Você está na página 1de 25

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan kasus abdomen emergensi yang umum terjadi dan


lebih dari 40.000 rumah sakit di Inggris ditemukan kasusnya tiap tahun.
Apendisitis umumnya terjadi pada rentang usia 10-20 tahun, namun tidak
menutup kemungkinan terjadi di luar rentang usia tersebut. Rasio laki-laki
dibandingkan perempuan ialah 1,4 : 1, dengan risiko 8,6% untuk laki-laki dan
6,7% untuk perempuan di Amerika Serikat.1
Depkes RI tahun 2006 menyebutkan bahwa apendisitis menempati urutan
keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastrititis, duodenitis
dan penyakit sistem saluran cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebnayak
28.040 orang. Pada tahun 2008 insidensi apendisitis di Indonesia menempati
urutan tertinggi di antara kasus kegawatdaruratan abdomen lainnya.2
Angka kejadian apendisitis umunya lebih tinggi di negara-negara industri
dibandingkan negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh kurangnya asupan
serat serta tingginya asupan gula dan lemak yang dikonsumsi oleh penduduk di
negara industri tersebut. Berbeda dengan negara berkembang yang konsumsi
seratnya masih cukup tinggi sehingga angka kejadian apendisitis tidak setinggi di
negara industri.3
Dalam mendiagnosis apendisitis sering terjadi kesulitan dikarenanakan pada
beberapa pasien sering menunjukkan gejala dan tanda yang tidak khas, khususnya
pada anak-anak yang sulit menggambarkan rasa sakit yang dialaminya, sehingga
kejadian apendisitis pada anak-anak lebih sering diketahui setelah terjadi
perforasi.2
Dalam mendiagnosis apendisitis, anamnesis dan pemeriksaan fisik
memegang peranan utama dengan akurasi 76-80%. Pemeriksaan USG dan CT
scan masih jarang dilakukan, karena tidak semua unit pelayanan memilikinya dan
memerlukan biaya yang tidak murah. Dalam menegakkan diagnosis pada pasien
dengan gejala yang tidak khas, salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan ialah hitung jumlah leukosit. Jumlah leukosit pada apendisitis akut
umumnya meningkat yaitu sekitar 10.000-18.000 uL. Jumlah leukosit > 18.000 uL
menunjukkan telah terjadinya perforasi dan peritonitis.2
Appendektomi merupakan prosedur pembedahan yang dilakukan pada
kasus emergensi. Apendektomi terbuka merupakan baku emas dalam pengobatan
apendisitis akut, namun efisiensi dan superioritasnya dibandingkan laparoskopi
masih diperdebatkan, dimana laparoskopi lukanya lebih minimal sehingga waktu
rawatan lebih singkat, nyeri postoperasi lebih sedikit, dan lebih cepat masa
pemulihannya untuk kembali beraktivitas seperti biasa.1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas pasien


Nama : An. D
Umur : 8 tahun
Alamat : Jalan Jenderal Ahmad Yani 91 RT 003
Balikpapan Tengah
Agama : Islam
Suku : Bugis
Pekerjaan : Pelajar
RM : 061053
Tanggal masuk RS : 07 Januari 2017
Tanggal keluar RS : 11 Januari 2017

2.2. Anamnesa: Autoanamnesa


Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nyeri perut kanan bawah dialami sejak 1 hari SMRS. Awalnya
nyeri dirasakan di sekitar pusar lalu menjalar ke kanan bawah, mual (+),
muntah (+) 1x isi makanan dan minuman yang dimakan, nafsu makan
berkurang. Badan terasa meriang dan menggigil sejak kemarin. BAB (+)
1x, BAK (+) normal, flatus (+). Riwayat alergi makanan dan obat-obatan
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak dijumpai riwayat penyakit yang bermakna dengan kondisi
pasien saat ini
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak dijumpai riwayat penyakit keluarga yang bermakna dengan
kondisi pasien saat ini
2.3. Pemeriksaan fisik
Status generalis
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 120x/menit, reguler, t/v cukup
Suhu : 37.7oC
Frekuensi nafas : 20x/menit, reguler
Kepala : normocephal, deformitas (-), konjungtiva anemis( -/-),
sclera ikterik (-/-)
Hidung : dalam batas normal
Rongga Mulut : dalam batas normal
Leher : Trakea di tengah, deviasi (-), deformitas (-), JVP tidak
Meningkat
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : retraksi sela iga (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : SP = vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : simetris
Palpasi : distensi, Mc Burney sign (+), Rovsing sign (+),
Psoas sign (+)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus menurun
Ekstremitas
Superior : akral hangat, nadi kuat, CRT < 2s, edema (-/-)
Inferior : akral hangat, nadi kuat, CRT < 2s, edema (-/-)

2.4. Pemeriksaan Penunjang


Hasil pemeriksaan laboratorium (07/01/2017):
Parameter Satuan Hasil Nilai Rujukan
Darah rutin
Hemoglobin g/dL 12.9 14-18 (L), 12-14 (P)
Eritrosit Juta/mm3 4.20 4,5-5,5 (L), 4,5-5,0
(P)
Leukosit /mm3 14900 5000-10000
Trombosit /mm3 312000 150000-400000
Hematokrit Vol % 36 42-54 (L), 36-48 (P)
Diff count: 0-10 (L), 1-20 (P)
Eosinofil, % 9 0-6
Basofil, Monosit
Limfosit % 15 20-45
Segmen % 76 40-60
Bleeding Time Menit 2 1-3
Clotting Time Menit 7 5-8
Gula darah mg/dL 80.0 <200
sewaktu
Serologi
HbSAg Negatif Negatif
2.5. Diagnosis Kerja
Apendisitis Akut
Diagnosis Banding : Gastroenteritis Akut
2.6. Tatalaksana
Konsul dr. Vincent, Sp.B-KBD, advice:
IVFD RL 10 tpm

Follow-up
Subjective, objective Pemeriksaan
Tanggal Planning
dan assessment penunjang
08/01/17 S: nyeri perut kanan Rencana operasi
bawah, demam, mual, apendektomi pkl
muntah 1x, flatus (+), 14.00 WITA
BAB (+) 1x Puasa mulai pukul
O: KU tampak sakit 08.00 WITA
sedang, Kes CM, N IVFD RL 10 tpm
o
110x/menit, T 37,1 C, Inj. Ceftriaxone
RR 20x/menit 2x1 gr
Kepala: normocephal, Inj. Metronidazole
deform (-) 3x 250 mg
Mata: konjungtiva Inj. Ranitidine 3x1
anemis -/-, sclera ikterik ampul
-/-
Cor: BJ I-II regular, Post-op
murmur (-), gallop (-) Advice dr. Vincent,
Pulmo: SP vesikular, Sp.B-KBD :
rhonki -/-, wheezing -/- Awasi TTV
Abdomen: simetris,
IVFD RL 10 tpm
distensi, Mc Burney
Inj.Antrain 3x1
sign (+), Rovsing sign
ampul
(+), Psoas sign (+), Puasa
timpani, BU menurun Besok pagi boleh
Extremitas: akral diet lunak +
hangat, nadi kuat, CRT minum biasa
<2s, edema -/-/-/-
A: Apendisitis akut Advice dr. Menara,
Sp.An :
Inj. Ondansetron 2
mg/8 jam
Drip Tramadol 100
mg dalam 500 cc
RL 18 tpm
Inj. Ketorolac 15
mg/8 jam
09/01/17 S : post operasi hari I, IVFD RL 10 tpm
mual (+), muntah (+), Inj. Ranitidine
BAB (-), BAK (+), 2x1/2 amp
nyeri (-), flatus (+) Inj. Ondansetron
O :, Nadi 110x/menit, 3x2 mg
o
suhu 36.0 C Inj. Ceftriaxone
Abdomen : luka bekas 2x1 gr
operasi tertutup verban, Inj. Antrain 3x1
rembesan (-), nyeri pada ampul
luka (+) Inj. Metronidazole
A: Post operasi 3x250 mg
appendectomy H I Diet biasa
10/01/17 S : post operasi hari II, IVFD RL 10 tpm
mual (+), muntah (-), Inj. Ondansetron
BAB (-), BAK (+) 3x2 mg
O : Nadi 80x/menit, Inj.Ranitidine 3x1
suhu 36oC ampul
Abdomen : luka bekas Inj. Antrain 3x1
operasi tertutup verban, ampul
rembesan (-), nyeri pada Inj. Metronidazole
luka (+) 3x250 mg
A : Post operasi
appendectomy H II
11/01/17 S : keluhan (-) KRS
O : Nadi 88x/menit, Kontrol kembali
o
suhu 36 C tanggal 13/01/2017
Abdomen : luka bekas
operasi tertutup verban,
rembesan (-), nyeri pada
luka (-)
A : Post operasi
appendectomy H III
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3. 1. DEFINISI, ANTOMI & FISIOLOGI APENDIKS


Apendisitis ialah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab akut abdomen yang paling sering.4
Apendiks memiliki panjang yang bervariasi sekitar 6-9 cm. Dasarnya
melekat pada sekum dan ujungnya memiliki kemungkinan beberapa posisi seperti
retrosekal, pelvis, antesekal, preileal, retroileal, atau perikolik kanan. Pada
persambungan apendiks dan sekum, terdapat pertemuan tiga taenia coli yang
merupakan penanda.4

Gambar 2.1. Anatomi apendiks5


Gambar 2.2. Variasi anatomi posisi apendiks6
Apendiks ialah organ imunologi yang berperan dalam sekresi IgA karena
termasuk dalam komponen Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) pada waktu
kecil. Namun, sistem imun tidak mendapatkan efek negatif bila apendektomi
dilakukan.4

3.2. EPIDEMIOLOGI
Apendisitis merupakan kasus bedah emergensi yang sering terjadi namun
jarang terjadi pada usia di bawah 2 tahun (karena apendiks berbentuk corong
dengan lumen yang lebih besar). Apendisitis umumnya terjadi pada rentang usia
10-20 tahun, namun tidak menutup kemungkinan terjadi di luar rentang usia
tersebut. Rasio laki-laki dibandingkan perempuan ialah 1,4 : 1.1,7

3.3. PATOGENESIS
Apendisitis akut disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks yang
diakibatkan oleh fekalit/apendikolit, hiperplasia limfoid, benda asing, parasit,
neoplasma atau striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya. Obstruksi
lumen mendukung perkembangan bakteri dan sekresi mukus sehingga
menyebabkan distensi lumen dan peningkatan tekanan dinding lumen. Tekanan
yang meningkat menghambat aliran limfe sehingga menimbulkan edema,
diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat tersebut terjadi apendisitis akut
fokal yang ditandai dengan nyeri periumbilikal.4
Sekresi mukus yang terus berlanjut dan tekanan yang terus meningkat
menyebabkan obstruksi vena, peningkatan edema dan pertumbuhan bakteri yang
menimbulkan radang. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga timbul nyeri di daerah kanan bawah. Pada saat ini terjadi
apendisitis supuratif akut.4
Bila aliran arteri terganggu, timbul infark dinding dan gangren. Stadium
ini disebut apendisitis gangrenosa yang bila rapuh dan pecah menjadi apendisitis
perforasi. Meskipun bervariasi, biasanya perforasi terjadi paling sedikit 48 jam
setelah awitan gejala.4
Bila imunitas cukup baik, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks sebagai mekanisme pertahanan sehingga timbul massa
lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan yang terjadi dapat menjadi
abses atau menghilang. Pada anak, omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang dengan dinding lebih tipis sehingga mudah terjadi perforasi. Pada orang
tua mudah terjadi perforasi karena ada gangguan pembuluh darah.4

3.4. DIAGNOSIS
3.4.1. ANAMNESIS
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang dirasakan pada pasien
apendisitis akut. Umunya pasien mendeksripsikan nyeri tajam (kolik) di sekitar
pusar, yang berlanjut selama 24 jam dan berpindah ke kanan bawah. Nyeri yang
awal dirasakan merupakan inervasi dari viseral lumen usus dan nyeri lokal
disebabkan oleh peritoneum parietal yang mengalami inflamasi. Hilang nafsu
makan, mual dan konstipasi juga umum dikeluhkan. Muntah yang terus-menerus
mengindikasikan terjadinya peritonitis akibat perforasi. Keluhan yang diarasakan
juga dipengaruhi oleh usia dan posisi anatomis apendiks :
- Pasien bayi dan anak cenderung terlihat diam, sedangkan pada usia yang lebih
tua terlihat kacau/bingung. Pada ibu hamil dan usia lanjut keluhan tidak spesifik.
- Berdasarkan posisi anatomis apendiks :
Retrosekal/retrokolik (75%)- nyeri perut kanan bawah. Rigiditas otot dan
nyeri pada palapasi dalam tidak dijumpai karena didasari oleh sekum. Otot
psoas dapat mengalami iritasi, sehingga nyeri pada saat membengkokkan
panggul dan saat meluruskannya
Subsekal dan pelvik (20%)- nyeri suprapubik dan peningkatan frekuensi
berkemih. Diare dapat terjadi akibat iritasi rektum. Nyeri perut tidak
terlalu dirasakan, namun nyeri pada rektum dan vagina dapat dirasakan.
Hematuria mikroskopis dan leukositosis dapat dikumpai pada urinalisa.
Pre-ileal dan post-ileal (5%)- Muntah lebih sering dan diare akibat iritasi
dari distal ileum1,4
3.4.2. PEMERIKSAAN FISIK
Pasien dengan apendisitis akut tampak kesakitan dan berbaring dengan
demam tidak terlalu tinggi. Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan bising
usus menurun/menghilang, nyeri tekan dan nyeri lepas (tanda Blumberg) fokal
pada daerah apendiks yang disebut titik McBurney (sepertiga distal dari garis
antara umbilikal dan spina iliaka anterior superior/SIAS kanan). Iritasi peritoneum
ditandai dengan defans muskular, perkusi atau nyeri lepas. Tanda khas yang
ditemukan pada apendisitis akut :
Tanda Rovsing : nyeri perut kuadran kanan bawah saat palpasi kuadran
kiri bawah
Tanda Psoas : nyeri pada perut kuadran kanan bawah saat ekstensi panggul
kanan (apendiks retrosekal)
Tanda Obturator : nyeri perut kanan bawah saat rotasi internal panggul
kanan (apendiks pelvis)
Tanda Dumphy : peningkatan nyeri yang dirasakan saat batuk
Apabila telah terjadi perforasi, nyeri perut semakin kuat dan difus
menyebabkan peningkatan defans muskular dan rigiditas (tanda peritonitis).4
3.4.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Leukositosis ringan (10.000-20.000/uL) dengan peningkatan jumlah neutrofil.
Leukositosis tinggi (>20.000/uL) didapat bila sudah terjadi perforasi dan gangren.
Urinalisis dapat dilakukan untuk membedakan kelainan pada ginjal dan saluran
kemih. Pada apendisitis akut didapatkan ketonuria
Peningkatan C-reactive protein dapat terjadi, namun ketiadaannya tidak
mengekslusikan apendisitis1,4
b. Ultrasonografi
USG tergantung pada keahlian operator. Pada USG, dapat ditemukan diameter
anteroposterior apendiks > 7 mm, penebalan dinding, struktur lumen yang tidak
dapat dikompresi (lesi target) atau adanya apendikolit4

Gambar 2.3.Pencitraan dan diagnostik apendisitits akut1


c. CT-scan
Meskipun risiko radiasi yang tinggi, CT-scan lebih akurat dibandingkan dengan
USG dan dibutuhkan pemeriksaannya jika dicurigai adanya perforasi. CT-scan
dengan non kontras setara dengan kontras untuk mendeteksi lima tanda apendisitis
akut (penebalan dinding apendiks >2 mm, diameter potong lintang >6 mm,
peningkatan densitas lemak perikolik, abses, dan apendikolit.1
Gambar 2.4. Gambaran CT-scan apendisitis akut1
d. Histologi
Diagnosis apendisitis akut ditegakkan berdasarkan adanya inflamasi pada
apendiks transmural (infiltrasi neutrofil pada mukosa, submukosa dan muscularis
propria). Pemeriksaan histologis juga dapat mebedakan endoapendisitis (ulserasi
neutrofil dan mukosa) dengan periapendisitis (inflamasi terbatas pada serosa dan
sub-serosa).8
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis dapat juga digunakan skor
Alvarado yang disingkat dengan MANTRELS
Tabel 2.1. Alvarado Score9
Features Score
Migration of pain 1
Anorexia 1
Nausea 1
Tenderness in right lower quadrant 2
Rebound pain 1
Elevated temperature 1
Leucocytosis 2
Shift of white blood cell count to the left 1
Total 10
Interpretasi skor
1-4 (30%) : pulang 5-6 (66%) : observasi 7-10(93%) : pembedahan
3.5. DIAGNOSIS BANDING1

3.6. PENATALAKSANAAN
3.6.1.PRE-OPERATIF
Observasi ketat, tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal
serta pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto abdomen dan toraks
dapat dilakukan untuk mencari penyulit lain. Antibiotik intravena spektrum luas
dan analgesik dapat diberikan. Antibiotik spektrum luas perioperatf (satu sampai
tiga dosis) dapat mengurangi insidensi infeksi pada luka perioperatif dan
pembentukan abses intra-abdomen. Pada perforasi apendiks perlu diberikan
resusitasi cairan sebelum operasi.4
3.6.2.OPERATIF
Tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan pada komplikasi antara
pembedahan segera (kurang dari 12 jam setelah onset) atau kemudian (12-24
jam). Setelah 36 jam onset dari gejala, persentasi perforasi ialah antara 16-36%
dan risiko perforasi ialah 5% tiap durasi 12 jam. Maka dari itu, setelah ditegakkan
diagnosis apendisitis, apendektomi harus dilakukan tanpa ditunda. Teknik
apendektomi dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Apendektomi terbuka : dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran
kanan bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney).
Pada diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan insisi subumbilikal pada
garis tengah.
b. Laparoskopi apendektomi : teknik operasi dengan luka dan kemungkinan
infeksi lebih kecil, nyeri post operatif berkurang, lama rawat inap
berkurang, kembali bekerja lebih cepat, meskipun angka kejadian abses
intra-abdomen tinggi setelah laparoskopi.1,4

Gambar 2.5. Derajat apendisitis akut berdasarkan laparoskopi


Gambar 2.6. Derajat apendisitis akut terbaru berdasarkan klinis, pencitraan
& laparoskopi

3.6.3. PASCA-OPERATIF
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya
perdarahan dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan. Pasien
dibaringkan dalam posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu.
Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis, puasa dilakukan hingga fungsi usus
kembali normal. Secara bertahap pasien diberi minum, makanan saring, makanan
lunak dan makanan biasa.4

3.7. KOMPLIKASI
Perforasi usus, peritonitis, abses apendiks, tromboflebitis supuratif sistem
portal, abses subfrenikus, sepsis dan obstruksi usus.4
Komplikasi apendektomi ialah infeksi pada luka operasi dan abses intra-
abdomen akibat kontaminasi dengan rongga peritoneum. Pada abses intra-
abdomen pasien mengeluhkan demam naik turun, dan dapat dikonfirmasi dengan
USG dan CT-scan. Abses dapat diterapi dengan drainase pigtail, meskipun
drainase terbuka atau rektal dibutuhkan untuk abses di pelvis. Penggunaan
antibiotik perioperatif mengurangi insidensi abses.1

3.8. PROGNOSIS
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat
serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8% dan
disebabkan oleh komplikasi penyakit dari intervensi bedah. Pada anak, angka ini
berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada usia di atas 70 tahun meningkat di atas
20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan terapi.4
BAB IV
ANALISIS KASUS & PEMBAHASAN

Diagnosis : Apendisitis Akut

4.1.Anamnesis
Fakta Teori
Didapatkan keluhan pada pasien Manifestasi klinis :
sebagai berikut: Nyeri perut merupakan keluhan
Nyeri perut kanan bawah yang utama yang dirasakan pada pasien
awalnya dari pusar apendisitis akut. Umunya pasien
Mual mendeksripsikan nyeri tajam (kolik)
Muntah di sekitar pusar, yang berlanjut

Nafsu makan berkurang selama 24 jam dan berpindah ke

Demam kanan bawah.

BAB normal Hilang nafsu makan, mual dan


konstipasi juga umum dikeluhkan.

Analisis
Keluhan yang dirasakan pasien secara umum sesuai dengan teori dimana
pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah, mual, muntah, nafsu makan
berkurang, demam meskipun pasien tidak mengeluhkan kesulitan BAB.

4.2.Pemeriksaan Fisik
Fakta Teori
Status generalis Pasien dengan apendisitis akut
Keadaan Umum : tampak sakit tampak kesakitan dan berbaring
sedang dengan demam tidak terlalu tinggi.
Kesadaran : compos mentis Pada pemeriksaan abdomen dapat
Nadi : 120x/menit, reguler, t/v cukup ditemukan bising usus
Suhu : 37.7oC menurun/menghilang, nyeri tekan
Frekuensi nafas : 20x/menit, reguler dan nyeri lepas (tanda Blumberg)

Kepala : normocephal, deformitas fokal pada daerah apendiks yang

(-), konjungtiva anemis( -/-), sclera disebut titik McBurney (sepertiga

ikterik (-/-) distal dari garis antara umbilikal

Leher : Trakea di tengah, deviasi (-), dan spina iliaka anterior

deformitas (-), JVP tidak meningkat superior/SIAS kanan). Iritasi

Cor peritoneum ditandai dengan defans

Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat muskular, perkusi atau nyeri lepas.

Palpasi : ictus cordis teraba Tanda khas yang ditemukan pada

Perkusi : batas jantung normal apendisitis akut :

Auskultasi : bunyi jantung I-II Tanda Rovsing : nyeri perut

regular, murmur (-), gallop (-) kuadran kanan bawah saat palpasi

Pulmo kuadran kiri bawah

Inspeksi : retraksi sela iga (-), otot Tanda Psoas : nyeri pada perut

bantu nafas (-) kuadran kanan bawah saat

Palpasi : SF kanan = kiri ekstensi panggul kanan (apendiks

Perkusi : sonor di kedua lapangan retrosekal)

paru Tanda Obturator : nyeri perut

Auskultasi : SP = vesikuler, ronkhi kanan bawah saat rotasi internal

(-/-), wheezing (-/-) panggul kanan (apendiks pelvis)

Abdomen Tanda Dumphy : peningkatan

Inspeksi : simetris nyeri yang dirasakan saat batuk

Palpasi : distensi, Mc Burney sign Apabila telah terjadi perforasi,

(+), Rovsing sign (+), Psoas sign nyeri perut semakin kuat dan difus

(+) menyebabkan peningkatan defans

Perkusi : timpani muskular dan rigiditas (tanda

Auskultasi : bising usus menurun peritonitis).


Ekstremitas
Superior : akral hangat, nadi kuat,
CRT < 2s, edema (-/-)
Inferior : akral hangat, nadi kuat,
CRT < 2s, edema (-/-)

Analisis
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda apendisitis akut (Mc
Burney sign, Rovsing sign, Psoas sign)

4.3.Pemeriksaan Penunjang
Fakta Teori
Telah dilakukan pemeriksaan a) Darah Lengkap
laboratorium berupa: Leukositosis ringan (10.000-
Darah Lengkap : 20.000/uL) dengan peningkatan
1. Leukosit 14900 () jumlah neutrofil. Leukositosis
2. Diff count : tinggi (>20.000/uL) didapat bila
- Eosinofil, Basofil, Monosit 9 () sudah terjadi perforasi dan
- Neutrofil 76 () gangren.
b) Urinalisis dapat dilakukan untuk

Pemeriksaan penunjang lainnya membedakan kelainan pada ginjal

seperti USG ataupun CT-scan tidak dan saluran kemih. Pada

dilakukan pada pasien ini apendisitis akut didapatkan


ketonuria
c) USG ditemukan diameter
anteroposterior apendiks > 7 mm,
penebalan dinding, struktur lumen
yang tidak dapat dikompresi (lesi
target) atau adanya apendikolit
d) CT-scan dengan non kontras
setara dengan kontras untuk
mendeteksi lima tanda apendisitis
akut (penebalan dinding apendiks
>2 mm, diameter potong lintang
>6 mm, peningkatan densitas
lemak perikolik, abses, dan
apendikolit

Analisis
Pemeriksaan penunjang darah lengkap mendukung diagnosis apendisitis
akut. Pemeriksaan USG tidak dilakukan karena dari klinis pasien dan pemeriksaan
darah lengkap sudah sangat mendukung diagnosis apendisitis akut demikian
halnya juga dengan pemeriksaan CT-scan.

4.4.Penatalaksanaan
Fakta Teori
Apendektomi 3.6.1.PRE-OPERATIF
Puasa Observasi ketat, tirah baring dan
IVFD RL 10 tpm puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr serta pemeriksaan darah dapat diulang

Inj. Metronidazole 3x 250 mg secara periodik. Foto abdomen dan toraks

Inj. Ranitidine 3x1 ampul dapat dilakukan untuk mencari penyulit


lain. Antibiotik intravena spektrum luas
Inj. Ondansetron 2 mg/8 jam
dan analgesik dapat diberikan. Antibiotik
Drip Tramadol 100 mg dalam
spektrum luas perioperatf (satu sampai tiga
500 cc RL 18 tpm
dosis) dapat mengurangi insidensi infeksi
Inj. Ketorolac 15 mg/8 jam
pada luka perioperatif dan pembentukan
Diet lunak
abses intra-abdomen. Pada perforasi
Diet biasa
apendiks perlu diberikan resusitasi cairan
sebelum operasi.
3.6.2.OPERATIF
a. Apendektomi terbuka : dilakukan
dengan insisi transversal pada kuadran
kanan bawah (Davis-Rockey) atau insisi
oblik (McArthur-McBurney). Pada
diagnosis yang belum jelas dapat
dilakukan insisi subumbilikal pada garis
tengah.
b. Laparoskopi apendektomi : teknik
operasi dengan luka dan kemungkinan
infeksi lebih kecil, nyeri post operatif
berkurang, lama rawat inap berkurang,
kembali bekerja lebih cepat, meskipun
angka kejadian abses intra-abdomen
tinggi setelah laparoskopi.

3.6.3. PASCA-OPERATIF
Perlu dilakukan observasi tanda vital
untuk mengantisipasi adanya perdarahan
dalam, syok, hipertermia atau gangguan
pernafasan. Pasien dibaringkan dalam
posisi Fowler dan selama 12 jam
dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi
dengan perforasi atau peritonitis, puasa
dilakukan hingga fungsi usus kembali
normal. Secara bertahap pasien diberi
minum, makanan saring, makanan lunak
dan makanan biasa
Analisis
Secara umum alur penatalaksanaan apendisitis akut berdasarkan fakta
sudah sesuai dengan teori.
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang


dilakukan pada pasien ini maka diagnosis pasien ini adalah apendisitis akut.
Pemeriksaan penunjang berupa darah lengkap sudah mengarahkan diagnosis
apendisitis akut ditambah dengan manifestasi klinis pasien yang sesuai, meskipun
demikian perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan USG ataupun CT-
scan untuk mengonfirmasi diagnosis apendisitis akut.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien sudah optimal dimana
apendektomi merupakan terapi definitif untuk apendisitis akut dan pasien juga
sudah mendapatkan antibiotik yang dapat mengurangi risiko terjadinya infeksi
perioperatif dan pembentukan abses intra-abdomen.
Prognosis pada pasien ini adalah bonam/baik karena pasien menunjukkan
respon yang baik terhadap pengobatan, dan angka mortalitas apendisitis pada anak
berkisar 0,1-1%, lebih kecil dibandingkan pada usia lanjut yang berkisar 20%.

Você também pode gostar