Você está na página 1de 10

Anatomi

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi

hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar (nares eksternus) dan rongga hidung dengan

perdarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk pyramid

dengan bagian-bagiannya: (Snell RS)

1. Pangkal hidung (bridge)

2. Dorsum nasi

3. Puncak hidung

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung

Nares eksternus memiliki ujung yang bebas dan direkatkan dengan dilekatkan ke dahi dengan

melalui radix nasi. Lubang luar hidung adalah kedua nares. Setiap nares dibatasi secara

lateral oleh ala nasi dan di medial oleh septum nasi. Hidung luar dibentuk oleh kerangka

tulang rawan yaitu kartilago nasi superior, inferior, dan kartilago septum nasi yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari

depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi

kanan dan kiri dan lubang belakang disebut nares posterior atau koana yang

menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.(Chang Christopher )

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares

anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. [Efiaty A.S, Nurbaiti I,

Jenny B, Ratna D.R, eds]

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior

dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista

nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago

septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung.[

Tortora G.J, Derrickson B, eds ]

Pada dinding lateral terdapat 3 buah konka yaitu konka superior, media, dan inferior.

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut

meatus. Dibagian bawah dan lateral konka superior terdapat meatus nasi superior dimana

terdapat muara sinus edmoidalis posterior. Di bagian bawah dan lateral konka media terdapat

meatus nasi media dimana terdapat muara sinus maksilaris, sinus frontalis dan dinus

edmoidalis anterior. Sedangkan di bagian bawah dan lateral konka inferior terdapat meatus

nasi inferior dimana terdapat muara duktus nasolakrimalis.( Chang Christopher)

Bagian dasar cavum nasi dibentuk oleh prosesus palatines maksila dan lamina

horisotalis os palatine (permukaan atas palatum durum). Bagian atap cavum nasi 3 dibentuk

oleh os. Sfenoidalis, os. Frontale, os. Nasalis, kartilgo nasi dan lamina kribrosa os edmoidalis.

(Snell RS)

VASKULARISASI HIDUNG

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior

yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung

mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. Palatina

mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung

mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat 4

anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmid anterior, a. labialis superior dan a.

palatine mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (littles area). Pleksus

kiesesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering

menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung

mempunyai nama yang sama dan brjalan berdampingan denga arterinya. Vena di vestibulum

dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus

kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor

predisposisi untuk mudahnya penyeabaran infeksi sampai ke intrakranial. (Netter F.H)

PERSARAFAN HIDUNG

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari N.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari N.oftalmikus (N.V-I).

Rongga hidung lainnya sebahagian besar mendapat persarafan sensoris dari N.maksila
melalui ganglion sfenopalatinum. Nervus untuk penghidu berasal dari N. Olfaktorius yang

naik ke atas melalui lamina kribrosa mencapai bulbus olfaktorius. (Chang Christopher)

Anatomi Sinus Paranasal

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan

sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang

kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke

rongga hidung.

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung

dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus

frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal

berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.

Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-

superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun.

(Dhingra P.L, Dhingra S)


Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila

bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran

maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os

maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal

maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah

dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila

berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui

infindibulum etmoid. (Tortora G.J, Derrickson B, eds)

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah

1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu

premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi

molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi

gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik,

lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian

dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat

menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.

Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus,

berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus
frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum

usia 20 thn. (Netter F.H)

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya

dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa

hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.

Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2

cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya

gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan

adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa

serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.

(Mangunkusumo E, Soetjipto D)

Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus

frontal adalah bagian dari sinus etmoid anteroir.

Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini

dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.

Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.

Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian

anterior dan 1.5 cm di bagian posterior. (Damayanti dan Endang)

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,

yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media

dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel).

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di

meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media,

sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan

terletak di postero-superior dari perlekatan konka media. (Adam,Boies, Higler, Boies)

Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus

frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula

etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum,

tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal

dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan

sisnusitis maksila. (Guyton,AC, Hall,JE)

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.

Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid

dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid.

Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus

sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn

tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat

sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi

sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus

etmoid. (Pearce, Evelyn C)

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar

hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus

kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah

posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. (Spanner, Spalteholz)
Kompleks Ostio-Meatal

Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan

sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal

(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,

resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus

maksila. (Soepardi, Efiaty Arsyad dkk)


DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS.Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Ed 6. Jakarta: EGC; 2006.

2. Chang Christopher. Rhinitis Medicamentosa (Nasal Decongestant Spray Addiction):

[online] [2014 Jan 25]. Available from: URL : http://www.fauquierent.net/afrin.htm

3. Efiaty A.S, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna D.R, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,

Hidung dan tenggorok, Kepala dan Leher, Edisi Keenam. Jakarta : FKUI ; 2007. p. 137-

139.

4. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5 th Edition. New Delhi

Elsevier; 2011. p. 180-184

5. Tortora G.J, Derrickson B, eds. Principles of Anatomy and Physiology, 11 th Edition.

New York : Wiley; 2006. p. 847-850

6. Netter F.H, ed. Atlas of Human Anatomy, 4t Edition. New York : Elsevier; 2006. p. 32-

36

7. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung

tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3

8. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar

Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2002, 115

119.

9. Adam,Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta,1997

10. Guyton,AC, Hall,JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati setiawan, ed.

9, 1997, Jakarta: EGC

11. Pearce, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta,2004

12. Spanner, Spalteholz, Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16, Hipokrates,

Jakarta,1994.
13. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala Leher edisi 5, FK UI, 2006.

Você também pode gostar