Você está na página 1de 7

KONSEP PSIKOLOGI ISLAMI

Tanggal: Monday, 04 October 2004


Topik: Psikologi Islam

PENDAHULUAN

Pembicaraan (lebih tepat silang pendapat) seputar psikologi islami di Indonesia, bisa
dikatakan masih sebatas lontaran-lontaran pemikiran. Urun gagasan ini terasa belum
menggigit sampai tataran ilmiah yang diharapkan, namun demikian beberapa
pendahuluan karya-karya yang masih deskriptif ataupun try and error mulai bermunculan.
Beberapa karya boleh disebutkan disini seperti : Dilema Psikologi Muslim, Al Quran
dan Ilmu Jiwa, Nafsiologi, Integrasi Psikologi dengan Islam, Psikologi Qurani.
Paradigma Psikologi Islami dan beberapa karya tulisyang tersebar dalam berbagai jurnal
dan media.

Meskipun karya-karya tersebut mulai saling terkomunikasikan, namun saya melihat


masih terdapat kemandegan dibandingkan islamisasi ilmu pengetahuan pada bidang-
bidang lainnya. Secara garis besar dapat saya rangkum persoalan yang masih
menyelimuti kemandegan pengembangan psikologi Islami, yaitu :

a. Berkaitan dengan Istilah yang dipakai untuk mewakili secara pas tentang idea-idea.
(dalam makalah ini saya menggunakan istilah Psikologi Islami )

b. Proses pemwujudan bangunan psikologi yang dikehendaki. Disini dapat saya


pisahkan menjadi: Westernisasi Islam Vs Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan di satu pihak
lain meragukan keduanya karena Ilmu adalah Islami.

c. Keinginan sebagian pihak menghendaki dibangunnya suatu Grand theory yang


murni dibangun dari Istilah-aksioma-dalil dari dua sumber utama Al Quran dan Hadits
serta hasil pemikiran tokoh Islam (khususnya sufi dan thoriqot) dan bukan menjadi
tukang yang mengintegrasikan berbagai teori-teori Psikologi Barat (Asing) dengan
mengaduk-aduk dengan semen ayat-ayat atau hadits-hadits.

d. Kurangnya dialog intensif dan high level dalam tataran ilmiah, serta dukungan
berbagai pihak yang masih berjalan sendiri-sendiri. Ketiadaan lembaga penterjemah
buku-buku berbahasa asing (Inggris dan Arab) yang dapat mempercepat keterlibatan
mahasiswa dan alumnus psikologi ke dalam kancah perdebatan. Keterlambatan dan
kelambanan informasi ini menyebabkan sebagian dari kita-peminat psikologi islami
hanya mengandalkan pada saduran-saduran naskah yang tercecer di berbagai buku.

Sehubungan dengan thema kita tentang psikologi islami menghadapi abad 21, maka tentu
saja tidak bisa terlepas dari berbagai perdebatan, bahkan saya melihat bahwa pembahasan
kita saat ini, aplikasi psikologi islami terlampau lompat pagar (atau terlalu cepat)
diperbincangkan dari persoalan utama : teori-teori dasar psikologi, yang selama ini
menjadi dinamo-nya Psikologi : Behavioristik, Ketidaksadaran (Psikoanalisis),
Humanistik. Hingga kini belum dapat dikatakan selesai bangunan teori yang khas
islami.
Sebagai sebuah gagasan yang dapat memicu untuk melahirkan runtutan tanggapan, maka
memperluas muatan diskursus psikologi islami ini tentu dapat terus dilanjutkan.
Setidaknya, lontaran ini menjadi tambahan pertimbangan atas aksiologis-pragmatis
tentang perlunya psikologi islami dalam menghadapi tantangan perubahan masa depan.

Tantangan dan Peluang Psikologi Islami

Sejak tahun 1980-an telah bermunculan berbagai prediksi abad 21. Beberapa tokoh
futurolog seperti John Naisbit telah meramalkan berbagai perubahan dunia dan
perilakunya. Pada saat yang bersamaan telah lahir orde baru di dunia filsafat : Post
modernisme. Kita juga terhenyak dengan berbagai pembentukan organisasi regional dan
global, seperti isue globalisasi semakin mengental dengan pencapaian teknologi
informasi. Tidak ketinggalan kehadiran AFTA, NAFTA, WTO dengan isue pasar bebas
dan pasar global. Dalam ketidaksiapan menghadapi pertarungan yang belum seimbang
antara dunia Islam dengan Barat, diakhir penghujung 1996 juga telah lahir sebuah buku
brilian dari seorang politikus dan juga Profesor di Harvard University, Amerika, Samuel
P. Huntington dengan bukunya The Crash of Civilization. Huntington secara simplitis
meramalkan bahwa peta peradaban dunia (seluruh aspek kehidupan) akan berubah
menjadi tiga sekte besar : Islam, Kristen dan Konfusianisme. Islam mewakili masyarakat
dan pikiran kaum muslimin (yang sebagian di negara ketiga dan dunia belahan Timur)
dan Kristen mewakili (budaya dan masyarakat) dunia Barat dan Europa, serta
Konfusianisme mewakili China, Jepang dan sejenis ajarannya.
Hipotesis Huntington ini cukup mendapat reaksi keras dari berbagai tokoh dunia, bahkan
menuduhnya sebagai agen Yahudi yang mencoba menarik peta dunia agar terpecah
menjadi tiga, bahkan sangat mungkin menjadi dua kekuatan besar, yaitu Islam versus
Kristen, karena yang ketiga (Konfusian) turut berpihak dan bersepakat pada Islam.
Nampaknya secara sederhana, hipotesis Huntington ini menggugat semangat
universalisme dan persatuan dunia. Bahkan dianggap sebagai pemicu perselisihan di
beberapa negara yang heterogenitas agamanya terkadang menghangat menjadi
pertentangan dan peperangan.

Sementara itu F. *****uyama (1996) seorang pejabat kementrian luar negeri Amerika
Serikat yang berkebangsaan Jepang, malah mengomentari tentang abad mendatang
sebagai abad Kapitalisme dan Liberalisme, kedua isme tersebut dipandangnya sebagai
puncak keunggulan manusia dalam peradaban. Hipotesisnya ini didasarkan pada
keyakinan bahwa arah dari seluruh usaha manusia adalah kebebasan dan demokrasi.
Terlepas dari akan terbukti atau tidak hipotesis Huntington tersebut, kita sebagai Psikolog
muslim patut urun-renungan, bagaimana jika hal ini benar terjadi ? Sebab pertarungan
pasca perang dingin tidak lagi didominasi Demokrasi (Kapitalistik) dan Komunisme, atau
Nato-Europa dan Pakta Warsawa (Uni Sovyet-al maut). Setelah runtuhnya Komunisme
maka musuh terbesar Barat diramalkan adalah Islam.
Huntington mempertaruhkan satu pandangan bahwa dalam kondisi peradaban dunia di
masa depan ini, sikap moderat adalah sikap yang terbaik. Ia mengasumsikan bahwa sikap
fanatisme adalah ketinggalan jaman dan kurang dapat dipertahankan, namun sikap
moderatlah yang paling bisa tumbuh subur dan harus disuburkan. Pada suatu seminar
budaya di UMS, tercetus ungkapan bahwa kebenaran agama di masa mendatang
tidaklah menjadi hak monopoli Islam artinya Surga yang luasnya seluas langit dan bumi
mungkin sekali menyediakan kapling untuk setiap penganut keyakinan/agama.
Kebenaran adalah apa yang diyakini tetapi bukanlah kebenaran satu-satunya yang final
final.
John, L. Espasito (The Islamic Threat, Miyth or Reality, 1992), justru menanggapi
perubahan di masa mendatang. Ia menyatakan bahwa yang akan berhasil dalam
mengarungi jaman adalah mereka yang modern sekaligus juga memiliki keyakinan
terhadap prinsip-prinsip. Kemampuan di bidang penguasaan ilmu dan teknologi harus
juga disikapi dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang diyakini.

Sebagai suatu ancang-ancang menghadapi dunia perubahan yang belum jelas arahnya,
maka tidak salah jika kita juga mencermatinya, kita siap sebagai bangsa yang dapat
berkompetisi global tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip kita yang diyakini pasti benar,
sebagai wujud iman kita pada Islam.

Secara tegas sesungguhnya Allah telah menetapkan adanya pertentangan antar ideologi
dan msayarakat besar : Muminin Vs Kafirin, Musyrikin, Munafiqin. Seperti yang sudah
kita ketahui bahwa abad XV hijriyah adalah abad kebangkitan Islam yang ditandai oleh
suatu gelombang besar dalam hal penguasaan sains dan teknologi yang diislamisasi. Jika
kita mengaca kepada Psikologi maka bisa jadi akan terjadi saling tarik menarik dan saling
pengaruh mempengaruhi untuk muncul mendominasi dunia ilmu pengetahuan di bidang
psikologi : Psikologi Islami Vs Psikologi Barat (Non-Islami) dan di satu pihak Psikologi
Timur (Taoisme-China). Bisakah semangat persaingan ini juga memicu kebangkitan
Islam di bidang ilmu psikologi ?

Benarkah psikologi berseberangan dengan agama (Islam) ?

Untuk menjawab pertanyaan ini sesungguhnya tidak mudah, kesulitannya bersumber


pada tolok ukur apa yang akan dipakai ?

a. Apakah psikologi ditinjau secara keseluruhan, tanpa memilah-milah ?

b. Apakah psikologi dipandang sebagai proses yang terus berlanjut ?

c. Apakah Psikologi dipandang sebagai hasil akhir ?


Menjawab pertanyaan point a :

Psikologi itu ibarat hutan yang begitu bersimpangan berbagai pendapat, mulai dari
persoalan filsafati, paradigma, teori, metoda. Mulai dari diagnosa, analisa hingga terapi.
Ribuan alat tes terus lahir ada yang direvisi, ada yang paforit digunakan, tidak terpakai,
kurang peminat, rumit dan simple. Tentunya dengan melihat begitu banyaknya kajian
yang berserakan di hutan Psikologi, alngkah tidak simpatiknya menggelari Psikologi
sebagai ilmu tidak Islami. Psikologi adalah hutan ilmu yang terbuka untuk diambil dan
dimasuki. Sehingga jika kita mau bahkan bisa menciptakan hutan Psikologi sendiri yang
tidak ada hubungannya dengan hutan sebelumnya!

Upaya telaah yang dilakukan tentu harus memilah-milah ! dan untuk memilah-milah
betapa beratnya. Waktu dan tenaga serta konsekuensinya hanya sebagai pengkritik dan
tidak sempat membangun.

Sebagian besar dari psikologi Barat, memang memisahkan Tuhan dari pengalaman
subyektif manusia. Pengalaman subyektif-religius ini masih dipandang sebagai bukan
ilmiah. Kalau mau diilmiahkan harus memenuhi standar ilmiah : Logis-rasional-empiris.
Barangkali standar ilmiah itulah yang harus diperbaharui. Standar ilmiah yang sekarang
ini digunakan karena diyakini. Jadi masalah menerima atau tidak standar ilmiah
tersebut sangat ditentukan seberapa besar seseorang menerimanya dengan yakin.

Menjawab pertanyaan b :
Sebuah penemuan di dunia ini jarang yang bersifat akhir, karena dia bukanlah Wahyu
yang sudah final dan essensial. Berbagai penemuan ilmiah sekalipun tidaklah pernah
berakhir, bahkan bisa dikatakan selalu memulai. Prinsip *****ulative, dan corrective dari
ilmu menyebabkan ia selalu terbuka dan bersedia diri berubah. Ilmu selalu berkelanjutan.
Konsistensi pemikiran sebelumnya yang sudah diakui dapat dipergunakan, tetapi juga
bisa jadi dibantah dan diperbaiki sama sekali apabila ada dasar yang lebih bisa diterima
oleh masyarakat ilmiah.

Nabi Ibrahim AS, adalah sosok contoh seorang yang berproses untuk menemukan
kebenaran (haqul Yaqin). Pada tahap permulaan Ibrahim menemukan kebenaran
berdasarkan indrawi mata. Ia baru menyadari akan kelemahan objek yang dijadikan
Tuhan setelah menemukan fakta baru yang tidak logis, ia kemudian menemukan kembali
melalui proses pencarian, Ia berganti matahari yang lebih ajek dalam memberikan
cahayanya, tetapi juga gagal hanya karena pada malam hari seolah lenyap dari
pandangan. Ia menggunakan rasio-nalar bagaimana mungkin Tuhan ada dan hilang ?
Akhirnya ia menemukan kebenaran itu melalui mata hatinya (intuisi-metaempiris).
Akankah kita mengatakan bahwa Ibrahim adalah seorang yang kufur lalu jadi muslim ?
Peristiwa Ibrahim ini memberikan gambaran bahwa kita tidak perlu terlalu cemas atas
ketiadaan Tuhan dalam beberapa teori psikologi, selama manusia masih terus
memerlukannya. Sebab Kebenaran pasti Menang. Tinggal bagaimana Ia datang dan
mengalahkan kebathilan ! Psikologi yang berpihak kepada kebenaran Islam pasti akan
datang, hanya proses itulah yang sedang kita jalani.

Melihat psikologi sebagai proses, maka tidaklah salah jika kita menggunakannya selama
memperoleh manfaat. Artinya psikologi digunakan untuk sementara dalam membantu
memecahkan persoalan kemanusiaan. Dari psikologi barat inilah barangkali lahir
psikologi Islam. Kata dan istilah Psikologi sendiri tidak pernah ada dalam sejarah Islam
salaf. Psikologi baru dipermasalahkan setelah kita mengenal beberapa kelemahannya
dilihat dari prinsip Islam. Bahkan secara ekstrim menyebut Psikologi jahiliyah modern.
Saya ingat perkataan Umar Ra. Orang yang tidak mengenal jahiliah maka ia tidak akan
mengenal Islam. Artinya kehadiran psikologi Barat telah cukup bagi psikolog muslim
untuk juga mengenal psikologi Islami. Sebagai pembanding yang akan ditilik keunggulan
dan kelemahannya, harus kita akui psikologi barat telah memberi andil yang besar bagi
kelahiran psikologi Islami.

Menjawab pertanyaan c:

Kalau ada yang yakin bahwa mobil Timor S 515 adalah produk terakhir dari teknologi
KIA Motor, jelas salah besar. Demikian juga yang mengatakan bahwa proses penciptaan
langit ini berhenti dan sudah ajeg juga salah. Allah mengatakan senantiasa membinanya ).
Seseorang yang dalam pencapaian pengetahuannya final hanyalah orang yang mati !
hakekat pengetahuan memang tidaklah berhenti. Demikian juga dengan psikologi,
psikolog yang yakin bahwa hasil-hasilnya yang sekarang ini merupakan hasil akhir yang
tidak berkembang dan kebenaran ilmunya dipandang berakhir, bolehlah ia digelari
psikolog yang almarhum. Psikologi Islami sendiri sedang mencari bentuk, tentu saja kita
harus hormat terhadap banguan psikologi yang ada.

Kebenaran Wahyu itulah yang ajeg karena ia prinsip hidup yang tidak bisa berubah.
Penafsirannya yang belum tentu ajeg. saya yakin bahwa psikologi islami pun tidak ajeg
karena ia adalah sebuah penafsiran terhadap manusia dan terhadap ayat-ayat Allah.
Kebenaran suatu penafsiran itulah yang harus diakui sebagai relatif. Penafsiran yang
manakah yang harus diakui? Allah menyatakan dalam Al Quran : Sesungguhnya,
kewajiban Kamilah mengumpulkan (alQuran) di hatimu (Muhammad) dan membuatmu
pandai membaca )......Kamilah yang memberikan penjelasannya ). Jadi hanya
Muhammad sajalah yang memahami betul isi kandungan Al Quran dan penafsirannya
dan itu kita hanya mengetahui dari Hadits dan Sunnah serta para pewaris risalah Islam
(para ulama). Jelas, bukan penafsiran tanpa konsistensi dengan penafsiran sebelumnya.

NISBAH : Psikologi dan Islam

Setiap ide baru akan selalu mengundang reaksi pro dan kontra. Tak terlepas dengan ide
islamisasi psikologi dan musliminisasi psikolog. Apalagi ide tersebut menggugat sesuatu
yang berkaitan dengan profesi (sebagai lahan hidup) serta nilai-nilai pribadi. Kecurigaan
terhadap psikologi Barat yang telah mencabut manusia sebagai makhluk Tuhan dan
kadang (psikoanalisa) menuduh aktivitas keagamaan adalah perbuatan kompensasi yang
tidak ada dasar ketulusan mendasar sebagai seorang manusia, telah melahirkan sebutan-
sebuatan yang agak sarkasme : Psikologi ilmu sesat dan menyesatkan atau Psikologi
ilmu skuler sampai sebutan yang agak halus Psikologi ilmu perilaku yang tidak perlu
dihubung-hubungkan dengan agama, agama ya agama, psikologi ya psikologi. Lontaran
pemikiran Malik B. Badri cukup membuat kepanasan kuping para psikolog yang sudah
terlalu yakin atas kebenaran dan kehandalan alat tes dan analisis psikologi. Siapa yang
mau dituduh tidak islami ?

Siapa yang rela disebut psikolog anti agama ?

Dua pertanyaan itu tentu diajukan kepada psikolog muslim ! sedangkan bagi mereka yang
tidak muslim tentu tidak merasa peduli dengan psikologi islami atau bukan. Mungkin
mereka mengkhatirkan adanya psikologi Kristiani, psikologi Hindi, Psikologi Kejawen,
Psikologi Yahudi!
Jadi masalahnya adalah seputar keyakinan psikolog muslim yang belum sepenuhnya puas
dengan psikologi bila diukur berdasarkan norma-norma ajaran Islam !
Lantas dimana ke-universalannya bila psikologi dilabeli Islami?

Sebelum menjawabnya, saya balik bertanya Apakah setiap teori psikologi seutuhnya
universal? Kenyataannya tidaklah ada teori yang bisa sepenuhnya dapat diterapkan
untuk semua manusia. Teori Freud tidak dapat sepenuhnya universal sebab ia tidak bisa
diterapkan pada orang yang muslim atau diterapkan pada orang yang tidak meyakini
kehandalan psikoanalisisnya. Teori Maslow juga tidaklah universal karena dia tidak dapat
menjelaskan motivasi lillahi taalanya seorang muslim, atau berbuat karena Yesus,
Motivasi Maslow belum menyentuh aspek ruhaniah. Adalah wajar, jika banyak tokoh
yang merasa tidak puas lalu memunculkan teori baru yang dipandang bisa universal,
bahkan bukan saja universal melainkan juga totalitas, artinya bisa mencakup seluruh
aspek manusia dan tidak memilah manusia dengan kategori (domain) yang masih tidak
menggambarkan manusia seutuhnya. Akhirnya, keuniversalan dan kemangkusan
psikologi lebih disebabkan karena diyakini dan diterima oleh masyarakat ilmiah pada
jamannya. Ketika ditemukan kekurang-mangkusan untuk menjelaskan manusia maka
kepercayaan terhadap teori tersebut berkurang dan sebagai rasa hormat kepada
penemunya dijadikan sebagai literatur atau referensi perkembangan ilmiah. Saya melihat
bahwa bukanlah keburukan bila orang melahirkan karya, berupa teori tentang psikologi,
sekalipun terbukti salah atau kurang sempurna, itulah hakekat manusia : ia selalu tidak
mampu menggambarkan dirinya secara sempurna !

Dalam buku Man, The Unkonw digambarkan betapa manusia sudah frustrasi
mengetahui siapa dirinya. Padahal manusia sudah bermilyar banyaknya. Setiap orang
pernah bertanya siapa dirinya. Ia pernah mengeluarkan pendapatnya sendiri, bahkan ada
yang pendapatnya diyakininya hingga menemui kematian. Barangkali sesudah kematian
itulah manusia tahu yang sesungguhnya siapa sebenarnya dirinya !
Emha Ainun Najib dalam satu essainya pernah menulis Berpuluh-puluh tahun manusia
telah gagal mengenali siapa dirinya. Sebaliknya saya menduga manusia akan selalu
gagal mengenali dirinya.

Manusia memiliki Ruh yang menjadi misteri sepanjang kemanusiaan. Ruh ini adalah
rahasia tak terjawab. Penggambaran tentang ruh selalu berubah. Barangkali Ruh itu
sesungguhnya akan dikenali dengan seutuhnya manakala kita mencapai kematian.
Allah berfirman : Mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Maka Jawablah Ruh itu
urusanKu, Tidaklah pengetahuanmu tentangnya melainakn sedikit ). Dari yang sedikit
itupun tentu bukan dicari sendiri karena Allah sendiri yang mengajarkan tentang ruh.
Dalam peristiwa keraguan Nabi Ibrahim As tentang adanya Allah. Allah mengajarkannya
melalui peniupan roh ke dalam cincangan daging burung. Pelajaran peniupan Roh ini
ternyata memperkuat iman yang sudah ada pada diri Ibrahim. Tidaklah salah jika
psikologi Islami memasukkan unsur Ruh dalam kajiannya dengan maksud menemukan
hakekat keberadaannya.

Islam memberikan keleluasaan kepada manusia untuk mempertanyakan siapa dirinya.


Bahkan Allah sangat menghargai pertanyaan siapa manusia itu dan kenapa manusia itu
diciptakan. Malaikat yang bernada protespun tidaklah dipandang hina, asal tidak
bermaksud mengkufuri. Keraguan (meragukan) untuk semakin beriman adalah sah-sah
saja. Rasulullah sendiri pernah mengalami keraguan tentang apa yang telah diturunkan
kepadanya, kemudian ia diharuskan bertanya kepada Orang yang telah mengetahui
Kebenaran (Waroqoh bin Naufal), sehingga barulah Allah menyruhnya agar jangan
menjadi orang yang ragu. Proses dari keraguan menjadi iman adalah diijinkan dan
dibenarkan. Dan itu proses pencarian pengetahuan kebenaran. Jadi wajar pula bila
seseorang yang mempelajari psikologi Barat kemudia meragukannya, untuk kemudia
menjadi yakin setelah mengalami proses bertanya tentang kebenaran. Islam merupakan
sumber Kebenaran, luas sekali membuka gerbang pengetahuan. Al Quran menantang
kepada manusia untuk bisa menjelajahi langit dan dalamnya bumi. Hai jin dan manusia,
jika kamu mampu menembus langit dan bumi, lakukanlah, kamu tidak dapat
menembusnya kecuali dengan kekuatan . Kekuatan yang digambarkan tersebut tentu
bukan saja kekuatan teknologi dan peralatan tetapi juga kekuatan manusianya. Untuk
mengenal kekuatannya manusia juga perlu mengenal kelemahannya ketika berhadapan
dengan alam raya yang akan dijelajahinya. Dan akan kami perlihatkan ayat-ayat Kami
dilangit dan di bumi serta pada dirimu sendiri.

Banyak nian Al Quran mengungkap persoalan kemanusian dan diri manusia. Dan
diyakini statement Al Quran dan Sunnah sebagai kebenaran. Dari sesuatu yang benar,
kita dapat melahirkan proses yang benar, hasil yang benar serta manfaat yang benar pula.
Dari cara pandang tentang Tuhan-alam-manusia yang benar, melahirkan pendekatan
ilmiah yang benar, menurunkan bangunan teori yang benar, metode yang benar dan
manfaat aplikasi yang benar. Sehingga ujungnya skesejahteraan manusia yang
sesungguhnya lah yang menjadi tujuan akhir dari psikologi islami. Selamat dunia dan
akhirat. Dan dengan Kebenaran Kami menurunkan Al Quran dan dengan proses yang
benar Kami turunkan Al Quran, Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai
Pemnberi kabar gembira (reward kebaikan) dan pemberi peringatan (ancaman
keburukan).

Você também pode gostar