Você está na página 1de 21

MAKALAH

KEBIASAAN BRUXISM PADA ANAK

Disusun Oleh:
Affian Hudatama Putra
121611101081

Instruktur :
drg. Niken Probowati, M.Kes.

BAGIAN PEDODONSIA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2017
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebiasaan pada mulut (Oral habit) menghasilkan pola kontraksi otot
secara terus menerus yang memiliki sifat yang kompleks. Ada berbagai macam
kebiasaan buruk pada anak dan diklasifikasikan sebagai kebiasaan fisiologis dan
non-fisiologis. Kebiasaan mulut fisiologis misalnya bernafas dari hidung,
mengunyah dan menelan sedangkan kebiasaan non-fisiologis atau disebut juga
parafungsional merupakan kebiasaan buruk (bad habit) yang biasanya
menghasilkan dampak yang tidak diinginkan seperti menghisap bibir atau ibu jari,
bernafas melalui mulut, dan cara menelan yang salah yaitu dengan menjulurkan
ujung lidah dan menekan pada bibir (tongue thrust) (Omer dan Amal, 2015).
Berdasarkan penelitian di Yayasan Bahtera Bandung dengan subjek rentang usia
6-12 tahun, melaporkan bahwa 50% anak memiliki kebiasaan buruk, yaitu
menghisap ibu jari sebanyak 43.8%, menggigit bibir dan menghisap bibir 34,8%,
bruxism 7%-15,1%, mendorong lidah 8,7%, bernafas melalui mulut 6,55% dan
menggigit kuku 6,55% (Trasti, 2007)
Kebiasaan mulut dianggap normal pada usia tidak lebih dari 3 tahun.
Kebiasaan buruk pada anak bila diteruskan maka dapat memberikan dampak pada
pertumbuhan fasial seperti perubahan posisi pada gigi, hubungan antar lengkung
gigi, dan dapat mempengaruhi pertumbuhan rahang dan fungsi otor-otot orofasial
(Omer dan Amal, 2015). Penelitian Lagana et. al. (2013) dengan subjek anak usia
sekolah 7-15 tahun mendapatkan data bahwa prevalensi maloklusi, kebiasaan
buruk pada anak, dan kebutuhan perawatan ortodontik mencapai 80,6%.
Bruxism menempati posisi kedua pada distribusi kebiasaan buruk yang
sering terjadi pada anak, prevalensi bruxism pada anak diperkirakan pada kisaran
7%-15,1%. Perbedaan yang signifikan antar gender cukup bermakna, beberapa
penelitian menunjukkan tingkatan yang lebih tinggi pada perempuan dibanding
laki-laki, bagaimanapun juga kondisi bruxism dikaitkan pada karakteristik tiap
individu seperti keagresifan, hiperaktifitas, bisa juga dipicu oleh kejadian yang

1
terjadi pada kehidupan sehari-hari. Kebiasaan buruk ini sangat besar pengaruhnya
terhadap kesehatan gigi dan mulut anak, namun demikian terkadang orangtua
tidak menyadari bahwa bruxism merupakan kebiasaan buruk yang membutuhkan
perawatan, bahkan sebagian besar penderita tidak sadar bahwa dirinya memiliki
kebiasaan tersebut. Disamping keluhan dari teman tidur yaitu suara gesekan, dan
mengasah, bruxism juga menyebabkan sakit pada otot wajah, sakit pada
musculoskeletal, maxillofacial, kerusakan TMJ, sakit orofasial, fibromyalgia, dan
kelelahan kronik (Amandia, 2010).
Pengetahuan mengenai kebiasaan buruk meliputi macam-macam,
penyebab, dampak yang akan terjadi bila dibiarkan terus-menerus, serta upaya
preventif dan manajemen perawatannya perlu kita ketahui. Pengetahuan tersebut
dapat membantu orang tua untuk meningkatkan kewaspadaannya menyikapi
kebiasaan buruk pada anak sehingga dapat berperan aktif menghentikan sedari
dini dan terhindar dari masalah kesehatan gigi dan mulut di kemudian hari. Pada
makalah ini akan dibahas mengenai macam-macam, penyebab, dampak yang akan
terjadi bila dibiarkan terus-menerus, serta upaya preventif dan manajemen
perawatannya.

I.2. Rumusan Masalah


Adapun masalah yang timbul dari latar belakang diatas sebagai berikut:
1. Apas dampak yang ditimbulkan dari kebiasan bruxism pada kesehatan gigi dan
mulut?
2. Bagaimana penatalaksanaan kebiasaan bruxism pada anak?

I.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari kebiasaan bruxism.
2. Untuk mengetahui penatalaksanaan kebiasaan buruk dalam rongga mulut
anak, baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras rongga mulut.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan makalah ini adalah :

2
1. Memberi informasi mengenai dampak yang ditimbulkan dari kebiasaan
bruxism.
2. Memberi informasi mengenai penatalaksanaan kebiasaan buruk dalam rongga
mulut anak, baik pada jaringan lunak maupun jaringan keras rongga mulut.

3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kebiasaan Buruk


Kebiasaan adalah tindakan berulang yang dilakukan secara otomatis
(Farouq, 2014). Kebiasaan buruk merupakan kebiasaan yang terjadi di dalam
rongga mulut (oral habit) non fisiologis adalah kebiasaan abnormal manusia yang
menimbulkan tekanan dan kecenderungan menetap dan diulang secara terus-
menerus sehingga mempengaruhi pertumbuhan kraniofasial (Iqbal, 2015).
Kebiasaan buruk adalah salah satu faktor etiologi utama yang akan mengarah ke
malformasi pada struktur dentofasial. Perilaku berulang umumnya terjadi di
periode infantil dan kebanyakan dari mereka dimulai dan berhenti secara spontan.
Kebiasaan buruk pada anak di rongga mulut disebabkan mulut merupakan lokasi
primer dan permanen untuk ekspresi emosi dan bahkan merupakan tempat
menyalurkan hasrat dan kecemasan pada anak-anak dan orang dewasa, stimulasi
di daerah ini dengan lidah, jari, kuku bisa menjadi tindakan paliatif (Farouq,
2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi potensi permasalahan yang timbul dari
kebiasaan buruk adalah frekuensi (seberapa sering aksi kebiasaan buruk terulang
per hari), durasi (berapa lama tindakan yang telah dilakukan) dan intensitas
(seberapa besar tekanan yang anak lakukan) (Iqbal,2015)

2.2 Macam-macam Kebiasaan Buruk pada Anak


2.2.1 Menghisap Jari
Menghisap jari adalah kebiasaan yang terjadi pada bayi. Anak-anak
berhenti mengisap pada usia empat. Jika melewati usia ketika gigi tetap mereka
mulai erupsi, gigi dapat berkembang menjadi bengkok dan terdapat malformasi
atap mulut mereka. Hal ini akibat dari frekuensi, durasi, intensitas, dan posisi jari
yang digigit. Hal ini juga dapat mempengaruhi posisi rahang atas dan bawah dan
juga dapat mempengaruhi cara berbicara (Shahracki, 2012). Lihat gambar 2.2.1.

4
Gambar 2.2.1 Mengisap Jari
Sumber: http://tokoalkes.com/wp-content/uploads/2014/05/menghisap-
jari.jpg accesed May 6th 2014

Menghisap jempol adalah oral habit yang paling umum dan dilaporkan
prevalensi antara 13% sampai 100% di kalangan masyarakat. Beberapa anak-anak
yang tidak berhenti dari kebiasaan ini, menyebabkan gigi permanen mereka
erupsi, tapi ada kecenderungan kebiasaan mengisap akan berlanjut bahkan sampai
dewasa. Ada 2 jenis mengisap jempol (Shahracki, 2012):
1. Aktif: Pada tipe ini, terdapat kekuatan berat oleh otot selama
mengisap dan jika kebiasaan ini berlanjut untuk jangka waktu yang
panjang, posisi gigi permanen dan bentuk rahang akan terpengaruh.
2. Pasif: Pada tipe ini, anak menempatkan jarinya di mulut, tetapi karena
tidak ada kekuatan pada gigi dan mandibula, sehingga kebiasaan ini
tidak menyebabkan perubahan skeletal.
2.2.2 Menjulurkan Lidah (tongue thrusting)
Kebiasaan menjulurkan lidah adalah gerakan ke depan dari ujung lidah
antara gigi untuk bertemu bibir bawah saat penelanan dan berbicara, sehingga
lidah berada di interdental. Menjulurkan lidah merupakan pola oral habit terkait
dengan pola menelan infantil secara terus-menerus sehingga dapat menghasilkan
gigitan terbuka dan protrusi dari segmen gigi anterior (Tarvade, 2015). Lihat
gambar 2.2.2.

5
Gambar 2.2.2 Tongue Thrusting
Sumber: https://www.reflectivesmiles.com/services/tongue-thrust

2.2.3 Bernafas Melalui Mulut


Bernafas melalui mulut disebabkan karena adanya hambatan di daerah
nasofaring yang meningkatkan tahanan di daerah hidung dan dapat juga diinduksi
oleh faktor lain seperti hiperplasia tonsil, rhinitis, tumor, penyakit infeksi maupun
inflamasi dan perubahan susunan hidung. Bernafas melalui mulut merupakan
karakteristik dari gangguan tidur seperti mendengkur, Obstructive Sleep Apnea
(OSA), dan Upper Airway Resistance Syndrome (UARS) (Patheco, 2015).
2.2.4 Menggigit Kuku

Gambar 2.2.4 Menggigit kuku


Sumber: https://www.babycenter.com/0_nail-biting-why-it-happens-and-
what-to-do-about-it_66590.bc

Kebiasaan menggigit kuku merupakan reaksi pada respon psikologis dan


beberapa anak akan menggeser kebiasaan mereka dari menghisap jempol menjadi
menggigit kuku. Kebiasaan ini dapat mengakibatkan gangguan kosmetik ringan

6
sampai infeksi kulit, jaringan parut, kehilangan kuku, dan bahkan masalah pada
gigi seperti gangguan temporomandibular (Shahracki, 2012). Liha Gambar 2.2.4.
2.2.5 Menggigit Bibir

Gambar 2.2.5 Lip Biting


Sumber: http://wholehealthdentalcenter.com/wp-
content/uploads/2014/01/image29.jpg

Kebiasaan menghisap bibir menyebabkan gigi insisiv atas bergerak ke


ujung labial dan gigi insisiv bawah bergerak ke lingual dengan bibir bawah
terjepit di antara gigi anterior atas dan bawah. Kebiasaan ini terkait dengan bibir
kering dan inflamasi bibir dan pada kasus berat akan menyebabkan vermilion
hipertrofi dan pada beberapa orang bisa menyebabkan sakit kronis atau bibir retak
(Shahracki, 2012). Lihat Gambar 2.2.5.

2.2.6 Snacking habit

Gambar 2.2.6 Snack


Sumber: http://www.getchablog.com/how-to-control-snacking-habits/

Snacking habit (Kebiasaan Ngemil) merupakan suatu kebiasaan untuk


mengkonsumsi makanan ringan diantara waktu makan. Kebiasaan ini apa bila

7
dilakukan dengan frekwensi yang tinggi akan mengakibatkan saliva di dalam
rongga mulut selalu dalam suasana asam, hal ini membuat gigi rentan terhadap
karies. Berhubungan dengan cara mengonsumsi makanan yang dapat
menyebabkan karies gigi, terutama pada makanan yang manis dan lengket dan
juga berhubungan dengan oral clearance time, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh
seseorang untuk mengeliminasi makanan dari mulut, dan mengurangi konsentrasi
karbohidrat sampai pada titik terang. Seseorang yang mengulum makanan lebih
lama didalam mulutnya mempunyai resiko karies lebih tinggi dari pada orang
yang mengulum makanan / oral clearance time pendek (Johansson, 2010). Lihat
Gambar 2.2.6.

2.2.7 Bruxism
Merupakan kebiasaan menggesekan gigi rahang atas dengan gigi rahang
bawah. Biasanya terjadi ketika tidur saat malam hari dan biasanya penderita tidak
menyadari memiliki kebiasaan ini. Bruxism lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan dengan laki-laki.kebiasaan ini bisa terjadi pada anak-anak maupun
pada orang dewasa. Pada anak-anak, kebiasaan ini timbul pada masa
perkembangan gigi (Joelijanto, 2012). Prevalensi bruxism pada anak-anak
diperkirakan berkisar dari 7% sampai 15,1% (Rao, 2012).

2.2.8 Botle feeding


Pemberian susu melalui botol lebih dari usia 2 tahun akan mengakibatkan
gigi rahang atas dan rahang bawah berjejal. Pemberian susu dengan botol akan
mengakibatkan lidah memerlukan tenaga yang besar dibandingkan dengan ASI.
Hal tersebut merupakan gerakan yang menyimpang dari pergerakan normal dan
jika dilakukan terus-menerus akan mengakibatkan perubahan perilaku menelan
yang salah. Kebiasaan menelan yang demikian dapat mengakibatkan
terdorongnya gigi anterior atas oleh lidah sehingga mengakibatkan open bite
(Anisyah, 2006).

8
Gambar 2.2.8 Bottle Feeding
Sember: https://www.todaysparent.com/wp-
content/uploads/2012/02/bottlefed-baby-istock660.jpg

Penggunaan susu botol pada waktu tidur dapat mengakibatkan karies. Susu
formula biasanya dalam produksinya terdapat penambahan sukrosa dan laktosa
yang dapat menjadi substrat bagi bakteri yang dapat menghasilkan asam. Saliva
pada saat tidur akan berkurang sehingga air susu akan tergenang di permukaan
gigi. Pada kasus ini akan terbentuk urutan karies yang khas, yakni dimulai dari
keempat insisif atas, dilanjutkan dengan gigi-gigi molar hingga yang terakhir pada
gigi anterior bawah,. Karies ini dinamakan sebagai karies rampan (Anisyah,
2006). Lihat Gambar 2.2.8.
.

9
BAB 3. PEMBAHASAN
Bruksisme (Bruxism)
3.1 Gambaran Umum Bruxism
Bruxism adalah kebiasaan kronis mengatup-ngatupkan rahang dan
mengasah gigi yang terjadi pada anak-anak, terutama anak dibawah 5 tahun.
Bruxism terjadi paling sering pada saat tidur lelap di malam hari, mungkin juga
terjadi selama anak mengalami tekanan atau ketakutan5. Bruxism merupakan
aktivitas parafungsional yang disebabkan oleh refleks aktifitas mengunyah, akan
tetapi ini bukan hasil dari aktifitas belajar. Mengunyah adalah aktivitas
neuromuscular yang kompleks yang dikontrol oleh jalur persyarafan reflek,
dimana pengontrol tertinggi adalah otak. Saat tidur, bagian ini masih tetap aktif
meskipun kontrol pusat tidak aktif, pada fase inilah bruxism terjadi (Amandia,
2010).
Bruksisme biasa terjadi pada anak. Kebiasaan ini biasanya muncul pada
malam hari, dan berlangsung dalam periode waktu yang lama, sehingga dapat
menyebabkan gigi sulung dan gigi permanen abrasi. Kebiasaan ini timbul pada
masa gigi-geligi sedang tumbuh. Dan jika bertahan hingga anak dewasa biasanya
disertai dengan adanya stres emosional, parasomnia, trauma cedera otak, ataupun
cacat neurologis, dengan komplikasi erosi gigi, sakit kepala, disfungsi sendi
temporomandibular, dan nyeri pada otot-otot pengunyahan (Hartono, 2011).

Gambar 9. Akibat bruxism


Sumber:http://www.nidcr.nih.gov/OralHealth/OralHealthInformation/ChildrensOralHealth/OralC
onditionsChildrenSpecialNeeds.htm. Accessed on 30th Jan 2011

Berdasarkan tipe gerakannya, ada bruxism yang memperlihatkan gerakan


grinding dan ada juga yang memperlihatkan gerakan static clenching, lebih
banyak pada perempuan daripada laki-laki yang menggrinding giginya, tetapi

10
laki-laki dan perempuan yang melakukan clenching jumlahnya sama. Clark
menegaskan bahwa bruxism tipe clenching yang berhubungan dengan kontraksi
muskulus yang kuat dan berkelanjutan adalah lebih berbahaya. Bruxism lebih
sering dimiliki oleh kaum wanita dibandingkan pria (ferro et.al., 2017)

3.2 Etiologi Bruxism

Etiologi bruxism secara pasti masih sulit untuk diketahui. Diduga faktor
penyebabnya antara lain faktor lokal, sistemik, maupun psikologis. Faktor lokal
diantaranya karena ketidaksesuaian oklusi akibat tambalan gigi yang terlalu
tinggi. Faktor sistemik tertinggi karena penyakit epilepsi, meningitis, dan
gangguan gastrointestinal. Faktor psikologis disebabkan karena kondisi cemas
dan stress. Faktor psikologis inilah yang dianggap paling mendasar sebagai
penyebab bruxism, sehingga didapati bahwa bruxism sering terjadi pada anak-
anak yang mudah marah dan memiliki kebiasaan buruk lain yang menyertai
seperti thumb sucking dan menggigit kuku 7. Melalui beberapa penelitian, tidak
ada satupun yang secara pasti mengetahui penyebab bruxism. Tetapi pada
beberapa kasus bruxism pada anak mungkin terjadi oleh karena kontak gigi
rahang atas dan bawah yang tidak tepat, atau bisa juga sebagai respon sakit,
misalnya sakit pada telinga maupun sakit gigi. Stress, biasanya kecemasan dan
ketakutan bisa menjadi penyebab lainnya. Misalnya karena ketakutan menghadapi
ujian di sekolah maupun ketakutan menghadapi guru baru. Beberapa anak yang
hiperaktif, mengekspresikan keaktifannya dengan melakukan bruxism. Pada anak-
anak, bruxism mungkin dihubungkan dengan pertumbuhan TMJ dan gigi.
Beberapa peneliti menduga bahwa bruxism sebagai akibat dari keadaan gigi-gigi
rahang atas dan bawah yang tidak tepat satu sama lain (selama masa
pertumbuhan) (Amandia, 2010).
Berbagai teori dikemukakan untuk menjelaskan adanya kontroversi
etiologi bruxism yang telah berlangsung bertahun-tahun. Berdasarkan telaah
literatur terdapat dua kelompok faktor penyebab bruxism yaitu periferal
(morfologis) dan sentral (physiopatologis dan psikologis). Saat ini, bruxism lebih
mengarah ke etiologi sentral daripada periferal.

11
3.2.1 Peran faktor periferal (morfologis)
Faktor periferal pada waktu lalu dipertimbangkan sebagai etiologi utama
bruxism. Ramfjorf (1961) menyarankan bahwa bruxism dapat dihilangkan dengan
penyesuaian oklusal. Tapi dari berbagai studi menunjukkan bahwa hubungan
antara bruxism dan faktor oklusal adalah lemah atau tidak ada. Sementara itu,
Michelotti dkk, 2005, dalam eksperimennya, bahwa suprakontak nyata
berhubungan dengan pengurangan kegiatan elektomiografi (EMG) ketika bangun.
Hasil double-blind randomized controlled studies di Finland menunjukkan bahwa
interferensi oklusal artifisial tampaknya mengganggu keseimbangan oromotor
pada mereka dengan kelainan temporomandibular. Artikel tinjauan Luther, 2007
menyatakan tidak ada bukti bahwa interferens oklusal sebagai etiologi bruxism,
atau penyesuaian oklusal dapat mencegahnya (Hartono, 2011).

3.2.2 Peran faktor sentral (pathophysiologis dan psychologis)


a. Faktor pathophysiologis

Pathophysiologi dari bruxism sewaktu tidur belum dapat dijelaskan


sepenuhnya, diduga disebabkan beberapa hal mulai dari faktor psikososial seperti
stres, kecemasan, respon yang eksesif sampai microarousals. Microarousals
didefinisi sebagai periode singkat (3-15 detik) dari aktivitas cortikal sewaktu
tidur, yang berhubungan peningkatan aktivitas sistem syaraf sympatetik. Hampir
80% episod bruxism terjadi dalam kelompok, sewaktu tidur dan berhubungan
dengan microarousal. Hasil studi polisomnografik terkontrol menujukkan bahwa
pemakaian jangka pendek dari L-Dopa (prekursor-dopamine) dan bromokriptin
(D2 agonis reseptor) menghambat bruxism, sementara menurut Lavigne, tidak ada
efek ketika memakai bromokriptin. Adanya bukti bahwa kebanyakan bruxism
malam hari tampak dibawah pengaruh aktivitas symphatetik jantung antara lain
tachykardia awal dari Rhythmic Masticatory Muscle Activity (RMMA) (Hartono,
2011).
Sebagai tambahan, hasil penelitian Miyawaki, dkk, 2004, terdapat
hubungan antara aktivitas bruxism dengan posisi tidur terlentang, refluks
gastroesophageal, episod penurunan pH esophageal dan penelanan (Hartono,
2011).

12
b. Faktor psikologis

Pengalaman stres dan faktor psikososial berperan penting pada penyebab


bruxism. Menurut literatur berdasarkan laporan sendiri (self-reported) dan
observasi klinik adanya keausan gigi adalah satu cara untuk menilai bruxism
dalam hubungannya dengan kecemasan dan stres (Hartono, 2011). Tetapi, ada
keterbatasan dari metoda tersebut, karena keausan gigi digambarkan sebagai
indikator yang lemah dari konsep bruxism dan tidak membedakan clenching dan
grinding22. Besarnya keausan gigi dipengaruhi oleh kepadatan email atau kualitas
saliva dan efektivitas lubrikasinya(Hartono, 2011).
Menurut Lavigne, dkk. 2008, untuk memahami penyebab bruxism adalah
sangat sulit untuk mengisolir peran stres dan kecemasan dari perubahan yang
terjadi pada autonomik dan kegiatan motorik. Adanya keberagaman psikososial
dan penanda biologis akan saling mempengaruhi, sehingga sulit untuk
mendapatkan deskripsi yang jelas, sederhana dan sahih hubungan sebab diantara
stres, kecemasan dan bruxism (Lavigne et.al., 2008).

3.3 Akibat Bruxism


Gejala-gejala anak yang mempunyai kebiasaan bruxism dapat diketahui
dengan pemeriksaan keadaan rongga mulutnya. Adanya gigi-gigi yang abrasi, gigi
yang fraktur, trauma pada permukaan oklusal dan kehilangan gigi serta resesi
gingiva dapat dijadikan pedoman bahwa anak tersebut mempunyai kebiasaan
bruxism. Selain itu juga adanya gigi caninus dan insisive pada rahang yang
berlawanan bergerak saling ke lateral. Kebiasaan bruxism ini juga dapat memicu
terjadinya arthritis TMJ (Amandia, 2010) .
Perlu diwaspadai bagi orangtua apabila melihat adanya kerusakan pada
gigi anaknya berupa atrisi yang nyata, kegoyangan gigi, atau mungkin terjadi
fraktur gigi, mungkin saja anak tersebut memiliki kebiasaan bruxism. Gejala
bruxism lainnya sangat beragam, termasuk didalamnya sakit dan disfungsi TMJ,
sakit kepala dan pundak, erosi, abrasi, kerusakan dan kehilangan jaringan
pendukung gigi, infeksi rongga mulut, gigi sensitif, kerusakan fungsi estetis, dan
perasaan tidak nyaman pada rongga mulut . Beberapa akibat yang timbul dari

13
kebiasaan bruxism yang dilakukan dalam waktu yang lama yaitu trauma pada
dentin dan jaringan pendukung seperti hipersensitifitas pada suhu,
hipersementosis, fraktur cusp, pulpitis, pulpa nekrosis dan penyakit periodontal.
Bruxism cenderung mengakibatkan kehilangan kontinuitas bahkan lamina dura
disekitar gigi sampai lepas. Hal ini terjadi karena traumatik oklusi yang kronis.
Terjadi juga pelebaran ruang periodontal diantara gigi dan tulang alveolar
disekitarnya, selain itu dapat pula mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal
di bagian apikal (Amandia, 2010).
Akibat lain yang ditimbulkan yaitu sakit kepala, karena tekanan dan
kontraksi otot temporalis. Fungsi otot temporalis mengangkat mandibula dan
mengembalikan posisi mandibula, nyeri pada otot pengunyahan, biasanya saat
bangun tidur pagi akan terasa nyeri di pipi. Hipertropi otot kunyah terutama
maseter akibat dari penggunaan aktivitas otot yang berlebihan. Exostosis, tulang
menjadi hipertropi jika terjadi fungsi abnormal otot pengunyahan jika tidak
digipergunakan. Maloklusi, disebabkan oleh perubahan posisi menutup mulut
untuk menghindari nyeri kontak dengan gigi yang atrisi. Kontraksi otot yang
cenderung pada satu sisi rahang saja, sehingga gigitan silang sering terjadi.
Umumnya bruxism tidak menimbulkan sakit secara langsung pada gigi anak. Pada
kasus yang lebih parah, bruxism dapat merusak lapisan email gigi, meningkatkan
sensitifitas gigi terhadap suhu, dan sebagai salah satu penyebab keluhan pada otot
wajah serta memicu munculnya berbagai masalah terhadap TMJ. Pada kasus yang
ekstrim, email gigi akan mengalami kerusakan dan penurunan serta terlihatnya
lapisan dentin sehingga gigi menjadi datar dan kecil (Amandia, 2010).

3.4 Penatalaksanaan Bruxism


3.4.1Manajemen Perilaku Bruxism
Beberapa intervensi yang telah disarankan sebagai pengobatan bruxism
meliputi meditasi, hipnosis, pemantauan diri, latihan ulang kebiasaan, intervensi
perilaku kognitif dan biofeedback. Terapi ini telah divalidasi untuk pengobatan
bruxisme dengan studi ilmiah yang baik. Intervensi ini tidak invasif dan terbukti
efektif dalam mengendalikan bentuk perilaku kebiasaan lainnya, terapi ini
mungkin berguna dalam mengobati perilaku pemberian makan di siang hari.

14
Namun, karena kurangnya penelitian, tidak jelas apakah strategi manajemen untuk
mengobati bruxisme siang hari mempengaruhi perilaku yang terjadi saat tidur.
Hipnosis sebagian didukung oleh laporan kasus. Meditasi dilaporkan mengurangi
stres, meningkatkan harga diri dan pengendalian diri yang secara tidak langsung
dapat mempengaruhi waktu bruxism jika kualitas tidur ditingkatkan. Pendekatan
pengobatan fisik lainnya seperti program pengencangan kardiovaskular, TENS,
akupunktur, pijat manual dan beberapa pendekatan naturopati alternatif
(suplementasi B-5, magnesium, kalsium, potassium atau vitamin C) juga
disarankan untuk pengelolaan bruxism tidur. Tak satu pun dari terapi ini telah
dipelajari dengan tepat untuk memberi komentar yang masuk akal mengenai
keampuhan mereka untuk perilaku siang atau malam hari (Burgess, 2014).

3.4.2 Farmakoterapi
Beberapa jenis obat yang berbeda telah menunjukkan keperluan dalam
mengobati bruxism tidur. Hal ini termasuk hydroxyzine, clonazepam, levodopa
(L-Dopa) yang dikombinasikan dengan benserazida, pergolide (agonis reseptor
dopamin D1 / D2), propranolol dan gabapentin, Bukti untuk efektivitas
pengobatan serotonergis dalam mengurangi bruksisme tidur masih kurang baik. L-
triptofan belum terbukti berguna dalam hal ini dan efek obat antidepresan telah
dicampur. Bahkan, antidepresan serotonin re-uptake inhibitor selektif (SSRI) telah
terbukti memperburuk bruxisme. Selain itu, obat-obatan jalanan tertentu seperti
ekstasi dapat menyebabkan bruxism yang parah.60 Praktik terbaik menentukan
bahwa obat yang diresepkan untuk tidur bruxism hanya boleh digunakan dalam
jangka pendek untuk mendapatkan manfaat maksimal. Penggunaan beberapa obat
yang berkepanjangan (misalnya L-dopa) dikaitkan dengan peningkatan perilaku
bruxing. Resep dokter harus terbiasa dengan efek umum, efek samping dan
interaksi obat potensial sebelum menggunakan obat ini untuk mengatasi bruxism
(Burgess, 2014).

3.4.3 Pernggunaan Night Guard


Perawatan untuk kasus ini dokter gigi akan membuatkan alat tertentu yang
didesain dan dibuat khusus sesuai dengan susunan gigi-geligi pasien, alat ini

15
disebut night-guard dan digunakan saat tidur pada malam hari. Alat ini akan
membentuk batas antara gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah sehingga tidak
akan saling beradu. Pemakaian alat ini akan mencegah kerusakan yang lebih jauh
pada gigi-geligi dan membantu pasien dalam menghentikan kebiasaan buruknya.

Gambar 10. Night-guard


Sumber : http://islandfamdental.com/vancouver-night-guards/ Accesed April 17th 2011 dan
https://lipworth.com.au/splint-therapy/ Accesed May 6th 2014

Night guard atau mouth guard atau bite splint atau bite guard merupakan
alat yang dapat dipakai untuk mengatasi kebiasaan bruxism. Bite splint dianjurkan
untuk anak karena berbahan dasar lunak (soft rubber splint), cukup mampu
melawan grinding. Bite splint ini merupakan alat lepasan yang terbuat dari akrilik
yang menutupi permukaan oklusal, insisal dan palatal gigi pada salah satu rahang.
Alat tersebut lebih sering dibuat pada rahang atas, karena pada rahang bawah
lebih banyak undercut dan adanya tekanan dari lidah sehingga cenderung kurang
stabil. Mekanisme dari bite splint ini adalah kekuatan tekanan bruxism yang
menyentuh dataran oklusal splint akan didistribusikan secara merata,
menyeluruh, dan tidak langsung mengenai permukaan oklusal maupun insisal,
sehingga gigi geligi tidak terdesak, tetap stabil dan terlindungi. Prinsip dari mouth
guard adalah meminimalkan abrasi pada permukaan gigi dengan memakai akrilik
dental guard/splint, dengan desain berbentuk individual tray rahang atas atau
rahang bawah dari oklusal. Mouth guard memiliki 4 fungsi, antara lain : a)
sebagai dasar perhatian bagi pasien bahwa pencegahan bruxism berarti
pencegahan terhadap kerusakan TMJ yang lebih parah, b) menstabilkan oklusi
sebagai upaya untuk meminimalkan derajat perubahan posisi gigi yang mungkin

16
terjadi selama bruxism, c) mencegah kerusakan gigi, d) sebagai pertimbangan
bagi praktisi. Mouth guard biasanya buatan pabrik dengan keuntungan murah dan
mudah didapat, tetapi ukurannya dalam standart, sehingga belum tentu cocok
dipakai tiap individu. Untuk anak-anak dianjurkan memakai ukuran individual
sehingga aman dipakai dan stabil dalam rongga mulut (Amandia, 2010).

Night guard atau bite splint digunakan setiap malam. Bersihkanlah gigi
geligi dari sisa makanan sebelum menggunakan piranti ini, baik dengan
menggunakan sikat gigi, dental floss, maupun dengan mouth wash. Gigi-geligi
yang tidak bersih akan menyebabkan kerusakan gigi, demikian juga dengan
piranti ini juga harus tetap dalam keaadaan bersih sebelum digunakan kembali.
awal penggunaan piranti ini akan terasa tidak nyaman, diperlukan beberapa hari
untuk membiasakan. Setiap kunjungan ke dokter gigi alat harus dibawa untuk
dilakukan pemeriksaan, jika memungkinkan dilakukan penyesuaian kembali
dengan gigi geligi pengguna. ( Carr, 2011)

17
BAB 4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan :

1. Kebiasaan bruxism dapat mengakibatkan kerusakan pada gigi berupa atrisi yang nyata
disertai penurunan dimensi vertikal, kegoyangan gigi, atau fraktur gigi, kerusakan
pada jaringan periodontal, gigi sensitif, nyeri pada otot2 pengunyahan, sakit kepala
dan pundak, hingga terjadinya gangguan pada fungsi TMJ.
2. Upaya yang paling penting yaitu mengontrol bruxism dengan cara merelaksasikan
emosi anak sebelum tidur. Dapat dipertimbangkan pemakaian alat lepasan untuk
mengurangi kerusakan gigi selama bruxism, yaitu mouth guard atau bite guard atau
night guard atau bite splint.

4.2 Saran :

Peran orang tua sangatlah penting dalam memperhatikan kebiasaan anak,


hal tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya kebiasaan buruk dan akibat
yang ditimbulkan.

18
DAFTAR PUSTAKA
Amandia. Bruxism pada Anak- Anak dan Perawatannya. Stomatognatic (J.K.G.
Unej) Vol. 7 No. 1 2010 : 17-21
Anisyah Ika. Hubungan Antara Lama Pemberian Susu Botol dan Oklusi pada Gigi
Sulung. IJD. 2006;Edisi Khusus KPPIKG XIV:388-392.
Burgess Jeff. The Management of Bruxism. Dental Academy of CE. 2014;1-10
Carr AB, Browan DT. 2011. McCrackens Removable Partial Prosthodontics.
13th ed. Elsevier: Canada
Ferro. 2017. The Glossary of Prosthodontic Terms. J Prosthet Dent vol. 117.
Foster. 1993. Buku Ajar Ortodonsi.Third Edition. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.
Hartono A . 2011. Bruxism. Bagian Periodonsia FKG Unpad. Bandung
Indushekar, G. B., Bhavna G., Indushekar K. R. Childhood Thumb Sucking
Habit:the Burden of A Preventable Problem. Medicine and Medical
Sciences. 2012;2(1):1-4.
Joelijanto, Rudy. Oral Habits That Cause malocllusion Problems. IDJ. 2012;
1(2):86-88.
Johansson, I. Snacking Habits and Caries in Young Children. aries Res
2010;44:421430
Kamdar, R. J. Dan Ibrahim A. S. Damaging Oral Habits. Journal of International
Oral Health. 2015; 7(4):85-87.
Lagana, G., C.m Masucci, F. Fabi, P., Bollero, P. Cozza. 2013. Prevalence of
maloclussion, Oral Habits adn orthodontic Treatment need in a 7 to 15 years
old schoolchildren Population in Tirana. Progress orthodontics.
DOI:10.1186/2196-1042-14-12.
Oston R.., Harty F.J., 2012. Kamus Kedokteran Gigi. Penerbit Buku Kedoktran
EGC: Jakarta
Omer, M. I., Amal H. A. Prevalence of Oral Habits and its Effect in Primary
Dentition Among Sudanese Preschool Childreen in Khartoum City. Indian
Journal of Dental Education. 2015; 8(2):57-62.

19
Patheco, M. C. T., Camila F. C., Licia P. T., Nathalia S. F. M T. M. Guidelines
proposal for clinical recognition mouth breathing children. 2015;20(4):39-
44.
Prasad, K. Archana A. S., Anupama P. D. A review of current concept in
bruxism-diagnosis and management. Nitte University Journal of Health
Science. 2014; 4(2):129-136.
Shahraki N. Abnormal oral habits: A review. J of Den and Oral Hyg 2012:
4(2):12-15.
Rao A. Principles and practices of pedodontics. 3rd ed, India: Jaypee 2012. p.
161-172
Tarvade SM., Ramkrishna S, Tongue thrusting habit: A review. Int J Contemp
Dent Med Rev, Vol. 2015:14
Trasti. 2007. Pertumbuhan dan perkembangan orokraniofasial yang Normal.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.

20

Você também pode gostar