Você está na página 1de 50

KIBAT HUKUM NIKAH SIRI TERHADAP KEDUDUKAN ANAK

AKIBAT HUKUM NIKAH SIRI TERHADAP KEDUDUKAN ANAK


DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI

OLEH :
YUYANTI LALATA
NIM : H.11.09.109

Untuk Memenihi Salah Satu Syarat Ujian


Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gororntalo

PROGRAM SARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO
2013

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Allah SWT telah membekali dengan naluri syahwat terhadap kesenangan dunia. Dari

berbagai naluri yang dikaruniakan kepada manusia, naluri terhadap lawan jenis bisa dikatakan

sebagain syahwat terbesar yang ada dalam dirinya. Kecenderungan ini sebelumnya juga telah ada

dalam Al-Quran ketika Allah menempatkan kecintaan laki-laki pada wanita dan sebaliknya,

mendahului kecintaan manusia kepada yang lainnya.

Setiap manusia pasti mendambakan hal yang namanya pernikahan, baik itu pria ataupun

wanita, karena manusia itu diciptakan untuk berpasang-pasangan dan pernikahan itu adalah suatu

yang sangat sakral sehingga orang terkadang harus berfikir seribu kali dalam memepersiapkan

pernikhanannya, berbicara jauh masalah pernikahan ada beberapa versi dalam pengartian atau

pengertian pernikahan itu sendiri diantanya sebagi berikut:

Perkawinan dalam islam ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki

dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela

dan kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa

kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang di ridhloi Allah SW

Namun jika dilihat dari segi agama perkawinan itu memiliki, dua cara pengartiannya

yaitu:

1) Pengertian secara bahasa,


Al-nikah yutlaq Kata al-nikah secara umum digunakan dalam makna persetubuhan, namun juga

bermakna akad tanpa persetubuhan.

2) Pengertian secara istilah

Secara umum Fuqaha memberikan definisi perkawinan sebagai berikut: Sebuah akad yang

menghalalkan bagi kedua belah pihak untuk bersenang-senang sesuai dengan syariat.
Meskipun terdapat definisi lain yang berbeda redaksinya, semua definisi itu memberikan

pengertian yang sama, bahwa obyek akad perkawinan adalah memberikan hak untuk bersenang-

senang sesuai dengan syariat, sehingga perkawinan itu dipandang oleh manusia dan syariat-

menjadikan bersenang-senang itu sebagai perbuatan yang halal.

Nanum jika di tinjau menurut undang-undang adalah sebagai berikut: Menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada hakekatnya perkawinan

adalah ikatan lahir batin manusia untuk hidup brsama antara seorang pria dan seorang wanita untuk

membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal, bahagia dan sejahtera dengan tujuan untuk

mendapatkan keturunan yang sah meneruskan generasi-generasi keluarga mereka.

Perkawinan juga merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma

kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan berbagai macam alasan yang bisa dibenarkan

perkawinan sering dilakukan dalam berbagai macam model seperti kawin bawa lari, kawin bawah

tangan dan juga kawin kontrak sehingga muncullah kawin yang skarang paling popular

dimasyarakat yakni kawin sirri. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini adalah perkawinan yang

dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai

pencatatan nikah (KUA).

Menurut hukum islam bagaimanapun bentuk dan model suatu perkawinan,jika selama

masih atau telah memenuhi syarat sah dan rukun perkawinan maka perkawinan itu dianggap sah

namun jika menurut hukum perkawinan Indonesia selain sah menurut agama dan kepercayaanya,

suatu perkawinan akan ada kekuatan hukum bila dicatat berdasarkan peraturan perundang-

undangan yaitu di KUA bagi muslim dan di KCS bagi non muslim.
Pengertian dari nikah siri, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan

dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak

dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).

Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para

ulama. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah

siri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-

rukun perkawinan dan syaratnya menurut syariat, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan

terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya

tidak ada walimatul-ursy. Adapun nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini

adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi

tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak

dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi

yang tidak beragama Islam.

Nikah siri adalah salah satu bentuk masalah yang terjadi di Negara Indonesia saat ini.

Permasalahan ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang berwenang, karena mereka yang

melaksanakan pernikahan siri ini tidak melaporkan pernikahan mereka kepada pihak yang

berkompeten dalam bidang tersebut yakni Kantor Urusan Agama (KUA) bagi umat muslim dan

Kantor Catatan Sipil bagi yang beagama non muslim.

Perkawinan siri biasanya dilakukan dihadapan tokoh masyarakat atau ustads sebagai

penghulu, atau ada juga yang dilakukan secara adat-istiadat saja kemudian tidak dilaporkan kepada

pihak yang berwewenang untuk dicatatkan sesuai dengan ketentuan undang-undang no 1 tahun

1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 2 yang berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah menggangu

keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum islam. Karena sekedar

menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu perkawinan tidak di catatkan, maka suami-

istri tersebut tidak memiliki bukti otentik bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan

yang sah. Akibatnya, dilihat dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah,

sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.

Oleh karena itu, perkawinan siri banyak menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan

rumah tangga. Akibat hukumnya bagi perkawinan yang tidak memiliki akte nikah, secara yuridis

suami/istri serta anak yang dilahirkan tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan

berkaitan dengan rumah tangganya. Anak-anaknya hanya akan diakui oleh Negara sebagai anak

diluar kawin yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. Istri

dan anak yang ditelantarkan oleh suami dan ayah biologisnya tidak dapat melakukan tuntutan

hukum baik pemenuhan hak ekonomi maupun harta kekayaan milik bersama.

1.2 Rumusan Masalah

Tak lepas dari latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah penulis kali ini adalah:

1. Bagaimana kedudukan hukum nikah siri dilihat dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan hukum

islam?

2. Bagaimana akibat hukum nikah siri terhadap kedudukan anak di tinjau menurut undang-undang

nomor 1 tahun 1974 dan perspektif hukum islam?

1.3 Tujuan Penelitian


. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian dengan judul Akibat Hukum Nikah Siri

Terhadap Kedudukan Anak Ditinjau Dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Dan Perspektif

Hukum Islam adalah:


1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan nikah siri dilihat dari Undang-Undang No 1 Thn 1974

dah hukun islam.

2. Untuk mengetahui akibat hukum nikah siri terhadap kedudukan anak di tinjau dari undang-undang

no 1 tahun 1974

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Secara teoritis

Dari hasil penelitian ini mudah-mudahan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan

ilmu hukum khususnya hukum islam dan hukum perkawinan di Indonesia, yang terus mengkaji

pembangunan hukum untuk tercapainya keadilan, kebenaran dan ketertiban dalam Negara hukum

indonesia yang berdasarkan pancasila UUD 1945.

1.4.2 Secara praktis

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan bagi para

pengambil kebijakan dalam pelaksanaan Undang-Undang perkawinan serta masukan kepada

pemerintah yang juga ikut bertanggung jawab atas masyarakat, selain itu hasil penelitian ini dapat

dipergunakan sebagai bahan acuan masyarakat dalam melakukan perkawinan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Nikah Siri

2.1.1 Pengertian Nikah Siri


Istilah nikah siri adalah kata yang berasal dari bahasa arab yang secara umum telah diserap

dalam bahasa Indonesia. Pernikahan siri yang dalam kitab fiqh disebut Az-zawaj as-siri sebagai

rangkaian dari dua kata yaitu az-zawaj dan as-siri. Istilah az-zawaj berarti pernikahan, sedangkan

istilah as-siri berarti rahasia. Berdasarkan pengertian tersebut, maka padanan kata az-zawaj as-siri

dapat diartikan pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi / rahasia.

Nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang

dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan agama, tetapi tidak dilakukan di

hadapan pegawai pencatat nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak di

catatkan di kantor urusan agama bagi yang beragama islam atau dikantor catatan sipil bagi yang

tidak beragama islam, sehingga tidak mempunyai akta nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah siri atu

dikenal juga dengan sebutan nikah dibawah tangan.

Nikah siri tidak hanya di kenal pada zaman sekarang saja, tetapi juga telah ada pada jaman

sahabat. Istilah itu berasal dari sebuah ucapan umar bin khattab pada saat member tahu, bahwa

telah terjadi pernikahan yang tidak sihadiri oleh saksi, kecuali hanya seorang laki-laki dan seorang

perempuan. Dalam suatu riwayat Masyhur, sahabat Umar bin Khattab r.a menyatakan:

ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, dan sekiranya saya tau lebih dahulu, maka pasti akan

saya rajam.

Pengertian nikah siri dalam persepsi umar tersebut didasarkan oleh padanya kasus perkawinan

yang hanya menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan semacam

ini menurut umar dipandang nikah siri. Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti abu hanifah,

malik, dan syafii bependapat bahwa nikah siri itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus di-fasakh

(batal). Namun apabila saksi telah terpenuhi tetapi dipesan oleh wali untuk merahasiakan
perkawinan yang mereka saksikan, para ulama berbeda pendapat. Imam Malik memandang bahwa

pernikahan yang dipesan untuk tidak di umumkan adalah sama dengan pernikahan siri sehingga

harus di-fasakh. Karena menurutnya yang menjadi syarat mutlak sahnya perkawinan adalah

pengumuman (iian).

Kenyataan bahwa dalam masyarakat kita masih sering terjadi nikah siri. Namun yang

dimaksud nikah siri dalam pengertian ini adalah nikah yang sah menurut agama, tetapi tidak sah

menurut undang-undang keragaman interpretasi mengenai nikah siri bermula dari adanya definisi

yang berbeda. Kergaman pendapat ini ternyata menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula.

Dalam kitab bidayatul mujtahid, Ibnu Rusyd mencoba mengklarifikasi pengertian nikah siri.

Dengan mengutip pandangan imam Malik yang dimaksud dengan nikah siri adalah perkawinan

yang mana pihak suami itu meminta kepada saksi yang menyaksikannya itu untuk tidak

mengumumkannya.

Sedangkan Mahmud Syaltut dalam kitabnya Al-Fatawa (Burhanudin S, 2010:17) menyatakan,

bahwa nikah siri merupakan nikah yang tidak menghadirkan saksi, tanpa pengumuman, serta tanpa

pencatatan resmi meskipun pasangan tetap berlangsung dalam status pernikahan yang

tersembunyi. Sedangkan menurut ulama Malikiah, nikah siri adalah pernikahan yang tidak

dipublikasikan meskipun telah dipersaksikan. Namun dalam hal ini, keberadaan saksi tetap

dimintakan untuk tidak menyebarluaskan pernikahan siri tersebut kepada halayak umum.

Istilah nikah siri yang berkembang selama ini sering juga disebut pernikahan dibawah tangan,

yaitu bentuk pernikahan yang telah memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan syariat meskipun

tanpa dilakukan pencatatan secara resmi di kantor urusan agama (KUA). Meskipun nikah siri

menurut pengertian ini memungkinkan sah secara syariat, namun secara administrative

pernikahan semacam tersebut tetap tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah/penguwasa.


Karena itu segala akibat yang timbul dari adanya pernikahan siri itu menjadi tidak bisa diproses

secara hukum.

Berdasarkan penjelasan tersebut, nampaknya lingkup pengertian nikah siri dapat dilihat dari

berbagai macam sudut pandang. Kecenderungan para fuqaha memaknai nikah siri terkait dengan

ketidakhadiran saksi. Berbeda dengan pengertian yang berkembang selama ini yang memaknai

nikah siri hanya sebatas pernikahan yang dilakukan tanpa sepengatahuan petugas pencatat nikah

dari kantor urusan agama (KUA), sehingga tidak mempunyai bukti surat nikah. Karena pabila yang

dimaksud pernikahan siri itu meliputi nikah tanpa menghadirkan saksi sebagai salah satu syarat

rukun nikah, maka dengan sendirinya pernikahan itu dapat dikatakan batal demi hukum.

Akibatnya, apabila nikah siri yang batal itu tetap dipaksakan sama artinya dengan melegalkan

perzinahan.

2.1.2 Sebab-Sebab Nikah Siri

Kebanyakan orang meyakini bahwa pernikahan siri dipandang sah menurut islam apabila

telah memenuhi rukun dan syaratnya, meskipun pernikahan tersebut tidak di catatkan resmi.

Begitu pula sebaliknya, suatu perceraian di pandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-

syaratnya, meskipun perceraian itu dilakukan di luar siding pengadilan. Akibat kenyataan tersebut,

maka timbul semacam dualism hukum yang berlaku di Negara Indonesia, yaitu dari satu sisi

pernikahan harus dicatatkan di kantor urusan agama (KUA), namun di sisi lain tanpa dicatatkan

pun ternyata tetap sah apabila memenuhi ketentuan syariat agama.

1) Zina Akibat Ber-Khalwat

Tidak semua orang memiliki kesiapan mental untuk menikah, apalagi disebabkan oleh

factor hubungan seksual di luar nikah (Zina) akibat pacaran (Khalwat) yang berkepanjangan. Rasa
penyesalan atas dosa yang telah dilakukan serta tuntutan tanggung jawab untuk melanjutkan

hubungan kasih saying, terkadang memaksa seseorang untuk keluar dari kenyataan, meskipun

dengan cara yang terkadang tidak lazim, seperti melakukan pernikahan siri. Bagi seorang laki-laki

pernikahan dapat dijadikan sebagai jalan untuk membuktikan adanya kasih sayang dan tuntutan

rasa tanggung jawab dari seorang wanita yang baru dikenalnya. Bahkan dengan janji-janji manis

untuk menikah tersebut, tidak sedikit wanita yang tergoda begitu saja untuk menyerahkan dirinya

kepada seorang laki-laki.

Kenyataan menunjukan, bahwa nikah siri sering dijadikan media bagi sepasang kekasih

yang ber-khalwat untuk melegalkan perikatan. Khalwat (pacaran) adalah perbuatan bersunyi-sunyi

antara dua orang mukallaf atau lebih berlainan jenis yang bukan muhrim tanpa ikatan perkawinan.

Karena itu menurut pandangan syariat, pacaran (khalwat) hukumnya diharamkan. Adapun yang

menjadi dasar hukum bahwa khalwat hukumnya haram adalah QS. Al Isra : 32 yang artinya: dan

janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah)

dan suatu jalan yang buruk.

2) Nikah Untuk Bercerai

Biasanya orang yang mempunyai niat menikah tetapi hanya un tuk sementara waktu

(bercerai), ada kecenderungan akan mengambil jalan nikah siri. Trend nikah siri dijadikan sebagai

pilihan, karena dinilai selain lebih mudah, dari segi prosedur juga dapat membebaskan para

pelakunya dari beban hukum. Akibatnya, mempelai wanita yang seharusnya mendapatkan

perlindungan hukum terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam rumah tangga justru

menjadi tdak menentu nasibnya. Suatu pernikahan yang sejak awalnya di niatkan dengan baik bisa

saja gagal ditengah jalan, apalagi pernikahan karena alasan dan tujuan tertentu, misalnya hanya

sekadar menghalalkan nafsu birahi yang muncul sesaat. Apabila nafsu birahi sudah hilang, maka
dengan seenaknya para pelaku nikah siri keluar dari komitmen mereka. Suami dengan seenaknya

meninggalkan istri-anaknya dan menikah dengan wanita lain. Begitu pula sebaliknya, istri dengan

seenaknya menelantarkan suami dan lari ke pelukan laki-laki lain. Tidak ada kekuatan hukum

Negara yang dapat menghukum mereka, kecuali sebelunya terdaftar secara resmi.

3) Poligami

Jika dikaitkan, poligami dapat mempunyai hubungan yang erat dengan nikah siri, terutama

ketika makna nikah siri dipahami sebagai pernikahan yang sembunyi-sembunyi ( tanpa

sepengetahuan pemerintah melalui pegawai pencatat nikah ). Dikatakan berpoligami ( taaddud

zaujat ), apabila seorang laki-laki menikah lebih dari satu oaring istri pada waktu yang bersamaan.

Pengadilan dapat member izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila

dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Izin dari peradilan agama dapat diberikan

kepada seorang suami yang akan berpoligami apabila berlaku ketentuan:

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri

b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Namun untuk dapat berpoligami syarat lain yang harus dipenuhi adalah:

1) Adanya persetujuan dari pihak istri, ( baik secara lisan maupun tertulis )

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak

mereka.

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Berlakunya peraturan poligami yang mengharuskan adanya persetujuan dari pihak istri yang

mendapatkan pengesahan dari pengadilan agama, ternyata menyebabkan seseorang yang

mempunyai niat untuk poligami berusaha mengambil jalan pintas dengan melangsungkan
pernikahan secara siri. Melalui pernikahan ini, mereka yakin akan mendapatkan kemudahan,

disamping dapat menghindari dari beban hukum yang mungkin diterimanya.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan.

2.2.1 Pengertian Perkawinan

Menurut Scholten (Titik Triwulan Tutik, 2006:106), perkawinan ialah suatu persekutuan

antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk bersama/bersekutu yang

kekal. Esensi dari pengertian tersebut diatas adalah, bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum,

baik karena apa yang ada didalamnya, maupun karena apa yang terdapat didalamnya.

Sementara menurut Soetoyo Prawirohamidjojo (Titik Triwulan Tutik, 2006:hal. 106),

perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dengan wanita yang dilakukan

secara formal dengan undang-undang ( Yuridis ) dan kebanyakan religious. Selain itu, Subekti

(Titik Triwulan Tutik, 2006: hal. 106) mengemukakan, bahwa : perkawinan adalah pertalian yang

sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama:.

Dalam hukum perdata barat tidak ditemukan devinisi tentang perkawinan. Istilah perkawinan

(huelijk) digunakan dalam dua arti, yaitu:

a. Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan melangsungkan perkawinan (Pasal 104 BW). Dengan

demikian perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada suatu saat tertentu.

b. Sebagai suatu keadaan hukum yaitu keadaan bahwa seorang pria dan seorang wanita terikat oleh

suatu hubungan perkawinan.

Ketentuan tentang perkawinan diatur dalam KUHPerdata Pasal 26 sampai dengan 102 BW.

Ketentuan umum tentang perkawinan yang terdiri atas satu pasal yang disebutkan dalam pasal 26

BW, bahwa undang-undang hanya mengenal perkawinan hanya sah apabila persyaratan yang
ditetapkan dalam kitab undang-undang (BW) sementara itu persyaratan serta peraturan agama

dikesampingkan.

Ketentuan tentang perkawinan menurut hukum barat sangat berbeda dengan hukum islam.

Menurut Titik Triwulan Tutik ( 2006: hal. 106), Perkawinan dalam hukum islam disebut Nikah

yaitu melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan

wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela

dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan untuk hidup berkeluarga

yang meliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi Allah.

Berdasarkan pengertian nikah sebagaimana disebut diatas, maka disimpulkan bahwa:

1. Nikah adalah persetujuan (perjanjian) ataupun suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wali

pihak wanita;

2. Untuk ada (terjadinya) nikah harus ada kerelaan dan kesukaan dari kedua belah pihak yang akan

melakukan nikah;

3. Nikah dilaksanakan menurut ketentuan yang sudah diatur oleh agama yang terdapat dalam hukum

fihq.

Hukum islam menggambarkan sifat yang luhur bagi ikatan yang dijalani oleh kedua

orang berbeda jenis yakni ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan dalam islam dinamakan dengan

miisyaakqan gholiidho yaitu suatu ikatan janji yang kokoh. Oleh karena itu, ikatan perkawinan

tidak begitu saja dapat terjadi tanpa melalui beberapa ketentuan.

Sedangkan dalam ketentuan pasal 1 undang-undang no 1 tahun 1974, disebutkan

bahwa perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

ketuhanan yang maha esa.


Dari pengertian diatas jelas terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki 2

(dua) aspek, yakni:

1. Aspek formil (hukum): hal ini dinyatakan dalam kalimat ikatan lahir batin, artinya bahwa

perkawinan disamping memiliki nilai ikatan lahir (tampak), juga memiliki ikatan batin yang dapat

dirasakan terutama oleh kedua belah pihak;

2. Aspek sosial keagamaan: dengan kata membentuk keluarga dan ketuhanan yang maha esa,

artinya, bahwa perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan

saja unsur jasmani melainkan unsure batiniah juga memiliki peran penting sebagai manifestasi dari

ajaran agama.

Jika ditelaah lebih jauh dari pengertian perkawinan diatas, maka terdapat lima unsur

perkawinan didalamnya, yaitu:

1. Ikatan lahir batin

2. Antara seorang pria dan seorang wanita

3. Sebagai suami istri

4. Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, dan

5. Berdasarkan ketuhanan yang maha esa

2.2.2 Hukum Perkawinan

Pada dasarnya islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu

untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam-macam, maka hukum

nikah dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu:

(1) Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya mempunyai biaya sehngga dapat memberikan

nafkah istrinya.
(2) Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan

terjerumus dalam perzinaan.

(3) Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu

member belanja kepada istrinya atau karena kemungkinan lain.

(4) Haram, bagi orang yang ingin menikahi seseorang dengan niat untuk menyakiti istrinya atau

menyia-nyiakan istrinya, atau tidak mampu memberi nafkah jasmani maupun rohani.

(5) Mubah, bagi orang yang tidak terdesak oleh hal-hal yang mengharuskan segera nikah atau yang

mengharamkannya.

2.2.3 Dasar-Dasar Perkawinan

a. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Untuk membina rumah tangga yang serasi, dan penuh dengan limpahan kasih saying.

2. Memperoleh keturunan yang soleh, yang sah dari hasil perkawinan itu;

3. Menjaga kehormatan dan harkat martabat manusia. Telah berlaku anggapan kebanyakan pemuda-

pemuda dari dahulu sampai sekarang, mereka ingin kawin lantaran beberapa sebab, diantaranya:

(1) Ingin mengharapkan harta benda

(2) Karena mengharapkan gelar kebangsawanannya

(3) Akan ingin melihat kecantikannya

(4) Karena agama dan budi pekerti yang baik.

b. Rukun Nikah

Perkawinan yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan larangan-larangan Allah SWT

yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 221, yaitu larangan perkawinan karena perbedaan

agama dengan pengecualiannya di dalam Surat Al Maidah ayat 5, yaitu khusus laki-laki islam
boleh mengawini perempuan-perempuan ahli kitab, seperti yahudi dan nasrani, kemudian tidak

bertentangan dengan larangan-larangan yang terdapat dalam Al Quranul Karim.

Dalam Surat An Nisaa ayat 22 Allah SWT berfirman:

dan janganlah kamu kawini janda-janda ayahmu kecuali yang sudah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu sangat keji dan kelakuan yang paling buruk.

Selanjutnya dalam Surat An Nisaa ayat 23 Allah SWT juga berfiman yang artinya:

Diharamkan atasmu menikahi ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu


yang perempuan, saudara-saudara perempuan dari bapakmu, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan
dari saudaramu yang perempuan, ibu yang menyusukanmu, saudara perempuan sepersusuan, ibu
istrimu, anak tiri yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, jika kamu
belum campur dengan istrimu itu tetapi sudah kamu ceraikan, tidak mengapa kamu menikahinya,
istri-istri anak kandungmu, dan mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
sudah terjadi dimasa lampau. Sesungguhnya Allah maha penganpun dan maha penyayang.

Surat An Nisaa ayat 24:

dan yang diharamkan juga kamu mengawini ialah wanita-wanita yang bersuami, kecuali wanita
tawanan perang yang kamu miliki. Itulah ketetapan hukum Allah atasmu. Dan halalkan untukmu
mencari wanita-wanita selain itu dengan hartamu untuk maksud mengawininya bukan untuk
maksud perbuatan jahat. Imbalan kesenangan yang kamu peroleh dari wanita itu karena
perkawinan, maka bayarlah mas kawinnya menurut jumlah yang sudah di tetapkan. Tetapi tidak
mengapa jika telah ada persetujuan sama suka antaramu menyimpang dari ketentuan itu.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha bijaksana.

Rukun nikah dalam ilmu Fiqh dapat dibagi dalam 6 (enan) macam, yaitu:

(1) Adanya calon suami dengan syarat-syaratnya, yaitu:

(a) Islam

(b) Tidak dipaksa

(c) Bukan mahram calon istri

(d) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji atau umroh

(2) Calon istri syarat-syaratnya, yaitu:

(a) Islam
(b) Bukan mahram calon suami

(c) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji atau umroh

Nabi SAW telah memberikan petunjuk sifat-sifat perempuan yang baik, antara lain :

1) Wanita yang beragama dan menjalankannya

2) Wanita yang keturunannya orang yang mempunyai keturunan yang baik

3) Wanita yang masih perawan

(3) Wali syarat-syaratnya, yaitu:

(a) Islam

(b) Baligh (dewasa)

(c) Berakal sehat

(d) Adil (tidak fasik)

(e) Laki-laki; dan

(f) Mempunyai hak untuk menjadi wali

(4) Dua orang saksi. Syarat-syaratnya, yaitu:

(1) Islam

(2) Baligh (dewasa)

(3) Berakal sehat

(4) Adil (tidak fasik)

(5) Laki-laki; dan

(6) Mengerti maksud aqad nikah

(5) Ijab dan Qobul

Ijab adalah perkataan dari wali pihak wali perempuan. Sedangkan Qobul adalah

jawaban laki-laki dalam menerima ucapan wali perempuan. Syarat-syarat ijab dan qobul adalah:
(a) Dengan kata nikah atau tazwij atau terjemahan

(b) Ada persesuaian antara ijab dan qobul

(c) Berturut-turut, artinya ijab dan qobul itu tidak terselang waktu yang lama

(d) Tidak memakai syarat yang dapat menghalangi kelangsungan pernikahan

(6) Mahar

Mahar atau maskawin adalah pemberian dari seorang laki-laki kepada seorang

perempuan baik berupa uang atau benda-benda yang berharga yang disebabkan karena pernikahan

diantara keduanya. Pemberian mahar merupakan kewajiban bagi laki-laki yang menikahi

perempuan. Mahar ini tidak termasuk rukun nikah, sehingga jika pada waktu aqad nikah tidak

disebutkan mahar itu, maka aqad nikah itu tetap sah. Banyaknya mahar itu tidak dibatasi oleh

syariat islam, hanya menurut kekuatan suami serta keridhoan istri.

2.2.4 Syarat Sah Perkawinan

syarat-syarat pernikahan yaitu:

1) izin dari wali si wanita

Rasulullah bersabda:

Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali. (HR. Abu Daud: 2085 , Tirmidzi: 1101 dan
Ibnu Majah 1879)
Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal,
nikahnya batal. Jika ia telah digauli maka ia berhak mendapatkan mahar, karena lelaki itu telah
menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang
menjadi wali atas orang yang tidak memiliki wali. (HR. Abu Daud: 2083, Tirmdizi: 1101 dan
Ibnu Majah: 1879)
Wanita manapun, hitam-putih, perawan-janda, miskin-kaya, tua-muda, bila ingin menikah

harus ada persetujuan dari walinya. Jika ia tetap melangsungkan pernikahannya tanpa itu

(walinya), maka nikahnya batal, tidak sah. Meskipun pernikahannya di depan kabah, atau di hotel

mewah. Meskipun yang menghadiri pernikahannya para pejabat atau penjahat.


Lantas siapakah wali bagi seorang wanita itu? Bapaknya. Jika tak ada, maka kakeknya. Jika

tak ada, maka saudaranya yang laki-laki. Jika tak ada, maka anak saudaranya tersebut. Jika tak

ada, maka pamannya. Jika tak ada, maka anak pamannya.

2) keridhaan si wanita sebelum pernikahan.

Rasulullah bersabda:

Tidaklah seorang janda dinikahi hingga diminta pengakuannya dan tidaklah dinikahi seorang
gadis hingga dimintai izin. Para shahabat bertanya, Wahai Rasulullah apa tandanya kalau ia
mengizinkan? Beliau menjawab, Jika ia diam. (HR. Bukhari: 5136 dan Muslim: 1419)
Dari Ibnu Abbas bahwasanya seorang gadis datang kepada Nabi
lalu menyebutkan bahwa bapaknya menikahkannya sedangkan ia tidak
menginginkannya. Maka beliaupun memberinya pilihan (untuk meneruskan atau menghentikan
pernikahannya itu) (HR. Abu Daud: 2096)
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata, Pernah datang seorang gadis kepada Nabi
seraya berucap, Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan
keponakannya untuk meninggikan derajatnya. Buraidah berkata, Maka Nabi
menyerahkan masalah tersebut kepada gadis itu, maka gadis itu pun berkata,
Aku tidak keberatan atas tindakan ayahku, hanya saja aku ingin agar kaum wanita mengetahui
bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah ini (yaitu memaksakan
pernikahan).(HR. An-Nasai: 3269 dan Ibnu majah:1874)
Siapapun yang memiliki wanita yang ada di bawah tanggungannya (yaitu wali), apakah

bapak, kakek, dan semisalnya, jika hendak menikahkan wanitanya tersebut, hendaknya meminta

persetujuan darinya. Jika ia menyetujuinya, makanya boleh dilanjutkan dengan pernikahan. Jika

ia menolak, maka tak boleh dilanjutkan dengan pernikahan.

Kecuali wanita yang belum dewasa (baligh), maka boleh menikahkannya meskipun tidak

mendapatkan persetujuan darinya.

Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya tersebut, adalah pernikahan antara Nabi kita

dengan Aisyah . Abu Bakar menikahkan putrinya tersebut yaitu

Aisyah dengan Nabi , tanpa meminta persetujuan dulu darinya dan ia ketika itu

belum baligh.
3) Adanya mahar (maskawin) yang diberikan kepada si wanita, baik disebutkan mahar tersebut atau

tidak disebutkan ketika akad nikah.

Allah berfirman:
Berilah mahar kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar itu dengan senang hati,
maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
(QS. An-Nisa: 4)
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan seorang shahabat

miskin yang ingin menikah agar menyerahkan mahar kepada calon pasangannya walaupun berupa

cincin dari besi.

4) Dihadiri oleh dua orang saksi

Rasulullah bersabda:
Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. (Sunan Ad-
Daruquthni : 3/225 Kitabunnikah)
Adapun syarat untuk menjadi saksi di sini yaitu:

1. Berakal

Orang gila, setengah gila atau orang yang semisal dengannya, tidak bisa menjadi saksi dalam

pernikahan, meskipun ia telah beruban.

2. Baligh

Anak kecil yang belum baligh tidak bisa menjadi saksi pernikahan, secerdas apapun ia, meskipun

lebih cerdas dibandingkan para mahasiswa.

3. Islam

Seorang ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) atau selain Ahlul kitab, seperti Majusi, Hindu, Budha

dan lain-lain atau orang yang murtad dari islam, atau mengaku beragama islam, tapi memiliki

pemikiran kufur, mereka semua tidak boleh menjadi saksi dalam pernikahan, sesaleh apapun

mereka dan sedermawan apapun, walaupun gemar membagi-bagi beras dan mie.

4. Laki-laki
Seorang wanita tidak bisa menjadi saksi dalam pernikahan, secantik apapun ia dan secerdas apapun

ia, walaupun ia putri kecantikan dunia dan walaupun ia seorang profesor.

5. Adil

Yang dimaksud adil di sini adalah yang tidak nampak padanya kefasikan. Karena itu orang yang

terbiasa meminum khamr, terkenal berbuat zina, mencuri dan berbagai kemungkaran lainnya, tidak

berhak untuk menjadi seorang saksi dalam pernikahan, walaupun punya backing di kepolisian.

Jika seseorang yang menikah telah memenuhi syarat-syarat pernikahan di atas, maka

bergembiralah, karena sudah sah pernikahannya. Saatnya ia membuka lembaran baru

kehidupannya. Telah terbuka di hadapannya setengah dari agama. Terbentang di depan matanya

berbagai amanah, cobaan dan pahala.

2.3 Tinjauan Umum Tentang Kedudukan Anak Dalam Perkawinan

Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting

kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum perkawinan islam. Dalam islam anak adalah

anak yang dilahirkan yang tercipta melalui ciptaan Allah dengan perkawinan seorang laki-laki dan

seorang perempuan. Didalam Al-Quran, anak sering disebutkan dengan kata walad-awlad yang

berarti anak yang dilahirkan orang tuanya, laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil, tunggal

maupun banyak. Karena jika anak belum lahir belum dapat disebut al-walad atau al-mawlud, tetapi

di sebut al-janin yang berarti al-mastur (tertutup) dan al-khafy (tersembunyi) di dalam rahim ibu.

Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah

dan ibunya. Dan sahnya seorang anak didalam islam adalah menentukan apakah ada atau tidak

hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki.

Dalam hal hubungan nasab dengan bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan

manusia, namun ditentukan oleh perkawinan yang dengan nama Allah disucikan. Dalam hukum
islam ada kettentuann batasan kelahirannya, yaitu batas minimal kelahiran anak dari perkawinan

ibunya adalah 6 (enam) bulan.

Anak sebagai amanah Allah, maka orang tuanya bertanggung jawab untuk mengasuh,

mendidik dan memenuhi keperluanya sampai dewasa. Sedangkan menurut hukum perkawinan

islam anak baru dianggap sah mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya bila perkawinan

wanita hamil yang usia kandungannya minimal enam bulan dari perkawinan resminya. Diluar

ketentuan itu adalah anak dianggap sebagai anak tidak sah atau zina.

Hukum positif di Indinesia membedakan antara keturunan yang sah dan keturunan yang

tidak sah. Keturunan yang sah didasarkan atas adanya pekawinan perkawinan yang sah, dalam arti

bahwa yang satu adalah keturunan yang lain berdasarkan kelahiran dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah, anak-anak yang demikian disebut anak sah. Sedangkan keturunan yang tidak

sah adalah keturunan yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah, orang menyebut

anaka yang demikian ini adalah anak luar kawin.

Tidak semua anak yang lahir diluar suatu ikatan perkawinan yang sah, boleh diakui. Jadi ada

anak luar kawin yang tertentu yang tidak boleh diakui. Menurut Burgerlijk Wetboek ada dua

macam anak luar kawin yaitu:

1) Anak luar kawin yang dapat diakui

2) Anak luar kiawin yang tidak dapat diakui

Anak luar kawin yang tidak diakui yidak akan menimbulkan akibat hukum dalam pewarisan,

karena anak luar kawin yang tidak diakui baik oleh ibunya maupun oleh bapaknya tidak dapat

mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Sedangkan anak luar kawin yang diakui sah baik oleh

ibunya maupun oleh bapaknya atau oleh kedua-duanya akan menimbulkan akibat hokum oleh
pewarisan. Dengan adanya pengakuan tersebut akan mengakibatkan timbulya hubungan perdata

antara anak luar kawin yang diakui dengan orangtua yang mengakuinya.

Menurut Riduan Syahrani dalam bukunya seluk beluk dan asas-asas hukum perdata,

bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawian yang sah adalah bukan anak yang sah, sehingga

membawa konsekwensi dalam bidang pewarisan. Sebab anak yang dilahirkan diluar perkawinan

hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah

adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak tersebut lahir

dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari enam bulan lamanya sejak ia

menikah resmi. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pasal 42:

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43 (UUP):

(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya.

(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Pasal 44:

(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat

membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang

berkentingan.

Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, Undang-Undang perkawinan didalam

pasal 55 menegaskan:
1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktian dengan akta kelahiran yang otentik, yang

dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

2. Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat

mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti

berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

3. Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang

ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak

yang bersangkutan.

Didalam pasal-pasal diatas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah adalah anak yang

lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan:

a. Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah.

b. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah.

Dalam kompilasi hukum islam asal-usul anak diatur dalam pasal 99, pasal 100, pasal

101, pasal 102 dan pasal 103.

Pasal 99:

Anak sah adalah:

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

b. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Pasal 100:

anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan

keluarga ibunya.

Pasal 101 dan 102 menyangkut keadaan suami yang mengingkari sahnya anak dan proses

yang harus ditempuhnya jika ia menyangkal anak yang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya.
Pasal 101:

seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat

meneguhkan pengingkarannya dengan lian.

Pasal 102:

(1) Suami yang akan mengingkari pengadilan agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari

lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa

istrinya melahirkan anak dan berada ditempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya

kepada pengadilan agama.

(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.

Pasal 103:

(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.

(2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka pengadilan

agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan

pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.

(3) Atas dasar ketetapan pengadilan agama tersebut ayat (2) maka instansi pencatat kelahiran yang

ada dalam daerah hukum pengadilan agama tersebut yang mengeluarkan akta kelahiran bagi anak

yang bersangkutan.

Kemudian dalam pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan bahwa:

Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami

sebagai bapaknya.

Dari ketentuan tersebut, Hilman Hadikusuma menegaskan, bahwa wanita yang hamil

kemudian aia kawin sah dengan seorang pria, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak yang

sah dari perkawinan wanita dengan pria tersebut tanpa ada batas waktu usia kehamilan.
Hubungan Anak dan Orang Tua

Adapun menyangkut hak dan kewajiban antara orang tua dan anak diatur dalam pasal 45

sampai dengan pasal 49 UUP:

Pasal 45:

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang di maksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau

dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua

putus.

Pasal 46:

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

(2) \jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga

dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47:

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuannya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.

Pasal 48:

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang

dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan Belas) tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49:

(1) Salah seorang atau atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaanya terhadap seorang anak atau

lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus
ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan

pengadilan dalam hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

b. Ia berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya

pemeliharaan kepada anak tersebut.

Dalam KHI kewajiban orang tua terhadap anak dijabarkan mulai pasal 98 sampai dengan

106 (Pemeliharaan Anak) dan pasal 107 sampai dengan 112 (perwalian). Dengan demikian

menurut hukum perkawinan Indonesia bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang sah adalah

anak sah dari kedua orang tuanya, sehingga ia memiliki hak-hak yang wajib dipenuhi oleh kedua

orang tuanya yaitu kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebai-

baiknya, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar

pengadilan, sebagai wali dalam perkawinan, hak nasab dan hak warisan.

Ada perbedaan pokok aturan dan pemahaman mengenai anak sah antara hukum islam dan

hukum perkawinan Indonesia yaitu menurut hukum perkawinan islam anak yang sah adalah anak

yang dilahirkan dari perkawinan yang sah dimana kelahiran anak dari wanita hamil yang

kandungannya minimal berusia 6 (enam) bulan dari perkawinan yang sah atau kemungkinan

terjadinya hubungan badan antara suami istri dari perkawinan yang sah tersebut maka anak itu

adalah anak yang sah. Apabila anak tersebut dilahirkan kurang dari 6 bulan masa kehamilan dari

perkawinan sah ibunya atau di mungkinkan adanya hubungan badan maka anak tersebut dalam

hukum islam adalah anak tidak sah sehingga anak hanya berhak terhadap ibunya.
Seorang suami menurut hukum islam dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang

dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikannya, untuk menguatkan

penolakannya suami harus dapat membuktikan bahwa:

a. Suami belum pernah menjima istrinya, akan tetapi istri tiba-tiba melahirkan.

b. Lahirnya anak itu kurang dari 6 bulan sejak menjima istrinya, sedangkan bayinya lahir seperti

bayi yang cukup umur.

c. Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima suaminya.

Dalam hukum perkawinan di Indonesia status hukum anak hasil dari perkawinan wanita

hamil adalah anak yang sah karena baik kitab Undag-Undang Hukum perdata, Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, mengatur bahwa anak yang sah adalah anak yang

dilahirkan akibat atau dalam perkawinan yang sah tanpa mengatur usia kandungan. Dan tentu saja

perkawinan sah yang dimaksud adalah perkawinan yang dicatat melalui hukum Negara.

Salah satu hal penting yang melekat pada diri anak adalah akta kelahiran. Akta kelahiran

menjadi isu global dan sangat asasi karena menyangkut identitas diri dan status kewarganegaran.

Disamping itu akta kelahiran merupakan hak identitas seseorang sebagai perwujudan Konvensi

Hak Anak (KHA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akta

kelahiran bersifat universal, karena hal ini terkait dengan pengakuan Negara atas status

keperdataan seseorang. Selain itu jika seorang anak manusia yang lahir kemudian identitasnya

tidak terdaftar, kelak akan menghadapi berbagai masalah yang akan berakibat pada Negara,

pemerintah dan masyarakat. Dalam perspektif KHA, Negara harus memberikan pemenuhan hak

dasar kepada setiap anak, dan terjaminya perlindungan atas keberlangsungan, tumbuh kembang

anak.
Posisi anak dalam konnstitusi UUD 1945, terdapat dalam pasal 28 B ayat 2 yaitu: setiap

anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi.

Hak-hak anak diberbagai Undang-Undang antara lain Undang-Undang No 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan

anak, jelas menyatakan akta kelahiran menjadi hak anak dan tanggung jawab pemerintah untuk

memenuhinya.

Selain itu dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002, pasal 7 (ayat 1) disebutkan setiap anak

berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan dasuh oleh orang tuanya sendiri.

2.4

UU NO 1 TAHUN 1974

KERANGKA PIKIR
Akibat Hukum Nikah Siri Terhadap Kedudukan anak
Berkurangnya Nikah Siri di Masyarakat
Akibat Hukum Terhadap Anak:
1. Sebelum adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010
a. Hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya
b. Tidak dapat mengurus akta kelahiran
c. Tidak mendapatkan hak waris dari ayah
2. Sesudah adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dapat mempunyai hubungan perdata
dengan ayahnya selama dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1. Dalam UUP nikah siri dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (2).
2. Dalam Hukum Islam nikah siri dinyatakan sah apabila dilaksanakan berdasarkan sayarat dan
rukun nikah
Gambar 2.4.1 Skema Kerangka Pikir

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau

menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum

sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang

mengatur mengenai kehidupan manusia. Jadi penelitian ini dipahami sebagai penelitian

kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder.( Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1985,

hal. 15.)

3.2 Spesifikasi Penelitian


Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang merupakan penelitian untuk

menggambarkan dan menganalisa masalah yang ada dan termasuk dalam jenis penelitian

kepustakaan (library research) yang akan disajikan secara deskriptif.

3.3 Jenis dan Sumber Bahan Hukum

1. Jenis Bahan Hukum

1) Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif). (Zainudin Ali,

2010, hlm. 47)

2) Bahan Hukum Skunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang

tidak resmi. (Zainudin Ali, 2010, hlm. 54)

3) Bahan Hukum Tersier adalah bahan yang memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai

bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

2. Sumber Bahan Hukum

1) Sumber bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Perundang-Undangan yakni Undang-

Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

2) Sumber bahan hukum primernya adalah buku-buku hukum ataupun risalah perundang-undangan

yang berkaitan dengan penelitian tersebut.

3) Sedangkan sumber bahan hukum tersier dalam penelitian ini yakni berupa Kamus besar bahasa

Indonesia, kamus bahasa inggris-Indonesia, jurnal-jurnal dan lain-lain.

3.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Sesuai dengan penggunaan data sekunder dalam penelitian ini, maka pengumpulan data

dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara sistematis bahan-bahan

kepustakaan serta dokumen-dokumen yang berkaitan. Data sekunder baik yang menyangkut bahan
hukum primer, sekunder dan tersier diperoleh dari bahan pustaka, dengan memperhatikan prinsip

pemutakhiran dan relevansi.

Selanjutnya dalam penelitian ini kepustakaan, asas-asas, konsepsikonsepsi, pandangan-

pandangan, doktrin-doktrin hukum serta isi kaidah hukum diperoleh melalui dua referensi utama

yaitu:

1) Bersifat umum, terdiri dari buku-buku, teks, ensiklopedia;

2) Bersifat khusus terdiri dari laporan hasil penelitian, majalah maupun jurnal.

Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada data sekunder, maka pengumpulan data

ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan studi dokumen.

3.5 Metode Analisis Bahan Hukum

Data dianalisis secara normatif-kualitatif dengan jalan menafsirkan dan mengkonstruksikan

pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan perundang-undangan. Normatif karena penelitian

ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan

kualitatif berarti analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi

baru.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Kedudukan Hukum Nikah Siri Dilihat Dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Hukum

Islam

Menurut peraturan perundang-undangan perkawinan siri memanglah tidak sah, berbeda

dengan apa yang telah diatur dalam hukum islam, sehingganya dalam pembahasan penulis kali ini

mengupas perkawinan siri dari segi Undang-Undang dan Hukum Islam.

4.1.1 Nikah Siri Di Lihat Dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974

Adapun nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan

yang dilakukan oleh wali atau wakil wali yang disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan

dihadapan petugas pencatat nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak

dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi

yang tidak beragama islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang

dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian dikalangan masyarakat selain dikenal

dengan istilah nikah siri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan bawah tangan.

Munculnya nikah siri yang dipraktekkan masyarakat ialah setelah diundangkannya

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua

peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut

ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan, disebutkan :

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan

itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Ketentuan dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih

lanjut dalam peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-Pasal yang berkaitan dengan

tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.

Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 mengatur tatacara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan:

Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Dalam ayat (3) disebutkan: Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum

agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan

dihadiri oleh kedua orang saksi.

Dari ketentuan perundang-undangan diatas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-

undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan

sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Peraturan

perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah

peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan hukumnya.

Sejalan dengan kerangka teoritik maka suatu akad nikah dapat terjadi dalam dua bentuk.

(1), akad nikah yang dilakukan itu hanya semata-mata memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang No 1 Tahun 1974, yakni telah dilaksanakan dan telah memenuhgi ketentuan

agama yang dianut. (2), akad nikah dilakukan menurut ketentian ayat (1) dan ayat (2) secara

simultan, yakni telah dilaksanakan sesuai aturan agama dan telah dicatatkan pada pegawai pencatat

nikah.

Apabila bentuk akad nikah yang pertama yang dipilih, maka perkawinan tersebut telah

diakui sebagai perkawinan yang sah menurut ajaran agama, tetapi tidak diakui sebagai perbuatan

hukum yang mempunyai akibat hukum oleh Negara. Oleh sebab itu, perkawinan semacam ini tidak

mendapat pengakuan dan tidak dilindungi secara hukum. Seharusnya, karena pencatatan disini
merupakan perintah Allah SWT, maka umat islam dalam melangsungkan perkawinan memilih

bentuk kedua diatas, yakni memenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) sekaligus. Kedua unsur pada

ayat tersebut berfungsi secara kumulatif, dan bukan alternativ. Unsur pertama berperan memberi

label sah kepada perkawinan itu, sedangkan unsur kedua memberi label bahwa perkawinan

tersebut merupakan perbuatan hukum.

Oleh karena itu, perbuatan itu mendapat pengakuan dan dilindungi oleh hukum. Dengan

demikian, memenuhi unsur kedua (pencatatan) dalam suatu perkawinan menjadi sangat penting,

karena walaupun keberadaannya hanya bersifat administrativ, tetapi peran dari pada pencatatan

(akta nikah) tersebut merupakan bukti otentik tentang telah dilangsungkannya perkawinan yang

sah. Dengan demikian, melangsungkan perkawinan hanya dengan memenuhi unsur agama saja

sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas, itu belum cukup, walaupun perkawinan tersebut

telah dinyatakan sah oleh agama, karena unsur yang pertama menyangkut yuridis, dan unsur yang

kedua menyangkut masalah administrativ, meskipun akhirnya secara tidak langsung juga akan

berkaitan dengan masalah yuridis, khususnya mengenai hal pembuktian. Jadi, untuk dapat

membuktikan bahwa suatu perkawinan telah dilangsungkan sesuai dengan ajaran agama adalah

melalui akta nikah, karena akta nikah merupakan bukti otentik.

Jadi, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa perkawinan siri atau perkawinan dibawah tangan

atau perkawinan yang tidak memenuhi unsure ketentuan pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sah menurut agama namun tidak sah menurut

Undang-Undang, karena tidak memiliki kekuatan hukum yang dapat digunakan sebagai bukti

otentik telah dilangsungkannya sebuah perkawinan.

4.1.2 Nikah Siri Di Lihat Dari Aturan Hukum Islam


Perkawinan dalam Hukum Islam merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT, dalam

hukum islam pelaksanaan perkawinan sangat berkaitan dengan syarat dan rukun nikah.

Adapun syarat-syarat perkawinan adalah :

1. Izin dari wali si wanita.

Rasulullah SAW. bersabda:

Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali. (HR. Abu Daud: 2085 , Tirmidzi: 1101 dan
Ibnu Majah 1879)

Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal,
nikahnya batal. Jika ia telah digauli maka ia berhak mendapatkan mahar, karena lelaki itu telah
menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang
menjadi wali atas orang yang tidak memiliki wali. (HR. Abu Daud: 2083, Tirmdizi: 1101 dan
Ibnu Majah: 1879).

Wanita manapun, hitam-putih, perawan-janda, miskin-kaya, tua-muda, bila ingin menikah

harus ada persetujuan dari walinya. Jika ia tetap melangsungkan pernikahannya tanpa itu

(walinya), maka nikahnya batal, tidak sah. Meskipun pernikahannya di depan kabah, atau di hotel

mewah. Meskipun yang menghadiri pernikahannya para pejabat atau penjahat.

Lantas siapakah wali bagi seorang wanita itu? Bapaknya. Jika tak ada, maka kakeknya. Jika

tak ada, maka saudaranya yang laki-laki. Jika tak ada, maka anak saudaranya tersebut. Jika tak

ada, maka pamannya. Jika tak ada, maka anak pamannya.

2. Keridhaan si wanita sebelum pernikahan.

Rasulullah SAW. bersabda:

Tidaklah seorang janda dinikahi hingga diminta pengakuannya dan tidaklah dinikahi seorang
gadis hingga dimintai izin. Para shahabat bertanya, Wahai Rasulullah apa tandanya kalau ia
mengizinkan? Beliau menjawab, Jika ia diam. (HR. Bukhari: 5136 dan Muslim: 1419)

Dari Ibnu Abbas Ra, bahwasanya seorang gadis datang kepada Nabi SAW lalu menyebutkan
bahwa bapaknya menikahkannya sedangkan ia tidak menginginkannya. Maka beliaupun
memberinya pilihan (untuk meneruskan atau menghentikan pernikahannya itu) (HR. Abu Daud:
2096).
Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata, Pernah datang seorang gadis kepada Nabi SAW
seraya berucap, Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan keponakannya untuk
meninggikan derajatnya. Buraidah berkata, Maka Nabi SAW menyerahkan masalah tersebut
kepada gadis itu, maka gadis itu pun berkata, Aku tidak keberatan atas tindakan ayahku, hanya
saja aku ingin agar kaum wanita mengetahui
bahwa para orang tua tidak memiliki hak apa-apa dalam masalah ini (yaitu memaksakan
pernikahan).(HR. An-Nasai: 3269 dan Ibnu majah:1874).

Siapapun yang memiliki wanita yang ada di bawah tanggungannya (yaitu wali), apakah

bapak, kakek, dan semisalnya, jika hendak menikahkan wanitanya tersebut, hendaknya meminta

persetujuan darinya. Jika ia menyetujuinya, makanya boleh dilanjutkan dengan pernikahan. Jika

ia menolak, maka tak boleh dilanjutkan dengan pernikahan.

Kecuali wanita yang belum dewasa (baligh), maka boleh menikahkannya meskipun tidak

mendapatkan persetujuan darinya.

Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya tersebut, adalah pernikahan antara Nabi kita

Muhammad SAW dengan Aisyah Ra. Abu Bakar Ra. menikahkan putrinya tersebut yaitu Aisyah

dengan Nabi Muhammad SAW, tanpa meminta persetujuan dulu darinya dan ia ketika itu belum

baligh.

3. Adanya mahar (maskawin) yang diberikan kepada si wanita, baik disebutkan mahar tersebut atau

tidak disebutkan ketika akad nikah.

Allah SWT berfirman:


Berilah mahar kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar itu dengan senang hati,
maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
(QS. An-Nisa: 4)
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan seorang shahabat miskin

yang ingin menikah agar menyerahkan mahar kepada calon pasangannya walaupun berupa cincin

dari besi.

4. Dihadiri oleh dua orang saksi.

Rasulullah SAW bersabda:


Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. (Sunan Ad-

Daruquthni : 3/225 Kitabunnikah).

Adapun syarat untuk menjadi saksi di sini yaitu:

1) Berakal

Orang gila, setengah gila atau semisal dengannya, tidak bisa menjadi saksi dalam pernikahan,

meskipun ia telah berubah.

2) Baligh

Anak kecil yang belum baligh tidak bisa menjadi saksi pernikahan, secerdas apapun dia, meskipun

lebih cerdas dibandingkan para mahasiswa.

3) Islam

Seorang ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) atau selain Ahlul kitab, seperti Majusi, Hindu, Budha,

dan lain-lain atau orang yang murtad dari islam, atau mengaku beragama islam, tapi memiliki

pemikiran kufur, mereka semua tidak boleh menjadi saksi dalam pernikahan, sesaleh apapun

mereka dan sedermawan apapun, walaupun gemar membagi-bagi beras dan mie.

4) Laki-laki

Seorang wanita tidak bisa menjadi saksi dalam pernikahan, secantik apapun ia dan secerdas apapun

dia, walaupun ia putrid kecantikan dunia dan walaupun dia seorang professor.

5) Adil

Yang dimaksud adil disini adalah yang tidak nampak padanya kefasikan. Karena itu orang yang

terbiasa meminum khamr, terkenal berbuat zina, mencuri dan berbagi kemungkaran lainnya, tidak

berhak menjadi seorang saksi dalam pernikahan, walaupun punya backing di kepolisian.

Adapun mengenai rukun nikah adalah:

1. Adanya calon suami dengan syarat-syaratnya, yaitu:


(1) Islam

(2) Tidak di paksa

(3) Bukan mahram calon isteri

(4) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji atau umroh

2. Calon isteri syarat-syaratnya, yaitu:

(1) Islam

(2) Bukan mahram calon suami

(3) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji atau umroh

Nabi SAW telah memberikan petunjuk sifat-sifat perempuan yang baik, antara lain :

(1) Wanita yang beragama dan menjalankannya

(2) Wanita yang keturunannya orang yang mempunyai keturunan yang baik

(3) Wanita yang masih perawan

3. Wali

Dari Abu Musa radliyallahu anhu, nabi Muhammad SAW bersabda: Tidaklah sah suatu

pernikahan tanpa wali (HR. Abu Daud). Wali yang mendapat prioritas pertama diantara sekalian

wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada barulah kakeknya (ayahnya

ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah

itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau hakim. syarat-syarat menjadi wali, yaitu:

(1) Islam

(2) Baligh (dewasa)

(3) Berakal sehat

(4) Adil ( tidak fasik )

(5) Laki-laki; dan


(6) Mempunyai hak untuk menjadi wali

4. Dua orang saksi

Rasulullah SAW bersabda: Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi

yang adil (HR. Al-Baihaqi). Adapun syarat-syaratnya:

(1) Islam

(2) Baligh (dewasa)

(3) Berakal sehat

(4) Adil (fasik)

(5) Laki-laki; dan

(6) Mengerti maksud aqad nikah

5. Ijab dan Qobul

Ijab adalah perkataan dari wali pihak perempuan, sedangkan Qobul adalah jawaban laki-laki

dalam menerima ucapan wali perempuan. Diriwayatkan dalam sebuah hadist bahwa: Sahl bin Said

berkata: seorang perempuan dating kepada Nabi SAW untuk menyerahkan dirinya, dia berkata:

saya serahkan diriku kepadamu. Lalu ia berdirilama sekali (untuk menanti). Kemudian seorang

laki-laki berdiri dan berkata: Wahai Rasullullah kawinkanlah saya dengannya jika engkau tidak

berhajat padanya. Lalu Rasullullah SAW bersabda: Aku kawinkan engkau kepadanya dengan

mahar yang ada padamu. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadist tersebut menerangkan bahwa

Rasullullah SAW telah mengijabkan seorang perempuan kepada Sahl dengan mahar atau mas

kawinnya ayat Al-Quran dan Sahl menerimanya. Adapun Syarat-syarat ijab qobul adalah:

(1) Dengan kata nikah atau tazwij atau terjemahan

(2) Ada persesuaian antara ijab dan qobul

(3) Berturut-turut, artinya ijab qobul itu tidak terselang waktu yang lama
(4) Tidak memakai syarat yang dapat menghalangi kelangsungan pernikahan

6. Mahar

Mahar atau maskawin adalah perberian dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan baik

berupa uang atau benda-benda yang berharga yang disebabkan karena pernikahan diantara

keduanya. Pemberian mahar merupakan kewajiban bagi laki-laki yang menikahi perempuan.

Mahar ini tidak termasuk rukun nikah, sehingga jika pada waktu akad nikah tidak disebutkan

mahar itu, maka akad nikah tetap sah. Banyaknya mahar itu tidak dibatasi oleh syariat islam,

hanya menurut kekuatan suami serta keridhaan isteri. Islam juga lebih menyukai mas kawin yang

mudah dan sederhana serta tidak berlebih-lebihan dalam memintanya. Dari Uqbah bin Amir,

Rasullullah SAW bersabda: sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan. (HR. Al-Hakim dan

Ibnu Majah)

Menurut Bapak Damang S.H (Dalam www.Negara Hukum.com) perkawinan yang telah

dilaksanakan menurut syarat dan rukun nikah adalah perkawian yang sah. Sehingga lebih tepat

kalau kita mengatakan adalah perkawian sah yang tersembunyi. Oleh karena belum mendapat

pengakuan oleh pemerintah. Terlepas dari konsekuensi bahwa dengan tidak adanya dampak

hukum bagi salah satu pihak. Dengan tidak adanya pencatatan, misalnya istri tidak dapat memiliki

kekuatan legitimasi untuk mendapatkan nafkah dari suaminya jika suatu waktu terjadi perceraian.

Demikian halnya juga anak dari hasil perkawinan itu. Oleh negara dan hukum positif kita

menganggap tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sah sehingga sang anak dapat memperoleh

warisan dari ayahnya. Karena hukum dimana-mana memerlukan pembuktian yang otentik.
Menurut saya bahwa benar, jika kita mengkaji dan melihat lebih dalam ternyata perkawinan

yang sah menurut agama tidak cocok jika dikatakan sebagai perkawina siri, karena telah memenuhi

syarat sahnya suatu perkawinan khususnya dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam

Pasal 2 ayat (1), hanya saja mereka tidak bisa melakukan perbuatan hukum dikemudian hari

mengenai harta serta terhadap anak-anak mereka, karena perkawinan yang mereka lakukan tidak

mempunyai kekuatan hukum atau akta yang otentik. Dan jika anak hasil dari perkawinan siri itu

adalah anak zina, berarti perkawinan siri adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-

laki dan perempuan tanpa menggunakan wali atau saksi yang dibenarkan oleh syariat islam.

Menurut para ulama mereka sepakat bahwa perkawinan jenis ini adalah perkawinan yang tidak

sah dan bahkan disamakan dengan perzinahan.

4.2 Akibat Hukum Nikah Siri Terhadap Kedudukan Anak


Pembahasan mengenai anak, hak dan kewajibannya serta hubungannya dengan orang tuanya

menurut hukum islam, UUP dan KHI telah dijelaskan pada Bab II sebelumnya. Dalam paparan

berikut akan dikupas mengenai kedudukan anak dari hasil perkawinan siri dalam hubungannya

dengan hukum Negara (UUP dan KHI).

4.2.1 Sebelum Adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010


Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan siri dianggap sebagai anak luar kawin

(dianggap tidak sah) oleh Negara sehingga akibat hukuimnya anak hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibu dan keluarganya sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada (pasal 42

dan 43 UUP dan pasal 100 KHI), (http://www.lbh-apik.or.id). Bunyi dalam Undang-Undang No 1

Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam pasal 43, yaitu :

1. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya;
2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan Peraturan

Pemerintah.

Akibat hukum yang lain dari nikah siri terhadap anak adalah anak tidak dapat mengurus akta

kelahiran. hal itu bisa dilihat dari permohonan akta kelahiran yang diajukan kepada kantor catatan

sipil. Bila tidak dapat menunjukan akta nikah orangtua si anak tersebut, maka didalam akta

kelahiran anak itu statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, tidak tertulis nama ayah

kandungnya dan hanya tertulis ibu kandungnya saja. Keterangan berupa status sebagai anak luar

nikah dan tidak tercatatnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan

psikologis bagi si anak dan ibunya.

Ketidak jelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan

anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah

anak kandungnya.

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah anak-anak yang dilahirkan dari

perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah, biaya pendidikan, ataupun warisan dari

ayahnya.

Anak yang lahir diluar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami istri yang tidak

sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan

kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya),

kecuali ayahnya tetap mau bertanggung jawab dan tetap mendasarkan hak dan kewajibannya

menurut hukum islam. Perkawinan siri tidak dapat mengingkari adanya hubungan darah dan

keturunan antara ayah biologis dan si anak itu sendiri. Begitu juga ayah/bapak alami (genetik)

tidak sah menjadi wali untuk menikahkan anak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan

anak perempuan. Jika anak yang lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan dan
hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan adalah wali hakim, karena

termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali.

Hasil penelitian AcNielson menunjukkan bahwa responden di seluruh area yang diteliti

memiliki keyakinan yang sama tentang konsekwensi kawin siri yaitu; istri dan anak kapan saja

bisa ditinggalkan suami; istri tak dapat menuntut tunjangan financial untuk membesarkan anak

dari mantan suami; istri sering akhirnya memikul seluruh tanggung jawab membesarkan anak;

anak tak punya hak waris atas harta benda peninggalan ayahnya; anak tak punya status yang jelas

tentang ayahnya, sehingga sulit ketika membuat akta kelahiran anak. (Hasil penelitian di beberapa

daerah jawa trengah dan jawa barat oleh AcNeilson, 2006)

Menurut Rifka Kurnia, dampak hukum yang timbul dari sebuah pernikahan siri akan terjadi

kalau ada perceraian, sering dijumpai hak-hak anak-anak dikeluarga yang melakukan nikah siri

terabaikan. Karena pria yang melakukan nikah siri tidak mau bertanggung jawab atas biaya

pendidikan dan kebutuhan sianak. Anak-anak yang lahir dari pernikahan siri biasanya juga

kesulitan dalam mendapat Akte kelahiran, sebab orang tuanya tidak mempunyai akta nikah. Dan

yang paling pokok, nikah siri tidak dapat disahkan oleh Negara kecuali jika akan dilakukan

penetapan atau pengesahan (Itsbat nikah). (www.idlo.int/bandaacehawareness)

Harus diakui tidak semua anak lahir dari perkawinan yang sah, bahkan ada kelompok anak

yang lahir sebagai akibat dari perbuatan zina. Anak-anak yang tidak beruntung ini kedudukan

hukunya yang berkaitan dengan hak-hak keperdataan mereka tentu saja amat tidak

menguntungkan, padahal kehadiran mereka didunia ini atas kesalahan dan doda-dosa orang yang

membangkitkan mereka. Anak-anak yang disebut anak luar nikah ini, diasumsikan relatif banyak

terdapat di Indonesia dan sebagian besar dari mereka berasal dari orang-orang yang beragama

islam termasuk anak-anak yang dilahirkan dari perkawian siri.


Salah satu masalah yang paling krusial dalam perkawinan siri adalah bilamana rumah tangga

yang dilakoni suami isteri itu telah melahirkan keturunan (anak). Dampak negatifnya berujung

pada si anak. Paling tidak anak-anak kurang mendapat perlakuan yang semestinya dibanding

dengan anak-anak dari keluarga yang resmi. Secara syariat islam, hubungan anak dengan ayah dan

ibunya tidak masalah tetapi bila dihadapkan dengan hukum Negara hubungan keperdataan dengan

ayah biologisnya tidak diakui.

Derita sianak semakin bertambah bila ayah dan keluarga ayahnya tidak mengakui dan hanya

diakui oleh ibu dan keluarga ibunya sehingga fasilitas pendukung hidupnya terputus. Apalagi bila

ibunya telah ditinggalkan atau dicerai ayahnya, semua hak ibu dan anaknya tidak didapat kecuali

ada kesadaran dari ayahnya untuk menjalankan ketentuan agama.

4.2.2 Setelah Adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010


Sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan

yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1).

Namun, Pasal ini dimaknai berbeda setelah adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang

dikeluarkan pada tanggal 17 Februari 2012, yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan

perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi

dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
2. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca,

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,

termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;

Putusan diatas, didasarkan pada pertimbangan bahwa pokok permasalahan hukum mengenai

anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa

yang dilahirkan di luar perkawinan. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih

luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.

Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan

antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain

berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu,

tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu

kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan

perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum

membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya

kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.

Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat

dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.

Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan

hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum

yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya

meliputi anak, ibu, dan bapak.

Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak

semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian

adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian,

terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan

perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di

luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.

Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan

yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan

kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada

padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih

dipersengketakan.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang

No 1 Tahun 1974 yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya harus dibaca, Anak yang dilahirkan di

luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan

laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata

dengan keluarga ayahnya, dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang

menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata

dengan ibunya dan keluarga ibunya adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945

secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut

dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan

ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan

darah sebagai ayahnya.

4.2.3 Kedudukan Anak Nikah Siri Dalam Hukum Islam

Seorang anak yang sah ialah, anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah

dan ibunya. Dan sahnya seorang anak didalam islam adalah menentukan apakah ada atau tidak

hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki.

Dalam hal hubungan nasab dengan bapaknya tidak ditentukan oleh kehendak atau kerelaan

manusia, namun ditentukan oleh perkawinan yang syarat dan rukunya terpenuhi.

Sama halnya dengan perkawinan siri, perkawinan ini dikatakan sah karena syarat dan

rukunnya terpenuhi. Sehingga anak yang dilahirkan dari perkawinan ini juga dianggap sah dan

berhak mendapatkan pengakuan dari ayah dan keluarga ayahnya serta mendapatkan hak waris dari

orang tuanya.

Anak sebagai amanah Allah, maka orang tuanya mempunyai tanggung jawab untuk

mengasuh, mendidik dan memenuhi keperluannya sampai dewasa.

BAB V

PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan di atas dengan judul Akibat Hukum Nikah Siri Di Tinjau dari

UNdang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Perspektif Hukum Islam, penulis dapat

mengambil suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan itu

dikatakan sah jika di catatkan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2), oleh karena itu nikah siri

di anggap tidak sah karena tidak memenuhi unsure pasal tersebut.

2. Sedangkan menurut Hukum Islam Nikah siri itu dikatakan sah jika telah memenuhi syarat sahnya

perkawinan dan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannyan, hal

ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 4 Kompilasi

Hukum Islam. Atau dengan kata lain perkawinan sah menurut hukum islam apabila memenuhi

syarat dan rukun nikah.

3. Sebelum adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri hanya mempunyai

hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluwarga ibunya. Sedangkan setelah adanya putusan

MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri tidak hanya memiliki hubungan perdata

dengan ibu dan keluawarga ibunya, akan tetapi dapat pula memiliki hubungan keperdataan dengan

ayahnya jika mendapat pengakuan dari ayah biologisnya atau dapat di buktikan dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

5.2 Saran

1. Di harapkan kepada seluruh masyarakat khususnya yang ada di Pohuwato, jangan sekali-kali

melakukan perkawinan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena akan

menimbulkan ketidak pastian hukum, dalam hal ini yang disebut perkawinan siri yang tentunya

banyak merajalela dikalangan masyarakat saat ini.


2. Mengingat banyaknya nikah siri di kalangan masyarakat, khususnya di daerah Pohuwato, maka

kepada Pemerintah kiranya dapat lebih aktif dalam melakukan penyuluhan-penyuluhan hukum

tentang nikah siri dan dampaknya bagi anak. Karena dampak dari pernikahan ini sangatlah

merugikan khususnya buat anak yang dilahirkan dari pernikahan siri nantinya.

3. Karena pada realitanya perkawinan siri ini susah untuk di hilangkan pada kebiasaan masyarakat

populer saat ini ataupun akan datang, di tambah lagi sudah terbitnya putusan MK No 46/PUU-

VIII/2010 mengenai revisi Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal 43 ayat 1. Maka diharapkan

kepada aparat pemerintah agar dapat membuat aturan yang pasti mengenai perkawinan siri.

Você também pode gostar