Você está na página 1de 14

Biografi Bunda Teresa

Bunda Teresa, seorang yang memberi hatinya untuk melayani di tengah-tengah masyarakat

miskin di India.Dilahirkan di Skopje, Albania pada 26 Agustus 1910, Bunda Teresa merupakan

anak bungsu dari pasangan Nikola dan Drane Bojaxhiu. Ia memiliki dua saudara perempuan dan

seorang saudara lelaki. Ketika dibaptis, ia diberi nama Agnes Gonxha. Ia menerima pelayanan

sakramen pertamanya ketika berusia lima setengah tahun dan diteguhkan pada bulan

November 1916.

Ketika berusia delapan tahun, ayahnya meninggal dunia, dan meninggalkan keluarganya dengan

kesulitan finansial. Meski demikian, ibunya memelihara Gonxha dan ketiga saudaranya dengan

penuh kasih sayang. Drane Bojaxhiu, ibunya, sangat memengaruhi karakter dan panggilan

pelayanan Gonxha.

Ketika memasuki usia remaja, Gonxha bergabung dalam kelompok pemuda jemaat lokalnya

yang bernama Sodality. Melalui keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan yang dipandu oleh

seorang pastor Jesuit, Gonxha menjadi tertarik dalam hal misionari. Tampaknya hal inilah yang

kemudian berperan dalam dirinya sehingga pada usia tujuh belas, ia merespons panggilan

Tuhan untuk menjadi biarawati misionaris Katolik.


Pada tanggal 28 November 1928, ia bergabung dengan Institute of the Blessed Virgin Mary,

yang dikenal juga dengan nama Sisters of Loretto, sebuah komunitas yang dikenal dengan

pelayanannya di India. Ketika mengikrarkan komitmennya bagi Tuhan dalam Sisters of Loretto,

ia memilih nama Teresa dari Santa Theresa Lisieux.

Suster Teresa pun dikirim ke India untuk menjalani pendidikan sebagai seorang biarawati.

Setelah mengikrarkan komitmennya kepada Tuhan, ia pun mulai mengajar pada St. Marys High

School di Kalkuta. Di sana ia mengajarkan geografi dan katekisasi. Dan pada tahun 1944, ia

menjadi kepala sekolah St. Mary.

Akan tetapi, kesehatannya memburuk. Ia menderita TBC sehingga tidak bisa lagi mengajar.

Untuk memulihkan kesehatannya, ia pun dikirim ke Darjeeling.

Dalam kereta api yang tengah melaju menuju Darjeeling, Suster Teresa mendapat panggilan

yang berikut dari Tuhan; sebuah panggilan di antara banyak panggilan lain. Kala itu, ia

merasakan belas kasih bagi banyak jiwa, sebagaimana dirasakan oleh Kristus sendiri, merasuk

dalam hatinya. Hal ini kemudian menjadi kekuatan yang mendorong segenap hidupnya. Saat itu,

10 September 1946, disebut sebagai Hari Penuh Inspirasi oleh Bunda Teresa.

Selama berbulan-bulan, ia mendapatkan sebuah visi bagaimana Kristus menyatakan kepedihan

kaum miskin yang ditolak, bagaimana Kristus menangisi mereka yang menolak Dia, bagaimana

Ia ingin mereka mengasihi-Nya.


Pada tahun 1948, pihak Vatikan mengizinkan Suster Teresa untuk meninggalkan ordonya dan

memulai pelayanannya di bawah Keuskupan Kalkuta. Dan pada 17 Agustus 1948, untuk pertama

kalinya ia memakai pakaian putih yang dilengkapi dengan kain sari bergaris biru.

Ia memulai pelayanannya dengan membuka sebuah sekolah pada 21 Desember 1948 di

lingkungan yang kumuh. Karena tidak memiliki dana, ia membuka sekolah terbuka, di sebuah

taman. Di sana ia mengajarkan pentingnya pengenalan akan hidup yang sehat, di samping

mengajarkan membaca dan menulis pada anak-anak yang miskin. Selain itu, berbekal

pengetahuan medis, ia juga membawa anak-anak yang sakit ke rumahnya dan merawat mereka.

Tuhan memang tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya berjuang sendirian. Inilah yang

dirasakan oleh Bunda Teresa tatkala perjuangannya mulai mendapat perhatian, tidak hanya

individu-individu, melainkan juga dari berbagai organisasi gereja.

Pada 19 Maret 1949, salah seorang muridnya di St. Mary bergabung dengannya. Diinspirasi oleh

gurunya itu, ia membaktikan dirinya untuk pelayanan kasih bagi mereka yang sangat

membutuhkan.

Segera saja mereka menemukan begitu banyak pria, wanita, bahkan anak-anak yang sekarat.

Mereka telantar di jalan-jalan setelah ditolak oleh rumah sakit setempat. Tergerak
John Sung

John Song Shang Jie (Hanzi sederhana: ; Hanzi tradisional: ; pinyin: Sng Shng-

Je; Wade-Giles: Sung4 Shang4-Chieh2) atau Sung Siong Geh atau lebih dikenal sebagai John

Sung (29 September 1901 18 Agustus 1944) adalah seorang penginjil yang terkenal dari RRC

pada abad ke-20. Ia menjadi terkenal setelah mengadakan serangkaian perjalanan ke beberapa

daerah di RRC, Taiwan, dan Asia Tenggara dan melakukan pekabaran Injil dan kebaktian-

kebaktian kebangunan rohani kepada orang-orang Tionghoa perantauan yang membawa ribuan

orang kepada iman Kristen. Sung mendapat gelar "Obor Allah di Asia".[1][2]

Riwayat

John Sung dilahirkan di desa Hong Chek, wilayah kota Putian (Hing-hwa), provinsi Fukien

(Fujian), RRC, pada tanggal 27 September 1901. Ia mulai berkhotbah sejak usia remaja.

Kemudian ia mendapat beasiswa dari Gereja Metodis untuk belajar di Amerika Serikat. Tahun

1926 John Sung memutuskan untuk menjadi seorang pekabar Injil. Upayanya dimulai dengan

berkeliling RRC dari tahun 1927 hingga 1934.[3]

Mulai tahun 1935, Sung memulai perjalanan penginjilan di Asia. Perjalanan meliputi Filipina,

Singapura, Thailand, dan juga Indonesia. Di Indonesia, Sung berkeliling ke beberapa kota, seperti
Madiun, Solo, Jakarta, Bogor, Cirebon, Semarang, Magelang, dan Yogyakarta. Pengaruh

kedatangan Sung amat besar terhadap berdirinya gereja-gereja Tionghoa di Jawa.[1]

[sunting] Referensi dan pranala luar.

Carlos Filipe Ximenes Belo

Carlos Filipe Ximenes Belo (lahir 3 Februari 1948; umur 64 tahun) adalah seorang uskup Katolik

Roma yang bersama dengan Jos Ramos Horta menerima Penghargaan Perdamaian Nobel 1996,

untuk usaha mereka "menuju penyelesaian yang adil dan damai atas konflik di Timor Timur". Di

Indonesia, dia lebih sering disebut Uskup Belo.

Biografi

Anak ke-5 dari Domingo Vaz Filipe dan Ermelinda Baptista Filipe, Carlos Filipe Ximenes Belo

dilahirkan di desa Wailakama, dekat Vemasse, di pesisir utara Timor Timur. Ayahnya, seorang

guru sekolah, meninggal dua tahun kemudian. Masa kecilnya dihabiskan di sekolah Katolik di

Baucau dan Ossu, lalu ia pindah ke seminari kecil Dare, di luar kota Dili dan lulus pada 1968. Dari

1969 sampai 1981, selain dari masa latihan kerja (1974-1976) di Timor Timur dan di Makau, dia

berada di Portugal dan Roma setelah menjadi anggota dari Serikat Salesian. Di sana dia belajar

filsafat dan teologi sebelum diresmikan menjadi pastur pada 1980.

Kembali ke Timor Timur pada Juli 1981 dia menjadi guru selama 20 bulan, dan kemudian,

selama dua bulan, menjadi Direktur di Kolese Salesian di Fatumaca. Ketika Martinho da Costa

Lopes mengundurkan diri pada 1983, Carlos Filipe Ximenes Belo ditunjuk Administratur

Apostolik Diosis Dili menjadi pemimpin Gereja Timor Timur dan bertanggung jawab secara

langsung kepada Paus. Pada 1988 dia ditahbiskan sebagai Uskup di Lorium, Italia.

Pastor Belo adalah pilihan Duta Besar Vatikan di Jakarta dan pemimpin Indonesia karena ia

kelihatan penurut, tetapi ia bukan pilihan dari pastor Timor Timur yang tidak menghadiri
penahbisannya. Namun dalam waktu lima bulan sejak dia menjabat posisinya dia memprotes

keras, dalam khotbahnya di Katedral, terhadap kebrutalan pembantaian Kraras (1983) dan

mengutuk penahanan banyak orang oleh pemerintah Indonesia. Gereja merupakan satu-

satunya institusi yang mampu berkomunikasi dengan dunia luar. Dengan pemahaman ini

Administrator Apostolik yang baru ini mulai menulis banyak surat dan membangun hubungan

dengan luar negeri, meskipun pihak Indonesia berusaha untuk semakin mengisolasinya

sementara dunia pada umumnya dan Gereja Katolik tidak kelihatan berminat.

[sunting] Timor Timur

Pada Februari 1989 dia menulis kepada Presiden Portugal, Paus, dan Sekretaris Jenderal PBB,

menyerukan referendum PBB mengenai masa depan Timor Timur dan meminta pertolongan

dunia internasional untuk Timor Timur, yang "sekarat sebagai manusia dan negara". Namun

ketika surat ke PBB itu menyebar luar pada April, dia semakin menjadi target pemerintah

Indonesia. Keadaan yang mengancam ini makin meningkat ketika Uskup Belo memberikan

perlindungan di rumahnya, yang dia lakukan beberapa kali, bagi orang muda yang melarikan diri

dari pembantaian Santa Cruz (1991), dan berusaha untuk mengungkapkan jumlah korban yang

terbunuh.

Usaha Uskup Belo yang berani ini atas nama orang-orang Timor Timur dan dalam

mengusahakan perdamaian dan rekonsiliasi diakui dunia internasional ketika, bersama Jos

Ramos Horta, dia diberikan Penghargaan Perdamaian Nobel pada Desember 1996. Uskup Belo

memanfaatkan penghormatan ini melalui pertemuan-pertemuannya dengan Bill Clinton dari

Amerika Serikat dan Nelson Mandela dari Afrika Selatan.

[sunting] Pasca kemerdekaan Timor Timur


Setelah kemerdekaan Timor Timur pada 20 Mei 2002, tekanan dari berbagai peristiwa dan

kecemasan yang berlanjut yang ditanggungnya mulai memukul kesehatan Uskup Belo. Paus

Yohanes Paulus II menerima pengunduran dirinya sebagai Vikar Apostolik Dili pada 26

November 2002.

Setelah pengunduran dirinya sebagai Vikar Apostolik, Uskup Belo pergi ke Portugal untuk

menjalani perawatan kesehatan. Pada awal 2004, ia menerima panggilan berulang-ulang untuk

kembali ke Timor Timur dan mencalonkan diri menjadi presiden. Namun pada Mei 2004, ia

mengatakan kepada televisi pemerintah Portugal, RTP, bahwa ia tidak akan membiarkan

namanya dicalonkan. "Saya telah memutuskan untuk menyerahkan politik kepada para

politikus," katanya. Sebulan kemudian, pada 7 Juni, 2004, Pascul Chavez, pemimpin Serikat

Salesian, mengumumkan dari Roma bahwa Uskup Belo, yang kini telah sehat kembali, akan

mendapat penugasan baru. Dalam persetujuan dengan Takhta Suci, ia akan pergi ke Mozambik

sebagai misionaris, dan akan tinggal di negara itu sebagai anggota dari Serikat Salesian.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada 8 Juni, Uskup Belo menjelaskan: "Setelah dua

pertemuan pada 2003 dan 2004 dengan Yang Mulia Kepala Kongregasi untuk Penginjilan kepada

Bangsa-bangsa, saya menawarkan diri untuk melayani Kerajaan Allah dalam pelayanan misi, di

luar Timor Timur, di Mozambik. Lebih tepatnya lagi di Diosis Maputo. Pergi dalam sebuah misi

adalah impian yang selalu saya simpan sejak masa remaja saya. Selain itu, selama 19 tahun

pelayanan saya sebagai uskup di Dili (1983-2002), salah satu pokok yang paling sering saya

bicarakan adalah tentang misi dan pentingnya menjadi misionaris. Hari ini waktunya telah tiba

untuk menjalankan apa yang saya katakan kepada orang-orang Kristen di Timor Timur."

Pada Juli 2004, Uskup Belo memikul tugas misinya di Maputo, Mozambik.
Biografi John Wesley (pengkotbah yang berapi-api)

Pada abad ke-18, Gereja Inggris (Church of England) tidak terlibat dalam isu-isu keagamaan

maupun sosial saat itu. Kepemimpinan dalam gereja tersebut sebagian besar diduduki oleh

orang-orang yang diangkat berdasarkan kepentingan politik. Kependetaannya diselimuti

kedunguan, dan orang gereja yang tulus jarang ada. Bahkan pengaruh rasionalisme dan deisme

(kepercayaan yang didasarkan pada akal semata) dalam kependetaannya membuat Gereja

Anglikan tidak menyadari kebutuhan rohani jemaatnya. Keberhasilan besar John Wesley adalah

melihat perlunya membawa agama kepada orang banyak yang terabaikan itu.

Wesley lahir di Epworth, Lincolnshire, pada 17 Juni 1703. Dia adalah anak ke-15 dari 19 anak

Samuel Wesley, seorang pendeta Anglikan yang melaksanakan tugas penggembalaannya

dengan serius dan menanamkan hal ini kepada anaknya. Ibu John, seorang wanita dengan

tingkat kerohanian yang tinggi, mendidik anak-anaknya dengan ketat dan tegas berdasarkan

aturan-aturan moral kekristenan, menanamkan dengan kuat konsep belas kasih, kepedulian,

dan tugas keagamaan.

Tahun 1714, Wesley masuk ke Charterhouse School, dan Christ Church, Oxford, pada tahun

1720. Setelah menerima gelar "Bachelor of Arts" (BA) pada 1724, ia ditahbiskan menjadi diaken

di Gereja Inggris pada tahun 1725 dan dipilih sebagai anggota pengurus Lincoln College, Oxford,

pada tahun 1726. Pada tahun berikutnya, dia menjadi asisten ayahnya yang adalah seorang

pendeta dan kemudian dinobatkan sebagai pendeta pada tahun 1728. Kembali ke Oxford pada

1729, Wesley, selain mengerjakan tugas-tugasnya sebagai pengurus di Lincoln, juga aktif di

persekutuan rohani tempat saudaranya, Charles, biasa bersekutu. Holy Club, yang disebut

"Metodis" oleh para kritikusnya, berkumpul secara rutin untuk berdiskusi dan belajar. Para
anggota kelompok ini bersatu dalam doa, menghadiri ibadah gereja, mengunjungi narapidana,

dan memberi bantuan pada orang yang membutuhkan. Holy Club adalah salah satu tempat di

mana Wesley sangat memberi pengaruh, dan dia segera menjadi pemimpin kelompok itu.

Pelayanan di Georgia

Didukung dengan pengalaman selama bertahun-tahun di Oxford dan keinginan untuk

menerapkan prinsip-prinsip Holy Club di tempat lain, Wesley menerima undangan James

Oglethorpe pada tahun 1735 untuk menjadi pendeta di koloni Georgia yang baru saja dibangun.

Bersama saudaranya, Charles, Wesley menghabiskan masa 2 tahun yang mengecewakan di

dunia baru tersebut. Meskipun bersemangat menyebarkan Injil, dia ditolak oleh para kolonis

dan diterima dengan tidak antusias oleh orang-orang Indian. Selain itu, dia juga terlibat dalam

masalah percintaan, yang membawanya dalam publisitas yang tidak diinginkan -- terlibat dalam

kasus pengadilan. Tahun 1737, Wesley kembali ke Inggris.

Selama tinggal di Georgia, Wesley bukannya tidak mendapatkan apa-apa. Setelah dan selama

perjalanan 2 tahunnya tinggal di Georgia, dia benar-benar dipengaruhi oleh para misionaris

Moravian. Rasa percaya diri dan komitmen spiritual mereka dalam kesalehan praktis,

membuatnya terkesan.

Pertobatan dan Khotbah

Di Inggris, Wesley terus menjalin hubungan dengan orang-orang Moravian. Dalam salah satu

pertemuan mereka di Aldersgate Street, London, pada 24 Mei 1738, dia mengalami pertobatan

ketika mendengarkan pembacaan pendahuluan Marthin Luther tentang Surat Roma. "Saya
percaya pada Kristus, Kristus saja, yang memberi keselamatan, dan saya mendapat suatu

jaminan, bahwa Dia telah mengambil dosa-dosa saya, menyelamatkan saya dari penghukuman

dan kematian karena dosa."

Melalui komitmen pribadi ini, walaupun kemudian hubungannya dengan orang-orang Moravian

rusak, Wesley dikaruniai kerinduan untuk menyampaikan pesan ini ke seluruh Inggris. Menemui

para pendeta tidak simpatik atau masa bodoh dan sebagian besar pendeta memusuhinya

sampai-sampai menutup pintu gereja mereka baginya, dengan meneladani apa yang dilakukan

para pengkhotbah seperti George Whitefield, Wesley memulai pelayanan keliling yang

berlangsung selama lebih dari 50 tahun. Terpaksa berkhotbah di luar gereja membuatnya

terbiasa berkhotbah di luar ruangan, dan kemudian mulai menjangkau banyak orang, khususnya

di kota-kota, tentang sesuatu yang sangat tidak diperhatikan oleh Gereja Inggris.

Wesley, seorang pria kecil (dengan tinggi badan 5 kaki 6 inci dan berat 120 pon), selalu harus

berdiri di atas kursi atau podium ketika dia berkhotbah. Rata-rata dia berkhotbah lima belas kali

seminggu, dan jurnal pribadinya mengindikasikan bahwa dia berkhotbah sebanyak lebih dari

40.000 kali selama kariernya, bepergian menyusuri seluruh penjuru Inggris -- yang bila ditotal

adalah lebih dari 250.000 mil -- selama masa ketika jalanan sering kali hanyalah tanah lumpur.

Berkhotbah bukanlah hal yang mudah; orang banyak sering kali tidak bersahabat. Namun,

Wesley cepat belajar seni berbicara dan, meski ditentang, khotbah-khotbahnya mulai

mendapatkan perhatian masyarakat. Banyak orang segera bertobat, berkali-kali menunjukkan

tanda-tanda fisik, seperti serangan tiba-tiba atau tidak sadarkan diri.

Organisasi Methodism
Sejak awal, Wesley memandang gerakannya sejalan dengan Gereja Inggris; tidak bertentangan.

Namun, ketika dia berhasil membuat banyak orang di seluruh Inggris bertobat, orang- orang itu

membentuk komunitas-komunitas yang Wesley harapkan memiliki peran yang sama dalam

ranah Anglikan seperti halnya ordo monastik di Gereja Katholik Roma. Dia terus-menerus

mengambil bagian yang agak otoriter dalam kehidupan komunitas itu, mengunjungi mereka

secara berkala, menyelesaikan perselisihan, dan mengeluarkan orang- orang yang suka

melawan. Konferensi tahunan dari seluruh gerakan memberinya kesempatan untuk membuat

kebijakan. Di bawah kepemimpinannya, setiap komunitas dibagi-bagi dalam "kelas" yang

mengurus masalah keuangan, dan "kelompok" yang merancang standar moralitas pribadi.

Selain itu, Wesley menulis banyak karya teologis dan menyunting 35 volume literatur Kristen

untuk kemajuan masyarakat. Seorang pemimpin yang tidak pernah lelah dan sempurna, dia

menjaga gerakannya terus berhasil dengan baik meskipun muncul berbagai pertentangan.

Namun, pertentangan yang terus-menerus antara pendeta Anglikan, ditambah dengan

penolakan mereka untuk menahbiskan pendeta Metodis, memaksa Wesley memisahkan diri

menjelang akhir hidupnya. Tahun 1784, dia membuat deklarasi yang mengamankan keabsahan

kaum Metodis setelah kematiannya. Pada tahun yang sama, dengan enggan dia menobatkan

dua orang untuk melayani sebagai "pemimpin" kaum Metodis di Amerika Utara. Dia terus

berusaha menyediakan para pendeta untuk Inggris, tetapi dengan sangat hemat dan dengan

sangat ragu-ragu. Wesley selalu mengatakan bahwa dia secara pribadi setia terhadap Gereja

Inggris.

Metodisme memiliki dampak penting terhadap masyarakat Inggris. Metodisme membawa

agama kepada banyak orang yang, melalui pergeseran populasi yang diakibatkan oleh revolusi
industri, tidak dijangkau oleh gereja Anglikan. Selain itu, Metodisme membawa manfaat pada

banyak hal dalam Gereja Inggris maupun jemaat yang tidak setuju. Dengan menekankan

moralitas, disiplin diri, dan penghematan untuk kelas-kelas yang dihilangkan, beberapa

sejarawan menganggap Wesley sebagai kekuatan utama yang menjaga Inggris bebas dari

revolusi dan meluasnya kegelisahan sosial pada zamannya. Dia sendiri secara politik konservatif,

seorang pengkritik demokrasi, dan musuh revolusi Amerika maupun Perancis.

Selama hidupnya, orang yang paling Wesley percaya adalah saudara laki-laki dan rekan

kerjanya, Charles, komposer sejumlah himne terkenal. Wesley, yang kesehatannya luar biasa

baik, tetap aktif hingga akhir hidupnya, menyampaikan khotbah terakhirnya pada suatu

pertemuan luar ruangan, 4 bulan sebelum kematiannya pada 2 Maret 1791 di London. (t/Ratri)

Abraham Lincoln (lahir di Hardin County, Kentucky, 12 Februari 1809 meninggal di

Washington, D.C., 15 April 1865 pada umur 56 tahun) adalah Presiden Amerika Serikat yang ke-

16, menjabat sejak 4 Maret 1861 hingga terjadi pembunuhannya.[1] Dia memimpin bangsanya

keluar dari Perang Saudara Amerika, mempertahankan persatuan bangsa, dan menghapuskan

perbudakan. Namun, saat perang telah mendekati akhir, dia menjadi presiden AS pertama yang

dibunuh.[rujukan?] Sebelum pelantikannya pada tahun 1860 sebagai presiden pertama dari
Partai Republik, Lincoln berprofesi sebagai pengacara, anggota legislatif Illinois, anggota DPR

Amerika Serikat, dan dua kali gagal dalam pemilihan anggota senat.[2]

Sebagai penentang perbudakan, Lincoln memenangkan pencalonan presiden Amerika Serikat

dari Partai Republik pada tahun 1860 dan kemudian terpilih sebagai presiden.[rujukan?] Masa

pemerintahannya diwarnai dengan kekalahan dari pihak Negara Konfederasi Amerika, yang pro

perbudakan, dalam Perang Saudara Amerika.[rujukan?] Dia mengeluarkan dekrit yang

memerintahkan penghapusan perbudakan melalui Proclamation of Emancipation pada tahun

1863, dan menambahkan Pasal ketiga belas ke dalam UUD AS pada tahun 1865.[3]

Lincoln mengawasi perang secara ketat, termasuk pemilihan panglima perang seperti Ulysses S.

Grant.[rujukan?] Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa Lincoln mengorganisir faksi-faksi dalam

Partai Republik dengan baik, membawa tiap pemimpin faksi ke dalam kabinetnya dan memaksa

mereka bekerja sama.[rujukan?] Lincoln berhasil meredakan ketegangan dengan Inggris

menyusul Skandal Trent pada tahun 1861.[rujukan?] Di bawah kepemimpinannya pihak Utara

berhasil menduduki wilayah Selatan dari awal peperangan.[rujukan?] Lincoln kemudian terpilih

kembali sebagai presiden AS pada tahun 1864.[rujukan?]

Para penentang perang mengkritisi Lincoln karena sikapnya yang menolak berkompromi

terhadap perbudakan.[rujukan?] Sebaliknya, kaum konservatif dari golongan Republikan

Radikal, faksi pro penghapusan perbudakan Partai Republik, mengkritisi Lincoln karena sikapnya

yang lambat dalam penghapusan perbudakan.[rujukan?] Walaupun terhambat oleh berbagai

rintangan, Lincoln berhasil menyatukan opini publik melalui retorika dan pidatonya; pidato

terbaiknya adalah Pidato Gettysburg.[rujukan?] Mendekati akhir peperangan, Lincoln bersikap

moderat terhadap rekonstruksi, yaitu mendambakan persatuan kembali bangsa melalui


kebijakan rekonsiliasi yang lunak. Penggantinya, Andrew johnson, juga mendambakan

persatuan kembali orang kulit putih, tapi gagal mempertahankan hak para budak yang baru

dibebaskan.[rujukan?] Lincoln dinilai sebagai presiden AS yang paling hebat sepanjang sejarah

Amerika.[4]

Você também pode gostar