Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
III. PENGERTIAN
Secara semantik arti Ahlussunnah wal jamaah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan
aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).
Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna
pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabiin. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila
dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jamaah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para
Shahabat dan tabiin.
Nahdlatul Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam
Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari juga tidak disebutkan
definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan
dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asyari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh
menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arbaah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii
dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-
Ghazali.
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh
Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan,
tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?
Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah wal Jamaah menggunakan produk hukum atau
pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan perkembangan
zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk
menghadapinya. Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat
madzhab di dalam madzhab?
Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang
menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus
diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh
pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata
adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege
(keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar
manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan
politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syariat Islam dan Khilafah
Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jamaah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Quran, Sunnah,
Ijma dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar
sebuah pemerintahan baik negara maupun kerajaan harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
5. TASAWUF
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan "Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari
dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah
SWT tanpa keterikatan apa pun."
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah
Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang
terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling
tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai
saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.
berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun kata Imam Al-Junaid, lalu menyucikan hati dari
apa saja selain Allah.... Mereka (kaum Sufi) telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah.., kata Imam
Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama
keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin
untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa?
karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai
Khalifah harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja
Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar
Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Said Al Kharraj sukses sebagai
pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai
pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa
meninggalkan urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut
pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi,
politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus
ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara
hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud
di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi
manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.
VI. PENUTUP
Ahlussunnah wal Jamaah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan.
Sebagai sebuah metode pemahaman dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan
metode akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas pendekatan diatur sedemikian rupa
sehingga menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan
atau perubahan sangat mungkin terjadi.
Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar teknikalitas sama tinggi dengan
metode ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap
Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang telah kami sajikan di sini,
yang sangat butuh banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per
langkah tindakan dan pandangan gerakan, akan muncul kemudian apabila kenyataan lapangan sungguh-sungguh
menuntut dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang kebutuhan primer kolektif kita masih terletak pada
memahami, hal semacam itu kami pandang belum menjadi kebutuhan obyektif.
Tashwir:
MEMBINCANG MANHAJ FIKR NU
Ahmad Fawaid Sjadzili
Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah. Kini sedang menyelesaikan pendidikannya di Program Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Redaktur Pelaksana Jurnal Tashwirul Afkar
Ketika Kang Said Aqil Siradj mengatakan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) bukan madzhab melainkan manhaj,
silang pendapat di lingkungan nahdliyin tidak terbendung. Bagi Kang Said, alasannya sangat sederhana: bagaimana
mungkin di dalam madzhab ada sekoci madzhab lagi? Namun bukan tempatnya mengulang kembali debat klasik ini
dalam tulisan berikut. Yang patut ditegaskan di sini adalah bagaimana menjadikan Aswaja sebagai manhaj, gugusan
paradigmatik-konseptual yang memungkinkannya menjadi alat dan perangkat (tool) baik dalam berpikir maupun
bertindak di kalangan nahdliyin.
Sebagaimana mafhum, terma Aswaja merupakan istilah paska kenabian. Ia lahir paska era kenabian yang ditandai
dengan tercerai-berainya komunitas Islam menjadi skisma aliran (scism) yang tidak tunggal. Masing-masing
mengidentifikasi diri sebagai pengikut Nabi yang paling tepat dibandingkan dengan lainnya. Sungguhpun istilah ini
lahir paska era kenabian, namun istilah tersebut selalu saja dipautkan pada sebuah tradisi dalam momen sejarah Islam
paling awal, yaitu generasi Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya yang terpercaya. Atas dasar inilah, definisi
Aswaja mengacu dan diacukan pada apa yang saya (Nabi) dan para sahabatku lakukan (ma ana alayhi wa ashabi). Ini
artinya, Aswaja diukur dengan sejauh mana tradisi dan kebiasaan Nabi dan para sahabat terpercaya mewarsi dan
mewarnai kerangka berpikir dan bertindak sehingga tindakan dan pemikiran itu ada pada jalur yang tepat (on the right
track).
Dalam perkembangannya, identifikasi identitas itu pun mengkristal pada dua ujung yang ekstrem: kelompok yang
selamat (al-firqah an-najiyah) dan kelompok yang sesat (al-firqah al-dlallah). Dengan berlandaskan pada hadis tentang
perpecahan umat, maka Ahlussunnah mendakwa diri sebagai firqah yang tepat dan selamat. Dalam bingkai semacam ini,
yang lain akan dengan mudah dituduh dan distigma sesat oleh otoritas yang berkuasa. Dan label ini pun bisa terjadi
secara bergantian. Dalam sejarah Islam, contoh pertarungan antara Mutazilah dan Ahlussunnah pada era Al- Mamun
dilanjutkan Al-Mutashim dan berpuncak pada al-Wasiq dengan era Al- Mutawakkil menjadi contoh betapa label selamat
dan sesat dengan mudah dialihkan, tergantung selera rezim yang berkuasa. Apa yang dikenal dengan tragedi mihnah
ini menjadi contoh tak terbantahkan dari goyang pendulum yang labil antara keselamatan dan kesesatan yang semata
dipagari dengan apa yang disebut kekuasaan. Pada masa Al-Mamun, Al-Mutashim, dan Al-Wasiq, kelompok yang
dianggap sesat adalah ahlul hadis dengan ikon intelektualnya Ahmad ibn Hanbal. Sebaliknya pada masa AlMutawakkil,
kelompok yang dianggap sesat adalah ahlu ar-rayi atau lebih populer disebut mutazilah.
Imaginasi tentang firqah najiyah yang oleh sebagian kalangan disematkan pada kelompok Ahlussunnah Waljamaah ini
terus berkembang. Tidak saja dikontestasikan dengan Mutazilah, Ahlussunnah belakangan lebih diposisikan secara
berhadapan dengan Syiah. Dalam konteks Syiah pun, label Aswaja masih menjadi identitas yang diperebutkan (contested
identity). Buku yang ditulis Muhammad At-Tijani As-Samawi, doktor filsafat Universitas Sorbone, yang berjudul Asy-
Syiah Hum Ahlu as-Sunnah [1993] menjadi contoh dari perebutan ini. Buku itu hendak menegaskan bahwa Syiah adalah
Ahlussunnah, bahkan dinilai lebih Ahlussunnah ketimbang kelompok yang selama ini mendakwa dirinya Ahlussunnah.
Perebutan serupa tampaknya juga terjadi di Nahdlatul Ulama. Untuk mengidentifikasi identitasnya dengan yang lain,
NU menjadikan Islam dengan faham Aswaja sebagai asas dan aqidah organisasinya. Berbeda dengan bingkai besar
Aswaja dalam sejarah teologi Islam, NU melakukan modifikasi dengan menyumbangkan pemaknaan konsep Aswaja.
Lahirlah kategorisasi yang mengacukan paradigma bermadzhab dengan mengikuti salah satu dari empat madzhab yang
populer, mengikuti paradigma berteologi Al-Asyari dan Al-Maturidi, dan paradigma bertasawuf Al-Ghazali dan Al-
Junaid al-Baghdadi sebagai paradigma Aswaja versi NU. Modifikasi pemaknaan ini diyakini sebagai ijtihad yang
mencoba mendudukkan beragam aliran dan firqah pada tempatnya, sambil mencari celah untuk menemukan jalur
tengah yang tidak memihak pada ekstremitas yang ada. Jalur tengah itu akhirnya dijumpai dalam paradigma berpikir
yang dibangun empat ulama madzhab dalam fiqih, Al-Asyari dan Al-Maturidi dalam teologi, serta Al-Ghazali dan Al-
Junaid Al-Baghdadi dalam tasawuf. Dengan koridor yang dirumuskan pada ulama itulah, NU hadir menjadi sebuah
organisasi dengan paradigma berpikir yang lepas dari aspeks ekstrem dengan Aswaja sebagai paradigma dan kekuatan
doktrinalnya. Aswaja diyakini membiaskan nilai-nilai yang mencoba menjembatani kesenjangan antara dua ekstremitas.
Apa yang disebut dengan tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan al-adalah menjadi prinsip dalam mengemas
gagasan dan melakoni tindakannya. Sayangnya, prinsip moderatisme kerap menjadi dalih untuk menghakimi yang lain
sebagai melampaui batas. Batas-batas moderatisme pun menjadi kabur, sebagaimana kaburnya aliran dan firqah yang
dituding sebagai ekstrem.
Rekomendasi muktamar NU ke-31 di Solo menunjukkan kekaburan itu. Dalam butir rekomendasi itu tertuang pernyataan
bahwa Aswaja menolak segala bentuk fundamentalisme, ekstremisme, liberalisme, dan aliran-aliran yang menyimpang.
Tidak ada penjelasan apa, bagaimana, dan batas-batas fundamentalisme, liberalisme, ekstremisme, dan aliran-aliran yang
menyimpang. Kenyataan ini mengukuhkan penulis bahwa muktamar ke 31 seolah menjadi saksi betapa fragementasi
ideologis di kalangan warga nahdliyin begitu telanjang dan manifes. Liberalisme, fundamentalisme, ekstremisme, dan
aliran menyimpang di kalangan nahdliyin menjadi isu yang mengemuka, dan tidak jarang diperhadapkan secara vis a vis
dengan apa yang didakwa Aswaja yang diyakini membiaskan nilai-nilai moderat. Belum lagi labelisasi liberal yang kerap
disematkan pada anak muda, sementara di sisi yang lain fundamentalisme lebih dikaitkan dengan alam pikir generasi
tua. Praktis, ketegangan paradigmatis antara generasi tua dan muda kian tak terjembatani. Sementara generasi tua a priori
menyikapi kiprah anak muda, sebaliknya anak muda apatis dengan apa yang dilakoni generasi tua. Ruang dialog
tersumbat, dan yang terjadi adalah penghakiman.
Ketegangan paradigmatik ini ujungnya membuahkan raibnya saling percaya antar generasi yang berbeda. Kenyataan ini
tentu saja kontra produktif dengan kenyataan betapa warna-warninya gagasan yang bersemai di lingkungan NU tidak
serta-merta tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai dinamika yang niscaya terjadi. Tapi sayangnya, variasi
gagasan sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab karya ulama salaf seolah kurang tampak dalam konteks dinamika
berpikir di lingkungan NU. Perdebatan yang produktif disertai argumentasi yang memadai sebagaimana didedahkan
dalam kitab-kitab otoiritatif (al-kutub al-mutabarah) di lingkungan pesantren itu tidak membias dalam tradisi berpikir
kalangan nahdliyin. Malah yang terjadi kemudian adalah penunggalan cara berpikir dan bertindak atas nama manhaj fikr
NU.
Dirunut dari sejarahnya, berdirinya NU sebagai sebuah institusi sosial keagamaan merupakan produk alam pikir lain di
tengah main stream alam pikir yang berkembang saat itu. Pertarungan pemahaman dan perbedaan paradigma berpikir
yang dikembangkan gerakan Wahabi yang diimpor ke tanah air bisa dijadikan titik pijak benih-benih lahirnya NU.
Problem khilafiyah yang bersumber dari perbedaan metode berpikir itu kemudian menjadi landasan mendesaknya
terbentuknya NU sebagai organisasi sosial keagamaan.
Atas argumen untuk menyelamatkan masyarakat dari sesat pikir yang ditudingkan sebagian kelompok pada lainnya,
NU hadir untuk mensinergikan ramuan Islam Timur Tengah yang dibawa para funding fathers yang ngelmu ke sana
dengan khazanah dan tradisi lokal (baca; tradisi nusantara) yang berkembang di tanah air. Atas dasar ini pula, kehadiran
NU merupakan institusionalisasi metode berpikir yang dirumuskan para funding fathers NU. Dan metode berpikir itu
tidak pernah tunggal, melainkan beragam, sebagaimana beragamnya acuan kalangan nahdliyin dalam bermadzhab,
berteologi, dan bertasawuf.
Tentu saja, ini bukanlah satu-satunya argumentasi yang mendasari lahirnya NU. Hal lain, yang bisa jadi lebih penting,
juga turut dalam mendesakkan perlunya sebuah organisasi sosial keagamaan yang berbasis pada ulama: sebuah
komunitas yang mewarisi kenabian (al-ulama warastatul anbiya) adalah komitmen pemberdayaan umat yang terpuruk
baik secara ekonomi, pendidikan, dan moral. Nahdlatut Tujjar, Tashwirul Afkar, dan Nahdlatul Wathon yang merupakan
unsur pra organisasi meminjam istilah MM Billahmenjadi cikal bakal NU menjadi organisasi. Meskipun, kata Billah,
unsur nahdlatut tujjar yang memberikan perhatian pada peningkatan ekonomi warga NU patah sebelum menjadi tunas
yang subur di dalam struktur organisasi (Billah: 1998). Karena alasan ini pula, Billah menengarai raibnya perhatian NU
terhadap ekonomi warga.
Aswaja sebagai manhaj fikr masih berupa rumusan-rumusan abstrak, dan sebagaimana dinyatakan para petinggi NU,
rumusan itu masih tersebar dalam kitab-kitab rujukan yang masih diwarisi kalangan pesantren hingga kini. Memang ada
upaya untuk merumuskan secara tertulis metode berpikir yang abstrak itu. Ini misalnya dilakukan oleh KH. Ahmad
Shiddiq yang saat itu menjadi Ketua Wilayah Partai NU Jawa Timur, pada tahun 1969 menyusun konsep tentang Metode
Berpikir Nahdlatul Ulama. Bisa jadi, ini adalah rumusan standar tentang koridor berpikir warga Nahdliyin. Namun
juga tidak menutup kemungkinan bahwa itu hanyalah ijtihad KH. Ahmad Shiddiq dalam membaca dan menafsirkan
realitas yang berkembang di NU. Lepas dari apakah Metode Berpikir NU yang dirumuskan KH. Ahmad Shiddiq
hanyalah interpretasi personal atau rumusan organisasional, yang jelas rumusan itu diproduksi ketika NU berkiprah
sebagai partai politik. Dalam perjalanan waktu, perubahan yang luar biasa dinamisnya terjadi tidak saja di lingkungan
NU, tapi di kawasan tanah air secara umum. Bagaimanapun, teks rumusan metode berpikir itu tidak hadir dalam ruang
hampa. Ia hadir dalam ruang dan waktu yang melingkupinya.
Jadi, sangatlah tidak adil jika teks tersebut dimonumenkan dan lepas dari sentuhan kekinian. Sebagai teks yang terbuka,
rumusan metode berpikir itu terbuka untuk ditafsir. Dari tafsir itulah, generasi selanjutnya membaca sekaligus
menerjemahkan dalam wujud yang beragam. Ragam interpretasi itulah kemudian melahirkan ragam kecenderungan di
internal organisasi itu. Sungguhpun demikian, tidak semua bersepakat dengan tingkah polah generasi penerjemah itu.
Tidak sedikit yang keberatan, bahkan melabelinya sebagai tindakan liar yang lepas dari koridor ke-NUan. Seiring dengan
perkembangan NU dengan segala dinamikanya, ketegangan antara generasi tua dan generasi muda semakin sulit
dipertemukan. Munculnya ikon baru dalam pemikiran keislaman belakangan ini kian meruncingkan kesenjangan antara
generasi tua dan muda. Seolah liberalisme berpikir menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi muda.
Sungguhpun demikian, respons generasi tua tidak selalu tunggal. Terdapat beberapa kiai NU yang mengecam keras para
kader muda NU yang ditengarai berpaham liberal, namun ada pula para kiai yang "memahami" hal itu dan menilainya
sebagai "kewajaran".
Seiring dengan menguatnya arus radikalisme Islam di tanah air akhir-akhir ini, para kiai NU juga semakin keras
mengecam liberalisme Islam yang diusung generasi muda NU. Pasalnya, liberalisme Islam didakwa tidak sesuai dengan
faham NU. Mereka pun mendakwakan untuk "tazkiyah" (menyucikan) dari unsur-unsur luar yang dipaksamasukkan (ad-
dakhil) ke dalam NU, semisal apa yang dilakukan oleh eksponen liberalisme Islam ini. Propaganda anti liberalisme Islam
pun disebar tidak saja ditujukan kepada para pengurus NU di forum-forum resmi, tetapi juga di pengajianpengajian
umum.
Sayangnya, kampanye anti liberalisme Islam ini tidak dilandasi dan dipayungi oleh kejelasan yang terang benderang
tentang koridor dan manhaj fikr NU. Dengan kata lain, batas-batas pemikiran yang menandai seseorang masih NU atau
keluar dari NU belum sepenuhnya dipancangkan. Hal ini menyebabkan munculnya generalisasi terhadap anak-anak
muda NU yang dikategorikan kemajon.(terlalu maju). Padahal bagi kaum muda, mengembangkan pemikiran-pemikiran
baru melalui ijtihad atau inovasi baru merupakan keharusan yang tidak bisa dipungkiri. Tanpa upaya itu, maka akan
terjadi kemandegan berpikir di lingkungan NU. Pada saat yang sama, generasi tua diharapkan menjadi pemandu yang
bijak dalam menyikapi kreasi yang beragam di kalangan anak mudanya. Bukan malah mematahkan upaya inovatif yang
niscaya dibebabkan pada anak mudanya. Dengan demikian, komunikasi timbalbalik harus menjadi forum yang
memungkinkan untuk bisa saling mengkomunikasikan peran dan tanggung jawabnya.[]
KONTEKSTUALISASI ASWAJA
(dari Doktrin ke Manhaj al Fikr )?
Oleh: Abu Hafsin
Pendahuluan
Ahli Sunnah Wa al-Jamaah (Aswaja) selama ini difahami sebagai sebagai suatu sekte keagamaan terbesar dalam Islam
dan diklaim sebagai aliran yang paling benar. Itulah karenanya pengikut Aswaja, yang lebih sering disebut sebagai
kelompok Sunny, sering dipandang oleh outsiders (para Islamolog yang bukan Islam) sebagai orthodoxy (orthos
berarti benar dan doxa berarti pendapat). Islam. Sedangkan kelompok di luar itu diangap sebagai heterodox
(hetero berarti lain). Jadi heterodoxy merupakan suatu aliran keagamaan yang diangap berbeda dengan keyakinan
kebanyakan orang. Dalam manifestasi kehidupan sosial, heterodoxy sering muncul dalam wujud gerakan-gerakan
sempalan yang berada di luar mainstream. Karenanya, dari sudut pandang ethimologis ini, kelompok Syiah bisa
dikategorikan sebagai kelompok heterodox. Namun bagaimanakah dengan kelompok sempalan, yang gerakan
keagamaannya berada di luar mainstream tetapi mengaku pengikut Aswaja? Bagaimana kalau mereka yang
jumlahnya tidak banyak itu justeru menuduh mayoritas Muslim sebagai kelompok yang tidak mengikuti Aswaja?
Untuk menjawab persoalan ini sudah selayaknya jika GP Ansor, sebagai komponen generasi muda NU, mencoba
berpikir serious mengenai perkembangan pemikiran keagamaan. Kesan selama ini bahwa Ansor hanya sebagai batu
loncatan untuk menaiki tangga politik, memang terrasa begitu kental. Kegiatan intellectual nyaris terabaikan, dan
kalaupun ada sepi dari peminat. Tulisan berikut ini tidak akan mencoba menjelaskan mengapa kegiatan-kegiatan
Ansar menjadi sangat pragmatic, tetapi hanya akan memberikan gambaran ilmiyah bahwa Aswaja yang selama ini di
klaim oleh NU dan seluruh badan otonomnya sebagai ruh pergerakan itu dapat dibenarkan secara historis dan
ilmiyah.
Pendapat bahwa Aswaja bukan sebagai doktrin merupakan pengingkaran terhadap kenyataan. Pemahaman
keagamaan yang tersebar dalam berbagai bidang ilmu-ilmu ke-Islam-an, seperti Fiqh Theologi dan Sufisme, yang
sekarang dianut oleh kebanyakan umat Islam merupakan doktrin Aswaja. Dengan demikian jika Aswaja hanya diakui
sebagai manhaj atau metoda pemahaman Islam, pendapat ini merupakan pengingkaran terhadap kenyataan. Jadi
permasalahan yang penting untuk dikembangkan bukan apakah Aswaja sebagai doktrin itu ada atau tidak, tetapi
apakah pembahasan Aswaja itu cukup mendasarkan pada wilayah doktrinal ataukah harus pula membahas Aswaja
sebagai sebuah metoda pemahaman keagamaan. Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah apakah
pembenaran (justification) terhadap Aswaja itu cukup dengan pendekatan normatif?
Tradisi pemikiran Islam yang ada sekarang (Fiqh, theologi, Sufisme dan lainya) tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir
dari suatu proses pergumulan yang panjang, yang sudah barang pasti terkait erat dengan aspek-aspek sosio-kultural
serta sosio-politik yang melingkupinya. Itulah karenanya untuk mendapatkan gambaran utuh, pengkajian Aswaja
tidak cukup hanya mengandalkan pada kajian-kajian doktrinal dengan pendekatan normatif, tetapi harus melibatkan
kajian kesejarahan. Kajian kesejarahan ini penting dilakukan untuk meluruskan pola-pola pemahaman keagamaan
mana yang historis dan mana yang ahistoris.
Ada beberapa alasan mengapa kajian kesejarahan ini sangat penting. Pertama, banyak umat Islam yang melihat
Aswaja dengan berbagai variasinya hanya sebagai ideologi yang baku, seolah infallible dan immune terhadap
perubahan zaman. Dalam konteks ini Aswaja seringkali diartikan secara sederhana yakni sebagai antitesa dari faham
Syiah, orthodoxy dari heterodoxy atau sunnah dari bidah. Khusus di Indonesia, Aswaja ini bahkan telah diklaim
sebagai ideologi dari berbagai organisasi keagamaan. Meskipun diantara Ormas Islam yang ada, NU dan badan
otonomnya yang paling rajin mengkampanyekan dirinya sebagai penerus dan pemelihara faham Aswaja, Ormas-
ormas Islam lainnya juga telah mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja, baik secara implisit maupun eksplisit.
Salah satu keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa keputusan tentang iman merupakan akidah
ahlul haqq wa al-sunnah.Persis juga mengklalim dirinya lebih berhak menyandang predikat Aswaja dengan alasan
bahwa ia tidak bermadzhab (Said, 1999: 114). Dengan demikian klalim ahlusunnah sebenarnya lebih pantas
disandang mereka. Bahkan baru beberapa tahun yang lalu muncul fenomena baru yang sangat menarik karena
kelompok Muslim garis keras telah mengklaim dirinya secara eksplisit sebagai kelompok Jihad Aswaja.
Di tengah munculnya klaim Aswaja yang dilakukan berbagai organisasi kegamaan di Indonesia saat ini, sudah
selayaknya jika Ansor sebagai komponen generasi muda NU, memberikan pemaknaan yang benar dari konteks
manhaji (metodologis). Mengapa tidak dari sudut pandang doktrinal? Karena upaya pemaknaan dan pendefinisian
kembali (redefinisi) Aswaja secara doktrinal terkadang menimbulkan hal-hal yang paradoksal. Doktrin merupakan
hasil pemikiran seseorang yang kemudian terlembaga menjadi ajaran baku. Sudah barang pasti dalam proses
pembakuan ini terkait dan terpengaruh oleh kondisi waktu dan tempat. Doktrin yang dihasilkan oleh para ulama
terdahulu belum tentu tepat dengan kondisi sekarang. Justeru kalau kita memaknai Aswaja dari sisi doktrinal, kita
akan terjebak sendiri. Boleh jadi kita tidak lagi bisa dikatakan sebagai bagian dari penganut Aswaja yang hakiki
karena telah melakukan pemutlakan pembenaran doktrinal.
Alasan kedua mengapa Aswaja tidak harus difahami dari sisi doktrinal ini didasarkan atas suatu kenyataan bahwa
banyak pendapat para Imam yang kita anggap sebagai rujukan tetapi berbeda tajam antara satu sama lainnya.
Misalnya al-Junaidi menyatakan bahwa peniadaan sifat-sifat Allah merupakan awal dari sikap tawhid . Ini jelas akan
bertentangan dengan faham Imam al-Asyari yang menyatakan bahwa Allah memiliki sifat. Inilah yang menyulitkan
kita untuk bisa memberikan pembenaran jika Aswaja difahami dalam konteks doktrinal. Oleh karena itu, untuk
memberikan pembenaran, perlu kiranya melihat Aswaja dalam konteks manhaj atau metodologi pemahaman
keagamaan.
Ketiga, dasar pembenaran Aswaja selama ini seringkali bersifat teologis normatif. Ada dua Hadits riwayat Imam
Turmudzi dan satu Hadits riwayat Imam Tabrani yang sering digunakan untuk membenarkan Aswaja. Hadits-hadits
tersebut menceritakan tentang akan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam sampai 73 kelompok sebagaimana
telah terjadi di kalangan Yahudi dan Kristen. Dintara ke 73 kelompok itu semuanya akan masuk Neraka kecuali satu
kelompok, yakni kelompok pengikut Sunnah Nabi dan para Sahabatnya. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh
Tabrani bahkan disebutkan secara eksplisit bahwa yang satu kelompok itu adalah Ahlu Sunah Wa al-Jamaah.
Pembenaran secara teologis-normatif tidak ada salahnya. Pendekatan normatif tidak harus dihadapkan secara
diametrical dengan pendekatan ilmiyah. Dalam banyak hal, keyakinan keagamaan juga perlu mendapatkan
pembenaran normatif. Dengan demikian persoalannya bukan tidak boleh menggunakan pendekatan normatif untuk
mendukung Aswaja tetapi sejauh mana pendekatan normatif itu berwatak coherent dan tidak paradoxical.
Jika diteliti secara mendalam, ketiga hadits pembenar Aswaja itu berwatak paradoxical dan mungkin sekali lahir saat
umat Islam dilanda perpecahan. Hadits-hadits itu muncul untuk tujuan penyatuan Umat Islam yang sudah tercerai
berai akibat perang saudara. Bahwa dalam Hadits-hadits tersebut terkandung tujuan yang sangat mulia, memang
tidak diragukan lagi. Namun dalam memenuhi tujuan yang mulia tersebut ada satu prinsip yang terkorbankan, yakni
prinsip kesucian Muhammad sebagai Rasulullah.
Kehadiran Nabi Muhammad saw. di tengah masyarakat Jahiliyah sudah barang pasti tidak bisa dipisahkan dari
misi kerasulan, baik dalam wujud al-Quran maupun dalam bentuk prilaku pribadinya. Namun misi kerasulan yang
dibawanya itu seringkali berhadapan dengan kecenderungan umum masyarakat Jahiliyah yang menganggap orang
sehebat Nabi sejajar dengan para Kahin (tukang ramal). Itulah karenanya al-Quran sangat berkepentingan untuk
membentengi Nabi dari tuduhan sebagai Kahin dengan pernyataan yang tegas bahwa apa yang dibawa Nabi benar-
benar merupakan wahyu Allah. Kalau al-Quran mencoba meyakinkan masyarakat Arab pra-Islam bahwa apa yang
dibawa oleh Nabi itu benar-benar wahyu serta mencoba menjaga Nabi agar terhindar dari tuduhan sebagai peramal,
pertanyaannya apakah logis jika Nabi kemudian banyak menyatakan hal-hal yang prediktif? Bukankah hal demikian
ini bertentangan dengan logika umum yang tersimpul dari al-Quran itu sendiri? Sudah barang tentu hal ini tidak
mungkin dilakukan Rasulullah. Itulah karenanya hadits-hadits yang bersifat prediktif ini sulit untuk bisa diterima
sebagai landasan normatif untuk membenarkan Aswaja.
Dengan bersandar pada ketiga alasan di atas, pembenaran atas Aswaja harus dilihat dari aspek kesejarahan. Dari hasil
pendekatan kesejarahan ini kemudian Aswaja di rekonstruksi menjadi konsep-konsep yang abstrak. Konsep-konsep
abstrak inilah yang akan kita jadikan sebagai pola atau model pemahaman keagamaan. Inilah yang kami maksudkan
Aswaja sebagai metoda pemahaman keagamaan Islam.
Pemahaman Aswaja Sebagai Manhaj al Fikr
Dalam tradisi umat Islam di Indonesia, khususnya NU, penganut Aswaja biasanya didefinisikan sebagai orang yang
mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) dalam bidang Fiqh, mengikuti Imam al-
Asyari dan Maturidi dalam bidang akidah dan mengikuti al-Junaydi dan al-Ghazali dalam bidang tasawwuf. Sejauh
pengetahuan penulis, definisi ini pertama kali dirumuskan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari sebagaimana
tertuang dalam Qonun Asasi NU.
Secara doktrinal, pengertian Aswaja di atas sama sekali tidak salah. Pengertian ini merupakan definisi operasional
yang ditujukan untuk memudahkan pemahaman Aswaja. Definisi ini memang diperuntukkan bagi mereka yang,
karena profesi dan tingkat keilmuan yang dimiliknya, tidak mungkin melakukan penelitian kesejarahan terhadap
Aswaja. Jadi untuk memudahkan pemahaman, maka disediakanlah jawaban yang praktis operasional. Ini seperti Nabi
yang ditanya Malaikat Jibril tentang pengertian Iman, Islam dan Ihsan. Jawaban yang diberikan Nabi merupakan
jawaban praktis operasional. Meskipun Nabi yakin persoalan iman tidaklah sesederhana seperti yang
digambarkannya, Nabi tidak memberikan pengertian yang njlimet, abstract dan filosofis. Pengertian yang demikian ini
bukan merupakan konsumsi masyarakat awam. Jadi kalau Nabi memberikan definisi yang susah difahami awam,
malah justeru dapat mengkaburkan misi dakwah Islamiyahnya. Dengan demikian apa yang telah dilakukan oleh
Hadratus Syaikh Hasyim Asyari dengan pemberian definisi operasional Aswaja di atas sebenarnya merupakan sikap
yang sangat bijak, yang didasarkan atas kenyataan bahwa kebanyakan umat Islam di Indonesia saat itu belum
memungkinkan untuk bisa dibawa ke alam pemikiran Aswaja sebagai sebuah manhaj al fikr.
Pola pendekatan Aswaja sebagai manhaj bisa dilakukan dengan cara melihat setting sosio-politik dan kultural saat
doktrin itu lahir. Dengan demikian, dalam konteks Fiqh, misalnya, yang harus dijadikan dasar pertimbangan
bukanlah produknya melainkan bagaimana kondisi sosial politik dan budaya ketika Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafii dan Imam Hanbali melahirkan pemikiran Fiqhnya. Dalam bidang teologi maupun Tasawwuf juga harus
dilakukan hal yang sama. Bukan apa doktrin yang ditawarkan oleh al-Asyari dan al-Maturudi, al-Junaidi dan al-
Ghazali, tetapi pertanyaannya bagaimana kondisi sosial politik maupun budaya yang telah melahirkan doktrin
tersebut. Jika kita sepakat dengan proses kontekstualisasi ini, maka pemaknaan Aswaja jelas menghendaki
kemampuan untuk melakukan pemaknaan kembali terhadap fakta-fakta sejarah yang melatar-belakangi lahirnya
doktrin Aswaja.
Berangkat dari pola pendekatan di atas, yang paling penting dalam memahami Aswaja sebagai manhaj adalah
menagkap makna dari latar belakang kesejarahan untuk kemudian disarikan menjadi sebuah karakter yang mendasari
tingkah laku dalam ber-Islam, dalam bernegara dan berbangsa. Atas dasar inilah KH. Ahmad Siddiq (al-maghfur lah)
benar sekali ketika merumuskan karakter Aswaja kedalam tiga sikap, yakni; tawasuth, itidal dan tawazun
(pertengahan, tegak lurus dan keseimbangan). Ketiga karakter inilah yang menjadi kerangka acuan Aswaja baik dalam
mensikapi permasalahan-permasalahan keagamaan maupun politik. Dan inilah yang sebenarnya menjadi inti dari
cara memahami Aswaja sebagai sebuah manhaj al fikr.
Selain ketiga karakter di atas, sebenarnya terdapat satu karakter lainya yang jarang diungkap yakni watak Aswaja
yang cenderung mementingkan stabilitas sosial. Watak ini sepintas memang dipandang kurang progresif dan bahkan
terkesan stagnan. Ini sudah menjadi konsekuensi dari kelompok besar. Karena besarnya itulah gerakan Aswaja
menjadi tidak lincah sebagaimana gerakan rasionalis Mutazilah atau gerakan ekstrimis Khawarij. Jadi persoalan yang
selalu dihadapi kelompok pengikut Aswaja itu memang sangat kompleks, yakni bagaimana menciptakan stabilitas
untuk kelompok masyarakat yang memiliki tingkat heterogenitas tinggi.
Kesimpulan bahwa Aswaja memiliki karakter tawasuth, itidal, tawazun dan mementingkan stabilitas ini bukan tanpa
bukti kesejarahan. Semuanya dapat dilacak melalui sejarah kemunculannya. Pertengahan abad kedua Hijriayah
mungkin menjadi waktu yang tepat sebagai starting point pelacakan lahirnya Aswaja. Dianggap tepat karena
masyarakat Islam saat itu terpecah menjadi beberapa faksi akibat perang Siffin, perang antara Imam Ali dan
Muawiyah b. Abi Sufyan yang terjadi pada bulan Mei tahun 657.
Perang Sifin telah membuat mamsyarakat Muslim terpecah paling tidak menjadi empat kelompok, yakni kelompok
Ali kw, kelompok Muawiyah, kelompok khawarij dan kelompok Murjiah. Kelompok Murjiah inilah yang sering
disebut sebagai proto sunny atau cikal bakal Sunny. Ia merupakan kelompok mayoritas yang tidak mau terlibat dalam
urusan politik praktis. Fungsi sosial mereka adalah penyeimbang diantara berbagai faksi yang bertikai. Mereka lebih
menyibukkan pada gerakan moral dan kultural serta pengembangan ilmu pengetahuan. Diantara tokoh Sahabat Nabi
yang menempatkan dirinya pada posisi netral adalah Abdullah b. Umar, Abi Bakrah, Imran b. Husein Muhammad b.
Shalah, Saad b. Abi Waqas dan lainnya yang pada saat terbunuhnya Usman b. Affan mulai menjauhkan diri dari
urusan politik.
Pada masa Tabiin, kelompok netralis ini masih tetap konsisten dengan gerakan-gerakan kulturalnya. Meskipun
diantara mereka ada beberapa yang terjebak dalam watak ekstrim ke-murjiahan-nya, secara komunal mereka masih
menjadi bagian dari kelompok mayoritas netralis. Imam Abu Hanifah (w. 150/767) saat menentang pendapat ekstim
kelompok Khawarij memberikan simpati terhadap kalangan murjiah tersebut. Ia mengaku bahwa pendapatnya itu
sama seperti pendapat Ahlul Adli was Sunnah. Labih jauh Abu Hanifah mengatakan Berkenaan dengan julukan
Murjit yang engkau berikan (sehubungan dengan pendapatku) maka apakah dosa dari orang-orang yang berbicara
dengan adil (adil) dan yang oleh orang-orang yang menyimpang, sekalipun dijuluki demikian (adl)? Sebaliknya
mereka ini (bukan Murjit-Murjit tetapi) adalah orang-orang penengah (adl) yang berada di jalan tengah (Rahman,
1984:5). Karena inilah al-Asyari dalam Maqalat al-Islamiyin (1980:138) memasukkan Abu Hanifah sebagai kelompok
Murjiah.
Watak Aswaja yang sangat menekankan pada pentingnya arti keseimbangan serta stabilitas sosial bahkan lebih
terlihat lagi dari suatu konsepsi keagamaan yang sangat mengedepankan makna konsensus (ijma). Dari kata-kata
Ahli Sunnah waljamaah itu sendiri secara eksplisit menunjukkan bahwa kesepakatan sosial merupakan hal yang
sangat penting dalam memahami Islam. Dengan penelitian sepintas terhadap al-Muwatha karya Imam Malik b. Anas
misalnya, kita dapat langsung faham bahwa kesepakatan sosial mendapatkan ruang yang cukup leluasa. Setelah
mengutip hadith Nabi, Imam Malik sering memberikan komentar yang merujuk pada praktek masyarakat Madinah.
Komentar-komentar itu biasanya diiucapkan dalam rangkaian kata-kata qad madlat al-sunnah, al-sunnah indana, al-
sunnah allati la ikhtilafa indana, al-amru almujtama alaih indana, al-amru alladhi la ikhtilafa fihi indana. Ini
menunjukkan bahwa Imam Malik memandang kesepakatan sosial menjadi bagian dari mekanisme pemahaman
keagamaan.
Proses pembentukan kesepakatan sosial yang terjadi secara alami ini kemudian disanggah oleh Imam al-Syafii. Ia
tidak mau menggunakan tradisi yang hidup (kesepakatan sosial) sebagai sandaran untuk membangun hukum Islam.
Ia kemudian mengambil langkah dengan cara melakukan formalisasi kesepakatan sosial kedalam bentuk Ijma.
Kesepakatan sosial yang pada masa Imam Malik berorientasi ke depan dan terjadi secara informal (sukuti), menjadi
ijma yang berorientasi ke belakang dan berwatak formal.
Bukan saat yang tepat untuk membicarakan secara detail pola-pola pendekatan Ushuli baik yang dilakukan oleh
Imam Malik maupun al-Syafii. Dengan gambaran singkat di atas, kami hanya ingin menunjukkan bahwa baik Imam
Malik maupun al-Syafii, meskipun berbeda secara mendasar, tatapi memiliki concern yang sama dalam mensikapi
arti pentingnya sebuah jamaah. Jadi meskipun Imam al-Syafii lah yang memotong proses pembentukan sunnah
dalam pengertian tradisi yang hidup (living radition) dan telah menghentikan aktivitas roy sebagai alat untuk
menafsirkan Sunnah Nabi menjadi Sunnah yang hidup, motivasinya jelas untuk tujuan stabilitas jamaah (social
stability). Bisa dibayangkan, betapa kacaunya pemahaman keagamaan jika Imam al-Syafii tidak melakukan hal
demikian. Jadi konsep stabilitas jamaah inilah yang menjadi watak Aswaja, dan inilah inti Aswaja sebagai sebuah
metoda pemahaman keagamaan.
Penutup
Pemahaman Aswaja di kalangan warga NU sudah saatnya dilakukan perubahan orientasi dari Aswaja sebagai doktrin
menjadi Aswaja sebagai metoda pemahaman keagamaan. Hal ini penting dilakukan guna memberikan pemaknaan
konteks kesejarahan yang benar terhadap Aswaja. Karakter Aswaja yang tawasut, itidal, tawazun dan penekanannya
pada stabilitas jamaah itu secara historis ilmiyah dapat dipertanggung-jawabkan. Karena ekstrimitas (tatharruf) tidak
dikenal dalam sejarah Aswaja, maka aliran Islam keras yang mengklaim dirinya selaku penganut Aswaja bukan hanya
paradoksal tetapi ahistoris.
Melakukan kajian kesejarahan terhadap Aswaja dengan bantuan ilmu-ilmu sosial sebagai pisau analisanya sangat
perlu dilakukan. Dengan demikian, saat kita harus melakukan pembenaran doktrinal, pembenaran itu tidak terkesan
normatif, apologetik dan emosional tetapi benar-benar suatu pembenaran yang didasarkan pada cara-cara ilmiyah.
Untuk tujuan ini, sudah selayaknya jika GP Ansar sebagai angkatan muda NU memiliki keperdulian untuk
mengususng gerakan akademik ilmiyah yang selama ini terrasa sudah mati. Munculnya berbagai macam kelompok
yang mengatas-namakan pengikut Aswaja, tidak hanya cukup disikapi secara bijaksana tetapi juga harus disertai
dengan argumen-argumen ilmiyah.
Pendahuluan
Sebelum panjang lebar menjelaskan soal ASWAJA dan problem kekiniannya, ada baiknya bagi kalangan nahdliyyin
untuk mengirimkan al-fatihah untuk para pendiri NU, para pejuang NU; Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Hasyim, Mbah
Wahab, Mbah Ahmad Siddiq, dll.......bagaimanapun tanpa mereka NU tidak akan hadir, Islam Indonesia tidak akan
seperti ini. Mereka semua adalah panutan dan panduan yang selalu hidup. Mbah Kholil Bangkalan adalah gurunya para
guru, tanpa restunya tidak mungkin NU akan muncul sebagai organisasi, Mbah Hasyim adalah rois akbar NU pertama,
sebagai pahlawan nasional juga sebagai sentrum ulama se-Jawa. Mbah Wahab adalah seorang organisator, dinamisator,
motivator dan inisiator ulung, ditangannya sebuah organisasi yang kecil dapat menjadi organisasi yang besar, kuat dan
rapih dan Mbah Ahmad Siddiq adalah konseptor ulung NU, ditangannya telah lahir torehan-torehan sejarah; Deklarasi
Hubungan Pancasila dan Islam, Pedoman Berfirkir Nahdlatul Ulama, Khittah Nahdliyyah.....semoga mereka akan selalu
menyertai derap langkah, gerak dan dakwah kita.....dan mereka ditempatkan disisi-Nya secara mulia. Amien.
Ahlussunnah wal Jamaah (ASWAJA) pada awalnya adalah sebuah gambaran simple tentang Islam, dimana ada beberapa
hadits nabi yang menjelaskan tentang kata-kata Ahlussunnah wal Jamaah, kalau mau selamat harus mengikuti pola
keagamaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah SAW, dengan berpegangan teguh terhadap al-Quran, As-sunnah,
mengikuti jejak sunnah beliau, dan para sahabat khulafaurrosyidin. ASWAJA menjadi rumit adalah pada tahap
berikutnya ketika masalah-masalah ummat Islam mulai bermunculan dan tidak ada model pemecahannya pada zaman
Rasul; dari mulai masalah politik kenegaraan, pemberontakan, munculnya ilmu kalam, mantiq, motodologi hukum Islam,
dan problem-problem lainnya. Disinilah arus baru dimulai, yaitu sebuah arus dimana perpecahan antar kelompok ummat
Islam tidak bisa dihindari, terlebih lagi ketika pandangan, pemahaman, dan ajaran sudah menjadi ideologi, maka
konsekuensinya adalah membuat seperangkat aturan, kode etik, pedoman berfikir, teori pengetahuan yang akan
difungsikan untuk mengawal, mengamalkan dan menyebarkan ideologi tersebut hingga akhir hayat.
Apabila kita cermati akan tahapan-tahapan sejarah perkembangan ummat Islam, maka akan terlihat terbagi dalam Lima
(5) tahapan, Pertama, Masa awal Islam, pada masa ini teks keagamaan masih hidup, dimana ada Rasulullah yang masih
bisa menjadi pusat ummat Islam, ada para sahabat yang senantiasa menjaga dan mengamalkan sunnah-sunnah rasul.
Semua persoalan ummat dapat ditanyakan secara langsung kepada sumbernya. Tetapi pada masa ini hasil ijtihad sahabat
sudah diakui dan direstui oleh Rasul sebagai produk hukum, hal ini pernah terjadi pada sahabat Muadz bin Jabal. Kedua,
Munculnya perpecahan ummat Islam, ini terjadi setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib dan
pengangkatan Muawiyah sebagai Khalifah. Disini sudah mulai terjadi pertanyaan-pertanyaan, soal dosa besar; bagaimana
hukumnya orang mukmin membunuh orang mukmin, pakah termasuk dosa besar. Dari sini pula mulai muncul firqah-
firqah; Khawarij, Murjiah, Syiah. Ketiga, Masa munculnya ilmu-ilmu kalam, ini terjadi pada abad.....ketika ilmu kalam
dan filsafat bercampur dengan persoalan ketauhidan, pada masa ini muncullah aliran Mutazilah yang merupakan arus
dominan bahkan menjadi madzhab resmi negara pada waktu itu, setelah itu perbedaan pendapat pun tidak bisa
dihindari, munculah Asyariyah dan Maturidiyah. keempat, runtuhnya khilafah Utsmani di Turki. Keruntuhan khilafah
ini membawa dampak luar biasa, baik itu pada soal sikap keagamaan, pemerintahan. Pada masa ini terjadi dua persoalan
besar apakah perlu mendirikan kehilafahan yang baru atau negara-negara muslim menentukan sendiri jalan hidupnya,
dari sinilah lahir kongres ummat Islam di Arab Saudi dan Mesir dan memunculkan aliran Wahabi penganut Abdul
Wahab, di Indonesia berdirinya Nahdlatul Ulama sebagai benteng kaum tradisional, Kelima, mencuatnya gerakan
gerakan Islam kontemporer. Tema sentral dari munculnya gerakan-gerakan Islam ini adalah persoalan pemurnian ajaran
Islam dari unsur Takhayul, Bidah, dan Khurafat, dan sistem politik Islam. Terhadap sistem politik Islam terbagi dua,
mereka yang memaksakan Islam harus menjadi negara dan sebagian lagi Islam cukup menjadi syariah, ibadah dan etika
sosial.
Dari lima tahapan sejarah perkembangan gerakan Islam ini telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan, kenapa selalu
terjadi perpecahan dalam diri ummat Islam?, kenapa kebesaran sejarah ummat islam selalu lahir dari benturan politik?
Kenapa sejarah kejayaan ummat Islam selalu terputus?, adakalanya sejarah kekuatan politik yang muncul, sejarah
pergulatan pengetahuan yang muncul, tetapi habis itu hilang tanpa ada jejaknya!
Bangunan sejarah ummat Islam selalu menampakan sisi sejarah yang timpang, kini tidak ada bangunan sejarah yang terus
menjadi, yang ada adalah sejarah yang selalu terputus, bahkan mengulang perdebatan-perdebatan yang pernah ada
sebelumnya; seputar bagaimana hukumnya bidah, takhayul dan khurafat, bagaimana mendialogkan agama dan negara.
Dalam sejarah gerakan ummat Islam dunia yang terjadi adalah tragedi-tragedi konspirasi, saling bunuh-membunuh,
eksploitasi, ekspansi, dan terlibat perselingkuhan dan persekongkolan yang besar antara kekuatan gerakan Islam dengan
negara-negara barat.
Apa yang terjadi pada perkembangan ummat islam di dunia, Indonesia pun mengalami sejarah yang serupa. Sejarah
perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami beberapa tahapan, pertama, terjadinya proses penyebaran Islam
oleh walisongo, pada fase ini terjadinya proses dialog antara kebudayaan lokal dan Islama, proses ini terus menjadi
yang akhirnya menjadi wajah Islam Indonesia. Kedua, pada awal abad 20, munculnya organisasi-organisasi massa islam,
Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Irsyad,
baik yang berbasis keagamaan maupun politik. Kemunculan organisasi ini adalah sebagai bagain dari upaya
membebaskan bangsa Indonesia dari cengkraman kolonial dan menyebarkan faham keagamaan menurut pemahaman
organisasinya masing-masing. Ketiga, Fase perumusan konstitusi dasar bangsa Indonesia dan mulai munculnya
perdebatan ideologi tentang perlu tidaknya piagam Jakarta menjadi salah satu butir dalam pancasila. Keempat,
munculnya Islam politik. Kelima, mencuatnya gerakan-gerakan Islam, baik karena perbedaan pemahaman keagamaan,
faktor kepentingan politik, maupun karena motif ekonomi, seperti; Daarul Arqom, LDII, Islam Jamaah, dll. Keenam,
pada fase ini, umat Islam dihadapkan pada berbagai gagasan-gagasan yang bersumber dari barat, seperti; modernisasi,
pembangunan, demokratisasi, keadilan, gender, Hak Asasi Manusia, multikulturalisme. Disamping dihadapkan pada isu,
muncul pula gerakan-gerakan Islam puritan yang mengetengahkan isu politik Islam dan pemurnian ajaran Islam,
seperti ; Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Komunikasi Ahlussunnah wal
Jamaah (FKAWJ). Pada saat ini varian isu dan gerakannnya lebih luas.
Dari perkembangan sejarah ummat Islam ini, dimanakah posisi Nahdlatul Ulama? Nahdlatul Ulama dalam sejarahnya
telah membuktikan diri sebagai kekuatan bangsa Indonesia yang sangat diperhitungkan, nasionalismenya bisa menjadi
titik temu antara Islam dan nasionalis, agama dan negara. Pola keagamaannya dapat menjadi titik temu antara
kebudayaan lokal dan Islam. fikroh Nahdliyahnya bisa menjadi titik temu antara kepentingan agama, masyarakat, negara
dan pasar. Dengan jaringan modal sosial, politiknya yang kuat, NU menjadi kekuatan bangsa yang diperhitungkan dan
menjadi mediator kepentingan kelompok-kelompok Islam dunia.
ASWAJA menjadi kata kunci dalam membangun NU dan Indonesia ke depan, sejauhmana nilai-nilai ASWAJA bisa
ditransformasikan keluar dan diinternasilasikan kedalam NU sendiri dan ASWAJA menjadi ruh dari Islam Indonesia itu
sendiri. Kiranya perlu untuk mengkaji beberapa pemikiran tokoh-tokoh NU, agar ASWAJA dapat diformulasikan menjai
manhajul harakah, mereka antara lain; KH. Hasyim Asyari, KH. Bisri Syamsuri, KH. Achmad Siddiq, KH. Bisri Musthofa,
KH. Dawam Anwar, KH. Muchit Muzadi, KH. Wahid Zaini, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Sahal Mahfudz, KH. Tolchah
Hasan dan Kh. Said Aqil Siradj
Selain Fikrah Nahdliyah yang sudah menjadi ketetapan Nahdlatul Ulama, barangkali penulis juga perlu mengemukakan
beberapa pokok-pokok fikiran KH. Achmad Siddiq yang berkaitan dengan Fikrah Nahdliyyah. KH. Achmad Siddiq merumuskan
Lima Dalil Perjuangan dan Lima Dalil Hukum, hasil rumusan ini ditujukan untuk; 1) Mempersamakan alam pikiran di
dalam NU dan menciptakan norma di dalam menilai dan menanggapi segala persoalan kehidupan, 2) Menjaga alam
pikiran NU dari penetrasi modernisme, westernisme, dan aliran-aliran lain yang merusak kemurnian Islam dan
kepribadian NU, 3) Memelihara dan mengembangkan watak, kepribadian NU dan Khittah NU.
Pokok-pokok pikiran KH. Achmad Siddiq ini muncul pada masa itu, dimana westernisasi, kolonialisasi dan komunisme
masih menggejala di berbagai belahan negara muslim di dunia termasuk Indonesia dan khususnya kepentingannya
dalam memperkuat jamiyyah Nahdlatul Ulama. Meskipun Fikrah Nahdliyah versi KH. Achmad Siddiq ini belum
resmi menjadi keputusan NU, tetapi sebagian rumusannya dipakai oleh kalangan NU bahkan termasuk dalam Fikrah
Nahdliyah hasil keputusan Munas NU Surabaya yang menambahkan amar maruf nahi munkar dalam klausulnya.
KH. Achmad Siddiq menyusun Fikrah Nahdliyah berangkat dari sejarah modernisme barat, mencakup watak, arah dan
hakikatnya, dengan cara:
1. Menelaah latar belakang perkembangannya.
2. Kesejajarannya dengan kepentingan penyebaran agama Kristen.
3. Watak imperialismenya.
4. Strategi dan skenario imperialisme barat dalam menghancurkan Islam.
5. Proyek-proyek imperialisme yang bersifat internasional yang dapat menghancurkan umat Islam dengan cara
mendirikan suatu perguruan tinggi dengan nama al-Kulliyyah al-Injliziyyah al-Syarqiyyah al-Muhammadiyah dan
membina seorang yang bernama Mirza Ghulam Ahmad, yang kemudian mendirikan gerakan AHMADIYAH
QADIAN.
6. Imperialisme barat melakukan pembinaan terhadap Orang-orang Islam, salah satunya adalah MUSTHAFA KAMAL
AT-TATURK yang berhasil menguasai Turki pada tahun 1924 dan mensekulerkan Turki.
Bahwa modernisme barat selalu berusaha untuk melemahkan jiwa Islam, fanatisme Islam, nilai-nilai ajaran Islam,
semangat jihad Islam, harga diri umat Islam, menimbulkan dan mengembangkan mental pemujaan terhadap barat dan
segala yang datang dari barat, dengan perkataan lain, gejala-gejala yang lebih berbahaya sekarang ini bagi kita umat Islam
Indonesia dan umat Nahdliyyin khususnya ialah Westernisasi-modernisme, terutama di bidang culture (kebudayaan, peny),
civilitation (peradaban, peny) dan pemikiran, dan Materialisme-Marxisme-Komunisme, di bidang filsafat, politik dan
ekonomi. Pembentengan terhadap umat Islam dan Front Ahlussunnah wal Jamaah khususnya dari bahaya-bahaya ini,
haruslah dilakukan dengan pemberian pengertian dan kesadaran seluas-luasnya kepada arah, watak dan hakikat
modernisme-westernisme yang jelas ingin melemahkan Islam dan umatnya. Dan pemberian Pedoman Berfikir Positif ala
Islam, ala Ahlussunnah wal Jamaah, ala Nahdlatul Ulama (Fikrah Islamiyah, Fikrah Sunniyah, Fikrah Nahdliyah).
Sikap yang harus diambil oleh kalangan generasi ASWAJA adalah:
1. MENILAI MASA LALU, berarti: a) Mempertahankan nilai-nilai positif, hasil pemikiran atau ijtihad generasi yang lalu
(sahabat dan ulama mujtahidin), b) Memurnikannya dari pengaruh atau percampuran unsur-unsur khurafat,
israiliyyat dan nashraniyat, adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan Islam.
2. MENGEMBANGKAN MASA KINI, berarti: a) Menerima hal-hal baru yang bermanfaat yang tidak bertentangan
dengan Islam, serta mengembangkannya ke arah yang bermanfaat dan sesuai dengan ajaran Islam, b) Menolak dan
mencegah hal-hal baru yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam.
3. MERINTIS MASA DEPAN, berarti: a) Menciptakan konsepsi dan inisiatif baru di bidang teknik perjuangan yang
tidak bertentangan dengan azas dan haluan perjuangan ISLAM ALA MADZHABI AHLUSSUNNAH WAL
JAMAAH, b) Mendorong untuk berinisiatif dan berikhtiar untuk mengembangkan dan memenangkan azas dan
haluan perjuangan tersebut, c) Mengadakan usaha atau langkah preventif untuk menutup atau mempersempit jalan
berkembangnya hal-hal yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan Islam.
Lima dalil perjuangan adalah patokan-patokan pikiran di dalam menanggapi soal perjuangan di bidang politik, ekonomi,
sosial, kebudayaan, dan lain-lain, penyusunan program perjuangan, pelaksanaan program perjuangan.
Tanggapan, sikap dan program Nahdlatul Ulama tentang masalah-masalah perjuangan didasarkan atas prinsip-prinsip,
patokan atau kaidah yang disebut Lima Dalil Perjuangan, yaitu: Jihad fi Sabilillah, Izzul Islam wal Muslimin, At-
Tawassuth atau al-Itidal atau at-Tawazun, Saddudz Dzariah, Amar Maruf-Nahi Munkar.
Lima dalil hukum adalah patokan-patokan fikiran yang dipergunakan imam-imam Mujtahid di dalam berijtihad atau
beristinbath tentang masalah-masalah hukum agama Islam, terutama oleh Imam-imam madzhab Syafii, antara lain ;
Segala sesuatu dinilai menurut niatnya, Bahaya harus disingkirkan, Adat kebiasaan dikukuhkan, Sesuatu yang sudah
yakin tidak boleh dihilangkan oleh sesuatu yang masih diragukan, Kesukaran (ke-masyakkat-an) membuka kelonggaran.
Fikrah Nahdliyah yang disusun oleh KH. Achmad Siddiq menjadi lebih detail dan sistematis, lebih jelas dimana posisi NU
harus berada, meskipun akan banyak bersinggungan dengan kelompok-kelompok lain bahkan kalangan orang-orang NU
sendiri yang selama ini sudah banyak keluar dari rel NU.
Seperti diketahui, bahwa fakta kita hari ini adalah terjadinya arus perang pemikiran dan paradigma besar-besaran di
kalangan kaum muda NU, sebagian dari mereka ada yang mengusung mati-matian isu-isu demokrasi, pluralisme,
gender. Sebagian di antara mereka melakukan perlawanan-perlawanan naratif atau membuat pemikiran-pemikiran
tandingan. Bisa jadi arus perang pemikiran ini memang sengaja diciptakan atau menjadi skenario besar dalam mencairkan
dan meruntuhkan narasi-narasi yang dimiliki oleh NU. Bangunan dari narasi ini semuanya terpusat dari kitab kuning,
sebuah kitab yang menjadi panduan kalangan ulama NU baik dalam pengajaran, talim-talim di pesantren-pesantren,
masjid-masjid, madrasah-madrasah maupun majelis talim, bahkan kitab kuning ini juga menjadi rujukan dalam
pengambilan hukum keagamaan di lingkungan Jamiyyah Nahdlatul Ulama.
Maka dengan melakukan reformasi isi kitab kuning, apalagi kitab-kitab yang sangat private menyangkut hubungan suami-
istri dan guru-murid, yaitu kitab Uqud al-Lujain dan kitab Talim Mutaallim yang keduanya merupakan kitab rujukan
di kalangan pesantren telah menimbulkan reaksi berbagai ulama NU. Jika sudah demikian, apakah NU diuntungkan
dengan cara seperti ini? Ataukah kehancuran sistematis sedang melanda NU? Kiranya Fikrah Nahdliyah ini layak untuk
direnungkan.
Sementara untuk Persoalan Masalahah Ummah sudah menjadi perhatian kalangan ulama-ulama Ahlussunnah wal
Jamaah dari sebelum NU didirikan, hal ini sesuai dengan peran dan fungsi keberadaan ulama yang memang menjadi
tempat mengadu rakyat, mengayomi dan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat sehari-hari, dari
mulai persoalan tata cara beribadah, menikah, mendoakan banyak rizki, menangani kelahiran, sunatan, aqeqahan, qurban,
menshalati, mengkafankan dan menguburkan orang meninggal sampai mentahlilkan orang yang sudah meninggal.
Konsepsi dasar Maslahah Ummah ini berangkat dari konsep penguatan, pengembangan, fasilitasi dan
memperjuangkan kepentingan umat baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan, keadilan dan kesejahteraan. Jamiyyah
Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh kalangan ulama tentunya tidak bisa melepaskan diri dari fungsi ini, karena
Maslahah Ummah ini juga menjadi tujuan ditegakkannya syariah Maqashid as-Syariah.
Kemaslahatan sendiri adalah sebuah perintah yang mendorong kepada ajakan kebaikan (amar maruf), kebajikan, dan
menghindari dampak buruk, dan negatif (nahi munkar). Salah satu ciri pemenuhan terhadap kemasalahan rakyat adalah
adanya pemenuhan tiga kebutuhan pokok; pemenuhan, sandang, pangan dan papan. Ketiga kebutuhan ini adalah
kebutuhan dasar setiap orang yang harus diperjuangkan, bahkan dalam perintah-perintah al-Quran maupun kisah-kisah
nabi dan para sahabat bahwa pemenuhan hak-hak dasar ini menjadi lebih utama didahulukan ketimbang berdakwah,
sebagaimana sabda Nabi : Kada al-fakru an yakuna kufran, (Kefakiran mendekatkan diri pada kekufuran). (HR. Abu Naim dari
Anas).
Selain tercukupinya tiga hal di atas tadi, indikator lain keberhasilan maslahah adalah apabila mampu memenuhi lima hak
dasar manusia, yaitu menjadi kebebasan beragama (hifzhu al-din), melindungi keselamatan jiwa (hifzhu al-nafs), menjaga
keamanan harta (hifzhu al-mal), menjaga kebebasan berfikir (hifzhu al-aqli), menjaga kelangsungan keturunan dan prestise
(hifzhu al-nasli wa al-ird). Untuk menjaga realisasi lima hak dasar ini, Islam mempunyai banyak instrumen. Qishas
disyariatkan untuk menjaga keselamatan jiwa, orang murtad dibunuh untuk menjaga agama, zina dihukum untuk
menjaga nasab, orang yang menuduh zina dihukum untuk menjaga sirik, pencuri dihukum untuk menjaga harta, dan
minum-minuman dihukum untuk menjaga akal. Dasar kaidah ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW: Apa yang
dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka dalam pandangan Allah, hal itu juga baik. (HR. Ahmad bin Hambal)