Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
JUAL BELI (Albai) atau berisnis menurut Islam adalah pekerjaan yang mulia. Sudah fitrah manusia
transaksi bisnis merupakan salah satu sendi roda kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dalam tatanan
sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Dalam perkembangan zaman yang kita kenal dengan zaman globalisasi (ashru aulamah) dunia
semangkin dihadapkan berbagi permasalahan yang begitu kompleks termasuk diantaranya berbisnis
dengan cara-cara yang pragmatis, instan, cepat tapi aman. Sehingga kita mengenal sekarang ini ada
istilah transaksi bisnis seperti, melalui perbankan, kartu kredit (Bithaqah Alitiman), Lelang (Mazad
Alani; Auction), Saham, transaksi melalui ATM, Kredit, jual beli lewat online, industri, export-inport,
investasi, stock market, dll.
Namun di maqalah saya ini khusus mengangkat tentang hukum jual beli lewat online (berbisnis atau
transaksi jual beli melalui dunia maya) menurut hukum Islam.
Pada masa Rasulullah SAW transaksi jual beli seperti di atas belum dikenal. Namun modus
operandinya sama saja yaitu harus adanya rukun dalam akad jual beli (Shighat/ijab dan qabul, dua
orang yang berakad, barang yang dijual dan ada harga). Jual beli (Bai) menurut bahasa adalah
mengambil (Alakhdzu) dan memberikan (Alatha). Sedangkan menurut istilah Fikih adanya transaksi
harta dengan harta saling suka sama suka yang bertujuan untuk saling memiliki.
Dalam Islam berbisnis mealui online diperbolehkan selagi tidak terdapat unsur-unsur riba, kezaliman,
menopoli dan penipuan. Bahaya riba (usury) terdapat didalam Alquran diantaranya di (QS.
Albaqarah[2] : 275, 279 dan 278, QS.Ar Rum[30] : 39, QS. An Nisa[4] : 131).
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh
orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran
emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah
yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Rasulullah mengisyaratkan bahwa jual beli itu halal selagi suka sama suka (Antaradhin). Karena jual
beli atau berbisnis seperti melalui online memiliki dampak positif karena dianggap praktis, cepat, dan
mudah. Allah Swt berfirman dalam Alquran Surah Albaqarah[2] : 275: .Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Al Bai (Jual beli) dalam ayat termasuk didalamnya bisnis yang
dilakukan lewat online. Namun jual beli lewat online harus memiliki syarat-syarat tertentu boleh atau
tidaknya dilakukan.
Syarat-syarat mendasar diperbolehkannya jual beli lewat online adalah sebagai berikut :
1.Tidak melanggar ketentuan syariat Agama, seperti transaksi bisnis yang diharamkan, terjadinya
kecurangan, penipuan dan menopoli.
2.Adanya kesepakatan perjanjian diantara dua belah pihak (penjual dan pembeli) jika terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan antara sepakat (Alimdha) atau pembatalan (Fasakh). Sebagaimana yang telah
diatur didalam Fikih tentang bentuk-bentuk option atau alternative dalam akad jual beli (Alkhiarat)
seperti Khiar Almajlis (hak pembatalan di tempat jika terjadi ketidak sesuaian), Khiar Alaib (hak
pembatalan jika terdapat cacat), Khiar As-syarath (hak pembatalan jika tidak memenuhi syarat), Khiar
At-Taghrir/Attadlis (hak pembatalan jika terjadi kecurangan), Khiar Alghubun (hak pembatalan jika
terjadi penipuan), Khiar Tafriq As-Shafqah (hak pembatalan karena salah satu diantara duabelah pihak
terputus sebelum atau sesudah transaksi), Khiar Ar-Rukyah (hak pembatalan adanya kekurangan
setelah dilihat) dan Khiar Fawat Alwashaf (hak pembatalan jika tidak sesuai sifatnya).
3.Adanya kontrol, sangsi dan aturan hukum yang tegas dan jelas dari pemerintah (lembaga yang
berkompeten) untuk menjamin bolehnya berbisnis yang dilakukan transaksinya melalui online bagi
masyarakat.
Jika bisnis lewat online tidak sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan di atas,
maka hukumnya adalah Haram tidak diperbolehkan. Kemaslahatan dan perlindungan terhadap umat
dalam berbisnis dan usaha harus dalam perlindungan negara atau lembaga yang berkompeten. Agar
tidak terjadi hal-hal yang membawa kemudratan, penipuan dan kehancuran bagi masyarakat dan
negaranya.
Sebagaimana kaidah Fikih menyebutkan : Alahkam Tattabi Almashalih ; Hukum [undang-undang dan
peraturan] bertujuan untuk kemaslahatan. Kaidah lain ada menyebutkan : Itibar Almashalih
Wadarul Mafasid ; Mengutamakan Kemaslahatan Dan Menjauhkan Kerusakan . Alquran juga
menyebutkan dalam Surah Almuthaffifin [83] : 1-3 : 1.Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
curang (dalam berbisnis),2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
minta dipenuhi, 3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi.
Makna kata Wail (telaga neraka jahannam; kalmat hardik; Celaka) pada ayat Quran di atas,
menunjukkan bahwa Allah Swt melaknat bagi orang yang menjalankan bisnis dengan kecurangan
(Lilmuthaffifin). Ayat Alquran dan kaidah Fikih di atas tegas menganjurkan dalam berbisnis harus
adanya kejujuran, adil, tidak saling mencurangi dan harus adanya payung hukum yang tegas dan jelas
yang bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat, negara dan umat.
KESIMPULAN
Berbisnis melalui online satu sisi dapat memberi kemudahan dan menguntungkan bagi masyarakat.
Namun kemudahan dan keuntungan itu jika tidak diiringi dengan etika budaya dan hukum yang tegas
akan mudah terjebak dalam tipu muslihat, saling mencurangi dan saling menzalimi. Disinilah Islam
bertujuan untuk melindungi umat manusia sampai kapanpun agar adanya aturan-aturan hukum jual beli
dalam Islam yang sesuai dengan ketentuan syariat agar tidak terjebak dengan keserakahan dan
kezaliman yang meraja lela. Transaksi bisnis lewat online jika sesuai dengan aturan-aturan yang telah
disebut di atas, Insya Allah akan membawa kemajuan bagi masyarakat dan negara, semoga.
Wallahualam bis-shawab. (****)
2) Korupsi
Dasar yang menguatkan pendapat ulama fikih ini antara lain ialah firman Allah SWT,
Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil,
dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
(QS. Al-Baqarah: 188). Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain yang diperoleh
dengan cara-cara yang batil, termasuk di dalamnya mencuri, menipu, dan korupsi.
Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat juga dianalogikan dengan harta
kekayaan yang diperoleh dengan cara riba, karena kedua bentuk perbuatan itu sama-sama ilegal.
Jika memakan harta yang diperoleh secara riba itu diharamkan (QS. Ali Imran: 130), maka memakan
harta hasil korupsi pun menjadi haram. Disamping itu ulama memakai kaidah fikih yang menunjukkan
keharaman memanfaatkan harta korupsi yaitu, "apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram
memberikannya/memanfaatkannya.
Oleh karena itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, selama suatu perbuatan
dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan memanfaatkan hasilnya.
Namun, jika perbuatan itu tidak lagi dipandang haram, maka hasilnya boleh dimanfaatkan. Selama
hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya, selama itu pula pelakunya dituntut untuk
mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah.
Jika ulama fikih sepakat mengharamkan pemanfaatan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara
korupsi, maka mereka berbeda pendapat mengenai akibat hukum dari pemanfaatan hasil korupsi
tersebut.
Shalat dan Haji dari Uang Korupsi, Sahkah ?
Mazhab Syafi'i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa shalat dengan menggunakan
kain yang diperoleh dengan cara yang batil (menipu/korupsi) adalah sah selama dilaksanakan sesuai
dengan syarat dan rukun yang ditetapkan. Meskipun demikian, mereka tetap berpendapat bahwa
memakainya adalah dosa, karena kain itu bukan miliknya yang sah. Demikian juga pendapat mereka
tentang haji dengan uang yang diperoleh secara korupsi, hajinya tetap dianggap sah, meskipun ia
berdosa menggunakan uang tersebut. Menurut mereka, keabsahan suatu amalan hanya ditentukan oleh
terpenuhinya rukun dan syarat amalan dimaksud.
Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dengan menggunakan kain hasil korupsi tidak
sah, karena menutup aurat dengan bahan yang suci adalah salah satu syarat sah shalat. Menutup aurat
dengan kain yang haram memakainya sama dengan shalat memakai pakaian bernajis. Lagi pula shalat
merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, tidak pantas dilakukan
dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang dilarang Allah SWT. Menurut Imam
Ahmad bin Hanbal, haji yang dilakukan dengan uang hasil korupsi tidak sah. la memperkuat
pendapatnya dengan hadis yang menerangkan bahwa Allah SWT adalah baik, dan tidak menerima
kecuali yang baik (HR. At-Tabrani).
Pada kesempatan lain Nabi Muhammad saw. bersabda, "Jika seseorang pergi naik haji dengan biaya
dari harta yang halal, maka ketika ia mulai membacakan talbiah datang seruan dari langit, 'Allah akan
menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu akan bahagia. Perbekalanmu halal,
kendaraanmu juga halal, maka hajimu diterima dan tidak dicampuri dosa'. Sebaliknya bila pergi
dengan harta yang haram, lalu ia mengucapkan talbiah maka datang seruan dari langit, 'Tidak diterima
kunjunganmu dan kamu tidak berbahagia. Perbekalanmu haram, belanjamu dari yang haram, maka
hajimu berdosa, jauh dari pahala (tidak diterima). (HR. At-Tabrani).
Atas dasar logika dan hadis tersebutlah Imam Ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan tentang tidak
sahnya ibadah dengan menggunakan perlengkapan hasil korupsi.