Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Oleh: Darsono
Abstraksi
Hasil riset deskriptif yang dilakukan oleh Tchy & Devanna (1998) menunjukkan bahwa
pemimpin transformasional melakukan proses transformasi yang meliputi tiga tahap
pokok (1) Identifikasi kebutuhan akan perubahan (2) Menciptakan visi baru (3)
Melembagakan perubahan
Penelitian yang dilakukan Dumphy & Stace (dalam Fulop & Linsed, 1999) memberikan
hasil serupa bahwa pemimpin transformasional memiliki tiga karakteristik utama : (1)
Merumuskan visi baru mengenai masa depan organisasi (menciptakan visi baru,
menghentikan kerangka lama, dan mendemonstrasikan komitmen pribadi atas visi
tersebut); (2) Mengkomunikasikan visi baru (mengkomunikasikan dan mendramatisasi)
visi baru, berfokus pada SDM, dan memanfaatkan momentum khusus; (3)
Mengimplementasikan visi baru (membentuk tim yang efektif, melakukan reorganisasi
dan membentuk budaya baru).
Secara umum kepemimpinan transformasional menjanjikan perubahan dramatis. Namun
konsep itu tidak luput dari kritik. Salah satunya adalah menyangkut atribusi keberhasilan
melakukan perubahan yang dikaitkan hanya pada sang change master.
Kata kunci : Perubahan, Visi baru
PENDAHULUAN
Kepemimpinan merupakan salah satu isu yang paling menarik untuk didiskusikan dalam dunia
bisnis. Dalam industry literature manajemen popular, topik-topik seperti kepemimpinan yang
efektif dan kiat menjadi pemimpin berkharisma membanjiri pasar. Semua itu dalam literature
akademik, kepemimpinan juga menjadi salah satu topik terhangat.
Ackof (1999) mengungkap bahwa selama ini banyak terjadi kerancuan dalam penggunaan istilah
administrasi, manajemen, dan kepemimpinan. Menurut Ackof, pemahaman atas perbedaan
ketiga istilah tersebut dapat membantu peningkatan kualitas kepemimpinan dan implementasi
transformasi organisasional secara signifikan. Perbedaan yang dimaksud adalah :
1. Administrasi merupakan upaya mengarahkan orang lain untuk melakukan sesuatu yang
diinginkan oleh pihak ketiga dengan menggunakan cara-cara yang ditentukan oleh pihak
ketiga tersebut.
2. Manajemen meliputi upaya mengarahkan orang lain dalam rangka pencapaian tujuan
dengan menggunakan cara-cara tertentu yang baik tujuan maupun cara tersebut
ditetapkan oleh manajer.
3. Kepemimpinan mencakup upaya memandu, mendorong dan memfasilitasi orang lain
dalam rangka pencapaian tujuan dengan menggunakan cara-cara tertentu, yang tujuan
dan cara tersebut ditentukan atau disepakati oleh orang tersebut. Dengan kata lain
kepemimpinan menuntut kemampuan untuk menyelaraskan keinginan atau harapan
pengikut dan pemimpin sehingga pengikut bersedia mengikuti sang pemimpin secara
sukarela, dengan antusias dan dedikasi. Persyaratan tersebut tidak harus ada dalam
manajemen maupun administrasi.
Hingga saat ini belum dicapai kesepakatan mengenai karakteristik dan arti penting
kepemimpinan dalam dunia manajemen sumber daya manusia ( Shield, 1999). Ada sekelompok
pakar yang berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan factor terpenting dalam kehidupan
organisasi yang dapat mengatasi segala macam rintangan. Kelompok ini cenderung memandang
kepemimpinan sebagai serangkaian kualitas pribadi yang didefinisikan secara jelas (seperti visi,
charisma, inteligensia, keuletan, dan sebagainya) yang hanya dimiliki oleh segelintir orang
tertentu.
Sementara itu, kelompok pakar lainnya berpendapat bahwa konsep kepemimpinan harus dapat
dipahami bukan sebagai serangkaian kualitas individual, namun sebagai fenomena relasional.
Kita tidak akan memiliki pemimpin jika tidak ada pengikut. Pemimpin hanya dapat menjadi
pemimpin yang baik apabila tindakannya selaras dengan persepsi steriotipikal dari pihak lain
mengenai kepemimpinan yang baik, pihak lain tersebut bersedia, paling tidak dalam jangka
waktu tertentu, untuk mengakui mereka sebagai pemimpin. Seseorang dapat kehilangan
statusnya sebagai pemimpin bila ditinggalkan pengikutnya. Berdasarkan perspektif tersebut,
yang patut dipahami bukan saja kepemimpinan, namun juga followership (mengapa dan dalam
situasi apa orang bersedia dipimpin).
Selain itu, ada pula kelompok ahli, terutama kalangan postmodernis, yang berargumen bahwa
kepemipinan lebih merupakan state of mind (konsepsi social dan psikologis imajiner) dari
realitas obyektif. Mereka berpendapat bahwa leader are neither born nor developed, they are
merely invented (Shield, 1999). Proses mengidentifikasikan seseorang sebagai pemimpin yang
efektif hanya berlaku selama atau setelah ia menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang
dipersepsikan sebagai leader like behaviours. Statusnya sebagai pemimpin harus secara
konstan direproduksi dan diperkokoh. Apabila ada pemimpin yang gagal, kegagalannya bukan
karena kekuatannya magisnya telah pudar tetapi karena para pengikutnya menginterpretasikan
tindakannya tidak sesuai lagi dengan harapan ideal mereka. Dalam hal ini, tidak ada natural-
born ataupun obyectively given leader, yang ada hanyalah socially-constructed leader (Shied,
1999).
Secara garis besar, diskusi mengenai faktor kunci atau kompetensi inti dari kepemimpinan
efektif dilandasi oleh empat pendekatan utama: (1) teori sifat; (2) teori behavioral (gaya
kepemimpinan); (3) teori kepemimpinan situasional ; dan (4) teori kepemimpinan
transformasional.
Pandangan yang dikenal pula dengan istilah the Great Man /Great Woman View ini
mengasumsikan bahwa individu-individu tertentu dilahirkan dengan sifat pribadi atau
karakteristik inheren (seperti atribut fisik dan intelek) yang membuat mereka menjadi pemimpin
natural. Sebagai contoh, factor seperti tinggi badan kerapkali diasosiasikan dengan kemampuan
menjadi pemimpin dalam dunia militer dan olahraga.
Meskipun demikian, teori sifat lebih menekankan aspek kepribadian dari pada fisik. Pendekatan
tersebut berusaha mengidentifikasikan kombinasi factor-faktor psikologis yang dapat
membedakan pemimpin dengan pengikut (lihat tabel). Ada kecenderungan bahwa semakin
banyak penelitian yang dilakukan, daftar sifat yang dikemukakan akan semakin panjang dan
menyamai daftar belanja.
Pendekatan behavioral memusatkan perhatiannya pada dua aspek perilaku kepemimpinan, yaitu
fungsi kepemimpinan (fungsi task-related dan group maintenance) dan gaya kepemimpinan
(task-related dan group maintenance). Beberapa teori terkemuka dalam kelompok pendekatan
ini antara lain Teoi X dan Y (Douglas McGregor), studi University of Michigan ( Rensis Likert),
Kisi-kisi manajerial (Blake and Molton), dan Studi Ohio Stae University.
Pada prinsipnya pendekatan sifat dan behavioral berupaya mengidentifikasi suatu gaya
kepemimpinan terbaik. Dalam era kepemimpinan situasional disadari bahwa tidak ada satupun
gaya kepemimpinan yang terbaik dan berlaku universal untuk segala situasi dan lingkungan.
Pendekatan situasional (kontingensi) menekankan bahwa gaya kepemipinan yang digunakan
tergantung pada factor-faktor situasi, bawahan, tugas, organisasi dan variable lingkungan
lainnya. Dengan kata lain, kepemimpinan efektif tidak didasarkan pada pemilikan right stuff atau
right style, namun lebih pada kemampuan menilai lingkungan sehingga dapat memutuskan
perilaku kepemimpinan yang paling tepat untuk situasi yang dihadapi.
Teori-teori situasional yang banyak diadopsi antara lain rangkaian kesatuan kepemimpinan
(Tannembaum& Schmidt), teori kontingensi (Fred Fieder), teori siklus kehidupan (Hersey &
Blandcard), leoi LMX (leader-Member Exchange), path-goal theory (Robert House), dan
leadership-participation model (Victor &Philip Yetton). Tabel 1.3 berikut menyajikan
perbandingan antara empat model kepemimpinan situasional: teori kontingensi Fiedler, path goal
theory, vertical dyad linkage dan teori siklus kehidupan.
Pendekatan situasional berasumsi bahwa tidak ada satupun gaya kepemipinan yang terbaik untuk
semua situasi, namun pendekatan itu juga mengasumsikan bahwa ada gaya kepemipinan yang
paling tepat untuk situasi tertentu. Dengan kata lain, teori tersebut beranggapan bahwa gaya
kepemimpinan itu penting. Hal ini dipertanyakan oleh Steven Kerr dan John Jermier (1978) yang
berpendapat bahwa kadangkala kepemimpinan tidak penting karena adanya leadership
substitutes atau leadership neutralizers yang berupa variable individual, pekerjaan dan
organisasional tertentu (lihat Gambar 1.1) Kedua pakar tersebut berargumen bahwa pendekatan
yang mereka kemukakan justru merupakan teori kepemimpinan situasional sejati (Fulop &
Linstead, 1999), karena dalam beberapa situasi tertentu peranan pemimpin dapat digantikan
dengan mekanisme alternative, misalnya dalam team working yang memutuskan sendiri tujuan
dan standar kerja mereka. Kepemimpinan efektif lebih dipandang sebagai kemampuan untuk
memfasilitasi bawahan dengan arahan, bimbingan, dan dorongan semangat yang tidak dapat
diberikan oleh sumber-sumber lain. Meskipun demikian, pendapat Kerr & Jernier mengundang
kritik bahwa factor yang mereka sebut sebagai subtitusi atau neutralizers pada kenyataannya
lebih berperan sebagai suplemen yang saling melengkapi dengan kepemimpinan, sebagaimana
didekte oleh situasi.
1. Model tersebut mengganti satu bentuk determinisme (kepribadian) dengan bentuk lainnya
(situasi). Situasi dianggap menentukan perilaku kepemimpinan, bukan sebaliknya.
2. Model itu hanya dapat berlaku atas dasar asumsi bahwa pemimpin dari awal dapat
mengidentifikasi gaya kepemimpinan yang tepat untuk setiap situasi yang dihadapi.
Dalam praktek yang terjadi justru sebaliknya, gaya kepemimpinan baru dapat
diidentifikasi setelah situasi terjadi.
3. Model itu mengasumsikan bahwa dimungkinkan tercapainya kesepakatan mengenai
situasi riil yang dihadapi. Namun bukanlah itu tergantung pada interpretasi setiap orang?
Karakteristik individu Pengaruh terhadap kepemimpinan
Menetralisir kepemimpinan
Pemimpin terpisah secara fisik
berorientasi pada tugas &suportif
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
Bila model situasional lebih berfokus pada gaya kepemimpinan yang cocok untuk status quo,
maka model agen perubahan (chande agency models) menekankan alternative kepemimpinan
yang tepat untuk mengadakan perubahan. Salah satu teori agen perubahan yang paling
komprehensif adalah teori kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional.
Gagasan awal megenai model kepemimpinan tersebut dikembangkan oleh James MacGregor
Burn yang menerapkannya dalam konteks politik, dan selanjutnya disempurnakan serta
diperkenalkan kedalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Eisenbach, et al., 1999).
Kepemimpinan transaksasional memfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara
manajer dan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan
pada kesepakatan mengenai klarifikasi sasaran, standar kerja, dan penugasan kerja dan
penghargaan (imbalan dan insentif) atas pemenuhan tugas tersebut (prestasi). Aspek-aspek yang
terkandung dalam pertukaran tersebut meliputi (lihat gambar 1.2)
Ada dua karakteristik utama tipe kepemimpinan transaksional, yaitu : (1) manajer menggunakan
serangkaian imbalan (reward) untuk memotivasi para karyawan. Dan (2) manajer hanya
melakukan tindakan koreksi apabila bawahannya gagal mencapai sasaran prestasi yang
ditetapkan. Dengan demikian, kepemimpinan transaksional mengarah pada upaya
mempertahankan atau melanjutkan status quo.
Kepemimpinan Transaksional
Kinerja yang
Ibalan Kontingen Pertukaran antara
di sepakati
Pemimpin dan Pengikut
Management by Exception (aktif)
Management by Exception (pasif)
Laissez Faire
Kepemimpinan Transformasional
Memperluas dan
Kinerja
Kharisma Mempertinggi Sasaran
Pengikut Melampaui
Inspirasi
Harapan
Stimulasi Intelektual
Konsiderasi yang bersifat individual
Gambar: Kepemimpinan Transformasional versus Transaksional
Sumber : Schermerhorn, JR.Jr, J.G. Hunt, & R.N. Osborn(1995), h.173
Relasi dengan status Pada dasarnya menyetujui status Pada dasarnya menentang status qou
quo quo dan berusaha dan berusaha mengubahnya
mempertahankannya
Tujuan Masa Depan Tujuan tidak terlalu berbeda Visi ideal yang sangat berbeda
dengan status quo dengan status quo
Likablemness Perspektif bersama membuatnyaPerspektif bersama dan visi ideal
disukai membuatnya disukai dan menjadi
pahlawan yang dihormati serta patut
diteladani dan ditiru
Sifat terpercaya Dukungan tak berpihak dalam Dukungan tak berpihak melalui
upaya persuasi resiko dan biaya personal yang besar
Keahlian Ahli dalam menggunakn cara- Ahli dalam menggunakan cara-cara
cara yang tersedia untuk non konvensional untuk melampaui
mencapai dalam kerangka tatacara yang sudah ada
tatacara yang sudah ada
Perilaku Konvensional, patuh pada norma- Non konvensional (couternormative)
norma yang sudah ada
Sensitivitas Hanya sedikit kebutuhan akan Kebutuhan tinggi akan sensitivitas
Lingkungan sensitivitas lingkungan dalam lingkungan demi mengubah status
rangka mempertahankan status quo
quo
Artikulasi Artikulasi yang lemah atas tujuan Artikulasi yang kuat atas visi masa
dan memotivasi untuk memimpin depan dan motivasi untuk memimpin
Basis Kekuasaan Position power dan personal Personal power (berdasarkan
power (berdasarkan imbalan, keahlian, respek, dan kekaguman atas
keahlian dan preferensi terhadap pahlawan yang unik)
teman yang memiliki kesamaan
Relasi Egalitarian mencari consensus Elitist, entrepreneur, dan exemplary.
PemimpinPengikut atau direktif. Mendorong atau Mentransformasikan orang lain untuk
memerintahkan orang lain untuk menerima perubahan radikal yang
menerima pandangannya diusulkan.
Sumber : Conger, J.A & R. N Kanungo (1987),h. 641