Você está na página 1de 9

Nama : Hasna Mujahidah

NIM : 04011381320025
Kelas : PDU A 2013
Tutorial 9

Learning Issue

EBV
Epstein-Barr virus (EBV) merupakan virus herpes yang umum menginfeksi sebagian
besar populasi dunia (90%). Di negara berkembang, EBV sering dihubungkan dengan
rendahnya kondisi sosial ekonomi dan infeksi primernya terjadi pada masa kanak-kanak
tanpa diikuti gejala klinis yang berarti. Di negara maju, infeksi terjadi pada usia remaja dan
biasanya diikuti manifestasi mononukleosis infeksiosa dengan gejalagejala menyerupai flu
(flu-like syndrome).
Infeksi primer EBV terjadi pada sel limfosit B, dan secara in vitro mengakibatkan sel-
sel tersebut mampu berproliferasi tidak terbatas. Setelah infeksi primer, EBV memasuki fase
laten dan menetap di dalam tubuh inang. Fase ini ditandai dengan terbentuknya antibodi IgG
terhadap antigen-antigen EBV yang dapat dideteksi pada konsentrasi rendah. Berbagai situasi
seperti induksi bahan kimia, paparan sinar UV dan hormon dapat memicu fase litik EBV.
Pada fase litik, EBV mengalami replikasi dan membentuk virion yang mampu menginfeksi
lebih banyak sel limfosit B. EBV terbukti memiliki hubungan etiologi dengan beberapa jenis
keganasan, seperti limfoma Burkitt, limfoma sel B dan T, keganasan pascatransplantasi, oral
hairy leukoplakia pada penderita AIDS, penyakit Hodgkin, keganasan lambung serta
karsinoma nasofaring (KNF).
Pada penderita KNF, dijumpai kadar antibodi IgG dan IgA yang tinggi terhadap
protein-protein EBV. Tingginya respons IgA terhadap protein EBV merupakan ciri khas
KNF, karena keganasan ini terjadi di sel epitel (mukosa) nasofaring. Beberapa studi di Cina
dan Taiwan menunjukkan bahwa subjek normal dengan titer antibodi relatif serupa penderita
KNF memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi KNF. Oleh penelitian-penelitian
tersebut serologi dipergunakan sebagai metode penegakan diagnosis KNF yang bersifat tidak
invasif.
Terdapat dua fase infeksi EBV yaitu litik dan laten. EBV menginfeksi sel epitel di
orofaring dan rest sel limfosit B. Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik
menghasilkan replikasi virus dan pelepasan virion dari sel. Sebaliknya infeksi primer sel B
biasanya menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi 8 protein tanpa produksi virion. Latensi
dari sel B terinfeksi ini dinamakan sel limfoblastoid yang bertransformasi atau immortal dan
bereplikasi tanpa batas.
- Infeksi Laten
Infeksi primer sel B biasanya menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi 8 protein tanpa
produksi virion. Pada infeksi laten, hanya sedikit dari hampir 100 gen EBV yang
diekspresikan. Gen-gen laten tersebut yakni 6 EBNA, 2 LMP, 2 Eber, dan transkrip dari
BamHI A region dari genom. Hanya EBNA-1 dan LMP1 yang juga terekspresi pada fase
litik. Penelitian selanjutnya menunjukan bahwa 5 dari gen-gen di atas penting untuk
transformasi sel B.
Tabel 2. Contoh Protein fase laten infeksi EBV
Protein Dibutuhkan untuk Fungsi
transformasi
EBNA-1 Ya Maintenance episomal,
Upregulasi gen virus
EBNA-2 Ya Upregulasi gen virus dan
seluler
EBNA-3 A,C ya, B tidak Menghambat aktivitas
EBNA-2, upregulasi gen
seluler
EBNA-LP Mungkin Augmentasi aktivitas
EBNA-2
LMP-1 Ya Signaling CD40, c-jun
terminase kinase,
upregulasi multiple gen
seluler, onkogen
LMP-2 Tidak Mencegah reaktivasi EBV
dari latensi
Singkatan : EBNA (EpsteinBarr nuclear antigen); EBNA-LP, (EpsteinBarr
nuclear antigen leader protein); LMP, (latent membrane protein).
EBNA-1
EBNA-1 diekspresikan selama infeksi laten dan litik dan selalu terlibat dalam semua infeksi
EBV terkait keganasan. EBNA-1 sangat penting transformasi sel-B oleh infeksi EBV.
EBNA-1 berisi glisin-alanin repeat region yang berperan sebagai cis yang menghambat
degradasi protein jalur ubiquitinproteosomal. Jalur ini penting dalam proses pembelahan
protein menjadi peptida kecil untuk mempresentasikan molekul MHC (major
histocompatibility complex) kelas I pada T-sel sitotoksik. Kemampuan EBNA-1 untuk
menghambat degradasi inilah yang menjadi dasar pemikiran kemungkinkan sel
mengekspresikan protein untuk menghindari perusakan oleh T-sel sitotoksik terbatas kelas I.
Transfer glisin-alanin yang terulang untuk protein lain memungkinkan protein lain
menghindari degradasi di proteosom.
EBNA2
EBNA-2 diperlukan untuk transformai sel B oleh EBV. EBNA-2 berperan sebagai
upregulator ekspresi protein virus dan seluler. EBNA-2 juga merangsang ekspresi LMP1 dan
LMP2. EBNA-2 meregulasi ekspresi CD21 (cluster of differentiaton), CD23, c-FGR, dan c-
myc. CD21 adalah reseptor dan CD23 akan diekspresikan pada permukaan sel B yang telah
bertransformasi karena EBV. Bentuk terlarut dari CD23 berperan sebagai faktor pertumbuhan
pada sel yang terinfeksi EBV dan CD23 akan berperan sebagai stimulator autokrin
pertumbuhan sel, c-FGR yang merupakan tirosin kinase penting untuk pertumbuhan sel B
dan disregulasi c-myc berhubungan dengan proliferasi sel B yang tidak terkendali.
EBNA-3A,3B,3C
Ada 3 jenis protein EBNA-3 : EBNA-3A, EBNA-3B, dan EBNA-3C yang hadir bersama-
sama dalam genus virus. Protein EBNA-3 meng-upregulasikan ekspresi gen seluler dan virus.
EBNA-3C meningkatkan ekspresi CD21 dan LMP-1, dan EBNA-3B meregulasi ekspresi
CD40 dan bcl-2( B-cell lymphoma 2).
LMP-1
LMP-1 terekspresi dalam fase laten maupun litik dari sel-B yang terinfeksi. LMP-1
diperlukan untuk transformasi sel-B yang terinfeksi EBV. LMP-1 berfungsi sebagai onkogen.
Pada percobaan tikus transgenik yang mengekspresikan LMP-1 dalam sel-B berkembang
menjadi limfoma sel-B. Tikus transgenik yang mengekspresikan LMP-1 di kulit berkembang
menjadi hiperplasi epitel dengan meningkatnya ekspresi dari keratin. LMP-1 merupakan
analog fungsional dari CD40 yang merupakan anggota reseptor TNF (tumor necrosis factor).
LMP-1 memiliki efek antiapoptotik pada sel.
LMP-2A, 2B
Fungsi LMP-2 yaitu untuk mencegah reaktivasi EBV dari fase laten sel B yang terinfeksi.
Ekspresi LMP-2 pada sel B dari seekor tikus transgenik memberikan kemungkinan bagi sel
untuk hidup dalam keadaan absennya sinyal receptor sel B yang normal. Ekspresi LMP-2 di
sel epitel menyebabkan transformasi sel tersebut.
- Infeksi Litik
EBV mengkodekan sekitar 90 protein yang diekspresikan selama replikasi pada fase litik.
Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik menghasilkan replikasi virus dan pelepasan
virion dari sel Seperti virus herpes lain protein ini diklasifikasikan menjadi immediate-early,
early, dan late proteins. Immediate early protein, yang ditranskripsikan segera paska infeksi
dengan adanya penghambat sintesis protein. Early protein diekspresikan dengan adanya
penghambat sintesis DNA virus, sedangkan late protein tidak ditranskripsikan. Secara umum
gen Immediate-early penting untuk mengatur ekspresi gen dalam virus, Early protein
mengkodekan enzim yang penting untuk replikasi DNA virus, dan late protein mengkodekan
protein struktural dari virion.
Tabel 3. Contoh Protein Fase Litik pada Infeksi EBV 20
Protein Kelas Ekspresi Fungsi
BZLF1 IE Transkripsional aktivator
BRLF1 IE Transkripsional aktivator
BALF5 E DNA polymerase
BXLF1 E Thymidine kinase
BCLF1 L Viral capsid antigen
gp350 L Glikoprotein mayor virus
gp85 L Fusi virus ke limfosit B
gp42 L Terikat pada molekul MHC kelas II
limfosit B

- Protein yang diuji dengan immunoblot


VCA-p18
VCA-p18 merupakan late protein pada fase litik infeksi EBV. VCA-p18 sering
dikombinasikan bersama EBNA1 untuk mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas lebih tinggi
dalm mendeteksi KNF.
ZEBRA
Protein EBV immediate-early dikode oleh BZLF1 and BRLF1. BZLF1 juga dinamakan Z
EpsteinBarr replication activator (ZEBRA). Pada penelitian terdahulu diketahui bahwa titer
antibodi IgG-ZEBRA meningkat seiring dengan perkembangan limfonodi pada kelompok
pasien usia muda, yang menunjukan bahwa hal ini dapat dipakai sebagai alat prognostik pada
kelompok usia ini.
VCA-p40
VCA-p40 atau BdRF1 merupakan packaging protein. Pada penelitian Fachiroh reaktivitas
IgA-EBV absen dalam semua sampel kecuali pada kontrol yang bukan pasien KNF, yang
menunjukan reaksi lemah pada rekognisi IgG dan IgA dari Protein EA-p47/54 (BMRF1) and
VCA-p40 (BdRF1).
EA-p47/54
Disebut juga BMRF1 yang berfungsi dalam replikasi DNA. Pada penelitian Fachiroh
reaktivitas IgA-EBV absen dalam semua sampel kecuali pada kontrol yang bukan pasien
KNF, yang menunjukan reaksi lemah pada rekognisi IgG dan IgA dari Protein EA-p47/54
(BMRF1) and VCA-p40 (BdRF1).
DNAse
p55-DNAse atau BGLF5 merupakan enzim Alkaline exonuclease. Pada penelitian Paramita
D DNAse memberikan sensitifitas 90.4% dan spesifisitas 95.5% untuk diagnosis KNF pada
IgG maupun IgA ELISA.
TK
p65-TK atau BXLF1 merupakan suatu Thymidine kinase. Pada penelitian Paramita D DNAse
memberikan sensitifitas 90.4% dan spesifisitas 95.5% untuk diagnosis KNF pada IgG
maupun IgA ELISA.
EBNA1
EBNA1 adalah protein diekspresikan pada KNF secara konsisten. Pada beberapa penelitian
EBNA1 sering dikombinasikan bersama VCA-p18 untuk memperoleh sensitifitas dan
spesifisitas lebih tinggi dalam mendeteksi KNF secara dini.

Pemeriksaan Histopatologi, Serologi, Immunohistokimia

- Pemeriksaan Histopatologi
1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada keratinizing squamous cell carcinoma dijumpai adanya diferensiasi dari
selsquamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk
pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel
radang limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor
berbentuk poligonal dan bertingkat. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular
bridge. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang
banyak mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.
2. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell
carcinomamemperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Sel-sel
menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridgeyang
samar-samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil,
rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol.
3. Undifferentiated Carcinoma
Gambaran undifferentiated carcinoma berupa kelompokan sel-sel berukuran besar
yang tidak berdiferensiasi, batas sel tidak jelas, inti bulat sampai oval, vesikular inti,
membesar dan khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang,
dijumpai latar belakang sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. Sel-sel tumor sering
tampak terlihat tumpang tindih. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai
infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga
sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma,
eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang).
Terdapat dua bentuk undifferentiated carcinoma yaitu tipe Regauds (terdiri dari
kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat
fibrous dan sel-sel limfosit) dan tipe Schmincke (sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus
dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell
malignant lymphoma). Inti sel tumor berbeda antara karsinoma nasofaring dan large cell
malignant lymphoma. Pada karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan
pinggir inti yang rata dan berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil.
Pada malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan anak
inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik.4,5,6
4. Basaloid Squamous Cell Carcinoma
Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous. Sel-sel
basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan
sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada
beberapa kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat
in situ atau invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas.

- Pemeriksaan Serologi
Metode standar serodiagnosis EBV pada KNF adalah immunofluorescence assay
(IFA), tetapi metode ini tidak praktis, subjektif dan relatif mahal. Pemeriksaan ELISA IgA
(EBNA 1+VCAp-18) merupakan metode yang sudah dikembangkan,4,5,6 tetapi aplikasi
ELISA hanya dapat dilakukan di laboratorium menengah, memerlukan kecakapan teknis
yang memadai dan memerlukan waktu beberapa jam untuk mengetahui hasilnya.
Diagnosis dini KNF sangat sulit oleh karena secara anatomi letak nasofaring
tersembunyi sehingga tidak menimbulkan gejala yang khas, maka penderita sering datang
berobat dalam stadium lanjut (advance stage). Oleh karena itu, skrining KNF dapat
dilakukan pada populasi berisiko tinggi, salah satunya pada individu dengan gejala-gejala
kronis di daerah kepala dan leher.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar IgA dengan karakter KNF pada
individu dengan gejala kronis di daerah kepala dan leher, serta mengetahui apakah kadar
IgA dapat digunakan sebagai tanda awal terjadinya KNF. Diharapkan individu dengan
gejala kronis di daerah kepala dan leher dapat diobservasi secara ketat untuk mengetahui
potensi perkembangan KNF berdasarkan kadar IgA dengan karakter KNF, dengan
demikian kasus KNF dapat diantisipasi dan ditangani pada stadium lebih dini.
Darah penderita diambil sebanyak 5 ml untuk pemeriksaan IgA (EBNA1+VCA p-18)
dengan teknik ELISA seperti yang dijelaskan pada publikasi sebelumnya.7 Pemeriksaan
ELISA ini bertujuan untuk mengetahui seroreaktivitas IgA (EBNA1+VCAp18), dengan
nilai (OD450) 0,3536 dimasukkan dalam kategori rendah dan di atas nilai tersebut
dimasukkan dalam kategori tinggi.

- Pemeriksaan Immunohistokimia
Imunohistokimia adalah teknik untuk mendeteksi adanya antigen pada jaringan dengan
menggunakan antibodi yang terikat enzim sehingga presipitat terwarnai dan lokasi antigen
dapat dilihat di bawah mikroskop. Imunohistokimia dilakukan menggunakan antibodi primer
COX-2 (code M3617, clones CX-294, monoclonal; DAKO Jepang, dilusi 1:1000). Untuk
antibodi sekunder digunakan streptavidin horse radish peroxidase-conjugated goat anti-
mouse DAKO Jepang, dilusi 1:10000. Pewarnaan dilakukan menggunakan chromogen.
Ekspresi protein COX-2 adalah spesimen yang didapat dari jaringan biopsi penderita KNF
pra dan pasca radioterapi. Irisan serial dengan ketebalan 5 m didapatkan dari tiap spesimen
untuk pewarnaan hematoksilin-eosin dan imunohistokimia.
Dinyatakan:
1. Ekspresi protein COX-2 meningkat dan selanjutnya disebut sebagai positip bila didapatkan
warna merah kecoklatan pada sel tumor dalam satu lapangan pandang mikroskop binokuler
dengan pembesaran 400 kali. Selanjutnya ekspresi protein COX-2 dinyatakan persen per
lapang pandang.
2. Ekspresi protein COX-2 tidak meningkat dan selanjutnya disebut negatip apabila
didapatkan warna kebiruan pada sel tumor dalam satu lapang pandang mikroskop binokuler
dengan pembesaran 400 kali.

a b

a) Ekspresi Protein COX-2 pada penderita KNF pra dan pasca-RT dengan Pewarnaan IHK,
pada kelompok respons tinggi (respons lengkap). b) Pembesaran 400-Olympus BX 50
Model BX- 50F-3. Pentax Optio 230 Digital Camera 2.0 Megapixel.
Analisis Masalah

- Apa penyebab benjolan pada kasus?


Jawab:
Benjolan dianggap signifikan apabila telah mencapai ukuran 1,5 cm. Benjolan (masa) di
leher dengan ukuran <1,5 cm hanya membutuhkan observasi rutin kecuali ditemukannya
peningkatan level keganasan. Ketiga penyebab yang dapat menimbulkan benjolan di
leher adalah neoplasma (kanker), masa jinak, dan infeksi.
Pada kasus penyebab benjolan terjadi karena kanker dengan karakteristik sebagai berikut
nyeri, berbentuk keras, imobile, melekat dengan jaringan disekitarnya, membesar
perlahan.

- Apakah faktor risiko timbulnya tumor di leher sebelah kiri?


Jawab:

- Bagaimana cara pemeriksaan patologi anatomi untuk karsinoma nasofaring?


Jawab:

- Apa hubungan EBV dengan kebiasaan mengonsumsi terasi, ikan asin, dan produk
awetan lainnya?
Jawab:

- Bagaimanakah langkah-langkah pemeriksaan PCR-RFLP?


Jawab:

Você também pode gostar