Você está na página 1de 2

Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 3 (3) 2014 v

Indonesian Food Technologists

Kolom
Optimasi Proses Termal untuk Membunuh Clostridium botulinum
Elia Yuswita
Program Studi Ilmu Pangan, Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor , Bogor
Korespondensi dengan penulis (eliayuswita@ymail.com)
Artikel ini dikirim pada tanggal 6 April 2014 dan dinyatakan diterima tanggal 1 Juni 2014. Artikel ini juga dipublikasi secara online melalui
www.journal.ift.or.id. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang diperbanyak untuk tujuan komersial.
Diproduksi oleh Indonesian Food Technologists 2014 (www.ift.or.id)

Proses termal dalam suatu pengolahan pangan mempertimbangkan kualitas dari produk akhir dengan
bertujuan untuk memperpanjang keawetan produk cara meminimalkan kerusakan mutu. Dengan demikian,
pangan dengan membunuh mikroba pembusuk dan optimasi proses termal diperlukan untuk dapat
patogen, memperbaiki mutu sensori, melunakkan menentukan kombinasi suhu dan waktu selama
produk, meningkatkan daya cerna protein dan pemanasan dan pendinginan yang dapat memenuhi
karbohidrat, dan menghancurkan komponen-komponen kriteria kemanan pangan dan mutu. Karekteristik
yang tidak diperlukan. Proses termal yang berlebihan produk pangan dan jenis kemasan yang digunakan juga
dapat merusak komponen gizi dan menurunkan mutu sangat menentukan kombinasi suhu dan waktu yang
sensori produk. diperlukan untuk tujuan proses termal tersebut.
Salah satu proses termal yang umum digunakan Suhu proses untuk membunuh spora mikroba
dalam pengalengan makanan adalah sterilisasi. patogen yang dapat membentuk toksin dan dapat
o
Sterilisasi ini dilakukan secara komersial dengan cara meracuni manusia umumnya dilakukan pada 110 -
o
menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang 130 C selama waktu tertentu, tergantung pada kondisi
cukup lama, sehingga tidak ada lagi mikroorganisme dari produknya. Sedangkan suhu untuk mereduksi
yang hidup pada suhu penyimpanan normal. Meskipun jumlah C. botulinum dalam makanan kaleng adalah
o
makanan kaleng diolah dengan menggunakan proses 121,1 C selama 3 menit (Kusnandar, 2006). Semakin
termal, tidak menutup kemungkinan bahwa makanan tinggi suhu maka akan semakin pendek waktu yag
tersebut bisa terkontaminasi oleh mikroba terutama C. diperlukan untuk dapat membunuh mikroba tersebut.
botulinum, karena bakteri ini dapat membentuk toksin Dalam mendesain proses termal untuk
botulin pada kondisi an-aerobik didalam kemasan, pengolahan pangan (pengalengan), ada dua parameter
terutama produk pangan dari kelompok yang berasam kinetika inaktivasi mikroba yang harus diperhatikan,
rendah (low acid food). C. botulinum juga dapat yaitu ; nilai D dan Z. Nilai D merupakan waktu dalam
membentuk spora yang relatif tahan panas. Hal ini menit pada suhu tertentu yang diperlukan untuk
diperkirakan akibat proses termal yang kurang optimal, menurunkan jumlah spora atau sel vegetatif tertentu
sehingga sel vegetatif dari C. botulinum masih ada sebesar 90% atau satu logaritmik. Sedangkan nilai Z
dalam bahan pangan dan membentuk spora. Supaya adalah perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah
spora bakteri tersebut tidak terbentuk dalam produk nilai D sebesar 90% atau satu siklus logaritma.
pangan, maka perlu dilakukan proses sterilisasi yang Ketahanan panas mikroba atau sensitifitas panas
bertujuan untuk mengawetkan produk pangan dengan mikroba oleh suhu pemanasan yang dinyatakan
membunuh mikroba pembusuk dan patogen dengan nilai D berbeda-beda untuk setiap mikroba.
menggunakan panas (suhu tinggi) selama waktu Bakteri mesofilik seperti C. botulinum memiliki nilai D
o o
tertentu. sebesar 0,25 menit pada suhu 121,1 C (250 F),
Indikator proses sterilisasi yang optimal (Kusnandar, 2006). Artinya, untuk menurunkan jumlah
umumnya dilakukan dengan memastikan C. botulinum C.botulinum sebesar 90% memerlukan waktu 0,25
dapat mati. Dengan demikian, mikroba lain yang kurang menit. Semakin besar nilai D suatu mikroba pada suhu
tahan panas akan otomatis mati apabila C. botulinum tertentu, maka semakin tinggi ketahanan panas
berhasil dibunuh. C. botulinum dapat hidup di dalam mikroba tersebut pada suhu tertentu pula.
makanan kaleng karena kondisi makanan di dalam Sensitivitas nilai D terhadap perubahan suhu
kaleng yang an-aerobik, dan bakteri ini hidup secara yang dinyatakan dengan nilai Z juga tidak sama untuk
an-aerobik (tidak membutuhkan oksigen). Bakteri ini setiap jenis mikroba. Bakteri C. botulinum memiliki nilai
o
termasuk bakteri gram positif berbentuk batang, Z sebesar 10 C (Kusnandar, 2006), artinya ; untuk
mempunyai dinding sel yang sebagian besar tersusun mengubah nilai D mikroba tersebut dari 0,25 menit
o
dari peptidoglikan (murein). Peptidoglikan pada dinding pada suhu 121,1 C menjadi 0,025 menit (menurun
sel bakteri bersifat kaku dan bertanggungjawab untuk sebesar 90% atau satu siklus logaritma), suhu
o
menjaga integritas sel serta menentukan bentuknya. pemanasan harus dinaikkan sebesar 10 C, yaitu
o
Proses sterilisasi merupakan tahap yang paling menjadi 131 C. Dengan kata lain, untuk menurunkan C.
o
penting dan kritis dalam proses pengalengan yang botulinum sebesar 90% pada suhu 121 C adalah 0,25
o
menentukan sukses tidaknya proses sterilisasi secara menit. Sedangkan pada suhu 131 C adalah 0,025 menit
keseluruhan. Proses ini dilakukan setelah kaleng (10 kali lebih cepat).
ditutup dan dimasukkan ke dalam ketel uap atau retort. C. botulinum yang ada pada produk pangan
Suhu sterilisasi standar yang digunakan adalah terutama makanan kaleng harus dibunuh, karena
o o
121,1 C (250 F), (Kusnandar, 2006). bakteri ini dapat menyebabkan keracunan tipe
Proses termal (sterilisasi) yang ditujukan bukan intoksikasi pada manusia. Keracunan tipe intoksikasi ini
hanya untuk membunuh mikroba, namun harus disebabkan oleh terkonsumsinya toksin (racun)
vi Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 3 (1) 2014
Indonesian Food Technologists

ekstraseluler yang dihasilkan oleh mikroba yang Penghambatan pelepasan asetilkholin dapat
mencemari pangan. Intoksikasi tidak memerlukan mengakibatkan kelumpuhan atau paralisis. Dosis toksin
adanya mikroba hidup pada pangan yang dikonsumsi yang dapat menyebabkan kematian pada manusia
karena umumnya toksin mikroba telah dieksresikan ke diperkirakan 0.1-1.0 mikrogram (Fardiaz, et. al., 1988).
medium sekitarnya (ke dalam pangan) pada saat Gejala botulisme atau keracunan akibat botulinum
mikroba tumbuh dan mencemari pangan. Dampak yang biasanya timbul rata-rata 12-24 jam setelah
ditimbulkan relatif cepat karena toksin telah tersedia. mengkonsumsi makanan yang mengandung racun
Racun yang dikeluarkan oleh C. botulinum botulinum. Kadang-kadang waktu inkubasi berlangsung
disebut neurotoksin karena racun tersebut menyerang lebih cepat, yaitu 6-10 jam setelah mengkonsumsi
sistem susunan syaraf. Gejala keracunannya bersifat makanan yang beracun, terutama jika makanan
neuroparalitik, yaitu menyebabkan kelumpuhan bagian tersebut mengandung toksin E (Fardiaz, et. al., 1988).
tubuh tertentu karena susunan syaraf yang terganggu. Toksin E dapat menyebabkan intoksikasi pada
Racun botulinum adalah suatu protein yang sangat manusia, sering ditemukan pada ikan dan hasil-hasil
beracun, sehingga walaupun tertelan dalam jumlah olahan ikan.
sedikit sudah dapat menyebabkan keracunan. Racun
botulinum diproduksi oleh sel C. botulinum dalam Daftar Pustaka
bentuk toksin progenitor. Toksin ini kemudian dapat Fardiaz, Srikandi. 1988. Mikrobiologi Pangan II.
diaktifkan oleh enzim-enzim tertentu di dalam tubuh Laboratorium Mikrobiologi Pangan Pusat Antar
menjadi komponen yang beracun. Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian
Toksin yang telah aktif akan dibawa melalui Bogor.
pembuluh darah ke sistem syaraf kholinergik, dimana Kusnandar, Feri, et. al.,. 2006. Prinsip Teknik Pangan.
toksin tersebut bekerja pada bagian akhir dari sistem IPB.
syaraf dengan cara mencegah bagian sineptik untuk Rahayu, Winiati P dan C.C. Nurwitri. 2012. Mikrobiologi
melepaskan asetilkholin yang dapat menggerakkan Pangan. IPB Press, Kampus IPB Taman
otot-otot melalui reaksi dengan ujung-ujung otot. Kencana Bogor. ISBN : 978-979-493-430-2.

Você também pode gostar