangkan kesadaran masyarakat dalam
sosialisasi mengenai pengelolaan sampah dengan membayar iuran sampah pada umumnya masih

80
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 75-83

rendah, beberapa diantaranya ada yang tidak PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM


membayar iuran. Golongan masyarakat ini juga PENGELOLAAN SAMPAH 3R
tidak terlampau sulit untuk dikumpulkan apabila
Melihat gambaran sikap dan perilaku ketiga
dilaksanakan kegiatan kerja bakti membersihkan
golongan masyarakat tersebut diatas, terlihat
lingkungan.
adanya perbedaan-perbedaan cara berpartisipasi
Sikap dan Perilaku Golongan Masyarakat dalam mengelola sampah. Ketiga golongan
Berpenghasilan Sedang dalam Pengelolaan masyarakat tersebut dapat saling
Sampah mengisi/menunjang dalam pengelolaan sampah,
Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi, 60% namun bentuk dan peran mereka berbeda dalam
masyarakat golongan berpenghasilan sedang pelaksanaannya. Untuk meningkatkan partisipasi
sudah melaksanakan program 3R. Masyarakat masyarakat dalam pengelolaan sampah ada
sudah mulai memilah sampah sejak dari rumah, beberapa aspek yang perlu disiapkan, diantaranya :
tetapi ada juga yang enggan memilah sampah.
Pemberdayaan Golongan Masyarakat
Komposter yang diberikan masih banyak yang
Berpenghasilan Rendah
bercampur antara sampah basah dan kering.
Golongan masyarakat berpenghasilan rendah
Alasan yang dikemukakan masyarakat malas
merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan
memilah sampah karena tidak ada waktu, repot
program 3R di lingkungan mereka, oleh sebab itu
dengan pekerjaan. Sedangkan bila ada pertemuan
perlu dibekali keahlian dalam menjalankan
pertemuan mengenai kebersihan lingkungan,
program 3R tersebut seperti, keahlian dibidang
mereka selalu menghadiri. Dalam pertemuan
teknis :
pertemuan mereka selalu aktif, baik dalam
mengetahui kegunaan alat/peralatan yang
memberi masukan maupun sumbang saran akan
dibutuhkan dalam pengomposan
kemajuan kemajuan untuk lingkungan mereka
mengetahui strategi dalam pengomposan
tinggal. Mereka pun tidak sulit untuk dimintai
sumbangan yang sifatnya untuk keperluan mengetahui pengaturan suhu dalam
bersama. pengomposan
mengetahui cara penyaringan/pemilahan dalam
Sikap dan Perilaku Golongan Masyarakat pengomposan
Berpenghasilan Tinggi dalam Pengelolaan mengetahui teknik pengemasan kompos
Sampah Untuk pelaksanaan kegiatan tersebut perlu
Golongan masyarakat ini belum melaksanakan seorang pendamping yang bertugas sebagai
pengelolaan sampah 3R di rumah mereka. Namun pembimbing masyarakat.
mereka sudah mengerti tentang pemilahan dan
pengelolaan sampah secara benar. Pengelolaan Pemberdayaan Golongan Masyarakat
sampah sepenuhnya diserahkan kepada pembantu Berpenghasilan Sedang
rumah tangga. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat
golongan berpenghasilan sedang agar dapat
Hasil wawancara dan observasi di lokasi binaan, terlibat dalam pengelolaan sampah di lingkungan
bagi masyarakat golongan ini dikarenakan mereka, perlu dibekali keahlian-keahlian dibidang
kesibukannya maka tidak dapat secara langsung institusi karena mereka pada umumnya adalah
mengelola sampahnya sendiri. Partisipasi mereka masyarakat yang berpendidikan. Sebelum kegiatan
dalam kebersihan lingkungan cukup rendah begitu pengelolaan sampah 3R dijalankan, terlebih dahulu
pula keterlibatannya dalam pertemuan warga mempersiapkan aspek kelembagaannya agar
jarang mengikuti. Namun demikian sikap dan sistem pengelolaan sampah dapat berjalan secara
pengetahuan mereka pada kebersihan cukup tinggi teratur dan terarah. Institusi/kelembagaan
dan mereka juga tidak berkeberatan apabila mempunyai tugas menyelenggarakan jasa
dipungut sumbangan. Berdasarkan gambaran pengelolaan sampah mulai dari tahap pencarian
tersebut tidak semua golongan masyarakat ini dana, pengumpulan, pewadahan, pengangkutan
berlaku demikian, bila keadaan mendesak seperti dan pengelolaan hingga menjadi kompos sampai
terjadi banjir, drainase tersumbat sampah mereka dengan pemasaran. Golongan masyarakat ini
biasanya ikut bersama-sama masyarakat dengan keahlian dan keterampilan yang mereka
bergotong - royong membersihkannya. Kenyataan punyai dapat dijadikan sebagai penghubung
yang ada di masyarakat, kader-kader lingkungan dengan pihak luar. Oleh karena dari itu golongan
juga ada yang muncul dari golongan masyarakat masyarakat ini harus dapat memandang situasi
berpenghasilan tinggi. Yaitu mereka yang peduli dan kebutuhan pasar, mereka harus memiliki
terhadap lingkungan dan merasa terpanggil untuk pengetahuan tentang cara pemasaran.
mengabdi.

81
Peningkatan Partisipasi Masyarakat (Aryenti)

Pemberdayaan Golongan Masyarakat d. Tahap peningkatan peran serta masyarakat


Berpenghasilan Tinggi dimulai dari tahap kognitif (tahap
Golongan masyarakat berpenghasilan tinggi dapat mengetahui), tahap afektif (tahap
dijadikan sebagai penasehat/pelindung dalam memperhatikan), tahap melakukan penilaian,
program kebersihan di lingkungan mereka tinggal. tahap mencoba, tahap adopsi, tahap
Dengan keahlian dan pendidikannya, mereka dapat memelihara peran serta masyarakat
dijadikan sebagai pembimbing bagi masyarakat e. Terdapat hubungan keterkaitan antara status
golongan berpenghasilan rendah. Dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat dengan tingkat
penghasilan yang sudah mapan mereka dapat partisipasi mereka dalam pengelolaan sampah.
dijadikan pelopor dalam pendanaan untuk
Saran
pengembangan program 3R. Dalam penanganan
Peningkatan peran serta masyarakat dalam
sampah di tempat tinggal mereka biasanya
pengelolaan sampah di lingkungan permukiman
golongan masyarakat ini menyerahkan
hendaknya diarahkan agar menjangkau semua
sepenuhnya kepada para pembantu, karena
lapisan masyarakat. Oleh karena itu, ketersediaan
kesibukannya mereka tidak dapat terjun langsung
informasi yang berkenaan dengan kebersihan terus
untuk mengelola sampahnya sendiri. Untuk itu
disebarluaskan dan dikembangkan. Sehingga
agar program 3R dapat berjalan, para pembantu
pengetahuan dan kesadaran masyarakat terus
dapat dilatih dalam pengelolaan sampah seperti
meningkat.
cara pemilahan sampah basah dan kering dan cara
pembuatan kompos. Pelatihan pada pembantu a. Peran serta masyarakat merupakan salah satu
rumah tangga dapat dilakukan oleh kader-kader syarat utama bagi keberhasilan pengelolaan
lingkungan setempat. sampah di lingkungan mereka tinggal. Oleh
karena itu, akses masyarakat kepada sumber
KESIMPULAN DAN SARAN daya alam dan kemudahan memperoleh modal
Kesimpulan usaha perlu ditingkatkan agar dapat memberi
Berdasarkan hasil kajian peran serta masyarakat peluang yang cukup besar kepada masyarakat
dalam pengelolaan sampah 3R di Kota Sukabumi untuk berpartisipasi di lingkungannya. Akses
diperoleh kesimpulan sebagai berikut : dan kemudahan ini hendaknya ditunjukkan
- Model pengelolaan sampah dengan cara 3R terutama kepada golongan masyarakat
sangat cocok diterapkan di lingkungan berpenghasilan rendah.
permukiman untuk meningkatkan partisipasi b. Pengembangan kelembagaan yang
masyarakat dalam mengelola sampah. menyangkut perangkat hukum, peraturan
- Sosialisasi dalam pengelolaan sampah 3R, perundang-undangan, prosedur dan
dilakukan pada tahap perencanaan dan koordinasi antar sektor dalam upaya
pelaksanaan dengan menggunakan metode pengelolaan sampah lingkungan perlu terus
komunikasi. ditingkatkan agar dapat membimbing dan
- Sasaran pengelolaan sampah dengan cara 3R meningkatkan partisipasi masyarakat.
yang paling efektif dilakukan adalah pada
golongan masyarakat berpenghasilan rendah. DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan hasil evaluasi, masyarakat inilah Adi, Rukminto Isbandi. 2002. Pemikiran-pemikiran
yang paling mudah digerakkan. dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial.
- Dari hasil monitoring dan evaluasi pada ketiga Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.
golongan masyarakat dalam pengelolaan sampah Dhurkeim, John Son. 1986. Pendidikan dan
3R adalah sebagai berikut : Mobilitas Sosial. Htt:// www.uns. Ac. Id/ data/
a. 60% masyarakat golongan berpenghasilan Spg.
rendah sudah melaksanakan pengelolaan Darwati, Sri, Aryenti. 2010. Laporan Advis Teknis.
sampah dengan cara 3R. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)
b. 60% masyarakat berpenghasilan sedang sudah Tampomas, Perum Baros Kencana. Kota
melaksanakan pengelolaan sampah dengan Sukabumi.
cara 3R. Slamet Riyanto, Mardianto Darwin, Aulia
c. Golongan masyarakat berpenghasilan tinggi Rahmawati. 2010. Korelasi antara
belum optimal melaksanakan pengelolaan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap
sampah. Pemilahan Sampah Kering dan Basah. Desa
Pemilahan sampah akan berhasil apabila Pendem Kecamatan Junrejo Kota Batu
pendampingan dan sosialisasi dilakukan http://G:/SAMPAH%201.htm
secara terus menerus pada ketiga golongan Pemberdayaan Masyarakat. 2008. Water and
masyarakat tersebut. Sanitation. Dimsum Indonesia http//www.
Dimsum. Hs. Ac. Id.

82
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 75-83

----------, 2008. Undang-undang Republik Indonesia Winarni, Tri. 2004. Pemberdayaan Masyarakat
No. 18 Tahun 2008: Pengelolaan Sampah, Miskin melalui Pengembangan Modal Usaha
Jakarta; Menteri Hukum dan Hak Asasi dalam Sunartiningsih. Pemberdayaan
Manusia RI, Lembaran Negara RI Tahun 2008 Masyarakat Desa melalui Institusi Lokal.
No. 69. Yogyakarta: Aditya Media.
Ife, Jim.1996. Community Development: Creating Prayogo Mirhad. 1992. Sejumlah Masalah
Community Alternatives Vision, Analysis and Permukiman Kota. Bandung. Alumni.
Practice. Longman. Nasution.1996. BAB IX. Pendidikan dan Mobilitas
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Sosial.
2003, Pedoman Pengelolaan Persampahan http:// www. Uns. Ac. Id/ data/ sp 9. pdf.
Perkotaan Bagi Pelaku Pelaksana. Direktorat Laporan Bulanan, 2010. Pengelolaan Sampah di
Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan. TPST Tampomas Perumahan Bumi Baros
Jakarta. Kencana RW 16 dan RW 17. Sukabumi.

83
Perubahan Pola Permukiman (Deasy Widyastomo)

PERUBAHAN POLA PERMUKIMAN TRADISIONAL SUKU SENTANI


DI PESISIR DANAU SENTANI
(The Alteration in the Traditional Settlement Patterns of Sentani Tribe
at Sentani Lake Shores)

Oleh : Deasy Widyastomo


Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih
Jl. Camp Woker Waena Kampus Baru Uncen Waena, Abepura, Papua
Email : d.widyastomo@yahoo.co.id
Diterima : 12 Januari 2011; Disetujui : 24 Mei 2011

Abstrak
Permukiman tradisional suku Sentani terbentuk oleh budaya dan karakteristisk suku Sentani yang unik.
Permukiman Kampung Ifale suku Sentani berada di pesisir Danau Sentani dan berorientasi terhadap danau
sebagai eksistensi kehidupan. Keberadaan masyarakat suku Sentani di Danau Sentani telah melangsungkan
kehidupan sejak terjadinya perang suku zaman nenek moyang dan sampai saat ini masih tetap
berkehidupan di pesisir Danau Sentani dalam usaha mempertahankan kehidupan yang berkelanjutan.
Permukiman dan perumahan suku Ifale Sentani berada di Kampung Hobong yang terbentuk dari kesatuan
tiga kelompok kekerabatan yang berbeda yaitu Asei, Ifale dan Ifar Besar. Dalam kehidupan bersama tetap
menjaga tradisi yang dilakukan secara turun temurun dengan menyesuaikan kondisi yang baik dirumah
maupun di lingkungannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari perubahan pola permukiman
tradisional suku Sentani di Danau Sentani, dan pengaruhnya terhadap pola hidup masyarakat tradisional.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan analisa kualitas permukiman dan lingkungan, analisa kekhasan fisik permukiman dan analisa
perubahan permukiman tradisional mempengaruhi perubahan pola hidup masyarakat ditunjukkan adanya
perubahan pola permukiman yang dipengaruhi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang merubah pola
hidup masyarakat dari cara hidup komunal menjadi individual dan adanya perubahan permukiman
tradisional suku Sentani dari berbentuk linier manjadi menyebar. Perubahan pola hidup dilakukan untuk
meningkatkan eksistensi hidup masyarakat suku agar dapat bersaing dalam kehidupan bermasyarakat dan
membawa masyarakat menuju kehidupan masyarakat yang berkelanjutan.
Kata Kunci : Perubahan, pola permukiman, tradisional, suku Sentani, Danau Sentani

Abstract
The traditional settlement of Sentani tribe is formed by its unique culture and characteristics. The Ifale
village settlement of Sentani tribe is located at the edge of Lake Sentani and is oriented towards the lake as
their cause of existence. The Sentani tribe at Lake Sentani has existed since their ancestors' tribe war a long
time ago. The settlement and houses of the Ifale Sentani tribe are located in Hobong village. The Sentani tribe
is made up of three family groups, namely Asei, Ifale, and Ifar Besar that always keep their traditions since
their ancestors' time by adapting them to the conditions of both the household and the environment. The
purpose of this research is to study the change in pattern of Sentani tribe's settlement at Lake Sentani and its
influences towards the pattern of life of the traditional community using descriptive methodology. The results
of the analysis show that the quality of environment and settlement, settlement physical uniqueness, and
traditional settlement alteration influence the community's pattern of life illustrated by the change in the
people's cultural, economic, and social values further changing their pattern of life from communal to
individual way of life. Besides that, the pattern of Sentani tribe traditional settlement has also changed from
a linear one to a spreading or secondary one. The change of the pattern of life is conducted to improve the
existence of the community to be able to compete in life and carry them into a sustainable traditional living.
Keywords : Alteration, settlement pattern, traditional, Sentani tribe, Sentani Lake

PENDAHULUAN dapat dibagi menjadi tiga wilayah geografi utama


Papua merupakan provinsi yang terletak di bagian atau suku mayoritas yakni meliputi, daerah
paling timur Indonesia, meliputi separuh wilayah pegunungan, daerah daratan rendah pantai, dan
barat Pulau Papua dan Negara Papua Nugini bagian daratan rendah pedalaman.
wilayah timurnya. Penduduk Papua sebagian besar Antropolog Roxana Waterson (1991) menceritakan
orang Melanesia. Secara ekologis Provinsi Papua keanekaragaman rumah-rumah tradisional yang

84
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 84-92

ada di Nusantara dan Asia Tenggara dalam nuansa 2. Data disusun untuk memperoleh korelasi
seni yang tinggi dan adanya persamaan dalam antar jawaban responden dengan
filosofi namun kaya dalam bentukan-bentukan mempergunakan analisa program SPSS
arsitektur yang berbeda dari satu rumah dengan (Statistical Package for the Social Sciences)
rumah tradisional lainnya. 12.0 for Windows.
3. Pengumpulan data kuesioner penduduk dan
Danau Sentani terletak tepatnya di Kecamatan
ditabulasikan.
Sentani Kabupaten Jayapura. Suku mayoritas di
4. Analisa kualitas pemukiman menggunakan
daratan dan pesisir Danau Sentani adalah suku
software laboratorium pemukiman Institut
Sentani, dengan marga atau klan yang berbeda di
Teknologi Sepuluh November (ITS).
tiap kesatuan kampung. Permukiman penduduk
suku Sentani mayoritas berada di pesisir Danau
Sentani, pada perkembangannya mengalami LANDASAN TEORI
perubahan dalam mempertahankan kehidupannya. Pola Permukiman
Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk Menurut Jayadinata (1986) pola permukiman
mengkaji perubahan permukiman dalam merupakan lingkup penyebaran daerah tempat
mempertahankan kehidupan yang berkelanjutan. tinggal menurut keadaan geografi (fisik) tertentu,
seperti permukiman sepanjang pantai, alut, aliran
Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah sungai dan jalan yang biasanya berbentuk linear.
Kampung Hobong-Ifale. Kampung ini mempunyai
keunikan/kekhasan yaitu merupakan suatu Sedangkan menurut Yodohusodo (1991) terdapat
daratan yang berada di tengah Danau Sentani, yang 3 (tiga) pola permukiman, yaitu : pertama,
hanya dihubungkan oleh transporatasi perahu atau perumahan yang direncanakan dengan baik dan
disebut kole-kole. dibangun dengan baik dan teratur rapi serta
memiliki prasarana, utilitas dan fasilitas yang
cukup baik; kedua, perumahan yang berkembang
tanpa direncanakan terlebih dahulu. Polanya tidak
teratur, prasarana, utilitas dan fasilitasnya tidak
memenuhi syarat kuantitas maupun kualitas.
Dibedakan antar dua tipe utama, yaitu tipe
kampung dan tipe perumahan liar; ketiga,
perumahan yang tidak sepenuhnya direncanakan
dengan baik. Jalan utama dan di kiri kanan jalan
dibangun rumah yang baik dan teratur. Namun,
ditengah dan belakang tumbuh rumah-rumah tipe
kedua yaitu rumah-rumah yang tidak teratur.
Teori Permukiman
Kampung Hobong- Permukiman dalam Agenda 21 Indonesia (Strategi
Ifale Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan
(1997:24) aspek sosial, ekologis, dan fungsional
Gambar 1 Lokasi Penelitian Kampung Hobong-Ifale merupakan elemen-elemen yang saling terpadu,
Sumber : Google earth 2011
menunjang antara satu dengan lainnya untuk
menjamin peningkatan kualitas hidup secara
TUJUAN PENELITIAN berkelanjutan.
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan perubahan pola permukiman Menurut Johan Silas (1985) suatu permukiman
tradisional Sentani di pesisir Danau Sentani. hendaknya mengikuti kriteria bagi permukiman
2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh yang baik, dengan memenuhi aspek fisik dan aspek
terhadap perubahan pola hidup masyarakat nonfisik. Proses bermukim menjadi faktor pengikat
dalam mempertahankan kehidupan yang antara masa dulu, kini dan masa akan datang
berkelanjutan dengan tujuan peningkatan kualitas hidup. Aspek
fisik dan nonfisik saling mempengaruhi satu
METODE PENELITIAN dengan yang lain sebagai wujud dari aspek-aspek
yang tidak saling terpisahkan antara satu dengan
Metode penelitian yang digunakan dalam lainnya.
penelitian ini adalah :
1. Metode deskriptif dalam menganalisa hasil Dengan demikian kriteria permukiman yang baik
penelitian secara kualitatif. adalah adanya pemenuhan aspek fisik dan nonfisik
(sosial, budaya, ekologis, fungisonal) yang saling

85
Perubahan Pola Permukiman (Deasy Widyastomo)

mempengaruhi dengan tujuannya adalah dan yang tetap atau constancy and change. Dalam
peningkatan kualitas hidup. konteks ini ini Rapoport (1969 : 78-79)
menyebutkan bahwa apabila budaya atau
Menurut Johan Silas (1993) dalam Housing
pandangan hidup berubah, maka berbagai aspek
Beyond Home mengatakan bahwa ditinjau dari
terkait dengannya menjadi berubah juga atau tidak
proses pengadaan perumahan dan pola
berarti.
menggalang sumber daya, pada dasarnya dapat
dikelompokkan dalam tiga bentuk dasar yaitu : Menurut Tipple (1992) perubahan dalam konteks
tradisional, modern, dan oleh masyarakat. lokal kata ubah atau keperubahan bentuk adalah
tindakan mengubah rumah secara internal atau
Teori Tradisional
secara eksternal. Dalam melakukan keperubahan
Menurut Amos Rapoport (1969), bahwa rumah dan
bentuk dapat dipakai cara yaitu : penambahan,
lingkungan adalah suatu pengekspresian
perkembangan, pengurangan atau rusak
masyarakat tentang budaya, termasuk didalamnya,
(pengurangan ukuran) dan perbaikan seluruhnya
agama, keluarga, struktur sosial dan hubungan
atau pembangunan kembali.
sosial antar individu.
Hal ini dipertegas oleh Silas (1999) mengatakan
Roxana Waterson (1993), berpendapat bahwa
bahwa rumah adalah bagian utuh dari suatu
arsitektur tidak hanya menyangkut keberadaan
permukiman dan bukan semata-mata hasil fisik
shelter terhadap cuaca tetapi juga melibatkan
yang sekali jadi, tapi merupakan proses yang
ruang-ruang sosial dan simbolik yaitu ruang yang
berkembang berlanjut dan terkait dengan
mencerminkan nilai-nilai yang dianut pencipta dan
mobilitas sosial ekonomi penghuninya, dengan
penghuninya. Sedangkan menurut Amos Rapoport
tujuan untuk merangsang kesejahteraan individu
(1969) bahwa bentuk rumah tidak hanya
dan masyarakat sekitarnya.
dipengaruhi oleh bentuk-bentuk fisik saja tetapi
lebih merupakan akibat dari keseluruhan faktor
socio-cultural yang dapat dilihat pada pola-polanya HASIL DAN PEMBAHASAN
secara luas. Lingkungan yang terbentuk akan Analisa Perubahan Pola Permukiman dan
mencerminkan kekuatan-kekuatan socio-cultural Kekhasan Fisik Permukiman
termasuk kepercayaan, hubungan kekerabatan, Pola permukiman suku Sentani di Kampung
organisasi sosial, cara hidup, dan hubungan sosial Hobong-Ifale berdasarkan historis dikatakan
antar individu. bahwa permukiman suku Sentani terletak di pulau
pada tengah-tengah danau dan berorientasi
Maka dapat simpulkan bahwa terbentuknya menghadap danau membentuk satuan kelompok
tradisional suatu kawasan dipengaruhi oleh klan atau marga yang tertutup dari kelompok lain
interaksi aspek nonfisik (budaya, agama, sosial, dan hidup secara berkelompok dalam satu rumah
gaya hidup) dan fisik (shelter) dalam kesatuan membentuk linear (nampak pada gambar 2).
budaya (adat istiadat) dalam mempertahankan
kehidupan anggota keluarganya.
Teori Perubahan
Manurut Rapoport (1969), perubahan bentuk
rumah bukan merupakan hasil kekuatan faktor
fisik atau faktor tunggal lainnya, tetapi merupakan
konsekuensi dari cakupan faktor-faktor budaya
yang terlihat dalam pengertian yang luas.
Pembentukan lingkungan permukiman, Rapoport
dibagi menjadi dua kelompok elemen dasar, yakni Gambar 2 Pola Permukiman Kampung dan Rumah Adat
elemen fisik, seperti, kondisi iklim, metode Khombo
konstruksi, material yang tersedia dan teknologi, Sumber : Nova Guinea Vol. III,(1907), Etnography and
Anthropology, GAJ.Van Der Sande, Leyden
dan elemen socio-cultural. Menurut Rapoport
(1969:47) elemen socio-cultural merupakan Bentuk mempertahankan diri secara fisik
elemen utama atau prima, sedangkan yang lain dilakukan dengan membangun model rumah
adalah elemen sekunder. tertutup terhadap lingkungannya, dan terdapat
pembagian ruang antara kesatuan kaum laki-laki
Rapoport mengatakan kebudayaan selalu berubah
dan kaum perempuan. Tugas kaum laki-laki adalah
sehingga makna bangunan maupun permukiman
mempertahankan diri dan terlibat perang suku,
juga dapat berubah. Hanya saja perubahan
sedangkan tugas kaum perempuan sebagai
tersebut tidaklah selalu terjadi secara serentak dan
menyediakan makanan dan menjaga keturunan.
pada seluruh elemen ataupun tatanannya, akan
Kaum laki-laki dan perempuan hidup secara
tetapi selalu dijumpai adanya unsur yang berubah

86
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 84-92

komunal atau bersama-sama. Nampak pada mempertahankan diri secara fisik Rumah Imae
gambar denah rumah dibawah ini bentuk (Rumah Komunal).

Para-Para DAPUR
Tempat penyimpanan bahan Tempat penyimpanan bahan
makanan dan kayu bakar makanan, perlengkapan nelayan
K. Tidur K. Tidur K. Tidur K. Tidur dan kayu bakar (kompor) dan
dan perahu, selain itu tempat
keluar masuknya kaum pendaratan perahu dari kota atau
perempuan tetangga
K. Tidur

R. Makan dan
R. Keluarga R. Keluarga berfungsi :
R. makan + memasak + sebagai tempat berkumpul
menyimpan makanan keluarga dan tempat tidur
Daerah kaum Perempuan jika ada keluarga lain
K. Tidur datang bertamu

R. Tengah + kaum Pria


Musyawarah
K. Tidur R. Tamu
K. Tidur
Pintu Masuk :
Sebagai pintu masuk untuk
semua kaum dan tamu
tidak ada perbedaan
gender

Gambar 3 Perubahan Rumah Imae(komunal) menjadi Rumah Individual suku Sentani


Sumber : Nova Guinea Vol. III, (1907), Etnography and Anthropology, GAJ. Van Der Sande, Leyden dan Penelitian 2010

Keberadaan danau sebelum 1907 sangat berkaitan yang tidak berubah pada suku Sentani yakni
dengan pembentukan pola permukiman. Pola eksistensi adat tradisional dan kepala suku sebagai
permukiman suku Sentani di pesisir Danau Sentani kepala pemerintahan adat.
berorientasi menghadap danau, sebagai wujud dari
eksistensi mempertahankan kehidupan pada masa
itu dari perang suku. Pola permukiman berbentuk
linear dan dibagian tengahnya terdapat rumah adat
yang disebut Kombho sebagai tempat kepala
suku/adat. Pembentukan lingkungan permukiman
tradisional suku Sentani pada masa perang suku,
terdiri dari dua kelompok elemen dasar, yakni
elemen fisik yakni metode konstruksi (rumah
tertutup), material yang tersedia dan teknologi
(tradisional), serta elemen socio-cultural (kepala
suku sebagai raja). Dua kelompok elemen tersebut
semua berorientasi terhadap mempertahankan
diri.
Pada tahun 1925 pembentukan socio-cultural suku
Sentani mengalami perubahan dengan masuknya
agama Kristen yang menurut Rapoport merupakan
elemen utama/prima yang merubah pola hidup
masyarakat, yang pada perkembangan membawa
perubahan pada pola permukiman dari bentuk Gambar 4 Perubahan Pola Permukiman Kampung Hobong-Ifale
linear menjadi menyebar. Dalam Bentuk Cluster/Menyebar
Sumber : Google earth 2011
Perubahan pola permukiman tersebut tidak terjadi
serentak tetapi juga ada yang tetap, yakni aspek Perubahan pola permukiman suku Sentani
kepala adat sebagai kepala pemerintahan tetap tersebut di Kampung Hobong-Ifale membawa
dipertahankan. Perubahan pola permukiman pengaruh terhadap perubahan pola hidup
memberikan dampak pada perubahan aspek masyarakat. Perubahan pola hidup nampak pada
budaya atau pandangan hidup (nonfisik berubah), penyediaan kelengkapan fasilitas-fasilitas
maka berbagai aspek terkait dengannya menjadi pendukung permukiman.
berubah juga yakni gaya hidup, kepercayaan, dan

87
Perubahan Pola Permukiman (Deasy Widyastomo)

Pada tabel 1, dijelaskan proses perubahan pola kepercayaan nenek moyang ke kepercayaan
permukiman suku Sentani dari bentuk linear kepada Tuhan (Kristiani). Pengaruh kepercayaan
menjadi bentuk menyebar dalam kesatuan cluster. agama tersebut secara tidak langsung merubah
Perubahan pola permukiman tersebut gaya hidup masyarakat tradisional dari sifat
mempengaruhi perubahan sosial-kultural tertutup menjadi terbuka. Keterbukaan gaya hidup
masyarakat tradisional. Sosial-kultural yang masyarakat nampak dapat menerima klan atau
berubah dipengaruhi oleh masuknya agama marga lain pada lingkungan kehidupannya.
Kristen, yang merubah pola kepercayaan dari
Tabel 1 Perubahan Pola Permukiman dari Pola Linear menjadi Cluster (tahun 1907-1925-Saat ini)
Pola Permukiman Sebelum Tahun1907 Pola Permukiman Tahun 1925 Kondisi Eksisting
Sumber : Nova Guinea Vol. III,(1907), (masuknya agama Kristen) Sumber : Wawancara dan pengamatan
Etnography and Anthropology, GAJ.Van Sumber : wawancara lapangan
Der Sande, Leyden

1. Pola permukiman mengelompok satu 1. Pola permukiman mengelompok 1. Pola permukiman membentuk sistem
kekerabatan satu kekerabatan cluster
2. Pola permukiman sebagai pola 2. Pola permukiman sebagai pola 2. Membentuk kelompok-kelompok
mempertahan diri dari perang suku mempertahan diri dari perang suku kekerabatan
3. Pola hidup masyarakat sistem rumah 3. Pola hidup tetap sistem rumah 3. Kegiatan adat berkurang dan sistem
komunal komunal & permukiman satu rumah komunal berubah menjadi rumah
kekerabatan (marga yang sama). individual
4. Membentuk satu permukiman 4. Kepercayaan tradisional mulai 4. Pimpinan kampung ada 2 : kepala desa
kekerabatan (marga) berkurang dan kepala suku
5. Permukiman dipimpin kepala suku dan 5. Gereja dibangun dan eksistensi adat 5. Gereja diletakkan didarat/bukit sebagai
eksistensi adat masih kuat mulai berkurang pusat kegiatan kerohanian
6. Orientasi bangunan menghadap danau 6. Orientasi bangunan menghadap 6. Fasilitas penunjang permukiman
danau dan perang suku masih (sekolah, ibadat, perdagangan),
terjadi. keramba ikan.
7. Rumah Khombo menjadi pusat kegiatan 7. Orientasi bukit digunakan sebagai 7. Tempat bercocok tanam di daratan
kaum pria dan pusat kegiatan adat suku makam dan berlindung dari perang Sentani.
Sentani suku.
8. Kaum wanita tidak mempunyai posisi 8. Kaum wanita tidak mempunyai 8. Kedudukan perempuan dan laki-laki
dalam adat posisi dalam adat hampir sama
Sumber : Hasil Analisa

Berdasarkan hasil analisa dapat disimpulkan unik. Keunikan tersebut yaitu bagaimana
bahwa kekhasan fisik permukiman suku Sentani masyarakat tradisional dapat mempertahankan
adalah letak pulau/lokasi Hobong-Ifale berada di diri dalam hidup berkelanjutan sebagai identitas
tengah Danau Sentani dan pola permukiman dan ciri khas yang unik.
penduduknya. Pola permukiman yang berorientasi
Tabel 2 Chi-Square Tests
terhadap arah danau, dan dengan adanya pengaruh
Asymp. Sig.
kepercayaan/agama merubahan pola permukiman Value df
(2-sided)
dari linear menjadi menyebar dalam bentuk cluster Pearson Chi-Square 55.878(a) 30 .003
menjadi permukiman berkelanjutan. Perubahan Likelihood Ratio 23.091 30 .812
pola permukiman tersebut berdampak pada
Linear-by-Linear .031 1 .860
perubahan aspek nonfisik (gaya hidup) masyarakat
Association
tradisional. N of Valid Cases 124
Kekhasan fisik permukiman merupakan salah satu a 35 cells (83.3%) have expected count less than 5. The
bagian dari potensi yang perlu ditemukan dan minimum expected count is.02.
dikembangkan kembali agar kawasan memiliki Berdasarkan tabel 2 hasil Chi-Square Test
identitas atau ciri khas yang menjadi daya tarik. menunjukkan angka 0,003<0,05 pada
Menurut Silas (1996) kekhasan fisik kawasan kolom(asymp.sig) dan baris (person chisquare)
dapat dilihat dari pola dan tatanan bangunan serta yang berarti terdapat hubungan antara letak
bentuk rumah masih asli (rumah adat). Keunikan rumah dan ketergantungan terhadap Danau
permukiman difokuskan pada letak geografi Sentani. Hal tersebut berhubungan dengan hasil
kawasan penelitian yang mempunyai potensi analisa dikatakan bahwa 65 % penduduk kampung
lingkungan adalah dikelilingi oleh Danau Sentani. menetap sejak lahir lebih dari 30 tahun dan
Letak geografis Kampung Hobong-Ifale ditengah- bermata pencarian sebagai nelayan berjumlah 45%
tengah danau yang memiliki lokasi/daratan dapat penduduk.
tumbuh menjadi permukiman tradisional yang

88
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 84-92

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pe ngaruh Adat

dengan mengamati pada kondisi eksisting, 1). Ya 2). Tidak

perubahan pola permukiman tradisional dari 2). Tidak


linear menjadi pola menyebar dalam kesatuan 24%

kelompok cluster menjadi permukiman


berkelanjutan suku Sentani. Permukiman 1). Ya
76%

berkelanjutan dengan adanya ketergantungan


terhadap eksistensi Danau Sentani sebagai Jumlah penduduk kampung tersebut tidak
pusat/sumber mata pencarian. ditentukan oleh suatu kreterium mutlak sebagai
satu syarat terbentuknya suatu Yo atau
perkampungan, tetapi terjadi oleh adanya rasa
kebersamaan, rasa cinta, bangga serta atas
persetujuan bersama untuk menjadikan tempat
sebagai lokasi perkampungan tradisional.
Bentuk rumah suku Sentani berbentuk rumah
panggung yang didirikan diatas tiang kayu besar
sebagai konstruksi utama rumah. Bentuk rumah
panggung merupakan ciri khas rumah kelompok
berburu dan peramu tumbuhan.
Rumah panggung sebagai upaya mempertahankan
diri dari lingkungannya. Mempertahankan diri
akibat lokasi sering mengalami banjir akibat air
pasang danau naik dan hujan yang berlebihan dan
gangguan dari binatang liar.
Perubahan pola permukiman tidak mengakibatkan
perubahan bentuk rumah pada masyarakat, sekitar
81% penduduk masih tetap dengan rumah
panggung. Penggunaan rumah panggung oleh
masyarakat tradisional dengan alasan kenyamanan
dan keselamatan hidup dipesisir danau.
Perubahan pola hidup masyarakat tertuju pada
pola permukiman yang masih membentuk satu
kelompok kekerabatan. Kelompok kerabatan yang
Gambar 5 Pola Permukiman dan Ketergantungan terhadap
terbentuk merupakan gabungan kekerabatan dari
Danau Di Kampung Hobong-Ifale
Sumber : Penelitian 2010 berbagai kelompok yang menjadi satu kesatuan
kampung. Nampak di Kampung Hobong-Ifale yang
Analisa Faktor Perubahan Pola Permukiman terbentuk dari tiga kelompok masyarakat yaitu Ifar
Mempengaruhi Pola Hidup Masyarakat Besar, Ifale dan Asei. Ketiga kelompok masyakat
Menurut Thompson & Newmark (1977: 13), faktor tersebut terdiri dari kelompok marga/klan yang
yang paling penting di dalam menetapkan suatu berbeda yang mempunyai adat istiadat yang
pola hidup adalah umur, pekerjaan, status berbeda pula, tetapi tetap dapat hidup dalam satu
perkawinan, pendidikan, dan pendapatan yang permukiman dan perumahan bersama.
mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Oleh
sebab itu faktor pola hidup suku Sentani di Perubahan pola hidup juga berpengaruh terhadap
Kampung Ifale sangat dipengaruh eksistensi adat perubahan pola tatanan bangunan yang pada
suku Sentani. Pola hidup tersebut mempengaruhi awalnya membentuk kelompok padat berubah
pola kehidupan sosial masyarakat sehingga menjadi menyebar dalam kesatuan cluster. Pola
memberikan dampak perubahan pada budaya menyebar dalam kelompok kekerabatan tersebut
masyarakat. ditunjang dengan tersedianya kelengkapan
prasarana dan sarana permukiman dan
Menurut data kuesioner penduduk Kampung perumahan. Kelengkapan tersebut dengan tujuan
Hobong-Ifale sekitar 76%, masih kuat terhadap dapat meningkatkan kehidupan masyarakat di
eksistensi kedudukan adat sebagai pemerintahan kampung tersebut, dan tidak berpindah-pindah
kampung. untuk mencari daerah baru, karena daerah
tersebut sudah dapat melangsungkan
kehidupannya sebagai nelayan dan meramu sagu.

89
Perubahan Pola Permukiman (Deasy Widyastomo)

Memilih Rumah Panggung


Lebih mur ah Lebih nyaman/ dingin Lebih kuat Bent uk lebih bagus Mengikut i gaya
Mudah dikembangkan Kar ena war isan or ang t ua Kar ena war isan budaya Tidak r umah panggung

Karena warisan budaya


M udah dikembangkan Lebih kuat 5%
1% 4% Tidak rumah panggung
B ent uk lebih bagus 2% Lebih murah
0% 6%
M engikut i gaya
0%
Karena warisan orang t ua
1%

Lebih nyaman/ dingin


81%

Usaha masyarakat selain bermata pencarian Tabel 3 Hasil Penilaian Kualitas Permukiman dan
sebagai nelayan, sebanyak 51% penduduk Lingkungan Tahun 2010, Menggunakan Software
berjualan pinang, dan 46% usaha membuat kue, Laboratorium Pemukiman ITS (2005)
ukiran dan kios/toko dan 3% penduduk RW I II
berwiraswasta di Kota Sentani. RT 1 2 1 2
Rata-rata 1.84 1.85 1.88 1.94
Berdasarkan hasil analisa terhadap perubahan pola
permukiman dan lingkungan tradisional yang Kriteria Kondisi Rumah 1,96 2,02 1,88 2,01
dipengaruhi oleh interaksi aspek nonfisik (budaya, Kondisi Bangunan Rumah 2,11 2,11 2,06 2,17
Kondisi Lantai 0,00 0,00 0,00 0,00
agama, sosial, gaya hidup) dan fisik (shelter), Kondisi Ventilasi 1,17 1,25 1,13 1,11
memberikan dampak perubahan pola permukiman Genangan Air Jalan 1,89 2,00 2,00 2,22
dari linear menjadi menyebar dalam bentuk Pembagian Ruang 2,06 2,13 2,13 2,11
cluster, yang secara tidak langsung menyebabkan Kepadatan Penduduk 2,56 2,63 2,06 2,44
Jenis Prasarana 1,86 1,86 1,95 1,86
perubahan gaya hidup masyarakat tradisional Sumber Air 1,00 1,00 1,00 1,00
menjadi masyarakat modern. Sanitasi/Air Limbah 2,00 2,00 2,63 2,00
Sampah 2,00 2,00 2,00 2,00
Usaha Masyarakat Drainase/Got 3,00 3,00 3,00 3,00
Jalan 3,00 3,00 3,00 3,00
1). Berjualan 2). M embuat kue 3). Toko/kios 4). M embuat ukiran 5). Wiraswasta 6). M enjual pinang 7). lain-lain
Jenis Sarana 1,40 1,40 1,60 1,80
Ibadah 1,00 1,00 2,00 2,00
Pendidikan 1,00 1,00 1,00 1,00
7). lain-lain
1% 1). Berjualan Kesehatan 1,00 1,00 1,00 2,00
25%
Ekonomi 2,00 2,00 2,00 2,00
Ruang Terbuka 2,00 2,00 2,00 2,00
6). M enjual pinang
Kerentanan Status Penduduk 2,19 2,21 2,18 2,27
51% 2). M embuat kue
10%
Status Lahan 3,00 3,00 3,00 3,00
4). M embuat ukiran
3). Toko/kios Status Bangunan 3,00 3,00 3,00 3,00
11%
5). Wiraswasta
1%
Asal Penduduk 1,11 1,13 1,00 1,00
1% Pekerjaan 1,83 1,81 1,88 1,78
Pendapatan 2,00 2,13 2,00 2,56
Aspek Pendukung 1,75 1,75 1,75 1,75
Analisa Kualitas Permukiman dan Lingkungan Organisasi/Paguyuban 2,00 2,00 2,00 2,00
Kualitas permukiman dapat dinilai dari aspek fisik Keamanan 1,00 1,00 1,00 1,00
dan nonfisik permukiman, di katakan berkriteria Partisipiasi 2,00 2,00 2,00 2,00
Kelompok Usaha 2,00 2,00 2,00 2,00
baik apabila aspek fisik dan nonfisiknya terpenuhi
menurut Silas dalam Sumartinah (2.000). Keterangan :
Terpenuhinya aspek fisik dan nonfisik di analisa Nilai
Nilai
1 - 1,65 = Kategori Baik (hijau)
1,65 - 2, 35 = Kategori sedang (kuning)
berdasarkan 5 (lima) aspek Laboratorium Nilai 2,35 3 = Kategori Buruk (merah)

Permukiman ITS (2005) dalam menilai kualitas


suatu permukiman yakni : kondisi rumah, Penilaian kualitas fisik pada kondisi bangunan
ketersediaan prasarana, dan ketersediaan sarana, rumah suku Sentani dinilai dengan kategori
kerentanan status penduduk, aspek pendukung sedang, antara nilai 2,00-2,11, hal ini ditunjukkan
permukiman. banyaknya rumah adalah tidak permanen, dengan
dominasi bahan konstruksi dari kayu dan dinding

90
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 84-92

dari papan dan seng (94% responden), genangan sedangkan yang berkategori buruk (nilai 3,00)
air hujan, pembagian ruang dan kondisi lantai dari status lahan dan status bangunan. Berdasarkan
kayu besi dan kayu matoa. hasil analisa tersebut dapat disimpulkan aspek
kerentanan penduduk termasuk kategori buruk
Sedangkan kondisi kepadatan hunian dalam rumah
(nilai 2,35-3,00).
dengan kategori buruk dinilai antara 2,44 2,56,
hal ini disebabkan jumlah anggota keluarga dalam Aspek pendukung yang dinilai meliputi adanya
satu hunian tidak layak rata-rata berjumlah 5 organisasi, sistem keamanan dilingkungan,
anggota keluarga (30% responden) dan enam partisipasi warga dan adanya kelompok usaha.
orang (25% responden). Menurut tabel 1 didapatkan nilai dalam kategori
baik (nilai 1,00) adalah sistem keamanan
Berdasarkan hasil analisa secara keseluruhan,
dilingkungan. Sedangkan kategori sedang (nilai
kondisi fisik bangunan rumah diwilayah tersebut
2,00) adalah adanya organisasi, partisipasi warga
termasuk kategori sedang dengan nilai 1,89.
dan adanya kelompok usaha. Berdasarkan hasil
Kekurangan pada kepadatan hunian yang termasuk
analisa tersebut dapat disimpulkan aspek
kategori buruk. Kondisi ini disebabkan karena pola
pendukung termasuk kategori baik (nilai 1,50).
permukiman yang berkembang tanpa
direncanakan terlebih dahulu yang termasuk tipe
kampung (Yudohusodo, 1991). Rumah-rumah KESIMPULAN
tumbuh berkembang dipesisir Danau Sentani 1. Perubahan pola permukiman tradisional suku
dilahan yang kosong milik keluarga (sebagai Sentani di Kampung Hobong-Ifale dari pola
warisan), sehingga dominasi rumah tidak memiliki linear menjadi menyebar dalam kesatuan
halaman dan kepadatan hunian yang semakin cluster mempengaruhi perubahan pola hidup
tinggi. masyarakat. Perubahan pola hidup masyarakat
ditunjukkan dengan adanya perubahan pada
Aspek ketersediaan prasarana yang dinilai adalah aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
sumber air konsumsi, sanitasi, sampah, drainase Perubahan pola hidup masyarakat nampak
dan jalan. Berdasarkan hasil analisa, yang pada cara hidup pada bentuk rumah dari
termasuk kategori baik adalah sumber air rumah komunal menjadi rumah individual.
konsumsi (nilai 1,00), kategori sedang adalah Perubahan tersebut mempengaruhi cara hidup
sanitasi dan sampah (nilai 2,00) sedangkan masyarakat untuk dapat melangsungkan
kategori buruk adalah jalan (3,00). Berdasarkan kehidupan bersama (klan dan marga berbeda)
hasil analisa tersebut, dapat disimpulkan kondisi satu dengan yang lain, dalam rangka untuk
ketersediaan prasarana diwilayah kampung meningkatkan eksistensi hidup suku Sentani
termasuk kategori buruk dengan nilai 3,00. Pada agar dapat ikut bersaing dalam kehidupan
permukiman yang tidak direncanakan (tipe bermasyarakat.
kampung) polanya tidak teratur dan prasarana, 2. Analisa kualitas permukiman dan lingkungan
utilitas dan fasilitasnya tidak mencukupi dan tidak berdasarkan aspek kondisi rumah, jenis
memenuhi syarat dari segi kuantitas dan prasarana, sarana dan fasilitas penunjang pada
kualitasnya (Yudohusodo, 1991). Untuk itu perlu permukiman suku Sentani di Kampung
perbaikan prasarana terutama sanitasi, sampah Hobong-Ifale berkategori sedang/nilai 1,84-
dan jalan. 2,02.
Aspek ketersediaan sarana yang dinilai adalah 3. Analisa kekhasan fisik permukiman ditinjau
adanya tempat ibadah, pendidikan, kesehatan, pada letak geografi dan bentuk rumah (shelter)
ekonomi dan ruang terbuka (sebagai sarana sebagai keunikan dari permukiman tradisional
berkumpul/bermain). Berdasarkan hasil analisa, suku Sentani. Keunikan, keterpaduan
yang termasuk kategori baik adalah pendidikan, kehidupan nonfisik dan fisik, serta kedudukan
kesehatan, tempat ibadah (nilai 1,00), kategori Danau Sentani sebagai sumber utama
sedang adalah ekonomi dan ruang terbuka (nilai kehidupan mendukung permukiman
2,00). Berdasarkan hasil analisa tersebut, berkelanjutan masyarakat tradisional.
disimpulkan kondisi ketersediaan sarana diwilayah Perlu langkah lebih lanjut untuk meningkatkan
kampung termasuk kategori baik dengan nilai 1,50. kearifan dan kehidupan permukiman tradisional
Aspek kerentanan penduduk yang dinilai adalah suku Sentani di pesisir Danau Sentani. Diperlukan
status lahan, status bangunan, asal penduduk, pula peran pemerintah daerah guna mendukung
pekerjaan dan pendapatan. Berdasarkan tabel 3 keberlanjutan permukiman sebagai upaya
didapatkan nilai dalam kategori baik (nilai 1,00- peningkatan kualitas lingkungan di kawasan
1,15) adalah asal penduduk. Kategori sedang (nilai pesisir Danau Sentani.
1,85-2,00) adalah pekerjaan dan pendapatan,

91
Perubahan Pola Permukiman (Deasy Widyastomo)

DAFTAR PUSTAKA Silas Johan. 1996. Housing Beyond Home, The


Agenda 21 Indonesia 1997. Strategi Nasional untuk Aspect of Resources and Sustainability,
Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FTSP-
Crowe N. 1977. Nature and the Idea of a Man Made ITS, Surabaya.
World : an Investigation into the Evolutionary Silas Johan. 1985. Perumahan dan Permukiman
Roots of Form and Order in the Build (Buku 1 dan 2), Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS,
Environment. The MIT Press. Cambridge. Surabaya.
Massachussets. Tipple, A.G 1992, Self Help Transformation to Low-
Data Penduduk Kampung Ifale, Kecamatan Sentani Cost Housing- Initial Impression of Cause,
Tahun 2009. Context and Value, Third World Planning,
Leyden, GAJ. Van Der Sande, 1907. Nova Guinea Review, Vol 14, No.2, PP-167-192.
Vol. III, Etnography and Anthropology. Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun
Maleong, Lexy J. 1997. Metodologi Penelitian 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,
Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Direktorat Jenderal Cipta Karya-DPU.
Rapoport Amos 1969. House Form and Culture, Waterson, Roxana 1993, The Living House, Oxford
Englewood Cliffs, Prentice Hall, New York. University Press, Oxford New York.
Rapoport, Amos, 1977. Human Aspect of Urban
Form. Pergamon Press.

92
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 93-99

KEPADATAN PENDUDUK DAN HUNIAN


BERPENGARUH TERHADAP KEMAMPUAN ADAPTASI PENDUDUK
DI LINGKUNGAN PERUMAHAN PADAT
(Population Density has Effected on the Inhabitants Adaptation
in the Densely Housing Environment)

Oleh : Heni Suhaeni


Pusat Litbang Permukiman
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393
Email : heni.puskim@yahoo.co.id
Diterima : 01 Desember 2010; Disetujui : 22 Juni 2011

Abstrak
Dalam kehidupan perkotaan pertambahan penduduk terus meningkat, sedangkan lahan perkotaan untuk
perumahan semakin sulit, mahal dan terbatas, maka penduduk perkotaan terpaksa tinggal di kawasan
perumahan yang kepadatannya terus bertambah. Adaptasi penduduk dapat diartikan sebagai usaha
menyesuaikan diri dengan kondisi fisik lingkungan perumahan yang serba terbatasi. Dalam kajian ini diteliti
mengenai pengaruh kepadatan penduduk terhadap adaptasi masyarakat pada lingkungan perumahan yang
memiliki kepadatan penduduk tinggi. Tujuan dari kajian ini untuk menemukan seberapa besar pengaruh
kepadatan penduduk yang tinggi terhadap adaptasi masyarakat dalam lingkungannya. Metode penelitian
ini dilakukan dengan cara menguji hipotesis melalui analisis regresi linier. Sumber data diperoleh melalui
pengumpulan data primer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan penduduk dan hunian yang
tinggi berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan manusia dalam beradaptasi dengan
lingkungannya, sehingga dalam batas-batas tertentu kondisi tersebut berpengaruh dalam mencapai
optimalisasi kehidupannya.
Kata Kunci : Kepadatan tinggi, pengaruh, adaptasi manusia, penduduk dan hunian

Abstract
Urban population growth increases continuously, while lands for housing are limited and expensive. Urban
citizens have no choice but to live in the residential areas where the population keeps increasing. Human
adaptation is the effort of an individual to adapt to the high population density of residential areas. This
study assesses the effects of high population density on human social adaptation in densely populated
residential areas. The objective of this research is to find out under which condition high population density
has negative effects on human behavior. Data is collected from 120 households who live in the areas with the
highest population density in Bandung. This research attempts to test a hypothesis through linear regression.
The result indicates that high population density significantly influences the ability of human adaptation in
their environment, so much so that in certain conditions it can restrict people to develop their lives optimally.
Keywords : High density, effect, human adaptation, population and dweller

PENDAHULUAN perkotaan tidak mempunyai pilihan selain tinggal


Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia, pada kawasan perumahan dimana kepadatan
sebagai shelter rumah merupakan tempat untuk penduduk dan bangunan terus meningkat.
berteduh dan berlindung. Secara sosial rumah Di sisi lain, penyediaan fasilitas umum, fasilitas
merupakan tempat pembinaan pertama sebuah sosial, dan utilitas tidak dibangun dengan standar
generasi, sehingga diamanatkan dalam Undang- yang sama untuk setiap kawasan perumahan.
undang Perumahan dan Permukiman No. 1 Tahun Sebagian kawasan perumahan minim dengan
2011, serta Undang-undang Hak Azazi Manusia No. fasilitas umum, fasilitas sosial dan utilitas. Keadaan
39 Tahun 1999, bahwa setiap warga negara berhak ini seringkali ditemukan pada kawasan perumahan
untuk bertempat tinggal dan menghuni rumah yang dihuni oleh kelompok masyarakat
serta berkehidupan yang layak. berpengahsilan menengah ke bawah. Sementara
Ketika jumlah penduduk perkotaan terus sebagian kawasan lainnya memiliki kelengkapan
bertambah dan lahan perkotaan untuk perumahan fasilitas umum, fasilitas sosial dan utilitas yang
semakin terbatas, mahal dan harus bersaing mencukupi untuk memenuhi fungsi beroperasinya
dengan berbagai penggunaan lainnya, penduduk suatu kawasan perumahan. Keadaan tersebut

93
Kepadatan Penduduk dan Hunian (Heni Suhaeni)

dapat ditemukan di kawasan perumahan yang Bojongloa Kaler dengan tingkat kepadatan
dihuni oleh kelompok masyarakat berpenghasilan penduduk tertinggi di Kota Bandung, yaitu 39.889
menengah ke atas. jiwa per km2 (BPS, 2009). Sedangkan kepadatan
penduduk di tingkat kelurahan mencapai 466
Kenyataan tersebut yang menjadikan penduduk
jiwa/ha (Profil Kelurahan Jamika, 2008).
perkotaan harus memilih atau adaptif dengan
fasilitas umum, fasilitas sosial dan utilitas yang Lokasi ini berada di radius 2 km pusat kota dan
tersedia seperti apa adanya. Padahal kapling pusat kegiatan ekonomi kota dengan kemudahan
tempat tinggal mereka pun terbatas. akses transportasi dari dan menuju berbagai
tempat tujuan.
Penduduk perkotaan adalah mereka yang
bertempat tinggal dan bekerja di wilayah Pengambilan sampel data didasarkan pada sistem
perkotaan. Pada umumnya mereka tinggal di proporsional sampel artinya jumlah sampel
kawasan perumahan yang kepadatan penduduk- diusahakan mewakili seluruh penduduk setempat,
nya tergolong tinggi dan cenderung terus mulai dari ketua RW, RT, dan masyarakat dengan
bertambah. penghasilan mulai dari berpenghasilan rendah,
menengah dan atas di kawasan perumahan
Hidup di perkotaan berarti berhadapan dengan
tersebut. Unit data yang dijadikan sampel
sejumlah ruang-ruang atau spasial yang semakin
penelitian adalah unit satuan rumah tangga dengan
terbatas. Disamping itu, setiap individu di
jumlah sebanyak 120 unit data.
perkotaan tampaknya wajib berusaha untuk
adaptif dengan kondisi ruang atau spasial yang Data dijaring berdasarkan kuesioner yang dapat
tidak selalu dibangun dan tersedia dengan sehat, mengukur sejumlah variabel, antara lain;
aman dan nyaman. - kepadatan penduduk di kawasan perumahan
dan jumlah penghuni setiap unit rumah tangga
Mengutip pernyataan Halim (2008) dan Gifford
- keberadaan setiap fungsi ruang dalam setiap
(2002) bahwa kepadatan dalam sebuah ruangan
unit rumah, seperti adanya ruang keluarga,
dapat membentuk persepsi orang merasakan
dapur, kamar tidur, kamar mandi, ventilasi
kesesakkan dan akhirnya menghasilkan perilaku
udara
yang agresif, sehingga fenomena yang seringkali
- lingkungan perumahan, seperti keberadaan
muncul adalah perilaku agresif, kriminal dan
halaman rumah, lebar jalan di depan rumah,
sejenisnya. Hal ini umumnya terjadi di kawasan
ruang terbuka, tempat bermain/berinteraksi
perumahan yang padat penduduk.
- karakteristik penghuni, seperti usia,
Oleh sebab itu menjadi perhatian besar dalam pendidikan, keadaan emosi, persepsi dan
penelitian ini; bagaimana seorang penduduk agresivitas penduduk yang diukur dalam
tinggal dan menyesuaikan diri dengan ruang bentuk keterlibatan dengan tawuran
tempat tinggalnya dalam kawasan perumahan
Pengolahan data dilakukan dengan SPSS
yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi
(Statistical Package for the Social Sciences) melalui
dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang
analisis faktor dan regresi linier. Analisis faktor
terbatasi.
digunakan untuk mereduksi variabel-variabel yang
Identifikasi Masalah diteliti sehingga lebih mudah dan sederhana dalam
Dalam penelitian ini hipotesa yang diajukan interpretasinya. Analisis regresi linear digunakan
sebagai berikut; untuk mengetahui besarnya pengaruh setiap
Ho: Kawasan perumahan dengan kepadatan variabel (faktor) terhadap variabel (faktor)
penduduk dan kepadatan hunian tinggi lainnya. Analisis regresi linier dapat mengukur
tidak berpengaruh terhadap adaptasi seberapa besar pengaruh kepadatan penduduk
penduduk. terhadap kemampuan adaptasi masyarakat di
H1: Kawasan perumahan dengan kepadatan kawasan perumahan dengan kepadatan penduduk
penduduk dan kepadatan hunian tinggi tinggi (Ratna, 2010).
berpengaruh terhadap adaptasi penduduk.
Adaptasi di Kawasan Perumahan Padat
Tujuan Penelitian Adaptasi adalah proses sosial dan strategi manusia
Tujuan dari kajian ini adalah menemukan seberapa untuk dapat menjalankan kehidupannya, sehingga
besar pengaruh kepadatan penduduk yang tinggi ia merasa perlu beradaptasi atau menyesuaikan
terhadap adaptasi penduduk dalam kawasan diri. Chaplin (1979) dan Evan (1996)
perumahan yang kepadatan penduduknya tinggi. mendefinisikan adaptasi sebagai usaha individu
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya
Metodologi Penelitian
agar dapat bertahan hidup. Dengan kata lain
Lokasi penelitian dilakukan di Kota Bandung tahun
adaptif berarti memberikan respon atau perilaku
2009 dengan lokasi yang dipilih adalah kecamatan

94
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 93-99

yang mendorong seseorang berinteraksi di Ketika ada (banyak) pilihan, manusia cenderung
lingkungannya secara lebih efisien dan nyaman akan memilih tempat tinggal yang dianggap lebih
sesuai dengan kondisi, aturan atau norma umum menguntungkan dan memberikan kemudahan
yang berlaku di lingkungan tersebut. dalam menjalankan hidupnya. Seperti juga
dikemukakan oleh Mehlomakulu dan Marais
Gifford (2002) menyebutkan terdapat dua
(1999) bahwa model perumahan yang
komponen yang perlu digarisbawahi dalam
memberikan kemudahan akses terhadap tempat
adaptasi, yaitu;
bekerja, pelayanan umum, pelayanan sosial serta
- kemampuan dalam diri individu itu sendiri
amenitis akan selalu menjadi pilihan pertama,
untuk beradaptasi dengan lingkungan (faktor
sedangkan penampilan dan kondisi fisik rumah
internal),
menjadi pilihan berikutnya setelah pilihan pertama
- lingkungan sekitarnya yang mendukung dan
terpenuhi.
mempermudah seseorang untuk beradaptasi
(faktor eksternal). Hasan (2010) menambahkan bahwa kawasan
perumahan dengan kepadatan tinggi sebenarnya
Kepadatan (density) adalah ukuran obyektif yang
tidak akan menjadi masalah bagi penduduknya
ditunjukkan dalam ukuran jumlah penduduk per
apabila prasarana dan sarana perumahan tersedia
satu unit area, contohnya 100 jiwa per ha. Ukuran
dan mampu mendukung kehidupannya.
kepadatan penduduk dalam suatu area dapat
menunjukkan satu indikator apakah sebuah area Hasil penelitian Chan (1978) yang pernah
masih memadai dan nyaman untuk ditempati, dilakukan di Hongkong juga menunjukkan bahwa
sehingga manusia mampu menjalankan kehidupan kepadatan tinggi terbukti hanya dapat
secara efisien. Sedangkan kesesakkan (crowded) berpengaruh terhadap kehidupan hewan, tetapi
adalah pengalaman subyektif manusia ketika tidak ada bukti kepadatan dan kesesakkan
berada di sekitar atau ditengah-tengah sejumlah berpengaruh terhadap kehidupan manusia dengan
orang-orang dalam waktu yang bersifat sementara standar ruang yang berlaku di Hongkong sebesar
atau sesaat. 10 m2/jiwa atau 35 feet per kapita. Dijelaskan lebih
lanjut, bahwa kehidupan di Hongkong yang sudah
Secara subyektif, adaptasi penduduk di kawasan
penuh sesak dengan kepadatan penduduk yang
perumahan kepadatan penduduk tinggi banyak
tinggi, penduduknya masih dapat memanfaatkan
dipengaruhi oleh komponen-komponen yang ada
fasilitas umum, fasilitas sosial, dan utilitas yang
dalam diri penduduk itu sendiri (Gifford, 2002),
tersedia sebagai sarana dan prasarana yang
contohnya persepsi dan emosi seseorang terhadap
mendukung aktivitasnya, karena secara finansial,
keadaan kawasan perumahan kepadatan tinggi.
kehidupan ekonomi keluarga relatif tercukupi.
Secara obyektif, adaptasi dipengaruhi oleh ratio
Hal ini berbeda dengan penduduk yang tinggal
jumlah penghuni terhadap luas bangunan rumah
pada kawasan perumahan kepadatan tinggi di
ditambah susunan ruang dalam bangunan itu
perumahan horizontal yang berada di negara-
sendiri.
negara sedang berkembang. Fasilitas umum,
Menurut Gifford (2002), intervensi arsitek, fasilitas sosial, dan utilitas serba terbatas dan
disainer atau pengguna bangunan diperlukan masih harus diperjuangkan.
untuk menata dan menjadikan bangunan tempat
Merujuk pada konsep dasar yang dikemukakan
tinggal dalam batas standar minimal yang aman
oleh Halim (2008) bahwa kawasan perumahan
dan nyaman untuk ditempati, karena pada
yang berkepadatan tinggi dapat mempengaruhi
dasarnya semua mahluk hidup memerlukan ruang
perilaku penduduknya, contohnya kawasan
minimal untuk proses menjalankan kehidupannya.
perumahan dengan kepadatan tinggi di Jakarta
Sebuah unit tempat tinggal, atau kapling rumah
cenderung sering melahirkan terjadinya
adalah batas teritorial yang dapat melindungi rasa
perkelahian antar warga. Hal tersebut diduga
aman atas keberadaan seorang penduduk.
karena secara alami berbagai tekanan hidup yang
Untuk dapat mengukur kemampuan beradaptasi, menumpuk perlu dinetralisir melalui aktivitas
perlu diidentifikasi terlebih dulu apakah penduduk rekreasi atau berinteraksi dengan penduduk
memiliki pilihan lain yang lebih baik, sehingga dia lainnya untuk sekedar melupakan sesaat tekanan
mempunyai kesempatan untuk mencari tempat hidup. Ketiadaan media atau ruang untuk
lain yang sesuai dengan kebutuhan ruang untuk berinteraksi dengan warga lainnya berakibat pada
dirinya, ataukah tidak memiliki pilihan lain, tekanan persoalan yang semakin menumpuk dan
sehingga dia berusaha menyesuaikan diri apa terakumulasikan, sehingga dalam kondisi tertentu
adanya, agar mampu bertahan dan menjalankan tekanan-tekanan tersebut dapat menjadi pemicu
kehidupannya. terjadinya perselisihan antar warga, atau penjadi

95
Kepadatan Penduduk dan Hunian (Heni Suhaeni)

pemicu perilaku yang cenderung agresif (Halim, Pada tabel 2 faktor eksternal adaptasi penduduk
2008 dan Gifford, 2002). yang terdiri atas sejumlah variabel memiliki nilai
faktor > 0.65. Hal ini juga mengindikasikan bahwa
Hasil Pengolahan dan Analisis Data
nilai-nilai faktor tersebut cukup signifikan.
Pengolahan dan analisis data dilakukan melalui
faktor analisis, yaitu menganalisis faktor internal Pada langkah berikutnya, analisis data dilakukan
individu dalam beradaptasi (tabel 1), dan faktor melalui analisis regresi linier. Analisis regresi linier
eksternal yang mempermudah adaptasi (tabel 2). dilakukan untuk menguji hipotesa terkait dengan
Faktor internal individu yang mencakup 4 faktor, kemampuan adaptasi manusia yang dipengaruhi
yaitu karakteristik penduduk, persepsi tentang oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Dengan
kenyamanan, keadaan emosi, dan keterlibatan menggunakan tingkat kepercayaan 95% dan nilai
dengan tawuran antar warga (lihat tabel 1). koefisien korelasi sebesar 0.05 yang berada pada
area tolak hipotesa. Dengan demikian, hipotesa ho
Tabel 1 Faktor Internal Kemampuan Adaptasi Penduduk
ditolak dan hi diterima, artinya kawasan
Kawasan Perumahan Padat
perumahan dengan kepadatan penduduk dan
Faktorial Adaptasi Internal Nilai Faktor kepadatan hunian tinggi berpengaruh terhadap
1. Karakteristik Penduduk adaptasi penduduknya (lihat tabel 3).
- Umur 0.864
- Lama Tinggal 0.804 Secara rinci, hasil analisis regresi linier
- Tingkat Pendidikan 0.644 menjelaskan bahwa ada 3 faktor utama dalam diri
2. Persepsi Kenyamanan
- Merasa Nyaman 0.849
penduduk yang berpengaruh dalam beradaptasi
- Merasa Terakomodasi 0.839 dengan lingkungannya, yaitu persepsi subyektif
3. Keadaan Emosi tentang ukuran kenyamanan tempat tinggal,
- Rasa Kesal 0.799 keadaan emosi dan jumlah anggota keluarga serta
- Perselisihan 0.762
4. Tawuran Warga
keterlibatan anggota keluarga pada tawuran antar
- Jumlah ART 0.815 warga (lihat tabel 3).
- Ikut Tawuran 0.649
Sumber: Hasil Analisis Faktor, 2010
Sementara faktor eksternal kawasan perumahan
yang memudahkan penduduk beradaptasi
Pada tabel 1 faktor internal adaptasi penduduk dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu;
yang terdiri atas sejumlah variabel memiliki nilai wilayah teritorial keluarga, fungsi ruang dalam
faktor > 0.64. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai- rumah, fasilitas umum, halaman & lebar jalan yang
nilai faktor tersebut cukup signifikan. berada di depan rumahnya (lihat tabel 3).
Hasil analisis faktor pada faktor eksternal yang Tabel 3 Korelasi Faktor Eksternal dan Internal Adaptasi
mendukung dan mempermudah dalam adaptasi di di Kawasan Perumahan Padat
kawasan perumahan padat mencakup 4 faktor, Faktor Eksternal
Fungsi Ruang

yaitu; wilayah teritorial keluarga, fungsi ruang


Dlm Rumah

Halaman &
lebar jalan
Terirotial
Keluarga

Fasilitas
Wilayah

umum
dalam rumah, fasilitas umum, halaman rumah dan
lebar jalan lingkungan (lihat tabel 2).
Faktor Internal
Tabel 2 Faktor Ekstenal Adaptasi di Kawasan
Perumahan Kepadatan Tinggi 1 2 3 4
1. Karakteristik Penduduk (t)
Faktorial Adaptasi Eksternal Nilai Faktor (sig) (*) (*) (*) (*)
2. Persepsi Kenyamanan (t) 0.45 0.39 0.15 (*)
1. Wilayah Teritorial Keluarga
(sig) (0,0) (0.0) (0.5)
- Luas Kapling 0.959
3. Keadaan Emosi (t) (*) 0.24 (*) 0.25
- Luas Bangunan Rumah 0.953
(sig) (0.1) (0.1)
2. Fungsi Ruang Dalam Rumah
4. Penduduk & Tawuran (t) (*) (*) -0.18 (*)
- Ruang Keluarga 0.857
(sig) (0.5)
- Dapur 0.841
- Ruang Tidur 0.839 Sumber: Hasil Analisis Regresi Linier 2010
- Kamar Mandi 0.837 (*) tidak ada korelasi/pengaruh
- Ventilasi Udara 0.772 (t) nilai korelasi (sig) signifikan
- Kepadatan Hunian 0.655
3. Fasilitas Umum
Tabel 3 diatas menjelaskan bahwa empat faktor
- Tempat Bermain Anak 0.875 eksternal, yaitu wilayah teritorial keluarga,
- Tempat Kumpul Warga 0.857 keberadaan ruang dalam rumah, fasilitas umum,
- Ruang Serba Guna 0.810 serta halaman & lebar jalan yang berada di depan
4. Halaman & Lebar Jalan
- Luas Halaman Rumah 0.765
rumah berpengaruh terhadap persepsi tentang
- Lebar Jalan -0.703 kenyamanan tinggal, keadaan emosi, dan
Sumber: Hasil Analisis Faktor 2010 keterkaitan anggota keluarga dalam tawuran antar
warga.

96
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 93-99

Apabila dilihat dari nilai koefisien korelasi terhadap ruang gerak penduduk yang semakin
pengaruh kepadatan terhadap adaptasi manusia terbatasi atau terkekang.
relatif masih kecil (ringan), tetapi tingkat
Faktor lain terkait ketersediaan fasilitas umum
kepercayaannya 95% tergolong tinggi, artinya
yang berpengaruh terhadap keterlibatan anggota
kondisi fisik yang telah mencapai kepadatan
keluarga dalam tawuran antar warga, berdasarkan
tertentu atau faktor eksternal kawasan
analisis regresi linier menunjukkan pengaruhnya
berpengaruh terhadap adaptasi manusia.
berbanding terbalik, artinya semakin minim
Faktor pertama terkait dengan wilayah teritorial keberadaan fasilitas umum semakin tinggi
keluarga, yaitu luas kapling dan bangunan rumah frekuensi anggota keluarga yang terlibat dalam
berpengaruh terhadap kenyamanan bertempat tawuran antar warga. Sebaliknya, semakin optimal
tinggal. Dalam kondisi ruang-ruang yang serba fasilitas umum yang tersedia, semakin kecil
terbatas, yaitu rata-rata luas kapling hanya 54,4 m2 penduduk yang ikut terlibat dalam tawuran.
dan luas bangunan rumah rata-rata 51,8 m2. Range
Seseorang bisa terlibat dalam tawuran merupakan
luas kapling dan bangunan rumah bervariasi
cermin dari ketidakpuasan, kekesalan dan keadaan
antara 5-300 m2, rata-rata dihuni oleh 5-6 jiwa,
emosi yang tidak terselesaikan yang mendorong
akan tetapi jumlah maksimal penghuni rumah
seseorang menjadi reaktif atau agresif, sehingga
mencapai >10 orang, serta sebesar 65% tempat
terlibat dan masuk dalam arena tawuran. Dalam
tinggal tidak memiliki halaman rumah. Dengan
penelitian ini diperoleh gambaran bahwa pada
kondisi penataan ruang yang tidak tertata dengan
keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang
baik. Sedangkan rata-rata kepadatan penduduk di
lebih banyak, cenderung sering terlibat dalam
tingkat kelurahan tercatat mencapai 466 jiwa per
tawuran antar warga.
ha.
Lebih jauh dapat digambarkan bahwa dengan
Kondisi tersebut tampaknya sulit bagi penduduk
tingkat kepadatan di lokasi sudah mencapai 466
untuk menemukan ruang yang dapat berfungsi
jiwa/ha, kondisi ruang tersebut sudah mencapai
sebagai tempat tinggal yang nyaman, karena
kepadatan tinggi. Secara fisik, seorang individu
ukuran yang terlalu kecil untuk dapat menampung
akan merasakan peran, aktivitas dan eksistensinya
anggota keluarganya.
dalam keluarga atau masyarakat tidak dapat
Faktor kedua, yaitu ketersediaan ruang-ruang berlangsung sama sekali, karena keterbatasan
dalam rumah berpengaruh terhadap kenyamanan ruang. Contohnya, peran orang tua dalam
dan kondisi emosi tinggal di kawasan kepadatan mengajarkan, berbagi pengalaman dan bercerita
tinggi. Apabila dalam setiap rumah memiliki fungsi dengan anak-anaknya, atau peran anak yang ingin
ruang-ruang yang memadai dan mampu mendapatkan perhatian dari orang tuanya dalam
mengakomodasi batas minimal kebutuhan ruang kebersamaan, karena ruang yang terbatas, maka
setiap anggota keluarga, maka akan untuk dapat berkumpul dalam waktu dan ruang
mempermudah penghuninya untuk berinteraksi yang sama tidak terpenuhi.
dengan lingkungannya. Sebaliknya, apabila fungsi
Semakin luas kapling rumah yang dimiliki
ruang-ruang dalam setiap unit tempat tinggal tidak
sebenarnya memungkinkan terciptanya ruang-
terpenuhi, dan kebutuhan ruang untuk bergerak
ruang yang berfungsi untuk mengakomodasi
tidak terakomodasi, maka akan menghambat
kebutuhan dasar ruang untuk peran dan aktivitas
penghuni rumah untuk beraktivitas dan
keluarganya. Sebaliknya pada kepadatan hunian
beradaptasi dengan lingkungan fisik yang serba
tinggi sulit untuk dapat mengakomodasi
terbatas. Sebagai akibatnya, apabila ruang gerak
kebutuhan ruang untuk keluarganya.
untuk melakukan aktivitas dasar manusia
terbatasi, bentuk-bentuk perilaku yang muncul Faktor keempat yaitu keberadaan halaman rumah
adalah reaksi emosional atau agresivitas. dan lebar jalan berpengaruh terhadap keadaan
emosi penduduk. Hasil uji hipotesis melalui analisis
Faktor ketiga, adalah ketersediaan fasilitas umum
regresi linier menunjukkan keadaan emosi
berpengaruh terhadap kenyamanan, dan terhadap
seseorang dipengaruhi oleh ketersediaan fungsi-
kebutuhan ruang setiap anggota keluarga. Fasilitas
fungsi ruang dalam rumah, halaman rumah dan
umum, atau ruang-ruang terbuka yang berada di
lebar jalan yang berada di depan rumahnya.
luar rumah sebenarnya dapat dijadikan arena
untuk tempat bermain dan berinteraksi dengan Ketika jarak satu unit rumah dengan unit rumah
tetangga di lingkungannya, atau untuk sekedar lainnya saling berhimpitan tanpa halaman rumah,
menetralisir kejenuhan dan tekanan hidup yang maka hampir semua kehidupan tetangga sebelah
terkurung di dalam tempat tinggal yang serba atau tetangga di depan rumahnya dapat teramati.
terbatas sepanjang hari dalam hidupnya. Ketidak Segala kejadian dalam kehidupan rumah tangga
tersediaan fasilitas umum yang memadai berakibat menjadikan bagian dari kehidupan tetangganya.

97
Kepadatan Penduduk dan Hunian (Heni Suhaeni)

Sebaliknya, semua kejadian dalam rumah tangga - Halaman rumah dan lebar jalan yang berada
tetangganya teramati dan menjadi bagian dari didepan rumahnya sebagai pengganti ruang
kehidupan dirinya. terbuka dan dapat berfungsi sebagai tempat
berinteraksi.
Oleh sebab itu, dapat dipahami keadaan emosi
seseorang yang tinggal di kawasan padat kalau Keempat faktor tersebut berpengaruh terhadap
tidak menurunkan sensitivitasnya, tidak selektif, kemampuan adaptasi manusia pada kawasan
tidak peduli, maka dia akan merasa mudah lelah, perumahan padat. Walaupun nilai koefisien
mudah kesal, mudah marah atau merasa tidak korelasi antar variabel yang berpengaruh relatif
berdaya, karena dia tidak mempunyai kesempatan kecil, tetapi signifikan pada tingkat kepercayaan
untuk istirahat sejenak, memiliki privasi sendiri 95%, artinya ada pengaruh kepadatan penduduk
untuk melindungi perasaan dirinya, sehingga dan hunian terhadap kemampuan adaptasi
energi seseorang cenderung akan terkuras tidak penduduk dengan lingkungan sekitarnya.
efisien dan tidak produktif.
Saran
Dalam kondisi tersebut, prioritas utama yang Hasil penelitian ini memberikan masukan-
terpikir dalam hidup mereka yang bermukim di masukan yang dapat bermanfaat bagi kepentingan
kawasan padat adalah mengharapkan perhatian penyediaan perumahan di perkotaan, masukan-
pengelola kota untuk menanganinya, karena masukan tersebut antara lain;
sebenarnya kebutuhan untuk menjalankan 1. Pertimbangan penanganan kawasan
kehidupan dalam tata ruang yang sehat dan aman perumahan padat, tidak cukup hanya dengan
dibutuhkan oleh mereka agar dapat menjadi mengendalikan tingkat kepadatan penduduk
manusia yang lebih berperan, berdaya, dan saja, tetapi sangat penting diusahakan agar
produktif. ketersediaan fasilitas umum berupa tempat
bermain atau tempat kumpul warga memiliki
Dari hasil penelitian ini melalui uji hipotesis faktor
peran strategis dalam kehidupan penduduk
karakteristik penduduk yang mencakup variabel
perkotaan, terutama pada kawasan
umur, pendidikan dan lamanya tinggal, ternyata
perumahan yang kepadatannya terus
tidak ada pengaruhnya terhadap adaptasi
meningkat, karena minimnya fasilitas umum
penduduk di lingkungan kawasan perumahan
berpengaruh terhadap kehidupan sosial
padat. Hal ini diduga karena ketika faktor eksternal
penduduk.
atau kebutuhan fisik dasar minimal tidak
2. Pembangunan prasarana dan sarana
terpenuhi, tidak terakomodasi dan tidak
perumahan sebaiknya menjadi prioritas utama
terpuaskan, maka kapasitas intelektual, pendidikan
Pemerintah Kota, karena dengan demikian
dan pengalaman tidak dapat dimanfaatkan secara
dapat mencegah dan mengendalikan kondisi
efisien.
perumahan bagi penduduk perkotaan.
3. Sebagai saran untuk penelitian berikutnya,
KESIMPULAN DAN SARAN terkait dengan kepadatan penduduk tinggi
Kesimpulan yang berpengaruh terhadap adaptasi manusia,
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan maka perlu dilakukan penelitian yang serupa
penduduk dan hunian pada kawasan perumahan di lokasi kota-kota lainnya yang berbeda,
padat berpengaruh secara signifikan terhadap sehingga dapat memperoleh gambaran yang
kemampuan adaptasi penduduk dengan lebih lengkap dan representatif tentang
lingkungan sekitarnya. kawasan kepadatan tinggi yang berpengaruh
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terhadap adaptasi atau perilaku penduduknya.
kemampuan adaptasi penduduk dengan lingkungan 4. Penelitian ini menggunakan analisis faktor
sekitarnya pada kawasan perumahan padat, adalah : yang digunakan untuk mengolah data dalam
- Wilayah teritorial keluarga, dalam hal ini jumlah besar, yaitu sepuluh kali lipat jumlah
adalah luas kapling rumah dan luas bangunan variabel yang diukur. Oleh sebab itu, sebagai
rumah. saran penelitian berikutnya akan sangat
- Keberadaan fungsi-fungsi ruang yang ada mendukung apabila jumlah sampel yang
dalam setiap bangunan rumah dan dapat digunakan lebih banyak lagi daripada yang
mengakomodasi kebutuhan dasar ruang. sudah dilakukan terhadap 120 rumah tangga.
- Fasilitas umum, berupa ruang terbuka tempat
bermain, tempat kumpul warga, atau ruang DAFTAR PUSTAKA
serba guna yang intinya berfungsi untuk -----------, 2008, Profil Kelurahan Jamika 2008,
berinteraksi dengan anggota atau warga lain Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa
sekitarnya. Kaler, Bandung.

98
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 93-99

-----------, 2009. Bandung Dalam Angka 2009. Badan Hasan A., 2010. High-Density Housing that Works
Pusat Statistik Kota Bandung. for All. International Institute for Environment
Chan, Y.K., 1979. Life Satisfaction In Crowded Urban and Development. London
Environment. Social Research Center. the www.urbandensity.org
Chinese University of Hong Kong. Jatnika, Ratna. 2010. Konsep dan Teori Dasar
Chaplin, J.P., 1979. Dictionary of Psychology. edisi Analisis Perhitungan Kebutuhan Rumah,
keempat, New York, USA. disampaikan dalam Diskusi Teknik di Pusat
Evans, D., 1996. An Introductory Dictionary of Penelitian dan Pengembangan Permukiman,
Lacanian Psychoanalysis. Routledge. London. Bandung.
Gifford, R., 2002. Environmentas Psychology Mehlomakulu, T. dan Marais, L., 1999. Dweller
Principle and Practice. edisi ketiga. Optimal Perception of Public and Self-Built Houses;
Books, Canada. some Evidence from Mangaung (Bloemfontein),
Halim, D.K., 2008. Psikologi Lingkungan Perkotaan. Journal of Family Ecology and Consumer
Bumi Aksara. Jakarta Timur. Sciences. vol 27: No. 2.

99
Peningkatan Layanan Institusi (Agus Sarwono)

PENINGKATAN LAYANAN INSTITUSI PEMADAM KEBAKARAN


MELALUI PENERAPAN RENCANA INDUK KEBAKARAN (RIK)
Studi Kasus : Kota Pontianak Kalimantan Barat
(Service Improvement of Fire Department Through the Implementation
of Fire Urban Master Plan, Case Study of Pontianak, West Kalimantan)

Oleh: Agus Sarwono


Pusat Litbang Permukiman
Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan Kabupaten Bandung 40393
Email: sarwonoags60@yahoo.com
Diterima : 18 Agustus 2009; Disetujui : 04 April 2011
Abstrak
Rencana Induk Kebakaran (RIK) merupakan acuan yang digunakan untuk kurun waktu 5 - 10 tahun ke
depan sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) yang berlaku. Bagaimana Model RIK yang
yang tepat untuk Kota Pontianak terkait dengan upaya peningkatan kemampuan Institusi Pemadam
Kebakaran Kota Pontianak dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya
kebakaran akan dikaji dalam tulisan ini. Kemampuan institusi kebakaran untuk merespon secara memadai
panggilan kebakaran jamak dan serentak terkendala oleh peningkatan kapasitas antara lain tidak
dimungkinkannya mutual aid dan automatic aid karena pos, mobil dan personil kebakaran yang terbatas.
Kajian sesuai metode Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK) untuk Kota Pontianak mempunyai tingkat
resiko kebakaran yang tinggi dikarenakan berlahan gambut dan berada di garis khatulistiwa dengan luas
wilayah 107,82 km2 dan berpenduduk 482.622 jiwa, dengan kebutuhan ideal pelayanan Institusi Pemadam
Kebakaran adalah 1.200 personil, 50 unit mobil pemadam, 17 pos pemadam kebakaran dan berdasarkan
kondisi batas alami Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK) Kota Pontianak dibagi dalam 4 zona.
Kata Kunci : RIK, WMK, Pos Kebakaran, Institusi Pemadam Kebakaran, Kota Pontianak

Abstract
Fire Urban Masterplan (FUM) is a reference that will be used for 5-10 years ahead according to RTRW. This
study tries to identify the exact RIK model for Pontianak city related to the efforts to increase the capability
of Fire Department to prevent and anticipate the danger of fire. The capability of Fire Department to respond
to multiple and simultaneous fire reports is constrained by increasing capacity; it is impossible for mutual
and automatic aid because of limited fire stations, fire trucks, and personnel. According to Fire Management
Area (FMA) research method, the research on Pontianak city shows that the city has high level of fire risk due
to domination of gambut land and equatorial position. With an area of 107,82 square km and a population of
482.622, the necessity ideal for reliable Fire Department service consists of 1200 personel, 50 fire trucks, and
17 fire stations. Based on natural border conditions, the Fire Management Area of Pontianak is divided into
four zones.
Keywords : FUM, FMA, Fire Post, Fire Department, Pontianak City

PENDAHULUAN bahaya kebakaran, pemberdayaan masyarakat


Latar Belakang (Bantuan Teknis/ BANTEK & Pembinaan Teknis/
Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran Kota BINTEK) dan penegakkan PERDA. RISPK terdiri
(RISPK) pada prinsipnya terdiri atas dua hal dari layanan pemadaman dan penyelamatan
mendasar, yakni Rencana Sistem Pencegahan bencana di kabupaten/ kota.
Kebakaran (RSCK) dan Rencana Sistem RISPK ini merupakan revisi dari peraturan lama
Penanggulangan Kebakaran (RSPK). Jadi RISPK yakni Kepmeneg Pekerjaan Umum No.
adalah Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran 11/KPTS/2000. Pada kajian ini masih digunakan
(RISPK) menurut acuan terbaru yakni Permen PU peraturan lama, berdasarkan kajian saat itu di
No. 25/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Pontianak dikenal sebagai RIK dan belum RISPK.
Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi
Kebakaran. RISPK merupakan acuan yang Kota Pontianak merupakan Ibukota Provinsi
digunakan untuk kurun waktu sesuai dengan Kalimantan Barat dengan luas 107,82 km2,
RTRW yang berlaku. RISCK terdiri dari layanan berpenduduk 482.622 jiwa, terbagi atas 5
pemeriksaan keandalan bangunan terhadap kecamatan. Seiring perkembangan kota, yang

100
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 100-107

ditandai dengan semakin padatnya jumlah TINJAUAN TEORITIS


penduduk dan juga pemanfaatan lahan yang makin Dasar Hukum
meningkat, tingkat kerawanan akan bahaya Penanganan pencegahan kebakaran telah diatur
kebakaran pun makin meningkat. Oleh sebab itu, dengan sejumlah peraturan, antara lain untuk
dituntut adanya pelayanan pencegahan dan masalah bangunan gedung terdapat Undang-
penanggulangan kebakaran yang baik. undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan
Untuk mengatasi bahaya kebakaran yang ada, saat Gedung dan Peraturan Pemerintah No. 36 tahun
ini di Kota Pontianak belum terdapat Dinas 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UUBG.
Kebakaran, tetapi baru Sub Dinas Kebakaran Penanganan penanggulangan kebakaran mengacu
dengan dibantu sejumlah Badan Pemadam RTRW dan Kepmeneg Pekerjaan Umum No.
Kebakaran swasta, seperti BPA Siantan (BPAS), 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis
Panca Bhakti, Budi Pekerti dan Katulistiwa. Manajemen Penanggulangan Kebakaran di
Perkotaan.
Permasalahan
Melihat potensi bahaya kebakaran Kota Pontianak Rencana Induk Kebakaran
(RIK) / RISPK
dan juga kemungkinan pesatnya pertumbuhan kota
yang berarti juga timbulnya kenaikkan tingkat
UUBG KEPMENEG
resiko kebakaran Kota Pontianak, perlu dipikirkan 28/2002 11/2000
bagaimana model RIK yang tepat untuk Kota RISCK RISPK
Pontianak terkait dengan upaya peningkatan PP36/
RTRW
kemampuan Institusi Pemadam Kebakaran Kota 2005
Kota
Pontianak
Pontianak dalam melakukan pencegahan dan
penanggulangan terhadap bahaya kebakaran yang Peraturan
lain terkait
ada. Khusus mengenai persoalan penanggulangan Peraturan lain
terkait
kebakaran, sangat terkait dengan permasalahan
kapasitas dan kapabilitas institusi kebakaran. Gambar 1 Cakupan dan Dasar Hukum RIK/ RISPK
Kapasitas merupakan kemampuan institusi Sumber: Hasil Analisis Tim Peneliti KBK Sains
kebakaran untuk merespon secara memadai
panggilan kebakaran jamak dan serentak. Kendala Karakteristik Wilayah Kota Pontianak
peningkatan kapasitas antara lain: tidak Kota Pontianak, merupakan ibukota Provinsi
dimungkinkannya mutual aid dan automatic aid Kalimantan Barat dengan luas 107,82 km2 dengan
karena pos, mobil dan personil kebakaran yang penduduk 482.622 jiwa dan tepat pada lintasan
terbatas. garis khatulistiwa pada 0o0224 Lintang Utara
sampai dengan 0o0537 Lintang Selatan dan
Kapabilitas merupakan kemampuan institusi 109o1625 Bujur Timur sampai dengan
kebakaran (personil dan peralatan) dalam waktu 109o2301 Bujur Timur. Ketinggian Kota
singkat melakukan rescue dan mengendalikan Pontianak berkisar antara 0,10 meter sampai 1,50
kebakaran. Kendala peningkatan kapabilitas antara meter diatas permukaan laut. Terdiri dari 5 (lima)
lain jumlah pos kurang, kemacetan, permukiman kecamatan dan terbagi menjadi 24 kelurahan, 403
padat, dll. Rukun Warga (RW) dan 1.800 Rukun Tetangga
Model RIK di sini menyangkut : a. bagaimana (RT). Kelima kecamatan tersebut adalah :
Kecamatan Pontianak Selatan (29,37 Ha/ 27,24 %),
sinergi antara peran pemerintah (dalam hal ini
Kecamatan Pontianak Timur (8,78 Ha/ 8,14 %),
Institusi Pemadam Kebakaran) dikaitkan dengan
peran swasta (misal asuransi) dan masyarakat Kecamatan Pontianak Barat (22,11/ 20,51 %),
(permukiman dan bangunan gedung), b. Kecamatan Pontianak Kota (10,34 Ha/ 9,59 %) dan
Kecamatan Pontianak Utara (37,22 Ha/ 34,52 %).
bagaimana spesifikasi teknis sarana dan prasarana
dan susunan pos kebakaran terkait dengan Seiring perkembangan kota yang ditandai dengan
kebutuhan peningkatan kapasitas dan kapabilitas semakin padatnya jumlah penduduk dan juga
tersebut. pemanfaatan lahan yang makin meningkat, tingkat
kerawanan akan bahaya kebakaran pun makin
Tujuan Kajian
Tujuan kajian ini adalah untuk mewujudkan meningkat. Oleh sebab itu, dituntut adanya
pelayanan pemadam kebakaran yang baik.
keselamatan kebakaran di kota Pontianak melalui
aplikasi RIK dalam menunjang peningkatan kinerja Frekuensi Peristiwa Kebakaran
instansi pemadam kebakaran Kota Pontianak serta Menurut institusi kebakaran Kota Pontianak,
tertib pembangunan dan keandalan bangunan frekuensi kebakaran yang terjadi adalah : tahun
gedung dan lingkungan, khususnya dari ancaman 2001 sebanyak 57 kali (penyebab listrik 36 kali,
bahaya kebakaran. lain-lain 11 kali), tahun 2002 sebanyak 62 kali

101
Peningkatan Layanan Institusi (Agus Sarwono)

(listrik 57 kali), tahun 2003 39 kali (listrik 32 kali), Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK)
tahun 2004 sebanyak 62 kali (listrik 57) dan tahun WMK dibentuk oleh pengelompokan hunian yang
2005 sebanyak 42 kali (listrik 39 kali). Obyek yang memiliki kesamaan kebutuhan proteksi kebakaran
terbakar tahun 2001 adalah rumah/ ruko 72 buah, dalam batas wilayah yang ditentukan secara
hotel/ penginapan 1 buah, gudang/ pabrik 4 buah, alamiah maupun buatan. Wilayah manajemen
kantor 4 buah, lahan gambut 10 tempat. Tahun kebakaran ditentukan pula oleh waktu tanggap
2002 rumah/ ruko 30 buah, hotel/ penginapan 2 dari pos pemadam kebakaran yang terdekat,
buah, gudang/ pabrik 8 buah, kantor 2 buah, lahan apabila pemberitahuan kebakaran mengalami
gambut 9 tempat, lain-lain 3 buah. Tahun 2003 perubahan dan pos-pos pemadam kebakaran harus
rumah/ ruko 26 buah, gudang/ pabrik 3 buah, memberikan respon terhadap pemberitahuan
kantor 3 buah, lain-lain 6 buah. Tahun 2004 tersebut dikaitkan dengan jarak atau aksesibilitas,
rumah/ ruko 37 buah, hotel/ penginapan 1 buah, maka perencanaan wilayah manajemen kebakaran
gudang/ pabrik 7 buah, kantor 5 buah, lahan pun harus disesuaikan dengan perubahan tersebut.
gambut 9 tempat, lain-lain 3 buah. Terdapat
Daerah layanan dalam setiap WMK tidak melebihi
korban meninggal dunia 3 dan luka-luka 1. Tahun
dari radius 7,5 km, di luar daerah tersebut
2005 rumah/ ruko 73 buah, gudang/ pabrik 6
dikategorikan sebagai daerah yang tidak
buah, kantor 5 buah, lahan gambut 4 tempat, lain-
terlindungi (unprotected area), untuk daerah yang
lain 10 buah. Terdapat korban meninggal dunia 3
sudah terbangun harus mendapat perlindungan
dan luka-luka 1
oleh mobil kebakaran yang pos terdekatnya berada
Kapasitas Instansi Pemadam Kebakaran dalam jarak 2,5 km dan berjarak 3,5 km dari
Kota Pontianak memiliki sebuah institusi sektor. Berdasarkan unsur-unsur diatas,
kebakaran kota dengan sejumlah yayasan selanjutnya dibuat peta jangkauan layanan
pemadam swasta. Untuk mengatasi bahaya penanggulangan kebakaran secara rinci yang
kebakaran yang ada, saat ini Kota Pontianak belum menunjukkan lokasi dari setiap pos pemadam di
terdapat Dinas Kebakaran, tetapi baru SubDin dalam wilayah tersebut. Perlu diperhatikan bahwa
Bidang Kebakaran dengan dibantu sejumlah Badan peta jangkauan layanan proteksi kebakaran
Pemadam Kebakaran Swasta, seperti BPA Siantan tersebut secara geografis bisa kurang tepat,
(BPAS), Panca Bhakti, Budi Pekerti dan Katulistiwa. mengingat adanya jalan yang melingkar, sungai,
bukit-bukit dan batas-batas fisik lainnya.
Tabel 1 Kapasitas Instansi Kebakaran Kota Pontianak
No. Keterangan Alamat Fasilitas METODOLOGI
1. SubDin. Jalan 3 unit mobil tangki, 1 Sebagai panduan dalam pelaksanaan kegiatan
Bidang Merdeka portable, 2 fire jip, 1 mesin penyusunan Rencana Induk Kebakaran (RIK) Kota
Kebakaran Timur apung
2. BPA. Siantan Jalan ST. 2 unit mobil tangki, 3 unit
Pontianak diperlukan kerangka berpikir yang
(didirikan Machmud pick up/ operasional, 17 merupakan suatu alur dari proses perencanaan
tahun 1949) mesin, 12 nozzle, 120 buah melalui tahap-tahap kegiatan yang terencana dan
selang, dll. sistematis guna mencapai sasaran yang diinginkan.
3. Panca Bhakti Jalan 3 unit mobil tangki (5000
(sudah 30 Suprapto liter), 2 mobil tangga (20
Dalam perumusan kerangka berpikir dari proses
tahun) m), 4 mobil operasional, 7 penyusunan RIK Kota Pontianak, cakupan akan
mesin pompa portable, 4 diliput seperti tertera pada gambar 2, yang pada
mesin gerobak, 80 roll prinsipnya alur secara garis besar terdiri dari 3
selang
(tiga) tahap.
4. Budi Pekerti Jalan Gajah 2 unit mobil, 2 mobil
(sudah 7 Mada operasional, 5 portable Untuk dapat mewujudkan susunan pos kebakaran
tahun)
5. Khatulistiwa Jalan Kedah 3 unit mobil operasional, dan distribusinya serta pentahapan realisasinya
(sudah 3 mesin dalam rangka perwujudan Rencana Induk Sistem
tahun) Penanggulangan Kebakaran Kota (RISPK)
6. Bintang Timur Dekat Kantor sebagaimana diamanatkan Kepmeneg Pekerjaan
(kurang 1 Kecamatan
tahun) Pontianak Umum No. 11/KPTS/2000 atau dengan kata lain
Timur menunjang perwujudan Rencana Induk Kebakaran
7. Badan Dekat (RIK) Kota Pontianak sebagaimana diamanatkan
Pemadam Api Keraton Jl. pada pekerjaan ini, akan dipergunakan alur pada
Pontianak Tanjung
Timur Raya gambar 3.
Pontianak
Timur
Sumber: Hasil Olahan Data Primer KBK Sains Bangunan

102
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 100-107

DATA (INPUT) ANALISIS (PROSES) OUTPUT

ARAHAN ESTIMASI
PERKIRAAN KEBUTUHAN PERENCANAAN
KEBIJAKAN PERUMUSAN
PERTUMBUHAN SUMBER DAYA JANGKA
PEMBANGUNAN KONSEP
TINGKAT UNTUK ATASI PANJANG
RTRW KOTA RESIKO YANG UNTUK MASTER PLAN
RTRW KAB UPATEN RESIKO KOTA
RENSTRA ADA : PENINGKATAN

SAR,dsb / KABUPATEN PRASARANA SUMBER DAYA
SARANA
SDM
DANA
TINJAUAN PERATURAN
PERUNDANGAN EVALUASI
UNDANG- -UNDANG TINGKAT
PERDA
KEPMEN RESIKO TERKAIT PENENTUAN METODE EFEKTIF
POTENSI BAHAYA BIAYA DALAM MENAIKKAN MASTER
KOTA / TINGKAT POTENSI RESIKO PLAN
DATA EKSISTING KOTA KAB UPATEN
TERKAIT KETERSEDIAAN PENANGGU
/ KAB UPATEN ANALISIS
SUMBERDAYA LANGAN
KEPENDUDUKAN, RESIKO
SOSIAL, BU DAYA, (PENENTUAN PENENTUAN METODE EFEKTIF KEBAKARAN
EKONOMI,dll KEMUNGKINAN BIAYA (PENTAHAPAN) DAN BENCANA
KONDISI FISIK & DAMPAK)
FASILITAS & PENYUSUNAN SOP BANTUAN LAINNYA
AKSESIBILITAS ESTIMASI OTOMATIK
RESIKO KOTA /
KELEMBAGAAN PENYUSUNAN SOP BANTUAN
(ORGANISASI & TATA PEMETAAN KABUPATEN
KERJASAMA MASYARAKAT &
LAKSANA RESIKO
OPERASIONAL) SWASTA)

Gambar 2 Kerangka Pikir Penyusunan Rencana Induk Kebakaran (RIK)

Kajian Dinamika Peta Resiko


A
Terkait Kondisi Eksisting dan
Penentuan Perubahan RTRW (Hasil Survei & data

Model Susunan Pos Kebakaran


Tingkat Sekunder, Kepmen 11/KPTS/2000 NFPA1231) B E

yang Optimal untuk Kota


Resiko Peta Distribusi
Kebakaran Resiko Pos

Pontianak
Optimal Optimal F
Kota dan
Pemetaannya Metode Analisis Kebutuhan
Bayes (data Air Kebakaran (Data
sekunder ) Sekunder NFPA 1231 )

Hasil pembulatan Analisis -Median


terhadap (Metode lokasi
Kajian rasio pos berdasarkan permintaan
(A+B) / 2
C Standar, Peraturan, Respons kebutuhan untuk
Time dan Tipologi Kota/ --------------- mendapatkan
Tahapan Realisasi Pos Terkait

Penentuan A. data
Daerah (urban, suburban dan
Rencana Induk Kebakaran

kemungkinan
Jumlah rural) Distribusi pos optimal
berdasarkan peta pentahapan
dan Rasio
peringkat resiko pembangunan
(RISPK)

Pos D G
B. pos dan besar
Kebakaran Jumlah kecil ukuran tiap
Distribusi pos pos yang dipilih
yang Pos
berdasarkan
Optimal luasan wilayah
Optimal
Kajian Keekonomisan Pos

Gambar 3 Alur Penyusunan Pos-pos Kebakaran Berdasarkan Hasil Analisis Risiko Kebakaran Dalam Wilayah Manajemen Kebakaran
Perkotaan

HASIL DAN PEMBAHASAN 027/1578/PUOD tanggal 11 Juni 1997 sama-sama


Penentuan Hirarki dan Pelayanan menetapkan 1 unit mobil kebakaran tiap 10.000
Hirarki pelayanan dapat mengacu berdasarkan : penduduk.
Kepmeneg Pekerjaan Umum No. 11/KPTS/2000 Standar Tokyo juga menetapkan 10.000 penduduk
mensyaratkan 1 pos maksimum melayani 3 25 personil.
wilayah layanan ditentukan berdasarkan oleh
respons time dengan jangkauan maksimum 2,5 km. Kebutuhan Personil, Mobil dan Pos
Berdasarkan ketentuan acuan tersebut dapat
SNI 03-1733-2003 tentang Tata Cara Perencanaan dihitung kebutuhan personil, mobil pemadam dan
Kawasan Perumahan Kota yang menetapkan 1 pos pos kebakaran, hasil perhitungan dapat dilihat
kebakaran untuk 30.000 penduduk. pada tabel 2.
IFCAA (International Fire Chiefs Association of
Asia), Standar Tokyo dan Radiogram Depdagri No.

103
Peningkatan Layanan Institusi (Agus Sarwono)

Tabel 2 Perhitungan Kebutuhan Personil, Mobil dan Pos


Luas Kepadatan Jml Jml
No. Kecamatan Kelurahan Penduduk Jml Pos
(km2) (Pend./ km2) Personil Mobil
1 Pontianak Selatan 29.37 118194 4024.31 295.49 11.82 3.94
1.1 Bangka Belitung 16.10 38242 2375.28 95.61 3.82 1.27
1.2 Benua Melayu Laut 0.56 9290 16589.29 23.23 0.93 0.31
1.3 Benua Melayu Darat 4.74 21938 4628.27 54.85 2.19 0.73
1.4 Parit Tokaya 7.97 48724 6113.43 121.81 4.87 1.62
2 Pontianak Timur 8.78 66803 7608.54 167.01 6.68 2.23
2.1 Parit Mayor 1.06 2157 2034.91 5.39 0.22 0.07
2.2 Banjar Serasan 1.14 7976 6996.49 19.94 0.80 0.27
2.3 Saigon 2.80 9113 3254.64 22.78 0.91 0.30
2.4 Tanjung Hulu 1.09 14574 13370.64 36.44 1.46 0.49
2.5 Tanjung Hilir 0.30 9967 33223.33 24.92 1.00 0.33
2.6 Dalam Bugis 1.98 16226 8194.95 40.57 1.62 0.54
2.7 Tambelan Sampit 0.41 6790 16560.98 16.98 0.68 0.23
3 Pontianak Barat 20.11 106406 5291.20 266.02 10.64 3.55
3.1 Pal Lima 10.06 16094 1599.80 40.24 1.61 0.54
3.2 Sungai Jawi Dalam 4.46 16653 3733.86 41.63 1.67 0.56
3.3 Sungai Jawi Luar 2.95 35559 12053.90 88.90 3.56 1.19
3.4 Sungai Belitung 2.64 38100 14431.82 95.25 3.81 1.27
4 Pontianak Kota 10.34 98801 9555.22 247.00 9.88 3.29
4.1 Sungai Bangkong 7.58 41822 5517.41 104.56 4.18 1.39
4.2 Darat Sekip 1.31 10477 7997.71 26.19 1.05 0.35
4.3 Tengah 0.95 7855 8268.42 19.64 0.79 0.26
4.4 Mariana 0.50 8334 16668.00 20.84 0.83 0.28
4.5 Sei Jawi 30313 75.78 3.03 1.01
5 Pontianak Utara 37.22 102786 2761.58 256.97 10.28 3.43
5.1 Batu Layang 9.20 16405 1783.15 41.01 1.64 0.55
5.2 Siantan Hilir 13.70 24727 1804.89 61.82 2.47 0.82
5.3 Siantan Tengah 7.87 28662 3641.93 71.66 2.87 0.96
5.4 Siantan Hulu 6.45 32992 5115.04 82.48 3.30 1.10
Kota Pontianak 105.82 492990 4658.76 1232.48 49.30 16.43
Sumber: Hasil Olahan Data Primer KBK Sains Bangunan

Penentuan Respons Time terhadap Bencana dan yang menghasilkan nyala (flaming fire). Waktu
Kebakaran tersebut bisa bergeser hingga diatas 20 menit sejak
Respons time pelayanan terhadap bencana dan penyulutan tergantung dari langsung menyala atau
kebakaran ditentukan dengan melihat berdasar- tidaknya proses pembakaran yang terjadi tersebut.
kan acuan RTRW kedepan kira-kira seperti apa Waktu tempuh harus memperhatikan rentang
perkembangan Kota Pontianak tertera pada waktu bahaya tersebut. Dengan memperhatikan
gambar 4. kondisi kemacetan yang mungkin terjadi, terutama
yang sering terjadi pada daerah keramaian pusat
perdagangan, kondisi jalan, hal tersebut akan
Kec. Pontianak Utara
Kepadatan rata-rata = 2.762
Kel. Siantar Hulu terpadat = 5.115

mempengaruhi besar jarak terjauh pos dengan


Kec. lokasi bangunan yang diharapkan terpenuhi
proteksinya. Jarak jalan eksisting saat ini terhadap
Pontianak Barat
Kepadatan rata-rata
= 5.292
Kel. Sel Belitung
terpadat
= 14.432 lokasi pos kebakaran terdekat tertera pada gambar
Kec. Pontianak
Kota
5 berikut.
Kec.
Kepadatan Pontianak Timur
rata-rata = 4.130 Kepadatan
Kel. Mariana rata-rata = 7.609
terpadat Kel. Tanjung Hilir
= 24.222 Terpadat = 33.224

KEC. SUNGAI RUDOR


KAB. PONTIAN AK

Kec. Pontianak Selatan


Kepadatan rata-rata = 4.025
Kel. Benua Melayu Laut terpadat
= 16.590

Gambar 4 Kondisi Perkembangan Kota Pontianak Hingga 2011


Sumber: Bappeda Kota Pontianak

Dari gambar diatas terlihat lokasi-lokasi yang perlu


mendapatkan perhatian khusus dikaitkan dengan
kondisi bahayanya. Lokasi industri, perdagangan,
juga perumahan padat membutuhkan respons time
yang cepat terkait tingkat pertumbuhan bahaya
yang ada. Dalam suatu kebakaran ruangan, Gambar 5 Jarak terhadap Pos PMK Eksisting
flashover dapat terjadi 5 menit sejak pembakaran Sumber: Hasil Analisis Tim Peneliti KBK Sains

104
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 100-107

Penentuan Wilayah Manajemen Kebakaran Jika tidak memungkinkan terkait status


(WMK) kepemilikan lahan, perlu dialihkan ke tempat
Berdasarkan kondisi batas alami, Kota Pontianak lain di sekitar lokasi tersebut pada tanah milik
dapat dibagi dalam 4 zona sebagaimana tertera Pemerintah Daerah Kota Pontianak.
pada gambar 6.
Pos milik swasta adalah :
ZONA D
Kec. Pontianak Utara
Pos 3 PMK Panca Bhakti Jl. Suprapto
Pos 4 PMK Budi Pekerti Jl. Gajah Mada
Dibatasi Sungai Kapuas dan Sungai Landak
PERLU 4 POS

Pos 5 PMK Khatulistiwa Jl. Kedah

ZONA C
Pos PMK milik swasta lain yang ada adalah PMK
Kec.
Pontianak Barat
Dibatasi Sungai
Bakti Raya, lokasinya sudah di luar Kota Pontianak,
di terusan Jl. Adi Sucipto. PMK Bakti Raya ini perlu
Kapuas dan
Sungai Jawi
Perlu 3 POS

ZONA B
Kec.
dipertimbangkan dalam konsep mutual aid.
Pontianak Timur

Usulan pos adalah :


Dibatasi Sungai
Kapuas dan
Landak

Pos 6 dekat perempatan Jl. Prof. Yamin Dr.


Perlu 3 POS

Sutomo Jl. Syahrir Jl. Selayar. Pos ini


direncanakan menjadi Kantor Sektor Pemadam
ZONA A
Kec. Pontianak Kota dan
Selatan
Kota Pontianak bagian selatan.
Dibatasi Sungai Kapuas dan Sungai Jawi
Perlu 7 POS Pos 7 dekat perempatan Jl. Perdana, belakang
Kampus UNTAN.
Gambar 6 Pembagian Zona Kota Pontianak oleh Batas Alam
Sumber: Hasil Analisis Tim Peneliti KBK Sains
Zona B
Zona A
WMK di Zona A ini adalah tipikal campuran antara
peruntukkan perdagangan, militer, permukiman,
pendidikan dan perkantoran / pemerintahan, serta
kawasan water front city sebagaimana tertera pada
gambar 7.

Gambar 8 WMK Zona B


Sumber: Hasil Analisis Tim Peneliti KBK Sains

Pos kebakaran eksisting yang ada di Zona B ini


adalah milik swasta, yakni :
Pos 8 - PMK Pontianak Timur dekat keraton
di Kelurahan Dalam Bugis.
Pos 9 - PMK Bintang Timur dekat kantor
Kecamatan Pontianak Timur.

Gambar 7 WMK Zona A


Usulan pos adalah :
Sumber: Hasil Analisis Tim Peneliti KBK Sains Pos 9 b dekat perempatan Jl. Tanjung Raya
Karya Baru, Kelurahan Parit Mayor. WMK di
Zona meliputi daerah Kec. Pontianak Kota dan Kec. Zona B ini adalah tipikal campuran antara
Pontianak Selatan. Pada daerah ini dibutuhkan 7 peruntukkan permukiman, industri, jasa
buah Pos Kebakaran. pergudangan, juga water front city.
Pada Zona A ini telah terdapat sejumlah pos Zona C
kebakaran eksisting, yakni dua milik pemerintah
dan 5 milik swasta. Yang merupakan milik
pemerintah adalah :
Pos 1 Pos SubDin Kebakaran Dinas Pekerjaan
Umum Kota Pontianak. Pos ini perlu
dikembangkan sebagai Kantor Pusat Wilayah
Manajemen Kebakaran Perkotaan Kota
Pontianak.
Pos 2 Pos Kebakaran Jl. Adi Sucipto Rumah
Tumenggung Panglima Melayu. Pos ini perlu Gambar 9 WMK Zona C
Sumber: Hasil Analisis Tim Peneliti KBK Sains
ditinjau kembali keberlangsungan eksistensinya.

105
Peningkatan Layanan Institusi (Agus Sarwono)

Pada daerah ini belum ada pos kebakaran berpenduduk 482.622 jiwa dengan tingkat
eksisting. kerawanan akan bahaya kebakaran yang tinggi,
dituntut adanya kemampuan pelayanan institusi
Usulan pos adalah :
pemadam kebakaran yang baik.
Pos 10 dekat perempatan Jl. Komodor Yos
Sudarso dengan rencana Jalan Outer Ring Road Institusi Pemadam Kebakaran Kota Pontianak
menuju Pulau Batu Layang. harus melengkapi diri dengan sejumlah sarana dan
Pos 11 Jalan Komodor Yos Sudarso dekat petugas kebakaran dengan rasio optimal dengan
kantor Kelurahan Sungai Jawi Luar. ditunjang prasarana kebakaran kota yang memadai
Pos 12 dekat pertigaan Jl. Husein Hamzah Jl. sesuai hasil kajian RISPK dimana kebutuhan ideal
Dr. Wahidin. WMK di Zona C ini adalah tipikal pelayanan instansi Pemadam Kebakaran adalah
campuran antara peruntukkan perumahan, 1.200 personil, 50 mobil pemadam, 17 pos
perdagangan, pelabuhan, water front city. pemadam kebakaran dan berdasarkan kondisi
batas alami, Wilayah Manajemen Kebakaran
Zona D
(WMK) Kota Pontianak dibagi dalam 4 zona.
WMK di Zona D ini adalah tipikal campuran antara
peruntukkan perdagangan, permukiman, industri,
water front city. REKOMENDASI
Perlu dilakukan kajian ulang atau revisi terhadap
RIK yang lama sehubungan dengan keluarnya
Permen Pekerjaan Umum No. 25/PRT/M/2008
tentang Pedoman Teknis Penyusunan Rencana
Induk Sistem Proteksi Kebakaran dan Permen
Pekerjaan Umum No. 26/PRT/M/2008 tentang
Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran
pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Pada ketentuan yang baru ini penentuan pos
tidak lagi digunakan standar Tokyo tetapi
didasarkan pada analisis resiko kebakaran
metoda Bayes dan oleh karena itu perlu
Gambar 10 WMK Zona D
Sumber: Hasil Analisis Tim Peneliti KBK Sains dilakukan revisi RISPK Kota Pontianak.
Perlu kajian lebih rinci dengan mempertim-
Pos kebakaran eksisting yang ada di Zona D ini bangkan bahwa beberapa ketentuan atau
adalah milik swasta, yakni : standar rasio jumlah penduduk seperti di
Pos 13 - PMK BPAS - di Kantor Pusat Jl. Gusti standar Tokyo sudah berubah.
Situt Machmud Pontianak.
Pos 14 - PMK BPAS - Pos Unit I Jl. Selat Bali DAFTAR PUSTAKA
Kelurahan Siantan Hulu.
Pos 13b - PMK BPAS - Pos Unit II Jl. Gusti Situt Badan Standar Nasional Indonesia. 2003: SNI 03-
Machmud Kelurahan Siantan Tengah 1733-2003 tentang Tata Cara Perencanaan
Pos 15 - PMK BPAS - Pos Unit III Jl. Khatulistiwa Kawasan Perumahan Kota.
Kelurahan Siantan Hilir. Republik Indonesia. 1997. Radiogram Depdagri No.
027/1578/PUOD tanggal 11 Juni 1997 tentang
Usulan pos adalah : Standar Penetapan Unit Mobil Kebakaran
Pos 16 dekat perempatan Jl. Khatulistiwa dengan Jumlah Penduduk.
dengan rencana Jalan Outer Ring Road dari Pulau Republik Indonesia. 2000. Keputusan Menteri
Batu Layang. Melihat zona daerah di sini Negara Pekerjaan Umum No. 11/KPTS/2000
diperuntukkan khas, yakni industri, pelabuhan tentang Ketentuan Teknis Manajemen
dan permukiman, perlu dikembangkan pos yang Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan,
besar sehingga dapat menjadi Kantor Sektor Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum.
Pemadam Kota Pontianak Bagian Utara. Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri
Pos 17 dekat perempatan Jl. Budi Utomo Pekerjaan Umum No. 25/PRT/M/ 2008 tentang
dengan Jl. Perintis Kemerdekaan. Untuk Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Induk
menangani kawasan permukiman dan sentra Sistem Proteksi Kebakaran. Departemen
agrobisnis. Pekerjaan Umum.
Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri
KESIMPULAN Pekerjaan Umum No. 26/PRT/M/ 2008 tentang
Kota Pontianak sebagai ibukota Provinsi Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran
Kalimantan Barat dengan luas 107,82 km2 dan pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Departemen Pekerjaan Umum.

106
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 100-107

RTRW dan RUTRK Kota Pontianak. 2006. Bappeda Tanjaya, Ateng. 1987. Kebakaran dan Problemnya.
dan PMD Kota Pontianak (accessed 2006). Pontianak; Yayasan Badan Pemadam Api
Pusat Litbang Permukiman. 2002. Laporan Akhir: Siantan.
Peningkatan Upaya Penanggulangan Sujatmiko, Wahyu. 2002. Laporan Akhir: Penelitian
Kebakaran Perkotaan melalui Penerapan Peningkatan Upaya Penanggulangan
Konsep Fire Management Area dan Analisis Kebakaran Perkotaan Melalui Penerapan
Risiko. Bandung: Pusat Litbang Permukiman. Konsep Fire Management Area dan Analisis
Risiko, Bandung: Pusat Litbang Permukiman.

107
Pengaruh Temperatur Tinggi (Teguh Esa Wibawa dan Suprapto)

PENGARUH TEMPERATUR TINGGI TERHADAP KEKUATAN LELEH


DAN KUAT TARIK PADA BAHAN BAJA MELALUI UJI KETAHANAN API
(Impact of Fire Temperature to the Yield and Tensile Strength of Steel Structure)
1Teguh Esa Wibawa dan 2Suprapto
1 Alumni Program Pasca Sarjana, Fakultas Teknik, Jurusan Sipil, Bidang Keahlian Struktur
Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, Jawa-Timur
Email : teguh_struktur@yahoo.com
2 Pusat Litbang Permukiman

Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung 40393


Email : suprapto@puskim.pu.go.id
Diterima : 19 Mei 2011; Disetujui : 19 Juli 2011

Abstrak
Baja mempunyai beberapa keunggulan di bandingkan bahan konstruksi lainnya, misalnya dalam masalah
daktilitas dan pengerjaan yang relatif lebih cepat dibandingkan penggunaan beton bertulang. Namun baja
mempunyai beberapa kelemahan di antaranya adalah rentan terhadap perubahan temperatur. Bila suatu
struktur baja mengalami kebakaran, kekuatan struktur baja akan menurun sehingga mempengaruhi fungsi
struktur baja tersebut. Beberapa metode telah dikembangkan untuk melindungi elemen baja dari pengaruh
kebakaran, di antaranya adalah encasement method dimana bahan yang biasa digunakan adalah gypsum
board. Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengetahui sifat-sifat mekanikal profil baja yang dilapisi
gypsum board pasca pengujian pembakaran. Sifat-sifat mekanikal yang dianalisis adalah kurva hubungan
tegangan- regangan, kurva kuat tarik yang tersisa, tegangan ultimate, waktu kritis, dan temperatur kritis
dari profil baja setelah mengalami kebakaran. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Pengujian
yang akan dilakukan meliputi pengujian pembakaran dan pengujian kuat tarik. Benda uji yang akan dipakai
adalah baja karbon A36 sebanyak 4 buah. Pengujian pembakaran dilakukan terhadap benda uji tanpa
lapisan, dan benda uji dilapisi gypsum board 12 mm dan 24 mm. Hasil tersebut kemudian dibandingkan
dengan baja yang tanpa mengalami pengujian pembakaran. Profil baja yang di lapis gypsum board dengan
variasi ketebalan 12 mm dan 24 mm mempunyai perbedaan yang signifikan terhadap kenaikkan temperatur
pada saat mengalami kebakaran. Untuk mencapai temperatur 540 0C, baja yang tidak di lapis oleh gypsum
board memerlukan waktu 8 menit, sedang baja yang di lapis 12 mm memerlukan waktu 32 menit dan baja
yang di lapis 24 mm memerlukan waktu 52 menit. Tegangan tarik dan tegangan ultimate pada profil baja
yang dilapisi atau tidak dilapisi dengan pelindung gypsum board setelah baja mengalami proses
pendinginan pada udara terbuka tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Kekuatan baja karbon yang
mengalami pendinginan secara normal akan kembali mendekati kekuatan awalnya.
Kata Kunci : Temperatur, gypsum board, sifat mekanikal

Abstract
Steel has several advantages compared to other construction materials such as its ductility and relatively
faster in the construction work than reinforced concrete. However, there are several weaknesses of steel
particularly against temperature changes. When steel exposed to fire, its structural strength will decrease
which clearly influence its function. Several methods have been developed for protecting steel elements
against high temperature such as an encasement method where the material commonly used is gypsum
board. This research aims at investigating the mechanical properties of steel encased by gypsum board after
fire exposure. Analysis was done on the correlation curve of stress, strain, remained tensile strength curve,
ultimate strength, critical time and the critical temperature of steel profile after burned. This is an
experimental research where the tests conducted were burning test and tensile strength test. The samples
used were 4 (four) carbon steel A36. Test conducted to uncover samples, and samples covered by 12mm and
24 mm gypsum boards. The results was then compared to the untested steel. The steel which was covered by
12 and 24 mm gypsum board shown a signifikan differences in temperature increase when exposed to fire. To
reach a temperature of 540 0C, the uncovered steel required 8 minutes, whereas 12 mm covered steel
required 32 minutes, and 24 mm covered steel required 52 minutes. The tensile and ultimate strength of the
uncovered and covered steel, after normalizing cooling processes did not show a signifikan differences.
Carbon steel experience the normal cooling will recover its initial strength.
Keywords : Temperature, gypsum board, mechanical properties

108
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 108-115

PENDAHULUAN struktur. Integritas, tidak terjadi retak tembus


Penggunaan bahan material baja sebagai elemen asap/ api dalam waktu 50 menit. Insulasi,
struktur pada bangunan-bangunan tinggi saat ini kenaikkan temperatur maksimum pada sisi yang
semakin banyak digunakan. Baja mempunyai tidak terkena api secara langsung tidak lebih dari
beberapa keunggulan dibandingkan dengan bahan 180 0C dalam waktu 50 menit [8].
konstruksi lainnya, diantaranya dalam masalah
daktilitas dan waktu pengerjaannya. Baja TUJUAN PENELITIAN
mempunyai daktilitas yang lebih baik dan waktu Pada penelitian ini akan dibahas pengaruh
pengerjaan yang relatf lebih cepat dibandingkan penggunaan gypsum board pada material baja yang
dengan beton bertulang. Namun, selain beberapa terkena kebakaran sebagai fire retardant. Dengan
keunggulan tersebut, baja juga mempunyai melakukan serangkaian analisis dan pengujian
beberapa kelemahan, diantaranya adalah rentan laboratorium sehinggga didapat korelasi antara
terhadap perubahan temperatur. Apabila sebuah temperatur dan pola serta perilaku inelastis pada
material baja mengalami kenaikkan temperatur, struktur baja tersebut. Pola dan perilaku inelastis
misalnya terkena api secara langsung maka tersebut meliputi hubungan tegangan dan
kekuatan leleh dan tarik dari material baja tersebut regangan, kuat tarik dan tegangan leleh.
akan mengalami penurunan secara drastis [10].
Hal ini dapat menyebabkan fungsi material baja KAJIAN TEORITIS
tersebut sebagai elemen struktur akan berubah. Baja dibentuk dari bahan logam dengan komposisi
Pada sebuah penelitian, temperatur yang dapat besi sebanyak 95% atau lebih. Untuk mendapatkan
dicapai pada saat kebakaran terjadi 1.000 0C [11]. sifat dan karakteristik dari suatu material yang
Ketika sebuah material baja mengalami kenaikkan diinginkan, maka dapat ditambahkan atau
temperatur sampai dengan atau melebihi 704 0C dicampur dengan bahan-bahan yang lainnya.
maka kekuatan leleh dan kekuatan tarik dari Bahan-bahan yang terkandung didalam suatu
material tersebut akan mengalami penurunan material baja sangat mempengaruhi sifat,
secara drastis [3]. Proses kenaikkan temperatur karakteristik dan perilakunya. Beberapa bahan
pada saat kebakaran dapat menyebabkan material yang dapat merubah sifat suatu material baja
baja mengalami perubahan, baik secara fisik, adalah sebagai berikut :
kekuatan, perilaku dan struktur kimia 1. Karbon, unsur karbon yang terkandung akan
pembentuknya. Hal ini jelas dapat mempengaruhi mempengaruhi perilaku dari material baja
kinerja dari material baja tersebut yang berfungsi tersebut. Semakin banyak jumlah karbon yang
sebagai salah satu elemen struktur. Oleh karena itu terkandung maka kekuatan, kekerasan dan
perlindungan material baja dari bahaya kebakaran abrasi dari material baja tersebut juga akan
sangat diperlukan mengingat mahalnya harga meningkat, akan tetapi hal ini dapat
material baja pada saat ini. menyebabkan daktilitasnya menurun. Oleh
karena itu pada baja karbon dibatasi antara
Pada kasus pasca kebakaran biasanya hanya 0,15% - 1,7%.
menyisakan kerangka strukturnya saja, sehingga 2. Mangan, pada prinsipnya sifat yang terkandung
untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh pada unsur mangan sama seperti unsur karbon.
kebakaran maka perlu dilakukan perlindungan Unsur mangan juga dapat meningkatkan
khusus terhadap baja tersebut dengan bahan kekuatan dan kekerasan akan tetapi dapat
pelindung tahan api. menyebabkan daktilitas dari material baja
Beberapa metode telah dikembangkan untuk tersebut menjadi menurun.
melindungi baja dari bahaya kebakaran, 3. Silikon, unsur silikon ditambahkan dengan
diantaranya adalah encasement methode. Pada tujuan agar dapat menyebabkan terjadinya
metode ini, baja yang digunakan sebagai elemen proses deoxidasi pada pembuatan baja.
struktur diselubungi atau dibungkus dengan Sehingga dengan melalui proses tersebut,
menggunakan bahan yang tahan api, salah satunya oksigen yang berada pada senyawa-senyawa
adalah gypsum board [3]. Baja yang dilindungi, yang lain dapat diangkat atau dihilangkan.
dengan demikian dapat digunakan sebagai elemen Tujuan dari proses ini adalah untuk
sistem proteksi pasif [17]. meningkatkan kekerasan dari material baja
tersebut [9].
Penelitian tentang pengaruh penggunaan gypsum
board 12 mm sebagai fire shield pernah dilakukan Sebagai elemen struktur baja dapat dibedakan
oleh P.T Knauf pada tahun 2010 [8]. Pengujian menjadi tiga golongan berdasarkan kekuatan dan
meliputi stabilitas, integritas dan insulasi. Hasil kandungan kimianya, yaitu :
dari pengujian tersebut adalah -/50/50, artinya
stabilitas tidak dipersyaratkan dalam komponen

109
Pengaruh Temperatur Tinggi (Teguh Esa Wibawa dan Suprapto)

1. Baja karbon rendah mencapai 500oF sampai dengan 600oF (260oC


2. Baja paduan rendah berkekuatan tinggi sampai 320oC) maka kekuatan tariknya akan naik
3. Baja paduan [6] kira-kira sebesar 10% diatas kekuatan pada
temperatur ruang dan titik leleh akan kembali
Baja karbon adalah sebutan untuk baja yang
mendekati titik leleh pada temperatur ruang.
mengandung unsur yang bukan besi dengan
Pelapukan regangan yang terjadi dapat
persentase maksimal adalah sebagai berikut :
mengakibatkan juga daktilitas dari material baja
1. Karbon (maksimum 1,7%)
tersebut menjadi menurun[17]
2. Mangan (maksimum 1,65%)
3. Silikon (maksimum 0,60%) Pada temperatur 600oF sampai dengan 800oF
4. Tembaga (maksimum 0,60%) [13]. (320oC sampai dengan 430oC) akan menyebabkan
formasi struktur yang getas. Apabila pemanasan
Karbon dan mangan ditambahkan untuk
dilakukan terus menerus sampai melewati 1.000oF
mendapatkan kekuatan dari baja akan tetapi dalam
(540oC) senyawa karbon dan elemen paduannya
jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan
akan mengendap, hal ini akan menyebabkan
keteguhan, kemampuan las dan daktilitasnya
mikrostrukturnya menjadi lebih getas [13]. Pada
berkurang [9].
saat material baja menerima kenaikkan temperatur
Perilaku Baja pada Temperatur Tinggi sampai dengan 700 0C maka tegangan leleh dan
Temperatur yang tinggi pada material baja akan kuat tariknya akan menurun berbanding lurus
sangat berpengaruh terhadap sifat dan dengan kenaikkan temperatur yang diterimanya.
karakteristiknya. Oleh karena itu pengetahuan Tegangan leleh berkisar 60% sampai dengan 70%
tentang perubahan perilaku ini diperlukan dalam ketika temperatur yang diterima material baja
menentukan prosedur pengelasan dan pengaruh tersebut telah melewati 1.000oF (540oC).
kebakaran. Apabila suatu material baja diberikan
Untuk menjaga kualitas material baja pasca
temperatur melebihi 200oF (93oC) maka kurva
kebakaran maka baja tersebut harus dilapisi oleh
tegangan-regangan mulai menjadi tidak linier yang
suatu bahan yang bersifat tahan terhadap
kemudian secara bertahap titik leleh yang jelas
temperatur yang tinggi. Semua prosedur dan
menghilang. Pada temperatur antara 800oF sampai
metode untuk pengujian terhadap material yang
dengan 1.000oF (430oC sampai dengan 540oC) akan
tahan api telah diatur pada ASTM E119 [9].
terjadi laju penurunan yang maksimum. Modulus
elastisitas, kekuatan leleh dan kekuatan tarik akan
menurun apabila temperatur semakin tinggi [17].
Pola dan perubahan perilaku dari suatu material
baja yang mengalami kenaikkan temperatur akan
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini
diakibatkan karena kandungan dan mikrostruktur
pembentuknya saling berlainan, akan tetapi
pengaruh kenaikkan temperatur secara umum
dapat dilihat pada gambar 1. Pada saat suatu
material baja menerima panas dengan temperatur
mencapai 700oF (370oC), tegangan leleh dan
kekuatan tariknya akan menurun. Pada saat
mengalami kenaikkan temperatur, baja paduan Gambar 1.a Pengaruh Temperatur terhadap Kekuatan Leleh
dengan kekuatan tinggi akan mengalami secara Umum [12]
penurunan tegangan batas (Fu) lebih cepat
dibandingkan dengan baja karbon. Pada proses
pendinginan, kekuatan dari baja karbon hampir
mendekati kekuatan awalnya. Baja paduan dengan
kekuatan tinggi akan mengalami penurunan
kekuatan batas yang permanen ketika temperatur
telah berkisar antara 300oC sampai dengan 400oC
[12]. Baja dengan persentase karbon yang tinggi
seperti baja A36, menunjukkan pelapukan
regangan (strain aging) pada temperatur 300oF
sampai dengan 700oF (150oC sampai dengan
370oC). Hal ini dapat dilihat dari kenaikkan relatif
titik leleh dan kekuatan tarik pada daerah Gambar 1.b Pengaruh Temperatur terhadap Kekuatan Leleh
temperatur tersebut. Apabila temperatur telah secara Umum [12]

110
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 108-115

1. Lebih ringan
2. Mudah dikerjakan/ dalam pembentukan
3. Ketebalan yang bervariasi, sehingga
memungkinkan untuk dapat memilih ketebalan
yang ideal.
Gypsum board sering digunakan sebagai pelindung
konstruksi dari bahaya api atau kebakaran. Tingkat
ketahanan api yang dapat dicapai oleh gypsum
board berasal dari susunan senyawa-senyawa
pembentuk yang terdiri dari kalsium sulfat dan
biasa disebut dengan crystalline. Crystals ini
Gambar 1.c Pengaruh Temperatur terhadap Modulus mengandung kurang lebih 50% air, sehingga
Elastisitas secara Umum [12] mengakibatkan gypsum board sangat efektif
Apabila suatu material baja yang tidak dilindungi digunakan sebagai fire retardant.
dengan suatu fire retardant maka baja tersebut Pada saat terjadi kenaikkan temperatur atau
akan mengalami peningkatan temperatur yang mengalami kebakaran, maka temperatur gypsum
sangat cepat, karena sifat baja yang merupakan board akan naik secara perlahan. Kenaikkan
suatu konduktor yang baik [4]. temperatur yang terjadi akan berhenti dan menjadi
Pada saat kebakaran, temperatur 1.0000F (5400C) stabil apabila temperatur gypsum board telah
atau lebih akan mudah tercapai dengan cepat. mencapai kurang lebih temperatur titik didih air
Ketika temperatur 1.0000F (5400C) atau lebih telah (100 0C). Hal ini juga menyebabkan kandungan air
tercapai maka akan menyebabkan kekuatan dari yang terdapat dalam crystalline akan menguap.
material baja tersebut menurun dengan sangat Proses penguapan ini biasa disebut dengan istilah
cepat. Keruntuhan terjadi pada saat temperatur calcination.
mencapai 1.000 0F [14]. Selama terjadinya kenaikkan temperatur atau
Berdasarkan hal ini, ASTM E 119 menentukan kebakaran akan terjadi perubahan struktur
bahwa untuk pengujian standar test kebakaran crystalline yang berada dalam gypsum board.
adalah tercapainya temperatur 1.000 0F dalam Perubahan ini mengakibatkan kepadatan struktur
waktu 5 menit [2]. dan masa akan berkurang. Pada saat temperatur
mencapai 1.000 0C, maka masa dari gypsum board
Untuk pengujian standar kebakaran pada kolom- akan berkurang sekitar 3% sampai dengan 6% dari
kolom baja, pengujian akan dihentikan apabila berat awal. Ketika temperatur naik menjadi 2.000
ketika salah satu kolom tersebut telah mencapai 0C pengurangan massa yang terjadi sebesar 16%
temperatur 12.000F (6480C) atau temperatur rata- sampai dengan 22% dari berat awal. Reduksi
rata pada setiap kolom 1.0000F (5400C). Pola massa tersebut dapat dilihat pada gambar 3. Dalam
keruntuhan ditunjukkan seperti pada gambar 2 [3]. jangka waktu yang panjang, hal ini bisa
memungkinkan terjadinya lubang atau rongga yang
menyebabkan integritasnya berkurang [5].
0

-5

-10
Mass
Loss -15
(%)
Gambar 2 Pola Keruntuhan pada Baja [3] -20

Gypsum Board -25


Gypsum board merupakan material yang baik
dalam penyerapan panas [3]. Gypsum board
merupakan salah satu bahan material yang bisa 0 100 200 300
digunakan dalam penggunaan encasement 0
Temperatur (00
C) 0
methode. Keuntungan secara fisik dari gypsum Gambar 3 Persentase Kehilangan Masa pada Gypsum Board
board dibandingkan bahan material lain Saat Mengalami Kenaikkan Temperatur [5]
diantaranya adalah :

111
Pengaruh Temperatur Tinggi (Teguh Esa Wibawa dan Suprapto)

Vertical line represents 124 mm


the plane of calcinations 174 mm
at a depth of about 2 TC1
temperature never
greatly exceeds 212 0F 400 mm TC2
behind the plane of
calcinations TC1

Temperature of exposed 400 mm TC2


surface = 1900 0F

Temperature 1" from


exposed surface = 950
0F

Temperature 2" from


exposed surface = 220
0F Gambar 5 Contoh Benda Uji dan Pemasangan Gypsum Board
24 mm [18]
Temperature 4" from
exposed surface = 180
0F
Perubahan kenaikkan temperatur pada tungku
Temperature 6" from pembakaran dilakukan sesuai dengan kurva
exposed surface = 130 standar pengujian dari ASTM E-119 [2].
0F
Pembakaran pada benda uji dengan variasi
Gambar 4 Perilaku Gypsum Board yang Terbakar [7] ketebalan gypsum board tersebut dihentikan
Beragam ketebalan gypsum board yang berada apabila baja telah mencapai titik kritisnya.
dipasaran saat ini memungkinkan para desainer penurunan kekuatan pada material baja akan turun
dapat melakukan eksperimen-eksperimen untuk secara drastis pada temperatur 430oC sampai
mendapatkan hasil tingkat ketahanan api yang dengan 540oC. Oleh karena itu pada penelitian
maksimal. Pada prinsipnya semakin tebal gypsum eksperimental ini, pembakaran akan langsung
board yang dipakai maka tingkat ketahanan api diberhentikan apabila thermocouple pada benda uji
yang dihasilkan akan semakin tinggi [14]. telah mencapai 540oC.
Pengujian kuat tarik dilakukan untuk mengetahui
METODOLOGI PENELITIAN nilai kuat tarik yang tersisa dan tegangan ultimate
Pada penelitian ini akan digunakan profil baja WF material baja setelah mengalami kenaikkan
sebanyak 4 buah. Baja yang di gunakan adalah baja temperatur. Setelah pengujian pembakaran selesai
karbon dengan mutu A36 yang setara dengan BJ41 dilakukan maka selanjutnya dilakukan pengujian
dengan dimensi WF 150x75x5x7, yang mempunyai kuat tarik. Pembuatan benda uji untuk pengujian
tegangan ultimate fu = 410 MPa, tegangan leleh kuat tarik dilakukan sesuai dengan stndar yang
minimum fy = 250 Mpa dan peregangan minimum telah ditentukan pada ASTM A-370. Untuk lebih
18% [16]. jelas dapat dilihat pada gambar 6.
Berdasarkan SNI 03-1741-2.000 [16] ditetapkan 13mm
panjang benda uji minimum adalah 80 cm. 40mm
Pengujian ini juga bermaksud untuk mm
13mm
membandingkan kuat tarik dan tegangan leleh dari mm
benda uji yang mengalami uji pembakaran dan 100 245 100
tidak dibakar. mm mm mm
Gambar 6 Benda Uji untuk Pengujian Tarik [18]
Material yang akan digunakan sebagai bahan
pelindung tahan api adalah gypsum board dengan Tabel 1 Notasi untuk Setiap Benda Uji
variasi ketebalan 12mm dan 24mm. Untuk contoh Ther-
Pelapis Jumlah Notasi Pengujian
Mocouple
pemasangan gypsum board pada benda uji dapat Tanpa Gypsum 1 A Tidak dibakar
dilihat pada gambar 5. 1 B Bakar TC1, TC2
Gypsum 12 mm 1 C Bakar TC3, TC4
Pengujian dilakukan di Laboratorium Uji Api, Balai Gypsum 24 mm 1 D Bakar TC5, TC6
Sains Bangunan, Puslitbang Permukiman, Cileunyi,
Bandung dengan menggunakan tungku api vertikal
HASIL DAN PEMBAHASAN
sesuai standar ISO, thermocouple, data logger
(thermoduct), manometer compound, camera dan Setelah benda uji selesai di buat maka langkah
alat bantu pengamatan lainnya. selanjutnya adalah persiapan untuk melakukan
pengujian pembakaran. Pencatatan kenaikkan
pada tungku pembakaran dilakukan setiap 2 menit
dengan menggunakan data logger [16].

112
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 108-115

Hasil pengolahan data pada setiap benda uji ketebalan lapisan pelindung gypsum board
dilakukan dengan metode Paired T-test. Metode ini terhadap kenaikkan temperatur pada benda uji.
dipakai dengan tujuan dapat membandingkan Hubungan antara kenaikkan temperatur pada
pengaruh lapisan gypsum board terhadap benda uji terhadap waktu juga menunjukkan
kenaikkan temperatur pada benda uji dalam perbedaan yang signifikan. Hal tersebut di
satuan menit. tunjukan dengan angka signifikan yang lebih kecil
dari angka 0.05 sebagai syarat batas signifikan
Temperatur Benda Uji apabila menggunakan metode Paired T-test.
700

600 Kurva Tegangan-Regangan Seluruh


Benda Uji
500 Temperatur 12000
Temperatur 0C

Benda Uji A
400 10000

Tegamngan (kg)
Temperatur Benda Uji A
300 Benda Uji B 8000
Benda Uji B
200 Temperatur 6000
Benda Uji C Benda Uji C
100 4000
Benda Uji D
0
2000
0 20 40 60
Waktu (menit) 0
Gambar 7 Kurva Hubungan Temperatur dan Waktu [18] 0 20 40 60
Regangan
Tabel 2 Paired Samples Correlations antara Lapisan dan
Temperatur Baja Gambar 8 Kurva Hubungan Tegangan dan Regangan untuk
Seluruh Benda Uji [18]
N Correlation Sig.
Pair 1 Lapisan & Temp Baja 49 -.319 .026 Dari hasil analisis data pada setiap benda uji untuk
tegangan leleh dan tegangan ultimate yang sudah
Tabel 3 Paired Samples Correlations antara Temperatur mengalami proses pembakaran baik yang dilapisi
Baja dan Waktu maupun tidak dilapisi gypsum board tidak terdapat
N Correlation Sig. perbedaan yang signifikan. Hal tersebut di
Pair 1 Temp Baja & Waktu 49 .490 .000
tunjukkan dengan angka signifikan yang lebih
Dari hasil analisis data dengan menggunakan besar dari angka 0.05 sebagai syarat batas
metode Paired T-test dapat disimpulkan bahwa signifikan apabila menggunakan metode Paired T-
terdapat perbedaan yang signifikan antara test.

Gambar 9 Diagram Fase Besi Karbon [8]

113
Pengaruh Temperatur Tinggi (Teguh Esa Wibawa dan Suprapto)

Hasil dari pengujian kuat tarik yang telah berlangsung. Hal ini bertujuan agar dapat
dilakukan pada penelitian ini mendukung teori ditentukan kondisi yang ideal seperti
tentang diagram fase besi karbon. Benda uji yang dilapangan sesungguhnya.
telah mengalami pengujian pembakaran hingga 2. Dilakukan proses pengujian pembakaran
mencapai temperatur kurang lebih 540 0C tidak dengan temperatur lebih dari 723 0C. Hal ini
mengalami perubahan fase. Berdasarkan teori bertujuan agar terjadi perubahan fase pada
tentang fase besi karbon yang dapat dilihat pada material baja sesuai dengan diagram fase besi
gambar 9 titik tranformasi agar terjadi perubahan karbon.
fase tersebut terletak pada temperatur 723 0C.
Setelah benda uji dibakar hingga mencapai UCAPAN TERIMA KASIH
temperatur 540 0C kemudian didinginkan pada Kepada Kepala Balai Sains Bangunan, Puslitbang
udara terbuka, hal tersebut biasa disebut dengan Permukiman Pekerjaan Umum atas izin pemakaian
istilah normalizing [1] sarana dan peralatan uji, para staf, teknisi dan
Oleh karena itu, benda uji (baja) yang telah operator Lab. Uji Api atas saran-saran, diskusi dan
mengalami uji pembakaran hingga mencapai bantuannya dalam menyelesaikan penelitian ini.
temperatur 540 0C dan didinginkan pada udara
terbuka (normalizing) tidak mengalami perubahan DAFTAR PUSTAKA
struktur kristal pembentuknya. Hal ini Al-Huda, Mafudz. (2008). Perlakuan Panas.
menyebabkan kekuatan tarik dan tegangan Fakultas Teknologi Industri. Universitas
ultimate dari benda uji sebelum dan sesudah Mercu Buana, Indonesia.
mengalami uji pembakaran tersebut tidak ASTM Designation E 119. (2.000). Standard Test
mengalami perubahan. Methods for Fire Tests of Building Construction
and Material. Annual Book of Standard
KESIMPULAN DAN SARAN American Society for Testing and Materials.
Kesimpulan Brannigan, Francis L. (1982). Building
Berdasarkan hasil analisis dari penelitian Construction for the Fire Service. 2nd Edition.
eksperimental untuk sifat-sifat mekanikal gypsum NFPA. National Fire Protection Association.
board terhadap kenaikkan temperatur pada profil Batterymarch Park, Quincy, Massachusetts.
baja dapat disimpulkan sebagai berikut : CAE, Centre for Advanced Engineering. (1994). Fire
1. Perbedaan ketebalan gypsum board sebagai Engineering Design Guide. University of
bahan lapisan pelindung profil baja saat Canterbury, New Zealand.
mengalami kebakaran terdapat perbedaan yang Cramer, S.M. Friday, O.M. White R.H. (2003).
signifikan Mechanical Properties of Gypsum Board at
2. Pada saat pengujian pembakaran dilakukan, Elevated Temperatures. University of
baja yang tidak di lapis oleh pelindung (gypsum Wisconsin Madison, USA.
board) memerlukan waktu selama 8 menit Englekirk, Robert. (1993). Steel Structures,
untuk mencapai temperatur 581,6 0C. Baja yang Controlling Behavior Through Design.
di lapis pelindung (gypsum board) dengan University of California. Los Angeles. John
ketebalan 12 mm memerlukan waktu selama 32 Wiley and Sons.Inc. Canada.
menit untuk mencapai temperatur 552,1 0C. Gypsum Association. (2006). Fire Resistance
Baja yang di lapis pelindung (gypsum board) Design Manual Sound Control. 18th Edition.
dengan ketebalan 24 mm memerlukan waktu Washington DC, USA.
52 menit untuk mencapai temperatur 565,4 0C. KNAUF Gypsum Indonesia. (2010). Laporan Hasil
3. Kurva hubungan tegangan regangan dari Uji Ketahanan Api. Laboratorium Uji Api.
material baja pasca kebakaran (temperatur Balai Sains Bangunan, Puslitbang
maksimum 540 0C) setelah mengalami Permukiman, Cileunyi, Bandung.
pendinginan pada udara terbuka (normalizing), Kumar, Satish S.R. Kumar, Santha A.R. (2004),
baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi Metallurgy of Steel. Indian Institute of
oleh lapisan gypsum board, dengan setiap Technology Madras.
ketebalan gypsum board 12 mm dan 24 mm Marcus, Samuel H. (1977). Basics of Structural
tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Steel Design. Reston Publishing Company,Inc.
A Prentice-Hall Company. Reston-Virginia
Saran Nwosu, D I. Kodur, V K R. (1999). Behavior of Steel
Hal-hal yang dapat disarankan adalah sebagai Frames Under Fire Condition. Proquest Science
berikut : Journals 26, 2, pg.156. Canadian Journal of Civil
1. Ditambahkannya penggunaan beban yang Engineering.
bekerja pada material baja atau pengujian tarik
pada saat proses pengujian pembakaran

114
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011 : 108-115

Partowiyatmo, Amir. (1996). Efek Kebakaran pada SNI 03-1729-2002. (2002). Tata Cara Perencanaan
Konstruksi Beton Bertulang. Majalah Struktur Baja untuk Bangunan Gedung.
Konstruksi Edisi Februari 1996. Departemen Pekerjaan Umum.
Patterson, James. (1937). Simplified Design for Suprapto (2007). Sistem Proteksi Kebakaran Pasif,
Building Fire Safety. Iowa State University, Kaitannya dengan Keselamatan Jiwa, Jurnal
United States of America. Permukiman Vol 2 No. 2 September 2007. hal
Salmon, Charles G. Johnson, John E. (1980). Steel 104-117.
Structure, Design and Behavior. 2nd Edition. Wibawa, T.E., dan Soegihardjo, H. (2010). Studi
University of Wisconsin, Madison Sifat-sifat Mekanikal Profil Baja yang
Schultz, Neil. (1952). Fire and Flammability Terbungkus Gypsum Board Setelah Mengalami
Handbook. Van Nostrand Reinhold Company, Kebakaran. Tesis Program Magister Bidang
New York. Keahlian Struktur. Jurusan Teknik Sipil, ITS
SNI 03-1741-2.000. (2000). Metode Pengujian Surabaya.
Ketahanan Api Komponen Struktur Bangunan.
Departemen Pekerjaan Umum.

115
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011: 116-119

Katalog dan Abstrak

UDC
628.02
Ang Anggraini, Fitrijani
a Aspek kelembagaan pada pengelolaan tempat pemrosesan akhir sampah regional/ Fitrijani Anggraini.--
Jurnal Permukiman.-- Vol. 6 No. 2 Agustus 2011.-- Hal. 65-74.-- Bandung : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman, 2011.
120 hlm. : ilus. : 30 cm
Abstrak : hlm. 65
ISSN : 1907-4352
I. RUBBISH ORGANIZATION 1. Judul
Kelangkaan lahan untuk dijadikan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), memicu berkembangnya pemanfaatan dan
pengadaan TPA bersama (TPA Regional) oleh beberapa kota/kabupaten yang letaknya berdekatan. Namun dalam
pelaksanaannya TPA Regional sering kurang efektif antara lain akibat struktur kelembagaan yang besar tapi miskin
fungsi, koordinasi yang kurang antar dan inter lembaga pemerintah daerah. Berdasarkan analisa SWOT lembaga
pengelola yang terbaik adalah Unit Pelaksana Teknik Daerah (UPTD) provinsi. Salah satu alternatif pengelolaan
TPA Regional adalah UPTD dengan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Kata kunci : pengelolaan sampah, TPA Regional, kelembagaan, UPTD, BLUD
UDC
628.032
Ary Aryenti
p Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan cara 3R (reduce, reuse, recycle)
di lingkungan permukiman ditinjau dari segi sosial ekonomi masyarakat / Aryenti .--Jurnal Permukiman.--
Vol. 6 No. 2 Agustus 2011.-- Hal. 75-83.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2011.
120 hlm. : ilus. : 30 cm
Abstrak : hlm. 75
ISSN : 1907-4352
I. RUBBISH SETTLEMENT 1. Judul
Pengelolaan sampah dengan pendekatan 3R merupakan suatu solusi alternatif penanganan sampah sejak dari
sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 60% masyarakat golongan berpenghasilan rendah dan sedang
sebagian besar telah melaksanakan program 3R sejak dari sumber, sedangkan masyarakat golongan
berpenghasilan tinggi belum secara optimal melaksanakannya. Adanya keterkaitan antara status sosial ekonomi
masyarakat dengan tingkat partisipasi mereka dalam pengelolaan sampah. Model pengelolaan sampah dengan cara
3R sangat cocok diterapkan di lingkungan permukiman.
Kata kunci : partisipasi, masyarakat, sosial ekonomi, pengelolaan, sampah 3R
UDC
69.058.4
Wid Widyastomo, Deasy
p Perubahan pola permukiman tradisional suku Sentani di pesisir Danau Sentani / Deasy Widyastomo. --
Jurnal Permukiman.-- Vol. 6 No. 2 Agustus 2011.-- Hal. 84-92.-- Bandung : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Permukiman, 2011.
120 hlm. : ilus. : 30 cm
Abstrak : hlm. 84
ISSN : 1907-4352
I. SETTLEMENT - TRADITIONAL 1. Judul
Perubahan pola permukiman suku Sentani didasarkan hasil analisa kualitas permukiman dan lingkungan, analisa
kekhasan fisik permukiman dan analisa perubahan permukiman tradisional. Ketiga faktor tersebut menunjukkan
pengaruh pada perubahan pola permukiman tradisional. Perubahan tersebut merubah pola hidup masyarakat dari
cara hidup komunal menjadi individual, serta perubahan permukiman tradisional dari bentuk permukiman linear
menjadi permukiman menyebar. Perubahan pola permukiman tradisional dilakukan untuk meningkatkan
eksistensi hidup masyarakat dapat berkelanjutan.
Kata kunci : perubahan, pola permukiman, tradisional, suku Sentani, Danau Sentani
UDC
631.81
Suh Suhaeni, Heni
k Kepadatan penduduk dan hunian berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi penduduk di lingkungan
perumahan padat / Heni Suhaeni.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 6 No. 2 Agustus 2011.-- Hal. 93-99.-- Bandung :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2011.

116
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011: 116-119

120 hlm. : ilus. : 30 cm


Abstrak : hlm. 93
ISSN : 1907-4352
I. GROWTH POPULATION 1. Judul
Penduduk perkotaan tinggal di kawasan perumahan yang kepadatannya terus bertambah. Adaptasi penduduk
diperlukan sebagai usaha menyesuaikan diri dengan kondisi fisik lingkungan perumahan yang serba terbatasi.
Kajian ini menemukan bahwa kepadatan penduduk dan hunian yang tinggi berpengaruh secara signifikan terhadap
kemampuan manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya, dan dalam batas-batas tertentu kondisi tersebut
berpengaruh dalam mencapai optimalisasi kehidupannya.
Kata kunci : kepadatan tinggi, pengaruh, adaptasi manusia, penduduk dan penghuni
UDC
614.842.83
Sar Sarwono, Agus
p Peningkatan layanan institusi pemadam kebakaran melalui penerapan rencana induk kebakaran (RIK),
studi kasus : kota Pontianak Kalimantan Barat / Agus Sarwono.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 6 No. 2 Agustus
2011.-- Hal. 100-107.-- Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2011.
120 hlm. : ilus. : 30 cm
Abstrak : hlm. 100
ISSN : 1907-4352
I. FIRE - SERVICE 1. Judul
RIK merupakan acuan yang digunakan untuk kurun waktu 5-10 tahun ke depan sesuai dengan RTRW yang berlaku.
Model RIK yang bagaimana yang tepat untuk Kota Pontianak terkait dengan upaya peningkatan kemampuan
institusi pemadam kebakaran Kota Pontianak dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya
kebakaran yang akan menjadi bahan kajian. Berdasarkan hasil kajian kebutuhan ideal pelayanan institusi
pemadam kebakaran Kota Pontianak adalah 1.200 personil, 50 mobil pemadam, dan 17 pos pemadam kebakaran
serta terbagi dalam 4 zona Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK).
Kata kunci : RIK, WMK, pos kebakaran, Institusi Pemadam Kebakaran, Kota Pontianak
UDC
678.019
Wib Wibawa, Teguh Esa
p Pengaruh temperatur tinggi terhadap kekuatan leleh dan kuat tarik pada bahan baja melalui uji api/
Teguh Esa Wibawa dan Suprapto.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 6 No. 2 Agustus 2011.-- Hal. 108-115.--
Bandung : Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2011.
120 hlm. : ilus. : 30 cm
Abstrak : hlm. 108
ISSN : 1907-4352
I. STEEL - TEMPERATURE 1. Suprapto 2. Judul
Penelitian dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanikal profil baja yang dilapis gypsum board pasca pengujian
pembakaran dan uji kuat tarik. Benda uji yang dipakai adalah baja karbon A36 sebanyak 4 buah. Pengujian
pembakaran dilakukan terhadap benda uji tanpa lapisan, dan dengan lapisan gypsum board setebal 12mm dan
24mm. Hasil pengujian kemudian dibandingkan dengan baja yang tidak diuji bakar. Profil baja yang dilapis gypsum
board mempunyai perbedaan signifikan terhadap kenaikkan temperatur saat mengalami kebakaran. Untuk
mencapai temperatur 540C, baja tanpa lapisan memerlukan waktu 8 menit, sedang baja dengan lapisan 12mm
memerlukan waktu 32 menit dan 52 menit untuk baja dengan lapisan 24mm.
Kata kunci : temperatur, panel gypsum, sifat mekanik

117
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011: 116-119

Catalogue and Abstract

UDC
628.4.02
Ang Anggraini, Fitrijani
i Institutional aspects in the management of regional final waste processing site / Fitrijani Anggraini. --
Jurnal Permukiman. -- Vol. 6 No. 2 August 2011. -- Page 65 74. --Bandung : Research Institute for Human
Settlements, 2011.
120 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 65
ISSN : 1907 4352
I. RUBBISH ORGANIZATION 1. Title
The scarcity of land to be used as final disposal site, triggers the development and utilization of landfill
procurement together (Regional Landfill) between the near city or district. However, in practice often less effective
Regional Landfill other things due to large institutional structures but less functional, lack of coordination between
local governments. Based on SWOT analysis of the best management institutions are UPTD province. One
alternative is to manage the Regional Landfill UPTD with the pattern of financial management of Local Public
Service Board (BLUD).
Keywords : solid waste management, Regional Landfill, institutional, UPTD, BLUD
UDC
628.4.032
Ary Aryenti
i Increase of community participation in management of trash using 3R (reduce, reuse, recycle) program
in settlement environment from socio-economic aspect / Aryenti. -- Jurnal Permukiman. -- Vol. 6 No. 2 August
2011. -- Page 75 83. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2011.
120 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 75
ISSN : 1907 4352
I. RUBBISH SETTLEMENT 1. Title
With the 3Rs of waste management approach is an alternative solution for dealing with waste from the source, the
result showed that 60% of low and moderate income groups have largely implement the 3R program since of the
source, while high income class people do not perform optimally. There is a correlation between socio economic
status with their level of participation in waste management. Model 3Rs of waste management in a way very
suitable to be applied in the settlements.
Keywords : participation, community, social economic, management, waste 3R
UDC
69.058.4
Wid Widyastomo, Deasy
t The alteration in the traditional settlement patterns of Sentani tribe lake shores/ Deasy Widyastomo. --
Jurnal Permukiman. -- Vol. 6 No. 2 August 2011. -- Page 84 92. -- Bandung : Research Institute for Human
Settlements, 2011.
120 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 84
ISSN : 1907 4352
I. SETTLEMENT TRADITIONAL 1. Title
The alteration of Sentani tribes settlement patterns based on the analysis of the settlements and environmental
quality, physical distinctiveness of settlements as well as the analysis of the traditional settlement changes shows
some changes. These alterations change the pattern of the community life from communal into individual way of
life, and changes in traditional settlement of linear form of spread pattern. The traditional settlement pattern
change was made to improve the community life to be sustainable.
Keywords : alteration, settlement pattern, traditional, Sentani tribe, Sentani lake
UDC
631.81
Suh Suhaeni, Heni
p Population density has effected on the inhabitants adaption in the densely / Heni Suhaeni. -- Jurnal
Permukiman. -- Vol. 6 No. 2 August 2011. -- Page 93 99. -- Bandung : Research Institute for Human
Settlements, 2011.
120 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 63

118
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011: 116-119

ISSN : 1907 4352


I. GROWTH POPULATION 1. Title
The urban inhabitants have to live in the residential areas where the population density keep increasing. The
human adaptation is required to adapt with the limited spaces of residential area. This study finds out that the high
density of the population significantly has influenced on the ability of human adaptation on their environment, and
in the certain condition it can restrict people to gain the optimum life.
Keywords : high density, effect, human adaptation, population and dweller
UDC
614.842.83
Sar Sarwono, Agus
s Service improvement of fire department through the implementation of fire urban master plan (FUM)
Pontianak, West Kalimantan case study / Agus Sarwono. -- Jurnal Permukiman. -- Vol. 6 No. 2 August 2011. --
Page 100 107. -- Bandung : Research Institute for Human Settlements, 2011.
120 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 100
ISSN : 1907 4352
I. FIRE - SERVICE 1. Title
Fire Urban Master Plan (FUM) a reference that will be used for 5-10 years ahead according to RTRW, how is exact
FUM model for Pontianak city relates with efforts to increase the capability of Fire Department to prevent and
carry out danger of fire. The research has results with necessity ideal servicing of Fire Department are 1,200
personnel, 50 fire trucks and 17 fire post. Based on natural border condition, the Fire Management Area (FMA) of
Pontianak city is divided to 4 zones.
Keywords : FUM, FMA, fire post, Fire Department, Pontianak city
UDC
678.019
Wib Wibawa, Teguh Esa
i Impact of fire temperature to the melting and tensile strength of steel structure / Teguh Esa Wibawa
and Suprapto. -- Jurnal Permukiman. -- Vol. 6 No. 2 August 2011. -- Page 108 115. -- Bandung : Research
Institute for Human Settlements, 2011.
120 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 108
ISSN : 1907 4352
I. STEEL TEMPERATURE 1. Suprapto 2. Title
This research aimed at investigating the mechanical properties of steel encased by gypsum board after exposing to
fire resistance and tensile tests. The samples used were 4 (four) carbon steel A36. Test conducted to uncover
samples, and samples covered with 12mm and 24mm gypsum boards. The results was then compared to the
untested steel. The covered steel had shown a significant differences in temperature increase compared to
uncovered ones. To reach a temperature of 540C, the uncovered steel required 8 minutes, whereas 12mm
covered steel required 32 minutes, and 52 minutes for 24mm covered steel.
Keywords : temperature, gypsum board, mechanical properties
UDC
628.4.02
Ang Anggraini, Fitrijani
i Institutional aspects in the management of regional final waste processing site / Fitrijani Anggraini. --
Jurnal Permukiman. -- Vol. 6 No. 2 August 2011. -- Page 65 74. -- Bandung : Research Institute for Human
Settlements, 2011.
120 Pages : ilus.; 30 cm
Abstract : Page 65
ISSN : 1907 4352
I. RUBBISH ORGANIZATION 1. Title
The scarcity of land to be used as final disposal site, triggers the development and utilization of landfill
procurement together (Regional Landfill) between the near city or district. However, in practice often less effective
Regional Landfill) other things due to large institutional structures but less functional, lack of coordination
between local governments. Based on SWOT analysis of the best management institutions are UPTD province. One
alternative is to manage the Regional Landfill UPTD with the pattern of financial management of Local Public
Service Board (BLUD).
Keywords : solid waste management, Regional Landfill, institutional, UPTD, BLUD

119
Jurnal Permukiman, Vol. 6 No. 2 Agustus 2011: 120

Indeks Subjek

A B
Adaptasi manusia = 93, 97 BLUD = 65, 66, 72, 73

B C
BLUD = 65, 66, 72, 73 Community = 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83

G F
Gypsum board = 108, 109, 111, 112, 114 Fire department = 100, 101, 106
Fire post = 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106
I FMA = 100, 102, 103, 105, 106, 107
Institusi pemadam kebakaran = 100, 101, 106 FUM = 100, 101, 102

K G
Kelembagaan = 65, 68, 69, 72, 73 Gypsum board = 108, 109, 111, 112, 114
Kepadatan tinggi = 93, 95
Kota Pontianak = 100, 101, 102, 104, 105, 106 H
High density effect = 93, 95
M Human adaptation = 93, 97, 98
Masyarakat = 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83
I
P Institutional = 65, 68, 69, 72, 73
Partisipasi = 75, 78, 80, 82
Pengaruh = 93, 97, 98 M
Pengelolaan = 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83 Management = 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83
Pengelolaan sampah = 65, 66, 69, 73, 74 Mechanical properties = 108
Perubahan pola permukiman = 84, 85, 87, 88, 89, 90, 91
Pos kebakaran = 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106 P
Partisipation = 75, 78, 80, 82
R Pontianak city = 100, 101, 102, 104, 105, 106
RIK = 100, 101, 102 Population and dweller = 93, 97

S R
Sampah 3R = 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82 Regional landfill = 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74
Sifat mekanik = 108
Sosial ekonomi = 75, 76, 77, 78, 79, 80 S
Suku Sentani = 84, 85, 87, 88, 89, 90, 91 Sentani tribe = 84, 85, 87, 88, 89, 90, 91
Settlement pattern alteration = 84, 85, 87, 88, 89, 90, 91
T Solid waste management = 65, 66, 69, 73, 74
Temperatur = 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114 Socio-economic = 75, 76, 77, 78, 79, 80
TPA Regional = 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74
Tradisional = 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91 T
Temperatur = 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114
U Traditional = 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91
UPTD = 65, 66, 69, 71, 72, 73
U
W UPTD = 65, 66, 69, 71, 72, 73
WMK = 100, 102, 103, 105, 106, 107
W
Waste 3R = 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82

120
Pedoman Penulisan Naskah

1. Redaksi menerima naskah karya ilmiah ilmu pengetahuan dan teknologi bidang permukiman, baik dari dalam
dan luar lingkungan Pusat Litbang Permukiman
2. Naskah disampaikan ke redaksi dalam bentuk naskah tercetak hitam putih sebanyak 3 rangkap dengan jumlah
naskah maksimum 15 halaman termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka
3. Naskah akan dinilai oleh dewan penelaah. Kriteria penilaian meliputi kebenaran isi, derajat, orisinalitas,
kejelasan uraian dan kesesuaian dengan sasaran jurnal. Dewan penelaah berwenang mengembalikan naskah
untuk direvisi atau menolaknya
4. Penelaah berhak memperbaiki naskah tanpa mengubah isi dan pengertiannya, serta akan berkonsultasi dahulu
dengan penulis apabila dipandang perlu untuk mengubah isi naskah. Penulis bertanggung jawab atas pandangan
dan pendapatnya di dalam naskah
5. Jika naskah disetujui untuk diterbitkan, penulis harus segera menyempurnakan dan menyampaikannya kembali
ke redaksi beserta filenya dengan program (software) Microsoft Office Word paling lambat satu minggu setelah
tanggal persetujuan
6. Bila naskah diterbitkan, penulis akan mendapatkan reprint (cetak lepas) sebanyak 3 eksemplar dan naskah akan
menjadi hak milik instansi penerbit
7. Naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan kepada penulis dan naskah tidak akan dikembalikan,
kecuali ada permintaan lain dari penulis
8. Keterangan yang lebih terperinci dapat menghubungi Sekretariat Redaksi
9. Secara teknis persyaratan naskah adalah :
Sistematika penulisan :
Bagian awal : Judul, Keterangan Penulis, Abstrak. Abstrak disusun dalam satu alinea antara 150-
200 kata berisi : alasan penelitian dilakukan, pernyataan singkat apa yang telah
dilakukan (metode), pernyataan singkat apa yang telah ditemukan, pernyataan
singkat apa yang telah disimpulkan disertai minimal 5 kunci. Judul, Abstrak dan Kata
Kunci disusun dalam 2 (dua) bahasa (Indonesia-Inggris)
Bagian utama : Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan
Bagian akhir : Ucapan Terima Kasih (bila perlu), Daftar Pustaka dan Lampiran (jika ada)
Teknik penulisan:
a. Naskah ditulis pada kertas ukuran A4 portrait (210 x 297 mm), ketikan satu spasi dengan 2 kolom,
jarak kolom pertama dan kedua 1 cm.
b. Margin: tepi atas 3 cm, tepi bawah 2,5 cm, sisi kiri 3 cm dan kanan 2 cm. Alinea baru diberi tambahan
spasi (+ ENTER).
Penggunaan huruf:
Judul, ditulis di tengah halaman, Cambria 14 pt. Kapital Bold
Isi Abstrak, Cambria 10 pt italic 1 spasi
Sub judul, ditulis di tepi kiri, Cambria Kapital 11pt, Bold
Isi, Cambria 10 pt, 1 spasi
Penomoran halaman menggunakan angka arab
c. Daftar Pustaka sebaiknya menggunakan referensi terbaru, maksimal penerbitan 5 (lima) tahun
terakhir, kecuali untuk handbook yang belum ada cetakan revisi/ terbaru.
d. Daftar pustaka ditulis sesuai contoh sebagai berikut:
Buku (monograf)
Kourik, R. 1998. The lavender garden: beautiful varieties to grow and gather. San Francisco: Chronicle
Books.
Artikel Jurnal
Terborgh, J. 1974. Preservation of natural diversity: The problem of extinction-prone species. Bioscience
24:715-22.
Situs Web
Thomas, Trevor M. 1956. Wales: Land of Mines and Quaries. Geographical Review
46, No. 1: 59-81. http://www.jstor.org/ (accessed June 30, 2005).

Você também pode gostar