Você está na página 1de 13

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

Oleh: Darsono
Abstraksi

Hasil riset deskriptif yang dilakukan oleh Tchy & Devanna (1998) menunjukkan bahwa
pemimpin transformasional melakukan proses transformasi yang meliputi tiga tahap
pokok (1) Identifikasi kebutuhan akan perubahan (2) Menciptakan visi baru (3)
Melembagakan perubahan
Penelitian yang dilakukan Dumphy & Stace (dalam Fulop & Linsed, 1999) memberikan
hasil serupa bahwa pemimpin transformasional memiliki tiga karakteristik utama : (1)
Merumuskan visi baru mengenai masa depan organisasi (menciptakan visi baru,
menghentikan kerangka lama, dan mendemonstrasikan komitmen pribadi atas visi
tersebut); (2) Mengkomunikasikan visi baru (mengkomunikasikan dan mendramatisasi)
visi baru, berfokus pada SDM, dan memanfaatkan momentum khusus; (3)
Mengimplementasikan visi baru (membentuk tim yang efektif, melakukan reorganisasi
dan membentuk budaya baru).
Secara umum kepemimpinan transformasional menjanjikan perubahan dramatis. Namun
konsep itu tidak luput dari kritik. Salah satunya adalah menyangkut atribusi keberhasilan
melakukan perubahan yang dikaitkan hanya pada sang change master.
Kata kunci : Perubahan, Visi baru

PENDAHULUAN

Kepemimpinan merupakan salah satu isu yang paling menarik untuk didiskusikan dalam dunia
bisnis. Dalam industry literature manajemen popular, topik-topik seperti kepemimpinan yang
efektif dan kiat menjadi pemimpin berkharisma membanjiri pasar. Semua itu dalam literature
akademik, kepemimpinan juga menjadi salah satu topik terhangat.

Namun ironisnya, Burns (dalamWren, 1995) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan


salah satu topic yang paling banyak diamati sekaligus fenomena yang paling sedikit dipahami.
Hal tersebut tampak jelas pada pekembangannya banyak definisi yang dikemukakan untuk
merumuskan konsep kepemimpinan. Karena banyaknya definisi Stogdill ( dalam Yukl, 1989)
mengatakan bahwa jumlah definisi mengenai kepemimpinan hampir sama banyaknya dengan
jumlah orang yang mencoba mendefinisikannya.

Ackof (1999) mengungkap bahwa selama ini banyak terjadi kerancuan dalam penggunaan istilah
administrasi, manajemen, dan kepemimpinan. Menurut Ackof, pemahaman atas perbedaan
ketiga istilah tersebut dapat membantu peningkatan kualitas kepemimpinan dan implementasi
transformasi organisasional secara signifikan. Perbedaan yang dimaksud adalah :
1. Administrasi merupakan upaya mengarahkan orang lain untuk melakukan sesuatu yang
diinginkan oleh pihak ketiga dengan menggunakan cara-cara yang ditentukan oleh pihak
ketiga tersebut.
2. Manajemen meliputi upaya mengarahkan orang lain dalam rangka pencapaian tujuan
dengan menggunakan cara-cara tertentu yang baik tujuan maupun cara tersebut
ditetapkan oleh manajer.
3. Kepemimpinan mencakup upaya memandu, mendorong dan memfasilitasi orang lain
dalam rangka pencapaian tujuan dengan menggunakan cara-cara tertentu, yang tujuan
dan cara tersebut ditentukan atau disepakati oleh orang tersebut. Dengan kata lain
kepemimpinan menuntut kemampuan untuk menyelaraskan keinginan atau harapan
pengikut dan pemimpin sehingga pengikut bersedia mengikuti sang pemimpin secara
sukarela, dengan antusias dan dedikasi. Persyaratan tersebut tidak harus ada dalam
manajemen maupun administrasi.

PERKEMBANGAN TEORI KEPEMIMPINAN

Hingga saat ini belum dicapai kesepakatan mengenai karakteristik dan arti penting
kepemimpinan dalam dunia manajemen sumber daya manusia ( Shield, 1999). Ada sekelompok
pakar yang berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan factor terpenting dalam kehidupan
organisasi yang dapat mengatasi segala macam rintangan. Kelompok ini cenderung memandang
kepemimpinan sebagai serangkaian kualitas pribadi yang didefinisikan secara jelas (seperti visi,
charisma, inteligensia, keuletan, dan sebagainya) yang hanya dimiliki oleh segelintir orang
tertentu.

Sementara itu, kelompok pakar lainnya berpendapat bahwa konsep kepemimpinan harus dapat
dipahami bukan sebagai serangkaian kualitas individual, namun sebagai fenomena relasional.
Kita tidak akan memiliki pemimpin jika tidak ada pengikut. Pemimpin hanya dapat menjadi
pemimpin yang baik apabila tindakannya selaras dengan persepsi steriotipikal dari pihak lain
mengenai kepemimpinan yang baik, pihak lain tersebut bersedia, paling tidak dalam jangka
waktu tertentu, untuk mengakui mereka sebagai pemimpin. Seseorang dapat kehilangan
statusnya sebagai pemimpin bila ditinggalkan pengikutnya. Berdasarkan perspektif tersebut,
yang patut dipahami bukan saja kepemimpinan, namun juga followership (mengapa dan dalam
situasi apa orang bersedia dipimpin).

Selain itu, ada pula kelompok ahli, terutama kalangan postmodernis, yang berargumen bahwa
kepemipinan lebih merupakan state of mind (konsepsi social dan psikologis imajiner) dari
realitas obyektif. Mereka berpendapat bahwa leader are neither born nor developed, they are
merely invented (Shield, 1999). Proses mengidentifikasikan seseorang sebagai pemimpin yang
efektif hanya berlaku selama atau setelah ia menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang
dipersepsikan sebagai leader like behaviours. Statusnya sebagai pemimpin harus secara
konstan direproduksi dan diperkokoh. Apabila ada pemimpin yang gagal, kegagalannya bukan
karena kekuatannya magisnya telah pudar tetapi karena para pengikutnya menginterpretasikan
tindakannya tidak sesuai lagi dengan harapan ideal mereka. Dalam hal ini, tidak ada natural-
born ataupun obyectively given leader, yang ada hanyalah socially-constructed leader (Shied,
1999).

Secara garis besar, diskusi mengenai faktor kunci atau kompetensi inti dari kepemimpinan
efektif dilandasi oleh empat pendekatan utama: (1) teori sifat; (2) teori behavioral (gaya
kepemimpinan); (3) teori kepemimpinan situasional ; dan (4) teori kepemimpinan
transformasional.

TEORI SIFAT (The Right Stuff)

Pandangan yang dikenal pula dengan istilah the Great Man /Great Woman View ini
mengasumsikan bahwa individu-individu tertentu dilahirkan dengan sifat pribadi atau
karakteristik inheren (seperti atribut fisik dan intelek) yang membuat mereka menjadi pemimpin
natural. Sebagai contoh, factor seperti tinggi badan kerapkali diasosiasikan dengan kemampuan
menjadi pemimpin dalam dunia militer dan olahraga.

Meskipun demikian, teori sifat lebih menekankan aspek kepribadian dari pada fisik. Pendekatan
tersebut berusaha mengidentifikasikan kombinasi factor-faktor psikologis yang dapat
membedakan pemimpin dengan pengikut (lihat tabel). Ada kecenderungan bahwa semakin
banyak penelitian yang dilakukan, daftar sifat yang dikemukakan akan semakin panjang dan
menyamai daftar belanja.

Tabel 1.1 Sifat-sifat Pemimpin

No: Faktor Uraian


1 Drive Hasrat besar untuk mengejar prestasi
Ambisi untuk maju dalam hal pekerjaan dan karir
Tingkat energy yang tinggi
Persistensi atau keuletan dalam mengerjakan hl-hal yang
tepat
Inisiatif untuk mengubah dan merealisasikan sesuatu
2 Motivasi Hasrat untuk memimpin
Kepemimpinan Kesediaan untuk mengemban tanggung jawab
Memandang kekuasaan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang diinginkan (socialized power motive) dari
pada sebagai tujuan akhir (personalized power motive)
3 Kejujuran dan Konsisen antara ucapan dan tindakan
Integritas
Dapat dipercaya
Pengikut berhasil ditarik dan dipertahankan melalui
keberhasilan menumbuhkan rasa percaya di antara
mereka
4 Kepercayaan Diri Sanggup menahan kemunduran, gigih dalam masa-masa
sulit, dan memimpin orang lain menuju arah baru.
Kemampuan mengambil keputusan sulit dan
mempertahankannya
Mengelola persepsi orang lain atas kepercayaan diri dan
membangkitkan respek mereka
Secara emosional stabil
5 Kemampuan Kognitif Inteligensia di atas rata-rata guna menganalisis situasi
secara akurat, memecahkan masalah secara efektif, dan
membuat keputusan yang tepat
Tidak perlu jenius, bahkan umunya tidak jenius
Mengelola persepsi orang lain atas inteligensi
6 Pemahaman terhadap Mampu mengumpulkan dan mengasimilasi informasi
Bisnis ekstensif mengenai perusahaan dan industry
Dibutuhkan dalam penyusunan visi strategi dan rencana
bisnis yang tepat
Sumber : Kirkpatrick, S. &E. A. Locke (199), h 48-60

TEORI BEHAVIORAL (the Right Style)

Pendekatan behavioral berusaha meninggalkan karakteristik deterministik pendekatan sifat


dengan asumsi bahwa bukan hanya ada satu pendekatan natural dan universal dalam
kepemimpinan. Sebaliknya, ada berbagai gaya kepemimpinan yang berbeda. Dalam pendekatan
ini,fokus utama beralih dari identifikasi serangkaian kompetensi kepemimpinan universal
menjadi identifikai sejumlah alternative gaya kepemimpinan. Dengan kata lain, pendekatan
behavioral berusaha menentukan bahwa apa yang dilakukan para pemimpin adalah efektif,
misalnya bagaimana mereka mendelegasikan tugas, berkomunikasi dan memotivasi bawahan dan
seterusnya.

Pendekatan behavioral memusatkan perhatiannya pada dua aspek perilaku kepemimpinan, yaitu
fungsi kepemimpinan (fungsi task-related dan group maintenance) dan gaya kepemimpinan
(task-related dan group maintenance). Beberapa teori terkemuka dalam kelompok pendekatan
ini antara lain Teoi X dan Y (Douglas McGregor), studi University of Michigan ( Rensis Likert),
Kisi-kisi manajerial (Blake and Molton), dan Studi Ohio Stae University.

Ada beberapa kritik terhadap pendekatan behavioral, di antaranya:


Tidak semua gaya kepemimpinan dinilai sama kedudukan dan arti pentingnya. Para
peneliti cenderung menunjukkan preferensi yang kuat pada gaya demokratis.
Asumsi bahwa gaya kepemimpinan demokratis lebih efektif dalam memotivasi para
pengikut perlu dipertanyakan. Asumsi ini mengabaikan signifikansi pengaruh konteks di
mana pemimpin beroperasi. Dalam beberapa situasi, gaya authoritarian dapat
memberikan hasil yang lebih superior dibanding gaya demokratis, paling tidak untuk
jangka pendek.
Pendekatan behavioral cenderung bersifat culture-bound. Budaya tertentu cenderung
bersifat hierarkhis Akibatnya, kepemimpinan demokratis sebagaimana diidealkan
Negara-negara Barat dapat dianggap tidak tepat (paling tidak oleh mereka yang
berkuasa).
Sepertihalnya teori sifat, pendekatan behavioral juga berpusat pada isu kepemimpinan
tanpa menyinggung masalah followership.

TEORI KEPEMIMPINAN SITUASIONAL (the right style for the Circumstance)

Pada prinsipnya pendekatan sifat dan behavioral berupaya mengidentifikasi suatu gaya
kepemimpinan terbaik. Dalam era kepemimpinan situasional disadari bahwa tidak ada satupun
gaya kepemimpinan yang terbaik dan berlaku universal untuk segala situasi dan lingkungan.
Pendekatan situasional (kontingensi) menekankan bahwa gaya kepemipinan yang digunakan
tergantung pada factor-faktor situasi, bawahan, tugas, organisasi dan variable lingkungan
lainnya. Dengan kata lain, kepemimpinan efektif tidak didasarkan pada pemilikan right stuff atau
right style, namun lebih pada kemampuan menilai lingkungan sehingga dapat memutuskan
perilaku kepemimpinan yang paling tepat untuk situasi yang dihadapi.

Teori-teori situasional yang banyak diadopsi antara lain rangkaian kesatuan kepemimpinan
(Tannembaum& Schmidt), teori kontingensi (Fred Fieder), teori siklus kehidupan (Hersey &
Blandcard), leoi LMX (leader-Member Exchange), path-goal theory (Robert House), dan
leadership-participation model (Victor &Philip Yetton). Tabel 1.3 berikut menyajikan
perbandingan antara empat model kepemimpinan situasional: teori kontingensi Fiedler, path goal
theory, vertical dyad linkage dan teori siklus kehidupan.

Pendekatan situasional berasumsi bahwa tidak ada satupun gaya kepemipinan yang terbaik untuk
semua situasi, namun pendekatan itu juga mengasumsikan bahwa ada gaya kepemipinan yang
paling tepat untuk situasi tertentu. Dengan kata lain, teori tersebut beranggapan bahwa gaya
kepemimpinan itu penting. Hal ini dipertanyakan oleh Steven Kerr dan John Jermier (1978) yang
berpendapat bahwa kadangkala kepemimpinan tidak penting karena adanya leadership
substitutes atau leadership neutralizers yang berupa variable individual, pekerjaan dan
organisasional tertentu (lihat Gambar 1.1) Kedua pakar tersebut berargumen bahwa pendekatan
yang mereka kemukakan justru merupakan teori kepemimpinan situasional sejati (Fulop &
Linstead, 1999), karena dalam beberapa situasi tertentu peranan pemimpin dapat digantikan
dengan mekanisme alternative, misalnya dalam team working yang memutuskan sendiri tujuan
dan standar kerja mereka. Kepemimpinan efektif lebih dipandang sebagai kemampuan untuk
memfasilitasi bawahan dengan arahan, bimbingan, dan dorongan semangat yang tidak dapat
diberikan oleh sumber-sumber lain. Meskipun demikian, pendapat Kerr & Jernier mengundang
kritik bahwa factor yang mereka sebut sebagai subtitusi atau neutralizers pada kenyataannya
lebih berperan sebagai suplemen yang saling melengkapi dengan kepemimpinan, sebagaimana
didekte oleh situasi.

Tabel 1.3 Perbandingan Beberapa Model Kepemimpinan Situasional

Model Perilaku Pemimpin Variabel Situasional Hasil/Kriteria


Teori Task oriented Relasi Kinerja
Kontingensi Relationship-oriented pemimpin-
Fiedler bawahan
Struktur tugas
Position power
Path-Goal Direktif Struktur tugas Kepuasan
Theory Suportif Karakteristik Motivasi
Partisipatif bawahan Kinerja
Orientasi pada prestasi
Vertical Perlakuan berbeda Kompetensi
Kepuasan
Dyad terhadap bawahan bawahan
Kinerja
Linkakae (ingroup atau out- Loyalitas
Tingkat
group) bawahan perputana
karyawan
Teori Siklus Direktif atau suportif Tingkat perkembangan Efektivitas
Kehidupan Kompetensi dan bawahan
komitmen
Sumber : Fulop, L. & S. Linstead (1999), h.175

Secara umum, masalah-masalah yang dijumpai pada pendekatan situasional/kontingensi


meliputi:

1. Model tersebut mengganti satu bentuk determinisme (kepribadian) dengan bentuk lainnya
(situasi). Situasi dianggap menentukan perilaku kepemimpinan, bukan sebaliknya.
2. Model itu hanya dapat berlaku atas dasar asumsi bahwa pemimpin dari awal dapat
mengidentifikasi gaya kepemimpinan yang tepat untuk setiap situasi yang dihadapi.
Dalam praktek yang terjadi justru sebaliknya, gaya kepemimpinan baru dapat
diidentifikasi setelah situasi terjadi.
3. Model itu mengasumsikan bahwa dimungkinkan tercapainya kesepakatan mengenai
situasi riil yang dihadapi. Namun bukanlah itu tergantung pada interpretasi setiap orang?
Karakteristik individu Pengaruh terhadap kepemimpinan

Pengalaman, kepemimpinan, Pengganti kepemimpinan berorientasi


pelatihan Pada tugas

Orientasi profesional Pengganti kepemimpinan berorientasi


Pada tugas dan suportif

Indeferen terhadap imbalan Menetralisir kepemimpinan


organisasional berorientasi pada tugas & suportif

Karakteristik pekerjaan Pengaruh terhaap kepemimpinan

Sangat terstruktur/rutin Pengganti kepemimpinan berorientasi


terhadap tugas

Secara instrinsik memuaskan Pengganti kepemimpinan sportif

Karakteristik organisasi Pengaruh terhadap kepemimpinan

Kelompok kerja yang kohesif Pengganti kepemimpinan


berorientasi pada tugas &suportif

Position in power pimpinan Menetralisir kepemimpinan


lemah berotrientasi pada tugas &suportif

Menetralisir kepemimpinan
Pemimpin terpisah secara fisik
berorientasi pada tugas &suportif

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

Bila model situasional lebih berfokus pada gaya kepemimpinan yang cocok untuk status quo,
maka model agen perubahan (chande agency models) menekankan alternative kepemimpinan
yang tepat untuk mengadakan perubahan. Salah satu teori agen perubahan yang paling
komprehensif adalah teori kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional.
Gagasan awal megenai model kepemimpinan tersebut dikembangkan oleh James MacGregor
Burn yang menerapkannya dalam konteks politik, dan selanjutnya disempurnakan serta
diperkenalkan kedalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Eisenbach, et al., 1999).
Kepemimpinan transaksasional memfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara
manajer dan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan
pada kesepakatan mengenai klarifikasi sasaran, standar kerja, dan penugasan kerja dan
penghargaan (imbalan dan insentif) atas pemenuhan tugas tersebut (prestasi). Aspek-aspek yang
terkandung dalam pertukaran tersebut meliputi (lihat gambar 1.2)

1. Imbalan Kontingen: kontrak pertukaran imbalan untuk upaya yang dilakukan,


menjanjikan imbalan bagi kinerja baik, dan menghargai prestasi kerja. Misalnya
pimpinan akan memberikan bonus sebesar Rp 100 juta bila manajer pemasaran sanggup
menaikkan penjualan sebesar 10%
2. Active Management by Exception: mengawasi dan mencari deviasi atau penyimpangan
atas berbagai aturan dan standar, serta mengambil tindakan korektif. Misalnya: pimpinan
akan memberitahu bawahannya jika jumlah kerusakan produk yang dihasilkannya
mengalami kenaikan signifikan. Ia juga akan membantu bawahannya memperbaiki mesin
yang rusak agar masalahnya segera teratasi.
3. Passive Management by Exception: melakukan intervensi hanya bila standar tidak
tercapai. Contoh pimpinan mendatangi bawahannya setelah memperhatikan laporan
produksi mingguan yang menunjukkan bahwa bawahan bersangkutan menghasilkan
banyak produk cacat.
4. Laissez Faire: melepaskan tanggung jawab dan menghindari pengambilan keputusan.
Contohnya: pimpinan jarang berada di antara para karyawan dan tidak menindaklanjuti
keputusan-keputusan yang membutuhkan tindakan nyata.

Ada dua karakteristik utama tipe kepemimpinan transaksional, yaitu : (1) manajer menggunakan
serangkaian imbalan (reward) untuk memotivasi para karyawan. Dan (2) manajer hanya
melakukan tindakan koreksi apabila bawahannya gagal mencapai sasaran prestasi yang
ditetapkan. Dengan demikian, kepemimpinan transaksional mengarah pada upaya
mempertahankan atau melanjutkan status quo.

Kepemimpinan Transaksional
Kinerja yang
Ibalan Kontingen Pertukaran antara
di sepakati
Pemimpin dan Pengikut
Management by Exception (aktif)
Management by Exception (pasif)
Laissez Faire

Kepemimpinan Transformasional
Memperluas dan
Kinerja
Kharisma Mempertinggi Sasaran
Pengikut Melampaui
Inspirasi
Harapan
Stimulasi Intelektual
Konsiderasi yang bersifat individual
Gambar: Kepemimpinan Transformasional versus Transaksional
Sumber : Schermerhorn, JR.Jr, J.G. Hunt, & R.N. Osborn(1995), h.173

Sebaliknya dalam kepemimpinan transformasional, yang merupakan perluasan dari


kepemimpinan kharismatik, pemimpin menciptakan visi dan lingkungan yang memotivasi para
karyawan untuk berprestasi melampaui harapan. Dalam hal ini para karyawan merasa percaya,
kagum, loyal dan hormat kepada kepemimpinannya, sehingga mereka termotivasi untuk
melakukan lebih dari apa yang diharapkan dari mereka. Bahkan tidak jarang melampaui apa
yang mereka perkirakan dapat mereka lakukan. Model kepemimpinan yang berkembang pesat
dalam dua decade terakhir ini didasarkan lebih pada upaya pemimpin untuk mengubah berbagai
nilai, keyakinan, dan kebutuhan para bawahan.

Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai kepemimpinan yang mencakup


upaya perubahan organisasi (sebagai lawan kepemimpinan yang dirancang untuk
mempertahankan status quo). Diyakini bahwa gaya ini akan mengarah pada kinerja superior
dalam organisasi yang sedang menghadapi tuntutan pembaruan dan perubahan. Seorang
pemimpin dapat mentransformasikan bawahannya melalui empat cara yang disebut Empat I
( Bass & Avolio, 1994), yaitu :
1. Idealized Influence ( Charisma)
Pemimpin transformasional memiliki integritas perilaku (behavioral integrity) atau
persepsi terhadap kesesuaian antar espased values dan enacted values (Smons, 1999).
Dengan kata lain, nilai-nilai yang ia ungkapkan lewat kata-kata konguren dengan nilai-
nilai yang ia wujudkan dalam tindakan. Pemimpin transformasional memberikan contoh
dan bertindak sebagai role model positif dalam perilaku, sikap, prestasi, maupun
komitmen bagi bawahannya. Hal itu tercermin dalam standar moral dan etika yang tinggi.
Ia sangat memperhatikan kebutuhan bawahannya, menanggung resiko bersama, hanya
menggunakan kekuasaannya bilamana perlu dan tidak memanfaatkannya untuk
kepentingan pribadi, memberi visi dan sense of mission, serta menanamkan rasa bangga
pada bawahannya. Melalu pengaruh seperti itu, bawahan akan menaruh respek, rasa
kagum, dan percaya pada pemimpinnya, sehingga mereka berkeinginan untuk melakukan
hal yang sama sebagaimana dilakukan sang pemimpin. Hal tersebut sangat besar
manfaatnya dalam hal adaptasi terhadap perubahan, terutama yang bersifat radikal dan
fundamental.
2. Inspirational Motivation
Pemimpin trasformasional memotivasi dan menginspirasi bawahannya dengan jalan
mengkomunikaksikan harapan tinggi dan tantangan kerja secara jelas, menggunakan
berbagai symbol untuk memfokuskan usaha atau tindakan, dan mengkespresikan tujuan
penting dengan cara cara sederhana. Ia juga membangkitkan semangat kerja sama tim
antusiasme dan optimisme di antara rekan kerja dan bawahannya.
3. Intellectual Stimulation
Pemimpin transformational berupaya menciptakan iklim yang kondusif bagi
berkembangnya inovasi dan kreativitas. Perbedaan pendapat dipandang sebagai hal yang
wajar terjadi. Pemimpin mendorong para bawahan untuk memunculkan ide-ide baru dan
solusi kreatif atas masalah-masalah yang dihadapi. Untuk itu bawahan sungguh-sungguh
dilibatkan dan diberdayakan dalam proses perumusan masalah dan pencarian solusi. Pada
dasarnya esensi kepemimpinan transformasional adalah sharing of pwer yang melibatkan
bawahan secara bersama-sama untuk melakukan perubahan (Handoko & Tjiptono, 1996)
Melalui penerapan berbagai praktek manajerial, para pemimpin mampu memberdayakan
bawahannya sehingga mereka semakin yakin dalam kemampuan diri mereka sendiri.
Dengan sense of self-efficacy yang lebih kuat, para bawahan akan lebih sanggup
mengerjakan dan berhasil dalam melakukan berbagai tugas yang menantang.
4. Individualized Consideration
Pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan setiap
individu untuk berprestasi dan berkembang dengan jalan bertindak selaku pelatih atau
penasihat. Pemimpin menghargai dan menerima perbedaan-perbedaan individual dalam
hal kebutuhan dan minat, misalnya beberapa karyawan menginginkan lebih banyak
dorongan semangat, sebagian mengharapkan otonomi yang lebih besar, sebagian lagi
menuntut standar yang lebih tegas dan lainnya menghendaki struktur tugas yang lebih
luas dalam rangka itu, pemimpin transformasional berinteraksi dan berkomunikasi secara
personal dengan bawahannya. Berbagai macam tugas didelegasikan sebagai cara
mengembangkan bawahan. Tugas yang didelegasikan akan dipantau untuk memastikan
apakah bawahan membutuhkan arahan atau dukungan tambahan dan untuk menilai
kemajuan yang dicapai. Idealnya, bawahan tidak akan merasa senang diperiksa atau
diawasi.
Kharisma yang berasal dari bahasa Yunani yang artinya hadiah merupakan salah satu dimensi
penting dalam kepemimpinan transformasional yang sekaligus menjadi predictor terkuat atas
hasil kepemimpinan (leadership outcomes), seperti usaha ekstra para bawahan, komitmen
terhadap organisasi, kepuasan terhadap pemimpin, dan penilaian bawahan terhadap ketrampilan
kepemimpinan (Bass, 1990). Sebagai elemen penting, kepemimpinan kharismatik berperan
sebagai necessary but not sufficient condition bagi kepemimpinan transformasional (Bass, 1985).
Pemimpin kharismatik memiliki beberapa komponen behavioral yang membedakan dari
pemimpi non-kharismatik (lihat Tabel 1.4)
Tabel 1.4 Komponen Behavioral Pemimpin Kharismatik dan Non-Kharismatik

Komponen Pemimpin Non-Kharismatik Pemimpin Kharismatik

Relasi dengan status Pada dasarnya menyetujui status Pada dasarnya menentang status qou
quo quo dan berusaha dan berusaha mengubahnya
mempertahankannya
Tujuan Masa Depan Tujuan tidak terlalu berbeda Visi ideal yang sangat berbeda
dengan status quo dengan status quo
Likablemness Perspektif bersama membuatnyaPerspektif bersama dan visi ideal
disukai membuatnya disukai dan menjadi
pahlawan yang dihormati serta patut
diteladani dan ditiru
Sifat terpercaya Dukungan tak berpihak dalam Dukungan tak berpihak melalui
upaya persuasi resiko dan biaya personal yang besar
Keahlian Ahli dalam menggunakn cara- Ahli dalam menggunakan cara-cara
cara yang tersedia untuk non konvensional untuk melampaui
mencapai dalam kerangka tatacara yang sudah ada
tatacara yang sudah ada
Perilaku Konvensional, patuh pada norma- Non konvensional (couternormative)
norma yang sudah ada
Sensitivitas Hanya sedikit kebutuhan akan Kebutuhan tinggi akan sensitivitas
Lingkungan sensitivitas lingkungan dalam lingkungan demi mengubah status
rangka mempertahankan status quo
quo
Artikulasi Artikulasi yang lemah atas tujuan Artikulasi yang kuat atas visi masa
dan memotivasi untuk memimpin depan dan motivasi untuk memimpin
Basis Kekuasaan Position power dan personal Personal power (berdasarkan
power (berdasarkan imbalan, keahlian, respek, dan kekaguman atas
keahlian dan preferensi terhadap pahlawan yang unik)
teman yang memiliki kesamaan
Relasi Egalitarian mencari consensus Elitist, entrepreneur, dan exemplary.
PemimpinPengikut atau direktif. Mendorong atau Mentransformasikan orang lain untuk
memerintahkan orang lain untuk menerima perubahan radikal yang
menerima pandangannya diusulkan.
Sumber : Conger, J.A & R. N Kanungo (1987),h. 641

Bass(1985) menegaskan bahwa kepercayaan bawahan merupakan konsekuensi logis dari


kepemimpinan transformasional. Kepercayaan merupakan factor esensial dalam manajemen
perubahan karena hal itu dibutuhkan untuk pengambilan resiko yang merupakan bagian integral
dari transformsi organisasional. Kepemimpinan transformasional kerapkali diidentifikasi melalui
pengaruhnya terhadap sikap, nilai, asumsi dan komitmen para pengikut. (Yukl, 1989). Apabila
bawahan bersedia mengubah sikap, nilai, asumsi dan komitmennya sedemikian rupa sehingga
selaras dengan organisasinya, maka diyakini bahwa mereka memiliki tingkat kepercayaan yang
tinggi atas integritas dan kredibilitas pemimpinnya. (Kouzes &Ponser, 1988).
Hasil riset deskrptif yang dilakukan oleh Tchy & Devanna (1990) menunjukkan bahwa
pemimpin transformasional melakukan proses transformasi yang meliputi tiga tahap pokok :
1. Identifikasi kebutuhan akan perubahan
2. Menciptakan visi baru
3. Melembagakan perubahan
Penelitian yang dilakukan Dumphy& Stace (1990 dalam Fulop & Linsed, 1999) memberikan
hasil serupa bahwa pemimpin transformasional memiliki tiga karakteristik utama :
1. Merumuskan visi baru mengenai masa depan organisasi (menciptakan visi baru,
menghentikan kerangka lama, dan mendemostrasikan komitmmen pribadi atas visi
tersebut)
2. Mengkomunikasikan visi baru (mengkomunikasikan dan mendramatisasi) visi baru,
berfokus pada SDM, dan memanfaatkan momentum khusus)
3. Mengimplementasikan visi baru (membentuk tim yang efektif, melakukan
reorganisasi dan membentuk budaya baru).
Berdasarkan hasil berbagai riset lainnya, diyakini bahwa kualitas kepemimpinan
transformasional tertentu sangat cocok untuk memimpin tipe perubahan tertentu. Misalnya
menurut Bass (1985), kepemimpinan transformasional tepat diterapkan untuk situasi yang
sifatnya non-rutin. Sementara itu, Pawar & Easmant (1997) menegaskan bahwa organisasi akan
lebih bersedia menerima kepemimpinan transformasional apabila adaptasi (dan bukannya
efisiensi) merupakan tujuannya. Sebaliknya situasi event-based pacing (focus pada
mempertahankan status quo dan mencapai sasaran-sasaran spesifik) lebih cocok dengan tipe
kepemimpinan transaksional yang menekankan klarifikasi sasaran, penggunaaan insentif dan
imbalan untuk memacu prestasi karyawan, dan focus pada penyelesaian tugas (Bass& Avolio,
1994)
Kouzes & Posner (1988) yang merumuskan lima langkah yang harus dilakukan agara dapat
menjadi pemimpin transformasional yaitu :
1. Mempertanyakan praktek yang ada saat ini
2. Menginspirasi visi bersama
3. Membantu orang lain untuk bertindak
4. Memperagakan atau mempraktekan cara merealisasikan visi.
5. Encourage the heart.
Lebih lanjut pemimpin transformasional dapat berhasil mengubah status quo dalam organisasi
dengan cara berperilaku sesuai di setiap tahapan proses transformasi. Apabila cara-cara lama
dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa
depan dengan focus strategic dan motivasional. Visi tersebut menyatakan secara jelas tujuan
organisasi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen.
Secara umum kepemimpinan transformasional menjanjikan perubahan dramatis. Namun konsep
itu tidak luput dari kritik. Salah satunya adalah menyangkut atribusi keberhasilan melakukan
perubahan yang dikaitkan hanya pada sang change master. Apakah sang pemimpin
transformasional benar-benar menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas upaya
perubahan organisasinya? Bagaimana dengan peranan faktor-faktor lain, seperti karyawan,
konteks, dan juga faktor keberuntungan.
Abad 21 menghadirkan berbagai tantangan besar, di antaranya angkatan kerja dengan tingkat
diversitas demografis yang semakin besar, perubahan teknologi, dan meningkatnya persaingan
internasional yang menuntut kesiapan pemimpin masa depan. Seiring dengan tuntutan perubahan
tersebut, model kepemimpinan seperti kepemimpinan transformasional, kharismatik dan
visionaries, yang berfokus pada transformasi organisasi, diyakini akan memainkan peranan yang
semakin penting bagi setiap organisasi guna memasuki persaingan yang pesat.
Daftar Pustaka
Ackoff, R.L (1999) Transformation Leadership . Strategy & Leadership, Jan/Feb h. 20-25
Bass, B.M (1985), Leadership and Performance Beyond Expectation New York; Free Press
Handoko, H. & F Tjiptono, Kepemimpinan Transformasional dan Pemberdayaan , Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia , Vol 1, (1),
Kotler, JP (2000), Leading Change: Why Transformation Efforts Fail Harvard Business
Review; Mart/april
Kozes, J. & B. Ponser (1998), The Leadership Challenge, San Fransisco: Jossey-Bass
Tjiptono, F, Perspektif Manajemen dan Pemasaran Kotemporer, Penerbit Andi Yogyakarta,
2000, Cetakan Pertama
Robbins Stephen P. 1998. Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. Terjemahan
Prenhalindo, Jakarta
Sondang P. Siagian, 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara. Jakarta.
M. Wahyudin.2000. Reformasi and Professionalisme Sumber daya Manusia. Jurnal Manajemen
Daya saing. Volume 1. Nomor1, Jakarta.

Você também pode gostar