Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Segala puji dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas telah dapat
diselesaikannya penulisan analisis ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan. Analisis Kebijakan Pengamanan Perdagangan Indonesia di Negara Tujuan
Ekspor merupakan salah satu kajian yang bersifat jangka pendek yang dilaksanakan
oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri pada Tahun Anggaran 2013.
Kami menyadari bahwa analisis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan penyempurnaan.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, yang secara
langsung dan tidak langsung telah membantu penyelesaian kajian ini. Semoga Analisis
ini akan menggugah pembaca untuk memahami permasalahan perdagangan
internasional lebih lanjut.
I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................... 1
I.1. Latar Belakang.......................................................................................................................................... 1
I.2. Tujuan Penelitian .................................................................................................................................... 2
I.3. Ruang Lingkup Analisis ........................................................................................................................ 2
I.4. Metodologi Analisis ................................................................................................................................ 3
II. KETENTUAN UMUM TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DALAM WTO ............ 3
II.1. Ketentuan Umum Anti-Dumping..................................................................................................... 3
II.2. Ketentuan Umum Safeguard ............................................................................................................. 5
II.3. Ketentuan Umum Subsidi dan Tindakan Imbalan .................................................................... 7
III. PERKEMBANGAN TINDAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN DI DUNIA ...................... 9
III.1. Perkembangan Kasus Anti-Dumping ........................................................................................... 9
II.2. Perkembangan Kasus Safeguard ...................................................................................................13
II.3. Perkembangan Kasus Tindakan Imbalan (Countervailing).................................................15
IV. ANALISIS KEBIJAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN INDONESIA ...............................18
IV.1. Penanganan Kasus-kasus Tindakan Pengamanan Perdagangan yang dikenakan
terhadap Indonesia...........................................................................................................................18
IV.2. Studi Kasus Penanganan Tindakan Pengamanan Terhadap Produk Glass Block
Indonesia di Pasar Thailand..........................................................................................................21
IV.2. Potensi Dampak Tindakan Pengamanan Perdagangan terhadap Kinerja Ekspor
Indonesia ..............................................................................................................................................24
IV.3. Pengalaman Perusahaan-perusahaan Indonesia yang terkena Tindakan
Pengamanan Perdagangan di Negara Tujuan Ekspor.........................................................27
V. PENUTUP ..............................................................................................................................................28
V.1. Kesimpulan.............................................................................................................................................29
V.2. Rekomendasi .........................................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................................31
ANALISIS KEBIJAKAN PENGAMANAN PERDAGANGAN INDONESIA
DI NEGARA TUJUAN EKSPOR
I. PENDAHULUAN
1
Kinerja ekspor sangat penting bagi Indonesia untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,
terlebih untuk mengimbangi tingginya laju impor beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan hal tersebut, kajian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
kebijakan pengamanan perdagangan Indonesia mendukung pencapaian target ekspor
nasional. Dalam hal ini, diperlukan perhitungan mengenai taksiran besaran kerugian
nilai ekspor apabila pemerintah Indonesia tidak berhasil memperjuangkan akses pasar
di negara tujuan ekspor. Pengalaman pelaku usaha yang terkena tindakan pengamanan
perdagangan di negara tujuan ekspor juga sangat penting untuk mengetahui gambaran
yang komprehensif mengenai dampak yang ditimbulkan oleh hambatan perdagangan
tersebut. Analisis ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pengambil
kebijakan akan pentingnya upaya-upaya pengamanan ekspor Indonesia. Selanjutnya,
hasil rekomendasi diharapkan dapat membantu Kementerian Perdagangan dalam
meningkatkan peranya dalam memfasilitasi produsen domestik yang mengalami
hambatan perdagangan di luar negeri serta mengamankan pasar ekspor Indonesia di
dunia.
2
I.4. Metodologi Analisis
Pengumpulan data dan informasi dalam analisis ini dilakukan dengan metode
deskriptif. Analisis kebijakan pegamanan perdagangan Indonesia didasarkan pada
upaya yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan pada tahun 2012-2013. Data
sekunder digunakan untuk menaksir seberapa besar potensi nilai yang akan hilang
(kerugian nilai ekspor) jika usaha pengamanan perdagangan tidak berhasil. Sementara,
turun lapang (interview) ditujukan terhadap pelaku usaha yang terkena tuduhan
maupun telah dikenakan tindakan pengamanan definitif di negara tujuan ekspor.
3
dalam rangka mendekatkan harga ekspor dengan "nilai normal" atau untuk menghapus
kerugian industri dalam negeri di negara pengimpor.
Perhitungan tingkat dumping pada suatu produk tidaklah cukup. Tindakan anti-
dumping hanya dapat diterapkan jika dumping merugikan industri di negara
pengimpor. Oleh karena itu, penyelidikan rinci harus dilakukan sesuai dengan aturan
yang ditetapkan terlebih dahulu. Penyelidikan harus mengevaluasi semua faktor
ekonomi yang relevan terkait keadaan industri bersangkutan. Jika penyelidikan
menunjukkan bahwa dumping telah berlangsung dan industri dalam negeri mengalami
kerugian (injury), perusahaan ekspor dapat secara sukarela menaikkan harga ke tingkat
yang disepakati untuk menghindari bea masuk anti-dumping.
4
masing memasok kurang dari 3% impor tersebut secara kumulatif mencapai 7% atau
lebih dari total impor).
Perjanjian menetapkan kriteria untuk kerugian serius (serious injury) dan faktor-
faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan dampak dari impor. Tindakan
safeguard harus diterapkan hanya sejauh yang diperlukan untuk mencegah atau
memulihkan kerugian serius dan untuk memfasilitasi penyesuaian. Jika nantinya
direkomendasikan untuk dikenakan pembatasan kuantitatif (kuota) impor, maka
5
jumlah kuota yang ditetapkan tidak boleh kurang jumlah impor rata-rata selama tiga
tahun terakhir, kecuali dengan pembenaran/justifikasi yang jelas untuk ditetapkan pada
tingkat yang berbeda dalam rangka mencegah atau memperbaiki kerugian serius.
Tindakan safeguard tidak akan berlaku untuk produk dari anggota negara
berkembang, jika bagian dari anggota negara berkembang pada impor produk yang
bersangkutan tidak melebihi 3%, dan bahwa negara berkembang yang pangsa impornya
kurang dari 3% secara kolektif tidak melebihi 9% dari total impor produk yang
bersangkutan. Suatu negara berkembang memiliki hak untuk memperpanjang masa
penerapan tindakan safeguard untuk jangka waktu hingga dua tahun di luar waktu
maksimum normal.
6
GATT 1994. Namun, tindakan tersebut tidak diperbolehkan untuk tiga tahun pertama
dari tindakan safeguard jika sesuai dengan ketentuan perjanjian, dan diambil sebagai
hasil dari peningkatan mutlak atas impor.
Kategori kedua adalah subsidi yang dapat ditindak (actionable). Perjanjian ini
menetapkan bahwa tidak ada negara anggota WTO yang melalui penggunaan subsidi
menyebabkan efek samping bagi kepentingan negara anggota lainnya, yaitu kerugian
industri dalam negeri dari negaralain, pembatalan atau gangguan dari manfaat yang
diperoleh secara langsung atau tidak langsung dengan negara anggota yang
menandatangi Perjanjian Umum GATT (khususnya manfaat dari konsesi tarif terikat),
dan prasangka yang serius (serious prejudice) bagi kepentingan anggota lain. Prasangka
7
serius harus dianggap ada pada subsidi tertentu termasuk ketika total ad valorem
subsidi produk melebihi 5%. Dalam situasi seperti ini, beban pembuktian ada pada
anggota pemberi subsidi untuk menunjukkan bahwa subsidi tersebut tidak
menyebabkan prasangka serius terhadap anggota yang melakukan komplain . Negara
anggota yang terpengaruh oleh subsidi jenis ini dapat merujuk hal tersebut kepada
badan Penyelesaian Sengketa. Dalam hal dampak negatif tersebut ada, maka negara
anggota pemberi subsidi harus menarik subsidi atau menghapus efek negatifnya.
Kategori ketiga yaitu subsidi yang tidak dapt ditindak (non-actionable), baik
berupa subsidi non-spesifik ataupun subsidi khusus yang melibatkan bantuan terhadap
penelitian sektor industri dan kegiatan pembangunan pra-kompetitif, bantuan kepada
daerah tertinggal, atau jenis bantuan tertentu untuk menyesuaikan fasilitas yang ada
terhadap adanya pemberlakuan suaru perundangan/peraturan. Apabila negara lain
percaya bahwa subsidi non-actionable mengakibatkan efek samping yang serius pada
industri dalam negerinya, dimungkinkan bagi mereka untuk mungkin mencari
pemecahan dan rekomendasi terkait masalah tersebut.
8
Perjanjian tersebut mengakui bahwa subsidi dapat memainkan peran penting
dalam program pembangunan ekonomi negara-negara berkembang dan negara-negara
transisi dari sistem ekonomi terpusat ke sistem ekonomi pasar . Negara-negara kurang
berkembang dan negara-negara berkembang yang memiliki GNP per kapita kurang dari
USD 1.000 dibebaskan dari ketentuan subsidi ekspor dan memiliki pengecualian terikat
waktu dari subsidi terlarang lainnya. Untuk negara-negara berkembang lainnya,
larangan subsidi ekspor akan berlaku 8 tahun setelah berlakunya perjanjian
pembentukan WTO, dan mereka memiliki pembebasan terikat waktu dari subsidi
terlarang lainnya. Investigasi tindakan imbalan suatu produk yang berasal dari anggota
negara berkembang akan dihentikan jika tingkat keseluruhan subsidi tidak melebihi 2%
(dari negara-negara berkembang tertentu sebesar 3%) dari nilai produk, atau jika
volume impor bersubsidi kurang dari 4% dari total impor untuk produk sejenis. Untuk
negara-negara transisi, subsidi yang dilarang harus dihapus dalam jangka waktu 7
tahun sejak tanggal berlakunya perjanjian.
Sejak terbentuknya WTO pada tahun 1995, negara anggota WTO sudah aktif
menerapkan trade remedy. Pada kurun waktu 1995-2012 tuduhan dumping yang
dituduhkan oleh negara anggota WTO sudah mencapai 4.230 kasus, yang melibatkan 47
negara penuduh dan 103 negara tertuduh. Menurut data WTO, pada tahun 1995
terdapat 157 kasus dumping yang dituduhkan oleh beberapa negara WTO dan pada
tahun 2011 tuduhan dumping mencapai puncaknya dengan jumlah sebanyak 372 kasus.
Sementara itu kasus tuduhan dumping pada tahun-tahun berikutnya cenderung
menurun dengan trend -3,6% per tahun. Pada tahun 2012 jumlah kasus dumping yang
dituduhkan oleh negara WTO berjumlah 208 kasus, mengalami peningkatan sebesar
25% dari tahun 2011 yang hanya 166 kasus.
9
(16,0%), Amerika Serikat (11,1%), dan Uni Eropa (10,7%). India menempati urutan
pertama penuduh dumpin dengan rata-rata tuduhan sebanyak 38 kasus per tahun.
Dari total 4.230 tuduhan dumping selama 1995-2012, kurang lebih setengahnya
saja (2.719 kasus) yang dapat dibuktikan terjadinya dumping dan benar-benar
dikenakan tindakan anti-dumping. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa meskipun telah
terjadi penurunan tarif impor namun hambatan perdagangan di dunia masih ada. Empat
negara teratas yang paling banyak mengenakan tindakan anti-dumping memiliki urutan
yang sama sebagaimana negara yang menuduh dumping. Negara-negara tersebut adalah
India, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Argentina. Sementara itu, Brasil yang menempati
urutan ke-5 negara penuduh dumping dengan 279 kasus ternyata menempati peringkat
ke-7 negara yang mengenakan tindakan anti-dumping dengan 133 kasus. Dalam hal ini,
Brasil sangat aktif dalam melindungi industri dalam negerinya dari praktek
perdagangan yang tidak adil (unfair) dengan menginisiasi tuduhan dumping ke
negareksportir meskipun kasus yang terbukti dumping hanya setengahnya saja.
10
Tabel 2. Negara yang Paling Banyak Mengenakan Tindakan Anti-Dumping,
1995-2012
Negara anggota WTO yang paling banyak dituduh dumping adalah China
dengan 916 kasus, atau 21,7% dari keseluruhan kasus selama periode 1995-2012. Hal
ini berarti China rata-rata dituduh 51 kasus dumping per tahunnya. Tuduhan yang
ditujukan ke China sangat signifikan dibandingkan dengan negara-negara yang lain.
Sebagai contoh, Korea Selatan yang menempati peringkat ke-2 negara tertuduh
dumping hanya terlilit kasus dumping rata-rata 17 kasus per tahun. Selama periode
1995-2012 Korea Selatan menghadapi 306 kasus tuduhan dumping atau sepertiga dari
jumlah kasus yang dituduhkan kepada China. Sementara itu, Amerika Serikat yang
termasuk kelompok negara maju juga terkena tuduhan dumping yang tidak sedikit,
mencapai 306 kasus.
11
No. Negara Jumlah Kasus Pangsa (%) Rata-rata
Total 4.230 100,0 235
1 China 916 21,7 51
2 Korea, Republic of 306 7,2 17
3 United States 244 5,8 14
4 Taipei, Chinese 234 5,5 13
5 Thailand 174 4,1 10
6 Indonesia 171 4,0 10
7 Japan 171 4,0 10
8 India 166 3,9 9
9 Russian Federation 127 3,0 7
10 Brazil 116 2,7 6
Sumber: WTO (diolah)
12
komoditi logam dasar dikenakan dumping kurang lebih sebanyak 43 kasus. Produk lain
yang juga banyak dikenakan tindakan anti-dumping adalah produk industri kimia
dengan 585 kasus sepanjang periode 1995-2012, atau sebanyak 33 kasus per tahun.
Selama periode 1995-2012, terdapat 254 kasus safeguard. yang dituduhkan oleh
negara-negara anggota WTO. India merupakan negara yang paling banyak melakukan
inisiasi penyelidikan safeguard terhadap kenaikan lonjakan impor, dengan jumlah total
kasus sebanyak 29. Sementara Indonesia berada di peringkat 2 dengan inisiasi
safeguard sebanyak 23 kasus, diikuti oleh Turki dengan 17 kasus. Terlihat bahwa
negara-negara berkembang sangat aktif berupaya melindungi industri dalam negerinya
dari serbuan barang-barang impor. Bahkan, negara masju seperti Amerika Serikat juga
tidak ragu untuk menggunakan instrumen safeguard dengan kasus yang diinisiasi
sebanyak 10.
13
Tabel 6. Negara yang Paling Banyak Menuduh Safeguard, 1995-2012
Pangsa
No. Negara Safeguards Rata-rata
(%)
Total 254 100,0 14,1
1 India 29 11,4 1,6
2 Indonesia 23 9,1 1,3
3 Turkey 17 6,7 0,9
4 Jordan 16 6,3 0,9
5 Chile 13 5,1 0,7
6 Ukraine 10 3,9 0,6
7 United States 10 3,9 0,6
8 Czech Republic 9 3,5 0,5
9 Egypt 9 3,5 0,5
10 Philippines 9 3,5 0,5
Sumber: WTO (diolah)
Dari 254 kasus yang dituduhkan, hanya sekitar 50% (121 kasus) yang benar-
benar dapat dibuktikan dalah penyelidikan bahwa lonjakan impor mengakibatkan
kerugian atau mengancam industry dalam negeri negara penuduh. Secara rata-rata,
terdapat 7 kasus tindakan safeguard yang dikenakan oleh negara anggota WTO di
seluruh dunia. India tetap merupakan negara yang paling banyak mengenakan tindakan
safeguard dengan jumlah sebanyak 15 kasus, diikuti dengan Indonesia dan Turki yang
masing-masing sebanyak 13 kasus.
Pangsa
No. Negara Safeguards Rata-rata
(%)
Total 121 100,0 7,1
1 India 15 12,4 0,9
2 Indonesia 13 10,7 0,8
3 Turkey 13 10,7 0,8
4 Chile 8 6,6 0,5
5 Jordan 7 5,8 0,4
6 Philippines 7 5,8 0,4
7 United States 6 5,0 0,4
8 Czech Republic 5 4,1 0,3
9 Egypt 5 4,1 0,3
10 Argentina 4 3,3 0,2
Sumber: WTO (diolah)
14
21,1% dari total tindakan safeguard selama periode tersebut. Urutan kedua ditempati
produk metal dasar dengan 20 kasus safeguard atau pangsa 16,3 % dari total kasus.
Tingginya tindakan safeguard terhadap produk kimia dan metal dasar menandakan
bahwa negara importer membutuhkan bahan baku untuk produksi domestiknya yang
kemungkinan tidak mampu dipenuhi di dalam negeri sehingga kedua produk tersebut
banyak diimpor.
Pangsa
No. Kelompok Komoditi Safeguards Rata-rata
(%)
Total 123 100.0 7.1
1 Products of the chemical and allied industries 26 21.1 1.5
2 Base metals and articles 20 16.3 1.1
3 Prepared foodstuff; beverages, spirits, vinegar; tobacco 12 9.8 0.7
4 Articles of stone, plaster; ceramic prod.; glass 11 8.9 0.6
5 Live animals and products 10 8.1 0.6
6 Vegetable products 10 8.1 0.6
7 Textiles and articles 9 7.3 0.5
8 Machinery and electrical equipment 7 5.7 0.4
9 Resins, plastics and articles; rubber and articles 4 3.3 0.2
10 Footwear, headgear; feathers, artif. flowers, fans 3 2.4 0.2
11 Mineral products 2 1.6 0.1
12 Resins, plastics and articles; rubber and articles 2 1.6 0.1
13 Hides, skins and articles; saddlery and travel goods 2 1.6 0.1
14 Miscellaneous manufactured articles 2 1.6 0.1
15 Hides, skins and articles; saddlery and travel goods 1 0.8 0.1
16 Wood, cork and articles; basketware 1 0.8 0.1
17 Paper, paperboard and articles 1 0.8 0.1
Sumber: WTO (diolah)
Sejak organisasi WTO secara resmi dibentuk tahun 1995 hingga tahun 2012
telah terjadi 302 kasus tuduhan subsidi dengan rata-rata 16 kasus per tahun. Negara-
negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, dan Australia paling sering
melakukan tuduhan subsidi dibandingkan dengan negara berkembang. Sebanyak 119
kasus atau 39,4% dari total kasus subsidi diinisiasi oleh Amerika Serikat.
15
Tabel 9. Negara yang Paling Banyak Menuduh Subsidi, 1995-2012
Pangsa
No. Negara Countervailing Rata-rata
(%)
Total 302 100,0 16,8
1 United States 119 39,4 6,6
2 European Union 67 22,2 4,8
3 Canada 33 10,9 2,4
4 Australia 15 5,0 1,5
5 South Africa 13 4,3 2,2
6 Brazil 7 2,3 1,4
7 Peru 7 2,3 1,2
8 Chile 6 2,0 2,0
9 China 6 2,0 2,0
10 New Zealand 6 2,0 2,0
Sumber: WTO (diolah)
Dari sejumlah 302 kasus tuduhan subsidi, sebanyak 177 kasus dikenakan
tindakan imbalan. Amerika Serikat merupakan negara yang paling banyak mengenakan
tindakan imbalan selama periode 1995-2012 dengan 75 kasus, diikuti dengan Uni Eropa
dengan 40 kasus, dan Kanada 21 kasus.
Tabel 10. Negara yang Paling Banyak Mengenakan Tindakan Imbalan, 1995-2012
Pangsa
No. Negara Countervailing Rata-rata
(%)
Total 177 100,0 9,8
1 United States 75 42,4 5,0
2 European Union 30 16,9 2,7
3 Canada 21 11,9 1,9
4 Mexico 10 5,6 3,3
5 Brazil 7 4,0 2,3
6 Australia 6 3,4 1,2
7 Peru 5 2,8 1,3
8 South Africa 5 2,8 1,7
9 Argentina 4 2,3 2,0
10 China 4 2,3 2,0
Sumber: WTO (diolah)
16
Tabel 11. Negara yang Paling Banyak Dituduh Subsidi, 1995-2012
Pangsa
No. Negara Countervailing Rata-rata
(%)
Total 82 100,0 16,8
1 China 62 75,6 7,8
2 India 55 67,1 3,2
3 Korea, Republic of 19 23,2 1,7
4 Indonesia 16 19,5 1,8
5 United States 15 18,3 1,5
6 European Union 13 15,9 1,3
7 Italy 13 15,9 1,6
8 Thailand 12 14,6 1,7
9 Argentina 8 9,8 1,3
10 Canada 8 9,8 1,3
Sumber: WTO (diolah)
Apabila tuduhan subsidi dapat dibuktikan, maka otoritas yang berwenang di negara
importer dapat mengenakan tindakan imbalan yang biasanya berupa penambahan bea
masuk. China dan India merupakan negara yang paling sering dikenakan tindakan
imbalan oleh negara importer dengan kasus sebanyak 42 dan 33 kasus. Kasus yang
melibatkan kedua negara tersebut mencapai 42% dari total kasus subsidi yang
dikenakan tindakan imbalan.
Tabel 12. Sepuluh Negara yang Paling Banyak Dikenakan Tindakan Imbalan,
1995-2012
Pangsa
No. Negara Countervailing Rata-rata
(%)
Total 177 100,0 9,8
1 China 42 23,7 6,0
2 India 33 18,6 2,5
3 European Union 11 6,2 1,2
4 Italy 9 5,1 1,8
5 Brazil 8 4,5 2,7
6 Indonesia 8 4,5 1,1
7 Korea, Republic of 8 4,5 1,3
8 United States 7 4,0 1,8
9 France 6 3,4 1,2
10 Argentina 4 2,3 2,0
Sumber: WTO (diolah)
Berdasarkan sector, produk metal dasar paling banyak dikenakan tindakan imbalan
dengan kasus sebanyak 82, atu 46,4% dari total tindakan imbalan selama periode 1995-
2012. Produk selanjutnya yang banyak dikenakan tindakan imbalan adalah resin,
17
plastic, dan karet dengan 14 kasus serta bahan makanan, minuman, dan tembakau
sebanayk 13 kasus.
Pangsa
No. Kelompok Komoditi Countervailing Rata-rata
(%)
Total 177 100.0 9.8
1 Base metals and articles 82 46.3 5.5
2 Resins, plastics and articles; rubber and articles 14 7.9 2.0
3 Prepared foodstuff; beverages, spirits, vinegar; tobacco 13 7.3 1.9
4 Products of the chemical and allied industries 12 6.8 1.5
5 Machinery and electrical equipment 11 6.2 1.6
6 Vegetable products 9 5.1 1.8
7 Textiles and articles 8 4.5 1.3
8 Mineral products 6 3.4 2.0
9 Paper, paperboard and articles 6 3.4 1.5
10 Live animals and products 5 2.8 1.3
11 Animal and vegetable fats, oils and waxes 5 2.8 1.0
12 Wood, cork and articles; basketware 3 1.7 1.0
13 Vehicles, aircraft and vessels 2 1.1 1.0
14 Articles of stone, plaster; ceramic prod.; glass 1 0.6 1.0
Sumber: WTO (diolah)
18
Mengadakan koordinasi dengan produsen/eksportir yang dituduh, asosiasi, unit
pembina, atase perdagangan/ perwakilan R.I. di luar negeri, dan instansi terkait
lainnya;
Pada tahun 2012, DPP Kemendag telah menangani 17 kasus yang terdiri dari 11
kasus dumping, 4 kasus safeguard, dan 2 kasus subsidi. Sementara itu, pada tahun 2013
(per November), total kasus yang ditangani menurun menjadi 16 kasus yang terdiri
dari 8 kasus dumping, 6 kasus safeguard, dan 2 kasus subsidi. Jumlah tuduhan yang
dihentikan di tahun 2012 mencapai 5 kasus, sedangkan tahun 2013 hanya 2 kasus.
Tabel 14. Kasus - Kasus Tuduhan Dumping, Subsidi dan Safeguard Terhadap
Indonesia, 20122013
Negara Tanggal
Tahun/No Importir Produk Inisiasi Kasus Keterangan
2012
1 Afrika Selatan Unframed Glass 31 Januari Dumping Dikenakan
Mirrors 2012
2 Amerika Serikat Hot Rolled Carbon 01 Nopember Dumping Dalam
Steel Plate 2012 Proses
3 Amerika Serikat Oil Country Tubular 26 Maret Dumping Dalam
Goods (OCTG) 2012 Proses
4 Brazil ACRYLIC YARN 02 Oktober Dumping Dihentikan
2012
19
5 Brazil Acrylic Yarn 27 Desember Subsidi Dalam
2012 Proses
6 India POLY VINYL 05 Oktober Dumping Dalam
CHLORIDE (PVC) 2012 Proses
7 Japan Cut Sheet Paper 25 Juni 2012 Dumping Dihentikan
8 Korea, Republic Oriented 31 Desember Dumping Dikenakan
of Polyprophylene Film 2012
9 Malaysia Hot-rolled Low 28 Juli 2012 Dumping Dihentikan
Carbon Steel Wire
Rod Bar
10 Russian Combine harvesters 06 Juli 2012 Safeguard Dalam
Federation and modules Proses
11 Russian Woven Fabrics 01 Oktober Safeguard Dalam
Federation 2012 Proses
12 Thailand Hot Rolled Steel Flat 21 Nopember Safeguard Dalam
2012 Proses
13 Uni Eropa THREADED TUBE OR 16 Februari Dumping Dihentikan
PIPE CAST FITTINGS 2012
OF MALLABLE CAST
IRON
14 Uni Eropa Biodiesel 29 Agustus Dumping Dalam
2012 Proses
15 Uni Eropa Bicycles 26 September Dumping Dikenakan
2012
16 Uni Eropa Biodiesel 10 Nopember Subsidi Dihentikan
2012
17 Vietnam Vegetable Oil 26 Desember Safeguard Dikenakan
2012
2013
1 Amerika Serikat Monosodium 24 Oktober Subsidi Dalam
Glutamate (MSG) 2013 Proses
2 Amerika Serikat Monosodium 24 Oktober Dumping Dalam
Glutamate (MSG) 2013 Proses
20
9 Philippines Galvanized Iron (GI) 09 Oktober Safeguard Dalam
And Prepainted 2013 Proses
Galvanized Iron
(PPGI)
10 Philippines Newsprint 20 September Safeguard Dalam
2013 Proses
11 Russian Tableware and 11 September Safeguard Dihentikan
Federation Kitchenware 2013
Porcerlain
12 Thailand Glass Block 05 Juni 2013 Dumping Dikenakan
13 Thailand Glass Block 05 Juni 2013 Safeguard Dalam
Proses
14 Ukraine Tableware dan 21 Mei 2013 Safeguard Dalam
Kitchenware of Proses
Porcelain
15 Uni Eropa GLASS FIBERS 10 April 2013 Dumping Dikenakan
(Certain Open Mash
Fabrics)
16 Vietnam Certain Cold Rolled 02 Juli 2013 Dumping Dalam
Stainless Steel Proses
Sumber: DPP, Ditjen Daglu Kemendag (per November 2013)
21
bukan tanpa alasan mengingat pada tahun 2005, produk glass block Indonesia juga telah
dikenakan tindakan anti-dumping oleh Pemerintah Thailand. Akibatnya, Indonesia
bukan lagi menjadi eksportir utama glass block ke Thailand dan mengalihkan ke pasar
ekspor yang lain untuk tetap bertahan.
Pada tahun 2004, tujuan utama ekspor produk glass block Indonesia adalah
Thailand, Amerika Serikat, dan Malaysia, masing-masing dengan pangsa sebesar 28%,
18%, dan 8,7%. Setelah adanya tindakan pengamanan perdagangan oleh Thailand (anti-
dumping dan safeguard), tujuan utama ekspor glass block Indonesia tahun 2012 beralih
ke Myanmar dengan nilai USD 2,4 juta (pangsa 27,9%). Pada tahun 2012, ekspor ke
Thailand menempati peringkat ke-2 dengan pangsa 16,4%. Bahkan, data Semester I-
2013 menunjukkan posisi Thailand turun satu peringkat sebagai tujuan ekspor glass
block Indonesia.
22
1. Perkembangan volume impor glass block Thailand dari Indonesia selama periode
non-injury dapat dijadikan sebagai dasar dalam memperkirakan volume impor
yang seharusnya diusulkan Indonesia sebagai besaran kompensasi atas tindakan
anti-dumping maupun safeguard oleh pihak Thailand. Adapun besaran
kompensasi yang dapat diusulkan dari peningkatan impor sesuai aturan
safeguard sebagaimana disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Perhitungan Nilai Impor Glass Block Thailand dari Indonesia
pada pasa Non-Injury
Periode Non-injury
2002-2004 2000-2004
Data Volume Impor Thailand dari Indonesia
8.370 6.956
Rata-rata ton ton
Trend 10,7 %/thn 24,0 %/ thn
Pangsa 82,6 % 85,1 %
Perkiraan Volume Impor Usulan dari
Indonesia
Tahun I 9.268 ton 8.625 ton
Tahun II 10.263 ton 10.695 ton
Tahun III 11.364 ton 13.261 ton
a. Produk impor Thailand yang memiliki nilai lebih dari USD 1 (satu) juta
pada tahun 2012;
23
a. Indonesia mengajukan usulan kompensasi perdagangan produk glass block
dengan alokasi kuota sebesar 10.000 ton per tahun. Besaran kompensasi
tersebut berdasarkan ketentuan WTO dan data statistik ekspor glass block
Indonesia ke Thailand beberapa tahun sebelum dikenakan tindakan safeguard.
Thailand beranggapan bahwa jumlah yang diusulkan cukup besar dan dapat
membatalkan tujuan dari perpanjangan tindakan safeguard.
b. Indonesia berpandangan bahwa perpanjangan tindakan safeguard berdampak
negatif dan akan mempengaruhi ekspor Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia
akan tetap meminta kompensasi perdagangan dari thailand nemun tetap
fleksibel dengan pilihan menurunkan tarif secara signifikan tindakan safeguard
sebagai pengganti kuota.
c. Indonesia meminta klarifikasi definisi dari glass block, mengingat tindakan yang
dikenakan Thailand mencakup semua produk di bawah HS 7601.9000,
sementara dalam HS tersebut ada produk yang bukan sejenis. Thailand
menginformasikan bahwa glass block yang dimaksud adalah untuk bahan
konstruksi dan Thailand bersedia untuk meninjau kembali keputusan tersebut
dan akan mengeluarkan produk yang bukan sejenis dari tindakan safeguard.
d. Kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan rapat teknis guna mencari solusi
alternatif yang saling menguntungkan dan terus melakukan konsultasi informal,
termasuk melalui email pada kesempatan pertama. Masalah ini telah diangkat
pada tingkat SEOM Joint Commission ke-6 antara Indonesia dan Thailand pada
tanggal 14 November 2013. Kedua belah pihak juga sepakat untuk membahas
lebih lanjut masalah ini pada Joint Trade Commission yang akan mulai dibahas
sekitar Februari 2014.
24
b. Menggunakan data BPS dengan level HS 6 digit ataupun HS 4 digit.
c. Menggunakan advalorem tarif tindakan pengamanan perdagangan dan
berpengaruh proporsional terhadap nilai ekspor. Dalam hal ini di ambil
skenario moderat 20% untuk tahun pertama dan 15% untuk tahun kedua
(mempertimbangkan aspek liberalisasi).
Dari hasil kalkulasi diperoleh nilai potensi kerugian ekspor Indonesia di tahun
2012 sebesar US$ 1,92 juta dan sedikit menurun di tahun berikutnya sebesar US$ 1,83
juta. Perlu dicatat bahwa angka ini merupakan perkiraan kasar dan kemungkinan lebih
kecil atau lebih besar dari yang sebenarnya. Perkiraan yang underestimate terkait
dengan penggunaan tanggal inisiasi kasus pada database DPP periode 2012-2013
sebagai sumber referensi perhitungan. Sebagaimana dilihat dari data inisiasi kasus di
WTO bahwa Indonesia juga terkena beberapa kasus tindakan anti-dumping, safeguard,
maupun tindakan imbalan yang dikenakan kepada Indonesia sebelum tahun. Sementara
itu perkiraan yang overestimate disebabkan karena tarif advelorem yang digunakan
lebih besar dari tarif definitif yang dikenakan sesungguhnya. Selain itu, beberapa kasus
dalam database DPP memiliki tanggal inisiasi yang berbeda dengan tanggal inisiasi
dimulainya penyelidikan kasus oleh negara importir yang dinotifikasikan secara resmi
ke WTO. Sebagai contoh, tanggal inisiasi penyelidikan kasus safeguard glass block pada
database DPP tercatat tanggal 5 Juni 2013, sedangkan di WTO kasus tersebut diinisiasi
pada tanggal 16 Desember 2010.
Tabel 16. Perkiraan Kerugian Ekspor Indonesia Akibat Pengenaan Tindakan
Pengamanan Perdagangan di Negara Tujuan Ekspor
25
7208.40; 7208.51;
6 Australia Hot Rolled Plate Steel 185,1 279,7 893,9 152,2 - 42,0
7208.52; 7225.40
1516.20; 1518.00;
3.473,4 2.266,2 4.287,3 1.435,8 694,7 453,2
25 Uni Eropa Biodiesel 2710.19; 2710.20;
3824.90; 3826.00
Total
12.786,4 9.807,7 11.309,3 7.313,4 1.918,1 1.826,9
Sumber: hasil estimasi
26
IV.3. Pengalaman Perusahaan-perusahaan Indonesia yang terkena Tindakan
Pengamanan Perdagangan di Negara Tujuan Ekspor
27
Beberapa perusahaan yang disurvey menyatakan bahwa dengan adanya atau
dikenakannya tindakan pengamanan perdagangan oleh negara tujuan ekspor
serta kompetisi dagang yang semakin ketat terutama dengan produk-produk
serupa dari negara China, Thailand dan Vietnam, perusahaan sudah tidak mampu
lagi melakukan ekspor sehingga hampir semua/sebagian besar produksinya
ditujukan untuk pasar domestik. Sementara itu, beberapa perusahaan lainnya
melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor untuk mengurangi kerugian akibat
dikenakan tindakan pengamanan perdagangan dengan melakukan diversifikasi
negara tujuan ekspor terutama ke negara-negara Asia Selatan.
V. PENUTUP
28
V.1. Kesimpulan
1. Data WTO menunjukkan bahwa selama periode 1995-2012 telah terjadi 4.230
kasus tuduhan dumping dan sebanyak 2.719 kasus yang benar-benar dapat
dibuktikan terjadinya dumping. Untuk safeguard, terdapat 254 kasus yang
dituduhkan dan hanya 121 kasus yang memang mengakibatkan kerugian pada
industri negara pengimpor. Sementara itu, dari sejumlah 302 kasus tuduhan
subsidi, sebanyak 177 kasus dikenakan tindakan imbalan. Indonesia menempati
peringkat ke-6 sebagai negara yang sering dituduh dumping dan menempati
peringkat ke-4 sebagai negara yang sering dituduh subsidi oleh negara lain.
29
V.2. Rekomendasi
Dalam proses public hearing, pihak yang berkepentingan, dalam hal ini eksportir
maupun negara pengekspor diberikan kesempatan untuk menyampaikan
pendapatnya terkait hasil penyelidikan sementara. Kesempatan ini dapat digunakan
pemerintah untuk melakukan klarifikasi dan memperjuangkan kepentingan
eksportir untuk mencabut tuduhan tersebut sehingga perusahaan dapat kembali
melakukan kegiatan ekspor ke negara tujuan ekspor yang melakukan tuduhan.
Selain dalam public hearing, perintah dapat menggunakan konsultasi/negosiasi
bilateral dengan negara bersangkutan agar tindakan pengamanan perdagangan
terhadap barang ekspor Indonesia tidak dikenakan, atau paling tidak mendapatkan
hambatan perdagangan yang minimal. Apabila tidak puas dengan keputusan final
yang dibuat negara pengimpor, pemerintah Indonesia dapat membawa kasus anti-
dumping, safeguard, tindakan imbalan ke Dispute Settlement Body di WTO.
30
DAFTAR PUSTAKA
Department for Business, Innovation & Skills UK. (2012). Anti-dumping: Selected
Economic Issues.
https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file
/32460/12-754-anti-dumping.pdf
Direktorat Pengamanan Perdagangan , Ditjen Daglu Kemendag. (2013). Kasus - Kasus
Tuduhan Dumping, Subsidi dan Safeguard Terhadap Indonesia Tahun 2012
November 2013. Tidak Dipublikasikan
Global Trade Alert. (2011). Thailand: Final Safeguard Duties Concerning Imports of
Glass Block. http://www.globaltradealert.org/measure/thailand-final-safeguard-
duties-concerning-imports-glass-block
Nurmansyah, Sugih. (2009). Sekilas Tuduhan Dumping, Subsidi dan Safeguard Negara
WTO Tahun 1995-2008. Buletin Kerjasama Perdagangan Internasional EDISI-
55/KPI/2009
Provisi Sumatera Barat. (2010). Penanganan Tuduhan Dumping.
http://203.130.196.151/~admin19/detail_artikel.php?id=228
Viljoen, Willemien. (2013). Trade remedies and safeguards in BRICS countries. TRALAC
Working Paper, February 2013
WTO. 2013. Agreement on Implementation of Article VI of the General Agreement on
Tariffs and Trade 1994 (Anti-Dumping Agreement).
http://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/analytic_index_e/anti_dumping_04_
e.htm#article13
WTO. 2013. Agreement on Safeguards.
http://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/analytic_index_e/safeguards_e.htm
WTO. 2013. Statistics on Anti-Dumping.
http://www.wto.org/english/tratop_e/adp_e/adp_e.htm
WTO. 2013. Statistics on Safeguard Measures.
http://www.wto.org/english/tratop_e/safeg_e/safeg_e.htm
WTO. 2013. Statistics on Subsidies and Countervailing Measures.
http://www.wto.org/english/tratop_e/scm_e/scm_e.htm
31