Você está na página 1de 19

TEORI DIFUSIONISME

a.difusionisme

padaakhirabad 19, kritikterhadappemikirankelompokevolusisemakintajam.


Kritiktersebuttidaksajaberkaitandengan data-data pendukungtahapanevolusi yang di kemukakan,
tetapisudahmulaimunculpemikiranbahwaperkembanganbudaya, tidakselaluterjadikarna proses evolusi.
Tetapijugamemungkinkanterjadiakibatsemakinintennyakontak social antarmasyarakat. Hal
inimengakibatkanunsur-unsurbudayamulaimengalamipersebarankeberbagaitempatsehinggaterjadi
proses ambil-mengambilantarmasyarakat. Pemikirantentangadanya proses persebaraninilah yang
kemudianmelahirkanpemikiranbarudalmantropologi yang kemudiandikenalteoridifusionisme.

Asumsidasarteoridifusionismeiniberangkatdaripemikiranbahwakebudayaanmannusiapadaprinsi
pnyaberasaldarisatutempat yang
samayaitutempatkehidupanpertamamunculseiringperkembanganmasyarakatitusendirisertapengaruhlin
gkungan, makakebudayaanakhirnyamengalamipersebaran,
perkembangandanpecahmenjadibeberapabentukbaru.
Olehsebabitutugasantropologadalahmerekontruksikembalialursejarahperkembangandan proses
persebaranunsurbudayaitu.

Difusionismemenemukanbentuknyadalamduacarapandang:

1. aliranpemikirankulturehistoris yang lahirdanberkembang di jermandan Austria yang


terlihatmasihmendapatpengaruhdarialiranevolusisebelumnya

2. aliranpemikirandifusilahirdanberkembang di amerika yang


berupayameninggalkancarapandangevolusi.

Tetapikeduaaliraninimemeilikipersamaandimana data-data sejarahadalahsumber data utama


yang digunakandalamengembangkanpemikiranmereka

b. alirankulturhistoris

1.f. graebner (1877-1934)

Graebneradalahseorangetnologjerman yang
perludicatatdalamalirankulturkreise.Gejalakebudayaanpadaprinsipnyamenyebardarisuatuwilayahkewila
yahlain yang ada di sekitarnya. Disinimasihterlihatcarapandangevolusi, tetapi yang membedakanbahwa
proses perkembanaganbudayatersebuttidakselaluberlakuprinsipevolusi,
tetapiadakemungkinanterjadikarna proses ambil-mengambilantarduawilayahbudaya.
Kombinasiberbagaiunsurbudayatersebutdisebutkulturkomplek (komplekkebudayaan).
Sedangkanligkunganatau areal dimanakebudayaanmenemukanperbedaancoraknyadisebutkulturkreise
(lingkarankebudayaan).Pembagianwilayahinidisebutsebagaikulturkhikhten (lapisankebudayaan)
Dalammenentukanbahwatelahterjadi proses ambil-mengambiltersebut,
bisaditentukanmelaluiaspekruangdanaspekwaktu. Berkaitandenganaspekruang, proses ambil-
mengambildiasumsikanterjadiapabila:

1. adanyapersamaanbentukunsurbudayatersebutantarbeberapawilayhbudaya yang ada.

2. apbila di duawilayahtersebutkuantitasunsurbudaya lain yang memiloikipersamaanjugaseringditemui.

3. apabiladiantaraduawilayahtersebut, kontinuitaspenggunaanunsurbudayajugaditemui,
sehinggaasumsinyaadamatarantaikontakbudayaantardaerahini

Aspekwaktu

Aspekwaktumenjadipentingkarena proses ambil-mengambiltidakselaluberjalanlancar.


adawaktudimanaduawilayahbudayainiterjadistagnasisehinggamenjaditertutup, sementaraadawaktu lain
justrusangatterbuka. Untukmenentukanhaltersebut

Menurutgraebnerbisadilacakmelaluikulturkhikhten.Apabilaunsurbudaya yang di
kajibelumenemukanbentuk yang sempurna,
makabudayainidianggapsebagaiwilayahtertua.Sedangkanunsurbudaya yang
telahsempurnamakawilayahinidisebutwilayahtermuda

2. w. h. r. rivers (1864-1922)

Padaawalnya rivers seorangahlipsikologi yang


tertarikantropologistelahikutekspedisikemasyarakatsekitarselattorres.ekspedisiinimenimbulkanmetodeb
arudalmantropologi yang di sebut a genealogical
method.Metodegeneologisiniadalahsebuahmetodewawancara, untukmemperolehinformasi yang di
butuhkanparainformannya.Informasi yang diperolehmelaluiwawancarainiseringterjadi pro
dankontraketikapertanyaan yang sama di hadapkandenganinforman yang lain. Tetapijugaada di
temukaninformasi yang di
dapatkancendrungsalingkaitmengkaitatausebagaisebuahrangkaianketikahasilinformasi yang di
dapatdariberbagaiinformantersebutdisatukan. \

Cara mengatasikelemahantersebutadalah:

1. tidakmenempatkanindividuinformansecaraterpisahdenganindividuinforman lain dalammasyarakat


yang di kajitersebut. Tetapitempatkanlahmerekasebagaisebuahkesatuan yang salingterkait

2.
polawawancaradilaksanakandengancaralebihuntukmenggalidanmenemkanketerkaitanketurunandanasa
l-usulmasyarakatkajian, sambilmenggalilebihdalam data-data yang di butuhkan.

c. franz boas (kultur area)


franzoasmerupakansalahsatutokohpentingantropologiamerika, yang dianggapsebagaiantropolog yang
mempeloporikajianmendalamtentangfenomenabudaya yang disebutetnografi.
Langkahutamanyadalahmemulaimelakukankajianlapangan (fieldword)
danmencobameninggalkankajianbudaya yang sangatkomplekkekajianbudayakhusus.Menurutfranz boas,
antropologharusmempunyaiminatterhadap material budaya yang dimilikimasyarakatkajiannya. Hal
initidaksebagaialatpembuktianuntukkajianmereka,
tetapijugasebagaipendalamanlebihlanjutolehparaahliberikutnya.

Cara kerjasepertiini, membuatfrazboasmengkritikkaumevolusionisme yang


dianggapcendrungberpikirpadasatusisibudayasajadalmmelakukanperbandinagan.
Upayaperbandinaganseharusnyadilakukandengancarameninjaukeseluruhsisibudaya,
buakapadasatusisibudayasaja. Teorifranz boas inikemudianmempengaruhicarakerjakaum structural
fungsional. Perbedaanyaadalahapablakaum structural fungsional anti sejarah( a-historis) makafraz boas
justrubanyakmemanfaatkan data-data historis.
Karnasejarahbisadimanfaatkanuntukmerekonstruksimasyarakatdanbudayamereka di masalalu.

Fraz boas awalnyapernahmelakukankajiangeografiketikamelakuakankajian di kutubutara(eskimo),


tetapikemudiantertarikmembahaspolakehidupanmasyarakateskimotersebut. Berawaldarisinilah boas
kemudianmelakuankajianterpentingnya di masyarakatindianbaratlautyaitusukukoakiutl,
yaitukajiantentang potlatch yaitusemacampemberianhadiahdalambentukhartabenda yang
disayangikepadaseseorangdengantujuanuntukmendapatkedudukansosialtertentu. Tradisi potlatch
initernyatajugaditemukan hamper disemuasukubangsa yang aa di amerikautara,
tetapidenganpoladanmakna yang berbeda. Berawaldarikajianinifrazboasmelahirkanteori yang disebut
culture area (wilayahkebudayaan).

Pemikiranfranz boas inisedikitberbedadengankelompokculturehistoris:

1. kelompokculturehistorisdalammelakukankajianlebihpadadaerah yang luassebabupaya yang


dilakukanadalahuntukmemperbandingkanpersebaranunsur-unsurbudaya yang adasementara boas
lebihmengarahkedalamsatu areal budayasajadengantujuanmemperdalambukanmembandingkan.

2. kelompolkulturhistorislebihmelihatbahwaunsur-unsurbudaya yang adasecaraterpisah-


pisahdimanaketerhubunganpersamaandiantaraduawilayahbudayatersebutkarenaterjadikontakbudaya.
Sementara boas melihatunsur-
unsurbudayainitidakterhubungsecarateroisahtetapisalingterhubungsatusama lain (traits)
sebagaisatukebudayaan yang besar.

Pada masa sekarang, teori heliotik itu hanya dapat kita pandang sebagai suatu contoh saja dan di
jadikan sebagai salah satu cara oleh para ahli antropologi untuk mencoba menerangkan gejala
persamaan unsur unsur kebudayaan di berbagai tempat di dunia
Beberapa contoh proses terjadinya difusi kebudayaan, di antaranya sebagai berikut.
1) Unsur-unsur budaya timur dan barat yang masuk ke Indonesia dilakukan dengan teknik meniru.
Misalnya, penyebaran agama Islam melalui media perdagangan, berikut cara berdagang yang jujur,
dan model pakaian yang digunakan, lambat laun ditiru oleh masyarakat.
2) Cara berpakaian para pejabat kolonial Belanda ditiru oleh penguasa pribumi.
3) Cara orang Minangkabau membuka warung nasi dan cara orang Jawa membuka warung tegal.
4) Cara makan yang dilakukan orang Eropa dengan mengguna kan sendok ditiru oleh orang
Indonesia.

Jenis Difusi Budaya


Ada dua jenis difusi yaitu difusi intramasyarakat dan difusi antarmasyarakat. Difusi
intramasyarakat, yaitu difusi yang terjadi pada masyarakat itu sendiri. Adapun difusi
antarmasyarakat, yaitu difusi yang terjadi antarmasyarakat yang satu dan masyarakat lain.
1. Difusi Intramasyarakat
Difusi intramasyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut.
a) Suatu pengakuan bahwa unsur baru tersebut mempunyai kegunaan.
b) Ada tidaknya unsur-unsur yang memengaruhi diterima dan ditolaknya unsur-unsur baru.
c) Suatu unsur baru yang berlawanan dengan fungsi unsur lama kemungkinan besar tidak akan
diterima.
d) Pemerintah dapat membatasi difusi yang akan diterima.
2. Difusi Antarmasyarakat
Difusi antarmasyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut.
a) Adanya kontak dalam masyarakat tersebut.
b) Kemampuan untuk mendemonstrasikan manfaat baru tersebut.
c) Pengakuan akan kegunaan penemuan baru tersebut.
d) Peranan masyarakat yang menyebarkan penemuan baru di dunia ini.
e) Paksaan dapat juga digunakan untuk menerima suatu penemuan baru.
Bentuk-Bentuk Difusi Kebudayaan
Bentuk penyebaran yang mendapat perhatian dari para antropolog dan berdasarkan prosesnya,
difusi dapat digolongkan menjadi beberapa bentuk. Bentuk-bentuk tersebut antara lain, hubungan
symbiotic, hubungan penetration pacifique, dan stimulus diffusion.
1. Hubungan Symbiotic
Symbiotic adalah hubungan yang terjadi hampir tidak mengubah unsur kebudayaan yang dimiliki.
Contoh hubungan barter yang terjadi selama berabad-abad antara suku Afrika dengan kelompok
Negrito. Suku bangsa Afrika memberikan hasil pertanian, dan kelompok Negrito memberikan hasil
berburu dan hasil hutan. Selama hubungan itu kebudayaan masing-masing suku tidak mengalami
perubahan.
2. Hubungan Penetration Pacifique
Penetration pacifique adalah terjadinya pemasukan unsur-unsur kebudayaan tanpa adanya paksaan.
Contoh yang pernah terjadi adalah unsur kebudayaan yang dibawa masuk oleh para pedagang dari
India ke Indonesia. Cerita Ramayana dan Mahabarata salah satunya diperoleh melalui aktivitas
perdagangan masyarakat India ke Indonesia. Masuknya unsur-unsur kebudayaan tersebut terjadi
tanpa sengaja ke dalam kebudayaan penduduk setempat.

3. Stimulus Diffusion
Stimulus diffusion adalah bentuk difusi yang terjadi karena penyebaran kebudayaan secara
beruntun. Contoh suku bangsa A bertemu B terjadi difusi, B bertemu C terjadi difusi, C bertemu D
terjadi difusi, demikian seterusnya. Misalnya, kewajiban melakukan seikirei pada masa penjajahan
Jepang di Asia.

Proses difusi telah berlangsung sangat lama. Para ahli berpendapat bahwa manusia zaman purba
telah melakukan proses difusi. Menurut paleoantropologi, diperkirakan manusia pertama kali ada di
daerah sabana tropikal Afrika Timur, kemudian menyebar hampir ke seluruh permukaan bumi yang
memiliki musim yang berbeda-beda. Persebaran ini membentuk sebuah kebudayaan yang mereka
miliki saat ini. Dalam proses ini mereka melakukan adaptasi fisik dan budaya. Proses perpindahan
tersebut dilakukan dengan cara migrasi lambat dan otomatis serta migasi cepat dan
mendadak. Migrasi lambat dan otomatis adalah perpindahan yang terjadi seiring dengan
berkembangnya manusia di muka bumi. Manusia berkembang dan membutuhkan tempat-tempat
yang lain sehingga melakukan migrasi. Migrasi tersebut membawa serta kebudayaan mereka.
Dengan demikian, kebudayaan turut tersebar di permukaan bumi ini seiring dengan menyebarnya
manusia untuk mencari tempat tinggal dan menjalani kehidupan.

Difusi dan akulturasi memiliki persaman dan perbedaan. Persamaan difusi dan akulturasi adalah
masing-masing memiliki kontak. Tanpa kontak tidak mungkin keduanya dapat berlangsung. Adapun
perbedaannya yaitu difusi berlangsung dalam keadaan di mana terjadinya suatu kontak tidak perlu
ada secara langsung dan berkelanjutan. Misalnya difusi menggunakan tembakau yang tersebar di
dunia. Adapun akulturasi memerlukan hubungan dekat, langsung, dan berkesinambungan. Proses
difusi melancarkan perubahan karena difusi tersebut memperkaya unsur-unsur budaya. Suatu difusi
yang meliputi jarak yang panjang biasanya terjadi melalui suatu rangkaian pertemuan suatu deret
suku-suku bangsa.

Dampak Difusi atau Pergeseran Budaya


Dampak dari difusi atau pergeseran nilai budaya lokal mulai membawa pengaruh yang nyata. Nilai
sakral suatu dogma telah bergeser, demikian pula halnya dengan mitos dan kepercayaan. Suatu
kejujuran telah berubah menjadi manipulasi dan keserakahan. Kapitalisme mulai merambah hingga
pelosok negeri. Nilai humanisasi bergeser ke arah dehumanisasi. Seiring dengan itu kecepatan
perkembangan informasi luar biasa pesat bersama dengan difusi budaya. Sementara itu banyak yang
tidak menguasai teknologi.
Difusi budaya yang ada di Indonesia di antaranya adalah penggunaan telepon genggam yang telah
menyebar hingga ke pelosok-pelosok, demikian pula halnya dengan penjualan voucher. Difusi
budaya yang membawa dampak tidak baik juga terjadi manakala seks bebas telah dianggap lumrah.
Kasus narkoba, perselingkuhan, pergaulan bebas menjadi pemicu menyebarnya penyakit HIV/AIDS.
Difusi budaya yang negatif lain adalah bentuk prostitusi yang pesat berkembang. Karena budaya
permisif masyarakat menjadikan prostitusi mendapat tempat sebagai hal yang wajar.
Filter terhadap fenomena yang ada saat ini harus kuat agar dapat bertahan dari nilai negatif yang
dapat menggoyahkan nilai bangsa. Pergeseran budaya yang terjadi saat ini menyebabkan ilmuwan
bangkit untuk menggali nilai budaya lokal agar kekayaan budaya tetap lestari dan dapat diwariskan
kepada generasi berikutnya yang dapat mempertahankan nilai kebangsaan dan persatuan yang baik.

0
inShare

RELATED POSTS :

Suku Sunda (Kesenian, Kepercayaan, Kekerabatan, Politik,


dan Mata Pencaharian Suku Sunda)Suku Sunda adalah sekelompok etnis suku yang
berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia. Orang sunda disebut dengan istilah Tatar
Pasu Read More...

Suku Batak (Rumah Adat, Tarian, Musik, Kerajinan, Sistem


Kepercayaan, Kekerabatan, Politik, dan Ekonomi Rakyat Batak)Suku Batak
adalah suku yang menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia. Nama batak merupakan nama
bersama / kolektif dari beberapa suku Read More...

Pengertian, Proses, dan Contoh Akulturasi | Mekanisme


dan Penyebab Akulturasi BudayaAkulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila
suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur
k Read More...

Rumah Adat dan Tarian Minangkabau | Musik, Sastra,


Sistem Kepercayaan, Kekerabatan, Politik, dan Ekonomi Suku
Minangkabau (Minang)Minangkabau atau minang adalah suku yang merujuk pada entitas
kultural dan geografis yang ditandai dengan penggunaan bahasa minagkabau, men Read More...
Budaya Jawa (Kepercayaan, Kekerabatan, Sistem Politik,
Ekonomi, dan Kesenian Budaya Jawa)Budaya Jawa adalah budaya yang berasal dari
Jawa dan dianut oleh masyarakat Jawa khususnya di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur akan
tetapi Read More...

Subscribe to receive free email updates:

Subscribe

0 RESPONSE TO "DIFUSI KEBUDAYAAN (PENGERTIAN, CONTOH, JENIS, BENTUK,


DAN DAMPAK DIFUSI BUDAYA)"

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda

DUKUNG KAMI KAWAN :)


ARTIKEL TERBAIK

Faktor Penyebab Perubahan Sosial dan Contoh Penyebab Perubahan Sosial


Faktor Pendorong dan Penghambat Perubahan Sosial
Teori-Teori Perubahan Sosial (Teori Siklus, Perkembangan/Linear, Evolusi, Konflik, dan
Fungsional)
Proses Terjadinya Perubahan Sosial Lengkap (Ciri-Ciri, Difusi, Akulturasi, Asimilasi, Akomodasi,
DLL)
Pengertian Perubahan Sosial (Umum &14 Ahli) dan Contoh Perubahan Sosial
Pengertian Ras, Macam-Macam, dan Ciri-Ciri Ras (Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, Australoid,
dan Ras Khusus)
Bentuk-Bentuk Diferensiasi Sosial dan Peranan Diferensiasi Sosial Dalam Masyarakat

LABELS

Antropologi
Ekonomi
Geografi
IPS Kelas 10
IPS Kelas 11
IPS Kelas 12
IPS Kelas 7
Ips Kelas 8
IPS Kelas 9
Sejarah
Sosiologi

Contoh-contoh difusi
Contoh difusi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia adalah berbagai kata yang ada dalam Bahasa Indonesia. Tanpa kita sadari,
Bahasa Indonesia sendiri merupakan contoh hasil dari proses difusi yang terjadi dalam masyarakat. Berbagai kata dalam Bahasa
Indonesia merupakan hasil serapan dari bahasa asing dan bahasa-bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa, Sunda, dan lain-lain.
Berbagai kontak budaya yang terjadi dalam masyarakat, menyebabkan terjadinya difusi dalam struktur Bahasa Indonesia. Proses difusi
yang menyebabkan munculnya kosakata baru dalam Bahasa Indonesia terbagi dalam 2 proses, yaitu :
1. Difusi ekstern yaitu penyerapan kosakata asing oleh Bahasa Indonesia yang mengubah Bahasa Indonesia ke arah yang lebih modern.
Dampak dari difusi ekstern ini terlihat dari kreativitas orang-orang Indonesia, yang memadukan berbagai unsur bahasa asing sehingga
menjelma menjadi 7 bentuk kata-kata baru, seperti : gerilyawan, ilmuwan, sejarawan, Pancasilais, agamis, dan lain-lain.
2. Difusi intern yaitu timbulnya hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa (seperti masuknya kata lugas,
busana, pangan dll) atau dengan bahasa Sunda (kata-kata nyeri, pakan, tahap, langka) mengenai penyerapan kosakata.

Memahami Teori Evolusi dan Teori Difusi Dalam Antropologi


Oleh : Pahrudin HM, M.A.

A. Pengantar

Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Eropa pada awalnya masih terkungkung dengan
pandangan yang dituangkan dalam kitab-kitab suci agama mereka beranggapan bahwa gejala-
gejala yang mencuat dari alam dan yang mengemuka dari masyarakat dan kebudayaan tidak
akan dapat dipelajari secara rasional. Keyakinan seperti ini telah berlangsung lama dalam
masyarakat Eropa sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya ilmu pengetahuan yang
bersumber dari akal dan pikiran yang menjadi faktor utama yang membedakan manusia dengan
makhluk hidup lainnya. Untuk melihat gejala-gejala yang muncul dari alam, masyarakat dan
kebudayaan manusia, masyarakat Eropa mengembalikan sepenuhnya pada kitab-kitab agama
mereka, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.[1]

Namun demikian, perlahan-lahan model pandangan seperti ini mulai hilang seiring makin
berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimungkinkannya penggunaan akal yang dimiliki
manusia untuk melihat segala fenomena yang ada dan terjadi dalam masyarakat. Model
pandangan yang mengemuka untuk mengganti pandangan tradisional sebelum dalam kajian
budaya (antropologi) paling awal adalah teori evolusi kebudayaan dan teori difusi kebudayaan.
Kedua teori ini muncul dengan mengusung karakteristiknya sendiri-sendiri dan masing-masing
mengklaim sebagai paradigma yang seharusnya dipakai untuk melakukan kajian terhadap
manusia dan perjalanan perkembangannya.

B. Teori Evolusi Kebudayaan

Pada abad ke sembilan belas, dalam masyarakat Eropa mengemuka sebuah paradigma (cara
pandang) yang memandang bahwa gejala-gejala yang timbul dari alam, masyarakat dan
kebudayaan yang ada dalam komunitas manusia dapat dilihat dan dipikirkan secara rasional.
Cara pandang yang secara tidak langsung mengkritik perilaku masyarakat Eropa Barat yang
mengembalikan segala sesuatunya ke kitab suci ini kemudian dikenal dengan teori evolusi
kebudayaan. Paradigma ini dipahami sebagai pandangan yang menyatakan bahwa ada
kepastian dalam tata tertib perkembangan yang melintasi sejarah kebudayaan dengan
kecepatan yang pelan tetapi pasti.[2] Selanjutnya, dimulailah pergumulan dogma-dogma agama
yang telah sekian lama mengakar di tengah-tengah masyarakat dengan cara pandang baru
yang sepenuhnya berbeda dan asing bagi masyarakat Eropa Barat saat itu.

Paradigma evolusi kebudayaan yang ingin mengganti model dogmatis agama yang telah
mendarahdaging di Eropa Barat dalam memandang kebudayaan manusia ini dikemukakan
pertama kali oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917), seorang ahli antropologi yang berasal dari
Inggris. Persinggungan Tylor dengan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan dimulai ketika
ia menempuh pendidikan kesusastraan dan peradaban Yunani dan Romawi klasik. Ketertarikan
seputar kebudayaan ini membuatnya sangat menyukai ilmu arkeologi yang memang mengambil
objek kajian terhadap benda-benda peninggalan masa lampau. Ketertarikan ini terus tumbuh
subur seiring didapatnya kesempatan untuk melakukan suatu perjalanan menyusuri Afrika dan
Asia hingga membuatnya tertarik untuk membaca naskah-naskah etnografi yang mengisahkan
tentang masyarakat yang ada di kedua benua tersebut. Setelah mendapat pengakuan sebagai
seorang pakar arkeologi, Tylor diajak serta mengikuti ekspedisi Inggris untuk mengungkap
benda-benda arkeologis peninggalan beragam suku yang ada di Meksiko.[3]

Kepiawaian Tylor dalam kajian kebudayaan membuatnya diangkat sebagai guru besar di
Harvard University. Menurut Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang
di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.[4] Ada
banyak tulisan yang berhasil ia sumbangkan bagi kajian kebudayaan, utamanya untuk semakin
menguatkan dan menyebarkan pandangannya mengenai teori evolusi kebudayaan. Salah satu
bukunya berjudul Researches into the Early History of Mankind, semakin menguatkan
keteguhannya mengenai teori evolusi kebudayaan yang memang telah sekian lama ia
perjuangkan. Dalam buku yang ditulis pada tahun 1871 ini, Tylor mengungkapkan tujuan
sesungguhnya dari kajian kebudayaan yang dilakukan oleh seorang ahli antropologi.
Menurutnya, kajian antropologi adalah untuk mempelajari aneka ragam kebudayaan sebanyak-
banyaknya, kemudian dicarikan unsur-unsur persamaannya, selanjutnya dilakukan proses
klasifikasi.[5] Dengan cara dan tahapan seperti ini, menurut Tylor, maka akan tampak kemudian
adanya evolusi kebudayaan manusia yang terdiri dari beragam tingkatan perkembangan yang
masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.

Apa yang dipaparkan oleh Tylor dalam buku di atas, sepertinya diimplementasikannnya dalam
bukunya yang lain berjudul Primitive Culture: Researches into the Development og Mythology,
Phylosophy, Religion, Language Art and Custom. Dalam buku yang ditulis tahun 1874 ini, Tylor
memaparkan bahwa kebudayaan manusia dalam sejarah evolusinya berjalan melalui tiga tahap
perkembangan yang masing-masing tahapan dibedakan berdasarkan unsur ekonomi dan
teknologi yang mereka gunakan. Ketiga tahapan perkembangan kebudayaan manusia tersebut
adalah savagery, barbarian dan civilization.[6]

Pada tahap pertama (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan cara berburu dan
meramu dengan menggunakan peralatan yang mereka ciptakan dari benda-benda yang ada di
sekitar mereka, seperti kayu, tulang dan batu. Berkembang kemudian menuju tahap kedua
(barbarian) yang ditandai dengan mulainya manusia mengenal cocok tanam. Karena mulai
memahami cara menanam, maka mereka berpikir untuk menjaga agar tanaman tersebut dapat
dipelihara dan dimanfaatkan hasil sehingga mereka mulai hidup menetap di sekitar tanaman
tersebut. Tahapan kedua ini juga ditandai dengan perkembangan peralatan mereka dari yang
sebelumnya hanya terbuat dari kayu, batu dan tulang menjadi terbuat dari logam. Berkembang
kemudian menjadi tahap ketiga (civilization) atau peradaban yang ditandai dengan pengenalan
manusia dengan tulisan, kehidupan perkotaan dan kemampuan mereka membangun
bangunan-bangunan besar yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk dapat mencapai semua
itu, tentunya manusia memerlukan ilmu pengetahuan dan peralatan-peralatan yang canggih
serta yang tidak boleh terlupakan adalah memiliki kompleksitas sistem organisasi sosial.

Setelah cukup lama berinteraksi dengan paparan evolusi kebudayaan Tylor, maka dunia kajian
kebudayaan kemudian berjumpa dengan paradigma yang sama tetapi dikemukakan oleh orang
yang berbeda. Paparan-paparan teori evolusi kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan
oleh Tylor sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh Lewis Henry Morgan, seorang antropolog
Amerika. Pada awalnya Morgan dikenal sebagai seorang ahli hukum, akan tetapi karena cukup
lama berinteraksi dan tinggal dengan suku-suku Indian Iroquois di New York, ia kemudian
banyak mengenal kebudayaan suku asli benua Amerika ini. Hasil kajian etnografinya mengenai
suku Indian tempat ia lama tinggal kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul League of
the Ho-de-no-Sau-nie or Iroquois. Dalam buku ini, Morgan memaparkan susunan
kemasyarakatan dan kekerabatan yang ada dalam masyarakat suku Indian ini yang dilakukan
berdasarkan pada gejala kesejajaran yang seringkali ada dalam sistem istilah kekerabatan dan
sistem kekerabatan .[7]

Sebagai seorang yang melakukan kajian kebudayaan sekaligus juga hidup dalam era
perkembangan pesat teori evolusi kebudayaan, Morgan mengambil peranannya dalam
sustainibitas pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Tylor. Bahkan, lebih dari itu ia juga
sangat dikenal sebagai orang mengembangkan apa yang sudah dirintis oleh Tylor sebelumnya
seiring dengan banyaknya kajiannya terhadap kebudayaan Indian. Sebagai aplikasi dari
dukungan dan upaya pengembangannya terhadap teori evolusi kebudayaan, Morgan kemudian
menghasilkan sebuah buku berjudul Ancient Society yang menggambarkan proses evolusi
masyarakat dan kebudayaan manusia.[8]

Menurut Morgan, sebagaimana yang dikemukakannya dalam buku yang ditulis tahun 1877
tersebut di atas, semua bangsa di dunia telah atau sedang menyelesaikan proses evolusinya
yang melalui delapan tingkatan, yaitu:

1. Era liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api,
2. Era liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan senjata,
3. Era liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat tembikar dan
masih berprofesi sebagai pemburu,
4. Era barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok tanam,
5. Era barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat peralatan dari
logam, era barbar muda atau zaman sampai manusia mengenal tulisan, era peradaban
purba, dan era masa kini.[9]

Seiring dengan perjalanan waktu, persinggungan teori evolusi dengan beragam realitas dalam
perkembangannya terus mendapatkan tanggapan dari beragam pihak. Setidaknya tanggapan-
tanggapan yang mengemuka terhadap pandangan-pandangan kebudayaan teori evolusi dapat
dibedakan menjadi dua macam. Pandangan pertama menganggap bahwa pandangan-
pandangan yang diajukan teori evolusi melalui dua tokoh utamanya, Tylor dan Morgan, memiliki
beragam kelemahan yang harus diperbaiki. Pandangan ini tidak menolak sepenuhnya apa yang
dikemukakan dua tokoh utama generasi awal teori evolusi tersebut, tetapi tetap menerima
beberapa bagian yang mereka anggap dapat diterima dan mengganti beberapa hal yang
mereka anggap keliru serta menggantinya dengan model lain. Sedangkan kelompok kedua
adalah menolak sepenuhnya segala pandangan yang diajukan oleh teori evolusi dalam melihat
kebudayaan manusia. Kelompok kedua ini di kemudian hari dikenal dengan difusi kebudayaan
sebagai jawaban atas beragam ketidaksetujuan mereka terhadap pandangan-pandangan
kebudayaan evolusi.

Setelah melakukan beragam penelaahan terhadap pandangan-pandangan kebudayaan Tylor


dan Morgan dalam memandang kebudayaan manusia, generasi selanjutnya teori evolusi
memunculkan dua teori evolusi baru. Pertama, teori evolusi kebudayaan universal yang
dikemukakan oleh Leslie White dan teori evolusi kebudayaan multilinier yang diajukan oleh
Julian Steward.

Teori pertama disebut demikian karena paparan teori yang dikemukakan White tersebut
mencakup seluruh budaya yang ada di dunia dan tidak diperuntukkan untuk budaya tertentu
saja.[10] Untuk menjawab beragam keritikannya terhadap paparan-paparan evolusi
kebudayaan yang diajukan oleh Tylor dan Morgan sebelumnya, White mengemukakan teori
evolusinya sendiri berdasarkan sebuah kriteria yang sama sekali baru dan belum pernah
dikemukakan oleh dua pendahulunya tersebut. Kriteria ini baginya merupakan satu hal yang
memungkinkan sebuah teori evolusi menjadi bersifat objektif dan tidak seperti model yang
dikemukakan oleh Tylor dan Morgan yang menurutnya sangat subjektif. Kriteria yang diajukan
oleh White tersebut adalah berupa energi, karena menurutnya pada dasarnya setiap
kebudayaan adalah sistem yang melakukan transformasi energi.[11] Dengan menggunakan
energi sebagai standar atau tolok ukur dalam melakukan kajian terhadap fase perkembangan
suatu kebudayaan manusia, dimana hal ini tidak ada dalam teori Morgan, maka akan dapat
diukur sampai sejauh mana tingkat evolusi yang ada dalam sebuah masyarakat dapat
ditentukan secara kuantitatif.

Lebih lanjut, untuk lebih mensistematiskan model evolusi kebudayaannya yang baru ini, White
mengemukakan sebuah rumusan yang dapat memudahkan dalam melakukan kajian. White
menyebutnya sebagai sebuah hukum evolusi kebudayaan, yaitu C = E x T. Penjelasannya
adalah C merupakan kebudayaan (culture), E adalah energi (energy) sedangkan T adalah
teknologi (technology). Sebuah kebudayaan yang ada dalam sebuah komunitas masyarakat
manusia adalah dampak atau hasil hasil dari pemakaian atau penggunaan energi dan teknologi
yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-fase perkembangannya. Dengan
rumusan yang disebutnya sebagai hukum evolusi kebudayaan ini, White sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi kebudayaan dalam sebuah komunitas merupakan
hasil dari mengemukanya perubahan dalam sistem yang melakukan transformasi energi
dengan bantuan teknologi yang ada saat itu.[12] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
dalam teori mengenai evolusi kebudayaan ini terdapat beberapa konsep baru yang
diketengahkan White, yaitu thermodinamika (sistem yang melakukan transformasi energi),
energi dan transformasi.

Teori kedua diartikan Steward sebagai suatu metodologi yang digunakan untuk mengkaji
perbedaan dan kesamaan suatu budaya dengan cara memperbandingkan antara tuntunan-
tuntunan perkembangan kebudayaan yang sejalan yang biasanya terdapat di tempat-tempat
yang terpisah.[13] Seperti White yang menganggap bahwa pandangan-pandangan yang
dikemukakan oleh dua pendahulunya mengenai kebudayaan yang memiliki kelemahan pada
ketiadaan standar dalam menentukan setiap fase perkembangan kebudayaan manusia,
Steward pun melakukan hal yang sama. Meskipun demikian, titik fokus kritikan Steward
terhadap model teori evolusi terdahulu bukan pada standar yang digunakan, tetapi pada data
yang digunakan oleh Tylor dan Morgan sehingga keduanya sampai pada kesimpulan yang
memunculkan pandangan-pandangannya mengenai evolusi kebudayaan yang telah sekian
lama bercokol dalam khazanah ilmu antropologi.

Setelah melalui kajian yang memakan waktu cukup lama, Steward sampai pada suatu
kesimpulan bahwa data yang digunakan oleh kedua tokoh yang merupakan generasi awal teori
evolusi tersebut tidak berasal dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan secara benar. Untuk
membuktikan fokus kritikannya ini, Steward melakukan suatu penelitian terhadap salah satu
suku Indian yang mendiami suatu kawasan di Amerika Serikat. Dari penelitiannya ini, Steward
mendapatkan sebuah kesimpulan yang berbeda dari paparan dua pendahulunya tersebut
sekaligus juga semakin menguatkan kritikannya sebagaimana di atas, dimana ternyata suku
Indian tersebut tidak lagi mengalami evolusi sebagaimana yang diungkapkan oleh Morgan di
atas.[14]

Terdapat satu faktor, menurut Steward berdasarkan penelitian kebudayaannya, yang membuat
suatu suku Indian tidak lagi mengalami evolusi dan dapat pula terjadi pada suku-suku lainnya.
Dari kajian yang dilakukannya, Steward menyimpulkan bahwa tidak lagi berjalannya
perkembangan kebudayaan dalam sebuah komunitas, dalam konteks penelitiannya adalah
suku Indian, disebabkan karena suku tersebut telah mengalami penyesuaian atau beradaptasi
dengan lingkungan tempat mereka tinggal dan menetap dalam keseharian mereka.
Berdasarkan kesimpulan ini, maka Steward mengajukan sebuah teori baru dalam khazanah
kajian budaya, khususnya dalam rangkaian teori evolusi budaya, yaitu teori evolusi multilinier.

Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan berhubungan erat dengan kondisi
lingkungan, dimana setiap kebudayaan memiliki culture core, berupa teknologi dan organisasi
kerja.[15] Dengan demikian, terjadinya evolusi dalam sebuah kebudayaan ditentukan oleh
adanya interaksi yang terjalin antara kebudayaan tersebut dengan lingkungan yang ada di
dalamnya. Seperti halnya teori yang dikemukakan oleh White di atas, teori multilinier juga
memunculkan konsep-konsep baru yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu
lingkungan, culture core, adaptasi dan organisasi kerja.

Tokoh lainnya yang tidak kalah juga perlu mendapat perhatian dalam perbincangan mengenai
teori evolusi, khususnya setelah dua tokoh utama pada generasi awal, adalah V. Gordon Childe
yang merupakan arkeologis Inggris. Berbeda dengan White dan Steward yang begitu kokoh
dengan pendirian evolusi mereka, para pengamat menilai Childe seringkali goyah dengan
pendirian evolusinya. Untuk memaparkan pandangannya mengenai evolusi budaya, Childe
menggunakan rekaman arkeologis untuk menunjukkan bahwa apa yang dikemukakan dalam
teori evolusi menunjukkan kenyataan yang sebenarnya dalam komunitas manusia.[16] Dari
benda-benda yang dihasilkan dari penggalian arkeologis yang dilakukannya selama beberapa
waktu menunjukkan sesuatu yang semakin menguatkan pandangan evolusi, bahwa kemajuan
teknis yang dramatis dalam sejarah manusia berupa budidaya tumbuh-tumbuhan dan hewan,
irigasi, penemuan logam dan lain sebagainya terbukti telah membawa perubahan revolusioner
dalam keseluruhan jalinan kehidupan kultural yang dilakoni oleh manusia.

Benda-benda arkeologis yang ditemukan Childe makin menguatkan teori evolusi bahwa
keseluruhan pola perubahan yang terjadi dalam setiap fase perkembangan kebudayaan
manusia menunjukkan perubahan yang bersifat evolutif dan progresif.[17] Hal ini ditunjukkan
dengan adanya perubahan atau perkembangan dari satu fase ke fase selanjutnya, seperti dari
pemburu-peramu yang berpindah-pindah (nomadik) yang berada pada masa Paleolitik menjadi
seorang manusia yang bercocok tanam (holtikulturalis) yang tidak lagi nomadik atau sudah
menetap di satu tempat sebagai komunitas kempal dalam masa Neolitik.

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa pada akhir abad ke sembilan belas masehi, para
ahli antropologi yang berkecimpung dalam kajian kebudayaan manusia telah memakai
kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka
mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah
tercipta kebudayaan.[18]

C. Teori Difusi Kebudayaan

Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya
migrasi manusia.[19] Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan budaya
tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas kalau perpindahan manusia itu secara
kelompok dan atau besar-besaran, di kemudian hari akan menimbulkan difusi budaya yang luar
biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, di situlah terjadi penggabungan dua kebudayaan
atau lebih. Akibat pengaruh kemajuan teknologi-komunikasi, juga akan mempengaruhi
terjadinya difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin kompleks dan
bersifat multikultural. Dengan adanya penelitian difusi, maka akan terungkap segala bentuk
kontak dan persebaran budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kontribusi pengkajian difusi terhadap kebudayaan manusia bukan pada aspek
historis budaya tersebut, melainkan pada letak geografi budaya dalam kewilayahan dunia.

Seperti telah disebutkan pada paparan mengenai lanjutan teori evolusi sepeninggal Tylor dan
Morgan bahwa teori evolusi mendapat dua jenis kritikan yang salah satunya menentang keras
pandangan teori tersebut. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini dilontarkan pertama kali
oleh G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-1949), dua orang ahli antropologi asal
Inggris. Setelah membaca dan mempelajari banyak catatan sejarah serta benda-benda
arkeologis mengenai kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada di muka bumi, kedua
tokoh ini sampai pada suatu tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka
namakan Heliolithic Theory.[20] Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan ini,
peradaban-peradaban besar yang pernah ada di masa lampau merupakan hasil persebaran
yang berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan kajian keduanya, pernah terjadi suatu
peristiwa difusi yang sangat besar di masa lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik
utama di Mesir ini kemudian bergerak ke arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh seperti
India, Indonesia dan Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-orang Mesir yang disebut
dengan putra-putra dewa matahari ini melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke
berbagai tempat tersebut dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia
seperti emas, perak dan permata.[21]

Sebagai pendekatan yang datang setelah teori evolusi dikemukakan oleh para penganjurnya,
pada awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan teori yang munculnya sebelumnya
tersebut. Hal ini karena tokoh-tokoh teori evolusi, Tylor dan Morgan, pada dasarnya tidak
menafikan adanya kenyataan bahwa kebudayaan manusia tersebut dapat menyebar dan dapat
menyebabkan beragam perubahan akibat penyebaran tersebut.[22] Akan tetapi, keberadaan
teori difusi kebudayaan sebagai penentangan terhadap teori evolusi yang muncul sebelumnya
baru mengemuka dan mencuat ke permukaan setelah kedatangan Franz Boas bersama para
muridnya. Setelah masuknya tokoh antropolog asal Amerika ini barulah terjadi perselisihan dan
mencuatnya beragam kritikan yang dialamatkan oleh para pengusung teori difusi terhadap teori
evolusi.
Franz Boas pada dasarnya adalah seorang ahli geografi yang hidup antara tahun 1858-1942
dan berasal dari Jerman. Tokoh yang dianggap pendekar ilmu antropologi Amerika ini banyak
melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah pedalaman Amerika dan mengumpulkan bahan-bahan
etnografi yang digunakannya untuk menyusun beragam karangannya mengenai kebudayaan.
Untuk menguatkan pandangan-pandangannya mengenai kebudayaan, Boas menyatakan
bahwa penelitian difusi kebudayaan harus diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja
dan apa yang mengemuka dalam komunitas kebudayaan tertentu tersebut harus diperhatikan
secara seksama dan seteliti mungkin.[23] Model Boas ini kemudian dikenal dengan nama
partikularisme historis dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai
kajian kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan kulturschichten atau
lapisan kebudayaan.[24] Dalam kajian kebudayaan ala difusi Boas ini, unsur-unsur persamaan
yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat untuk kemudian
dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua istilah yang dikemukakan
di atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam
beragam kebudayaan dunia.

Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas kemudian dilanjutkan
oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika. Salah satu muridnya yang terkenal dan
terus menyebarkan gagasan Boas adalah Clark Wissler (1870-1947) yang berpendidikan formal
sebagai seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum of Natural History. Sepeninggal Boas,
Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai lanjutan atau pengembangan dari pemikiran
gurunya mengenai difusi kebudayaan. Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan
pembagian dari kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang
merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya.[25] Hal ini
dilakukannya karena Wissler ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan budaya dari aneka
ragam suku yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang
dilakukannya. Dengan menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam peninggalan
antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam tempat-tempatnya
yang sesuai. Dari implementasi konsep ini terhadap beragam peninggalan budaya tersebut,
Wissler berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam satu
golongan berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat mencolok dalam
kebudayaan-kebudayaan tersebut.

Penerus selenjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah AL Kroeber (1876-1960)
yang merupakan doktor hasil bimbingan tokoh penentang utama teori evolusi ini. Seperti halnya
Boas, Kroeber juga sangat mementingkan penelitian lapangan secara komprehensif yang
berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia dapatkan selama dalam bimbingan
Boas, Kroeber menerapkannya pula kepada para muridnya dengan mewajibkan mereka untuk
melakukan penelitian lapangan paling tidak selama setahun. Dalam melakukan penelitiannya,
para muridnya diharuskan mengetahui dan memahami apa yang ada dalam masyarakat tempat
mereka melakukan penelitian, seperti mampu menggunakan bahasa yang masyarakat tersebut
gunakan dan mengumpulkan beragam bahan yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.

D. Kelebihan dan Kekurangan

Setelah dilakukan paparan mengenai kedua paradigma yang muncul dalam kajian kebudayaan
sebagaimana di atas, maka didapatkan beberapa hal penting yang berkaitan dengan kedua
pandangan tersebut. Bagaimana pun juga, sebagai paradigma berbeda dengan yang ada
sebelumnya, teori evolusi telah membuka jalan bagi mengemukanya upaya manusia untuk
melihat kebudayaan manusia dari sisinya yang lain secara rasional. Inilah kelebihan awal yang
dimiliki oleh teori evolusi, karena sebagaimana diketahui bahwa pandangan masyarakat Barat
mengenai kebudayaan manusia selalu terkungkung oleh ajaran-ajaran kitab suci yang tidak
memberi ruang bagi penelaahan menggunakan sarana yang dimiliki oleh manusia. Untuk itulah
teori evolusi datang dengan menghadirkan cara pandang kebudayaan yang berbeda dengan
model yang selama ini menye;limuti pandangan masyarakat Eropa dan dapat dilakukan oleh
siapa pun juga tidak seperti model kitab suci yang menjadi hak monopoli para pendeta saja.

Kelebihan lain yang dimiliki oleh teori evolusi adalah pandangan revolusionernya mengenai
adanya tahapan-tahapan perkembangan yang dilalui oleh setiap komunitas manusia.
Pandangan ini merupakan hal yang baru, ketika itu, dalam kajian kebudayaan yang sekian lama
terkungkung oleg dogma agama yang mengikat cara pandang masyarakat. Kelebihan lainnya
yang ada dalam teori ini adalah dipakainya untuk pertama kalinya hasil penelitian lapangan
yang berasal dari berbagai tempat sebagai acuan untuk mengungkapkan adanya fase
perkembangan kebudayaan manusia, sebagaiamana yang dikemukakan oleh Tylor dan
Morgan. Kelebihan lainnya adalah digunakannya standar atau tolok ukur untuk melihat adanya
perbedaan dalam setiap fase perkembangan kebudayaan, sebagaimana yang dikemukakan
oleh White dengan standar energinya dan Steward dengan adaptasi lingkungannya.

Namun demikian, di samping kepemilikannya terhadap beragam kelebihan sebagaimana yang


tampak di atas, teori evolusi juga memiliki beragam kelemahan. Menurut analisis Thomas G.
Harding, kelemahan paparan Morgan dalam pengajuan teori evolusinya adalah terletak pada
ketidakpeduliannya terhadap bagaimana mekanisme yang dilakukan oleh manusia untuk maju
dari satu tahap ke tahap perkembangan lainnya.[26] Sementara itu menurut catatan Leslie
White, kelemahan Morgan adalah karena kajian yang dilakukannya sehingga menghasilkan
rumusan dan kesimpulan sebagaimana di atas sangat subjektif dan tidak memiliki standar atau
acuan yang jelas.[27] Sedangkan berdasarkan kajian Julian Steward, kelemahan Morgan
adalah terletak pada data yang digunakannya dalam penelitian hingga memunculkan
kesimpulannya sebagaimana di atas.[28] Data yang dipakai oleh Morgan, menurut Steward,
tidak didapatkan dari hasil kajian lapangan terhadap suatu kebudayaan tertentu dengan cara
yang serius layaknya yang disyaratkan oleh sebuah penelitian ilmiah. Hal ini dibuktikan dengan
penelitian Steward terhadap salah satu suku Indian di Amerika Serikat yang ternyata tidak lagi
mengalami evolusi sebagaimana yang diungkapkan oleh Morgan di atas.

Sebagaimana yang juga ada dalam teori evolusi yang menjadi paradigma pendahulu, teori
difudi kebudayaan juga memiliki kelebihan yang patut menjadi catatan dalam kajian antropologi.
Teori difusi memiliki kelebihan karena merupakan pandangan awal yang menyatakan bahwa
kebudayaan yang ada merupakan sebaran dari kebudayaan lainnya. Di samping itu, dari sini
terdapat cara pandang baru yang meletakkan dinamika dan perkembangan kebudayaan tidak
hanya dalam bentang waktu saja, tetapi juga dalam bentang ruang, sebagaimana yang
diperlihatkan oleh Perry dan Smith dalam pemikirannnya. Kelebihan lainnya adalah para
pengusung teori ini telah menggunakan analisis komparatif yang berlandaskan pada standar
kualitas dan kuantitas dalam menentukan wilayah persebaran kebudayaan sebagaimana yang
yang mereka yakini. Kelebihan lainnya adalah para penyokong teori ini sangat memperhatikan
setiap detail catatan mengenai kebudayaan sehingga mereka mendapatkan beragam hubungan
atau keterkaitan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Dan kelebihan yang
terpenting dari teori ini adalah penekanan mereka pada penelitian lapangan untuk mendapatkan
data yang lebih dan akurat, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Boas yang kemudian diikuti
oleh para murid yang menjadi pengikutnya selanjutnya.
Meskipun demikian, seperti halnya juga yang ada dalam teori evolusi, teori difusi tidak lepas
pula dari beragam kelemahan atau kekurangan. Secara umum, teori difusi kebudayaan memiliki
kelemahan dari sisi data karena tidak memilki dukungan data yang cukup dan akurat dan
pengumpulan data tidak dilakukan melalui prosedur dan metode penelitian yang jelas.[29] Hal
ini misalnya tampak pada kesimpulan teori ini yang mengatakan bahwa peradaban-peradaban
kuno di bumi sebenarnya berasal dari orang-orang Mesir. Hal ini memperlihatkan pandangan
para pengusungnya yang sangat Mesir-Sentris hanya karena kekaguman mereka dan
keterpesonaan mereka dengan kebudayaan negeri Firaun ini setelah lama melakukan
penelitian di tempat ini.[30]

Kelemahan lain yang ada dalam teori ini adalah terletak pada metode yang mereka gunakan
dalam melakukan penelitian yang tidak memperbandingkan kebudayaan-kebudayaan yang
saling berdekatan. Dalam penelitiannya, para pengusung teori ini hanya melakukannya
berdasarkan pada ketersediaan data yang ada saja karena pada kenyataannya untuk sampai
pada sebuah kesimpulan sebagaimana di atas mereka tidak pernah melakukan penelitian
lapangan yang menjadi tuntutan untuk mengemukakan sebuah pernyataan yang berujung pada
pembentukan teori.[31]

Kelemahan lainnya yang terdapat dalam teori ini adalah karena keterikatan mereka dengan
catatan sejarah sebagai bagian dari model teori yang mereka gunakan. Akibatnya, tidak semua
sejarah yang berkaitan dengan suku-suku tertentu dapat diungkapkan karena beragam sebab
yang diantaranya karena belum adanya peneliti yang melakukan kajian terhadap suku tersebut.
Hal ini sebagaimana yang dikritik oleh Malinowski dan Brown yang melakukan penelitian
sejarah terhadap suku yang masih sederhana di kalangan orang Andaman. Tetapi karena
keterbatasan data yang menerangkan mengenai keberadaan mereka, maka penelitian dengan
menggunakan teori difusi sebagaimana yang dikemukakan oleh Boas dan kawan-kawannya
sulit untuk dilakukan.

F. Kesimpulan

Dari paparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu kajian kebudayaan yang
mewujud dalam teori evolusi merupakan respon terhadap pandangan masyarakat Eropa yang
lama terkungkung oleh ajaran dogmatis gereja. Teori evolusi memandang bahwa kebudayaan
manusia senantiasa mengalami perkembangan dengan masing-masing melalui fase-fase
perkembangan. Metode yang digunakan dalam teori ini adalah dengan cara melakukan
klasifikasi tingkatan kebudayaan berdasarkan pada tolok ukur tertentu. Selanjutnya, dapat pula
disimpulkan bahwa teori difusi datang sebagai kritikan terhadap pandangan-pandangan yang
diajukan oleh teori evolusi mengenai kebudayaan manusia. Menurut teori difusi, kebudayaan
manusia merupakan sebaran dari kebudayaan inti karena alasan yang ada dalam masyarakat
saat itu. Metode yang mereka gunakan adalah dengan cara memperhatikan unsur-unsur yang
terdapat dalam kebudayaan tersebut berdasarkan catatan-catatan dan hasil penelitian yang
mereka lakukan. Dari metode yang kedua teori tersebut gunakan, kemudian memunculkan teori
yang kemudian menghasilkan pandangan-pandangan yang menjadi ciri khas paradigma
tersebut dibandingkan dengan yang lain.

Masing-masing teori yang diajukan sebagaimana di atas memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan utama evolusi budaya adalah sebagai pendobrak tradisi yang ada dalam masyarakat
Eropa dalam memandang kebudayaan dengan menggunakan akal berdasarkan hasil kajian
dan penelitian yang mereka lakukan. Sedangkan kelemahannya adalah banyak menggunakan
data yang bukan dari hasil penelitian lapangan yang sesungguhnya. Sedangkan kelebihan
utama difusi adalah penggunaan data lapangan yang lebih baik dibandingkan dengan teori
evolusi sedangkan kelemahannya adalah terlalu mengandalkan catatan sejarah padahal tidak
setiap suku yang akan diteliti memiliki catatan sejarah yang lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

https://roedijambi.wordpress.com/2010/02/11/teori-evolusi-dan-difusi-kebudayaan-
analisis-komparatif-terhadap-dua-paradigma-dalam-antropologi/

Contoh Difusi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia adalah berbagai kata yang ada
dalam Bahasa Indonesia merupakan hasil serapan dari bahasa asing dan bahasa-
bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa, Sunda, dan lain-lain.
You might also like:

a. Difusi (Penyebaran)

Difusi adalah suatu proses menyebarnya unsur-unsur kebudayaan dari satu kelompok ke kelompok lainnya atau dari satu
masyarakat ke masyarakat lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, difusi dinyatakan sebagai proses penyebaran
atau perembesan suatu unsur kebudayaan dari satu pihak kepada pihak lain. W.A. Haviland menyatakan bahwa difusi
adalah penyebaran kebiasaan atau adat istiadat dari kebudayaan satu kepada kebudayaan lain. Proses difusi berlangsung
menggunakan teknik meniru atau imitasi. Meniru lebih mudah daripada menciptakan sendiri, terutama tentang hal-hal
yang baru. Beberapa contoh proses terjadinya difusi, di antaranya sebagai berikut.

1. Unsur-unsur budaya timur dan barat yang masuk ke Indonesia dilakukan dengan teknik meniru. Misalnya,
penyebaran agama Islam melalui media perdagangan, berikut cara berdagang yang jujur, dan model pakaian
yang digunakan, lambat laun ditiru oleh masyarakat.
2. Cara berpakaian para pejabat kolonial Belanda ditiru oleh penguasa pribumi.
3. Cara orang Minangkabau membuka warung nasi dan cara orang Jawa membuka warung tegal.
4. Cara makan yang dilakukan orang Eropa dengan menggunakan sendok ditiru oleh orang Indonesia.

Adapun jenis difusi yang dilakukan, antara lain sebagai berikut.

1) Penyebaran intra masyarakat, dipengaruhi antara lain sebagai berikut.

a) Fungsinya dirasakan cocok dan berguna bagi kehidupan masyarakat.


b) Unsur-unsur budaya daerah mudah diterima atau diserap, contohnya unsur-unsur kebudayaan material dan teknologi,
seperti bahan makanan, pakaian, dan alat-alat per tanian.
c) Unsur-unsur budaya daerah sangat digemari karena keindahan dan rasa.

2) Penyebaran antar masyarakat, dipengaruhi antara lain:

a) kontak antar masyarakat;


b) penyebarannya;
c) ada tidaknya kebudayaan yang menyaingi unsur-unsur penemuan baru.

Bentuk penyebaran yang mendapat perhatian dari para antropolog, di antaranya sebagai berikut.

1. Symbiotic adalah pertemuan antar individu dari satu masyarakat dan individu-individu dari masyarakat lainnya
tanpa mengubah kebudayaan masing-masing. Contohnya proses barter yang terjadi antara orang suku
pedalaman Kongo dan orang suku pedalaman Togo di Afrika.
2. Penetration pasifique adalah masuknya kebudayaan asing dengan cara damai dan tidak disengaja dan tanpa
paksaan. Misalnya, masuknya para pedagang dari Gujarat, Persia dan Arab yang berniat berdagang, tetapi tanpa
disadari menyebarkan agama Islam.
3. Penetration violente adalah masuknya kebudayaan asing dengan cara paksa. Misalnya, kewajiban melakukan
seikirei pada masa penjajahan Jepang di Asia.
Peristiwa yang terjadi pada belahan bumi yang lain dapat disaksikan dan didengarkan pada waktu yang bersamaan, meski
orang berada di wilayah yang sangat jauh dari tempat berlangsungnya kejadian tersebut. Peristiwa peperangan di negara-
negara Balkan atau bencana kelaparan yang terjadi di Afrika dengan mudah dan cepat dapat segera diketahui dalam
hitungan detik, bahkan secara langsung dapat diketahui saat itu juga. Arus globalisasi informasi semakin mempermudah
proses difusi kebudayaan, setelah teknologi internet semakin berkembang sehingga pembauran kebudayaan asing tidak
bisa dihindarkan. Hal ini juga berarti semakin mempermudah terjadinya proses pembauran atau per campuran pada suatu
bangsa.

Você também pode gostar