Você está na página 1de 4

UU Desa Sesat, Desa Hancur..

Dalam sebuah catatan yang saya peroleh dari tulisan AA GN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko
yang menyebutkan bahwa dalam Pertemuan TIM PAKAR DEPDAGRI 3 Oktober lalu
mendiskusikan isu desa, yang berupaya menemukan cantolan (interface) antara daerah dan
desa dalam penyempurnaan UU No. 32/2004.
Cantolan desa dalam UU Pemerintahan Daerah ini selanjutnya akan dijabarkan dalam RUU
Desa disebutkan bahwa setidaknya ada empat alasan pemerintah tidak menjadikan sebagai
daerah tingkat III.
Pertama, konstitusi tidak mengamanatkan desentralisasi sampai ke desa.
Kedua, konsep desa sebagai daerah otonom tingkat III akan mempersulit dan memperumit
otonomi daerah.
Ketiga, kondisi desa-desa di Indonesia mempunyai tipologi yang sangat beragam, sehingga
pengaturan desa tidak bisa disusun dalam sebuah format yang seragam, seperti halnya dengan
skema daerah otonom tingkat III.
Keempat, tidak semua desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan Negara (state
government), tetapi sebaiknya juga mengakomodasi bentuk pemerintahan komunitas
(community governance) yang dikelola sendiri oleh komunitas setempat, atau disebut dengan
self governing community.
Ada beberapa hal yang kemudian menggelitik untuk dicermati yaitu :
Tidak ada Amanat Konstitusi Desentralisasi Desa?
Bagaimana konstitusi tidak mengamanatkan desentralisasi sampai ke desa, sedang dalam UU
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan Pasal 7 ayat (1) disebut
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah hirarki perundangan setelah UUD
sebelum Undang undang, dan dalam desentralisasi sampai tingkat desa ada Tap MPR No IV
tahun 2000.
Dalam Tap IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah dalam Rekomendasi nomor 7 menyebutkan :
Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan
daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar
terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undangundang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbagan Keuangan antar Pemerintah
Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi,
kabupaten/kota, desa/nagari/marga, dan sebagainya.
Jadi tidak benar bila tidak ada cantolan konstitusi untuk memberdayakan dan atau
mengatur otonomi sampai tingkat desa. Dan oleh karenanya sangatlah layak dan menjadi
sebuah keharusan konstitusi, bahwa UU Desa kedepan harus merupakan penjelasan tentang
otonomi tingkat III, bukan sekedar menjadikan desa sebagai local-self community, atau
pelaksana tugas pelayanan semata.
Desa sebagai daerah otonom tingkat III akan mempersulit dan memperumit otonomi
daerah..?
Sebenarnya sejauhmana kerumitan yang sebenarnya terjadi, ketika dalam proses
pembangunan nasional kita mengnal musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan)
mulai dari desa / kelurahan hingga tingkat Nasional.
Musrenbang, identik dengan diksusi di masyarakat / kelurahan tentang kebutuhan
pembangunan daerah. Musrenbang merupakan agenda tahunan di mana warga saling
bertemu mendiskusikan masalah yang mereka hadapi dan memutuskan prioritas
pembangunan jangka pendek. Ketika prioritas telah tersusun, kemudian di usulkan kepada
pemerintah di level yang lebih tinggi, dan melalui badan perencanaan daerah (BAPPEDA)
Kabupaten / Kota, Propinsi hingga BAPPENAS.
Ketika pemerintah berpikir otonomi tingkat III mempersulit dan memperumit otonomi
daerah, maka dapat diartikan proses musrenbang yang dilakukan hanya program
penghamburan anggaran oleh pemerintah, karena esensinya musyawarah dari tingkat
desa/kelurahan dan kecamatan bukanlah hal yang perlu dilakukan.
Desa sangat beragam, tidak bisa disusun dalam sebuah format yang seragam?
Dalam hal pemerintah menyampaikan tidak diperlukan adanya format yang seragam tentang
desa, mengapa harus disusun UU Desa. Ini adalah bentuk ini konsistensi dasar berpikir
pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri atau Presiden.
Menjadi sebuah Ambivalensi ketika dalam semangat mengakui keragaman desa dan
membuka ruang bagi daerah kabupaten/kota untuk mengatur hal-hal tentang desa-desa di
wilayahnya berdasarkan asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat
setempat dan sekedar menjadikan desa sebagai local-self community, tetapi mengatur dan
menata Desa demikian detail dalam sebuah UU Desa.
Akan menjadi lebih baik bila RUU Desa dalam pengaturan desa tidak sangat detail sehingga
benar benar mampu memberikan ruang untuk Kabupaten Kota atau Propinsi sebagai
kepanjangan pemerintah Pusat untuk membuat perda tentang Desa yang benar benar
mendasar pada asal usul, adat istiadat dan nilai nilai sosial budaya masyarkat setempat / lokal.
Atau bahkan tidak perlu ada UU Desa, cukup UU Pemerintah Daerah yang didalamnya
mengatur Desa.
Desa pemerintahan komunitas dengan self governing community.?
Pemahaman tentang Self Govermening Community adalah pengelolaan tata kelola
pemerintah yang dilakukan oleh komunitas. Ciri Self Govermening Community adalah :
1. Komunitas mempunyai inisiatif untuk menyelenggarakan urusan-urusan bersama
secara sukarela
2. Pengambilan keputusan atas urusan bersama itu dilakukan oleh komunitas
3. Keputusan itu mengikat warga anggota komunitas
4. Penyelenggaraan urusan bersama itu dilakukan oleh komunitas
Dan dari pemahaman tersebut, maka apabila pemerintah dan DPR sepakat menjadikan desa
dikelola dalam Self Govermening Community, ada beberapa hal yang perlu diicermati :
1. UU Desa tidak perlu mengatur Tugas, Wewenang, Hak, Kewajiban dan Larangan
Kepala Desa cukup mengatur tentang wewenang, hak dan kewajiban pemerintah
komunitas desa
2. UU Desa tidak menempatkan PNS dalam struktur pemerintah komunitas desa.
3. UU Desa tidak perlu mengatur masa jabatan dan periodisasi kepala desa, biarkan
pemerintah komunitas desa yang mengatur berdasarkan kesepakatan komunitasnya.
4. UU Desa tidak perlu mengatur struktur dan pengelompokan perangkat desa, biarkan
pemerintah komunitas desa mengatur kebutuhan perangkat desanya.
5. UU Desa tidak perlu mengatur lembaga lembaga desa, cukup memberikan hak
pemerintah komunitas desa untuk membentuk lembaga desa sesuai kebutuhan
komunitasnya.
6. UU Desa tidak perlu mengatur alokasi dana untuk Desa, karena desa memiliki hak
untuk mengatur dan mengelolaan SDA yang dimilki untuk keperluan komunitasnya.
UU Desa jangan jadi alat pengendalian, penjajahan dan penghisapan desa untuk
Negara.
Dalam hal pengaturan yang tidak jelas dasar dan semangatnya, maka sangat mungkin Negara
sedang berusaha menguasai desa dengan segenap sumberdaya yang dimilikinya. Pengaturan
yang detail tentang pemerintah desa, sementara mendasar pada semangat Self Govermening
Community pada saat diminta tanggungjawab mensejahterakan, jelas sebuah tanda perusakan
dan pelemahan desa.
Jangan sampai UU Desa akhirnya hanya akan menumbuh suburkan
1. Tuan tanah / investor karena desa tidak mempunyai hak agraria atas pengaturan
penggunaan tanah yang ada dlam wilayahnya
2. Birokrasi Desa yang korup dan kaptalistik karena memberikan kekuasaan yang besar
kepada kepala desa tanpa kekuatan pengawasan masyarakat. Beberapa hak kekuatan
kepala desa dalam RUU Desa adalah :
3. Kepala desa mempunyai tugas, hak dan wewenang menyelenggarakan urusan
pemerintahan,pembangunan dan kemasyarakatan tanpa adanya lembaga masyarkat
yang memiliki fungsi kontrol
4. Kepala desa mempunyai hak menjadi hakim perdamaian desa dan keputusan bersifat
final dan mengikat bagi pihak-pihak terkait.
5. BPD berkedudukan sebagai lembaga permusyawaratan dan permufakatan bukan
sebagai lembaga kontrol pelaksanaan pemerintah desa.
Mari kita cermati dengan seksama RUU Desa dan proses pembahasannya, jangan
sampai UU Desa menjadi bagian dari UU yang dibuat atas pesanan pihak lain. Ingat
kata MS Kaban bahwa ada 141 UU yang dibuat pasca reformasi adalah UU pesanan
dari pihak asing untuk menguasai dan merugikan bangsa dan Negara Indonesia.

Você também pode gostar