Você está na página 1de 5

3.

2 Pembahasan
3.2.1 Angga Suseno (125080100111026)
3.2.1.1 Metode Oksigen

Menurut Paramitha (2014), produktivitas primer secara vertikal tersebut


sangat dipengaruhi oleh kelimpahan atau penyebaran fitoplankton secara
vertikal. Pada umumnya apabila kelimpahan fitoplankton (sebagai organisme
yang dapat berfotosintesis) besar, maka nilai produktivitas primer tersebut juga
akan besar. Akan tetapi, nilai produktivitas nilai produktivitas primer tersebut juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti intensitas cahaya matahari yang
masuk ke dalam perairan, suhu, kecerahan dan ketersediaan unsur hara serta
gas-gas terlarut. Produktivitas perairan tinggi dapat dilihat dari tingginya
konsentrasi klorofil-a pada perairan tersebut.
Dengan mengetahui produktivitas primer kotor (Gross Productivity Primer
/ GPP) dapat digunakan sebagai acuan pendugaan potensi produksi ikan.
Seperti yang dikatakan oleh Rahardjo et al.(2007) dalam Warsa dan Purnomo
(2011) bahwa informasi mengenai keberdaan fitoplankton sangat memberikan
kontribusi yang memgindikasikan tersedianya biomassa energi untuk semua
sumberdaya hidup akuatik. Kajian potensi produksi ikan merupakan konsep
dasar dalam menggambarkan sumberdaya ikan yang akan dieksploitasi.

3.2.1.2 Metode Klorofil-a


Berdasarkan data hasil pengamatan yang telah dilakukan, maka
didapatkan hasil produktivitas primer di kolam budidaya ikan nila. Kadar klorofil-a
pada saat pengamatan di kolam 3 sebesar 4,27064 mg/m3. Kadar klorofil-a
tersebut termasuk dalam kategori normal sehingga dapat menunjang
produktifitas perairan di kolam tersebut.
Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Bohlen dan Boynton (1966) cit.
Afdal dan Riyono (2008) dalam Fitria 2013, memberikan kriteria untuk kadar
klorofil-a < 15 mg/m3 dikategorikan ke dalam kondisi yang bagus, 15 30 mg/m3
kategori sedang dan > 30mg/m3 dikategorikan ke dalam kondisi perairan yang
buruk. Sedangkan menurut Supriyanti (2001), klorofil-a merupakan salah satu
parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di perairan. Kadar
klorofil-a berbanding lurus dengan nilai produktivitas primer. Keberadaan besar
nilai keduanya dipengaruhi oleh banyak faktor terutama struktur substrat perairan
tersebut.
3.2.1.3 Suhu
Pada Praktikum Produktivitas Perairan Kelompok 7 pada Kolam 3
budidaya ikan nila diperoleh hasil suhu kolam sebesar 250C. Suhu tersebut
masih dapat ditolerir untuk mendukung kehidupan organisme akuatik termasuk
fitoplankton. Hal ini sesuai dengan pernyataan Iskandar (2003) dalam Salam
(2010), bahwa suhu merupakan faktor penting di dalam perairan dan dipengaruhi
oleh jumlah cahaya matahari yang jatuh ke permukaan air. Suhu juga merupakan
salah satu faktor penunjang produktifitas fitoplankton, karena mempengaruhi laju
fotosintesis dan kecepatan pertumbuhan. Selain itu juga berpengaruh terhadap
laju dekomposisi dan konversi bahan organik menjadi bahan anorganik. Suhu
optimum untuk pertumbuhan fitoplankton di daerah tropis berkisar antara 20-
300C.

3.2.1.4 pH
Pada Praktikum Produktivitas Perairan Kelompok 7 pada Kolam 3
budidaya ikan nila diperoleh hasil pH kolam sebesar 7. pH netral atau pH 7 dapat
dikatakan sebagai pH yang dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton
pada kolam tersebut. Menurut Prasstio (2010) dalam Nastiti et.al (2013), kisaran
pH yang mendukung pertumbuhan fitoplankton adalah berkisar antara 7,5-8,5.
Variasi pH dapat mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan fitoplankton
dalam beberapa hal, antara lain mampu mengubah keseimbangan dari karbon
organik, mengubah ketersediaan nutrient dan dapat mempengaruhi fisiologis sel.

3.2.1.5 DO (Dissolved Oxygen)


Pada Praktikum Produktivitas Perairan Kelompok 7 pada Kolam 3
budidaya ikan nila diperoleh hasil DO kolam yaitu sebesar 3,66 mg/l.
Dibandingkan dengan hasil dari kelompok lain pada shift 1, dapat dilihat bahwa
kandungan DO tergolong rendah. Kandungan oksigen terlarut yang rendah
diakibatkan oleh kecerahan di kolam budidaya ikan nila tersebut juga rendah,
karena kecerahan yang rendah maka proses fotosintesis yang dilakukan oleh
fitoplankton menjadi tidak optimal sehingga kadar oksigen terlarutnya pun juga
rendah. Namun meskipun demikian, kadar oksigen terlarut sebesar 3,66 mg/l
masih dapat digunakan untuk budidaya perikanan. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan dari Simanjuntak (2009), bahwa nilai ambang batas dari oksigen
terlarut untuk memenuhi kegiatan budidaya perikanan adalah > 5 mg/l atau >
3,57 mg/l.
3.2.1.6 Kecerahan
Pada Praktikum Produktivitas Perairan Kelompok 7 pada Kolam 3
budidaya ikan nila diperoleh hasil kecerahan kolam yaitu 23 cm. Hasil tersebut
cukup rendah jika dibandingkan dengan hasil kecerahan dari kelompok lain pada
shift 1. Rendahnya kecerahan ini diduga disebabkan oleh adanya pengadukan
air terhadap substrat kolam tersebut. Menurut Handayani (2009), keadaan
semua plankton akan menjadi berbahaya apabila kecerahan sudah kurang dari
25 cm karena akan menghambat penetrasi cahaya dalam proses fotosintesis
fitoplankton. Selain itu, menurut Tarigan (2009), menyatakan bahwa kecerahan
air sangat dipengaruhi oleh besarnya intensitas matahari dan juga tergantung
pada besarnya suspensi terlarut di dalam kolom air seperti lumpur, dan tanah liat
atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air, dapat berupa komponen hidup
(biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen mati
(abiotik) seperti detritus dan partikel-partikel anorganik.

3.2.1.7 Nitrat dan Ortofosfat


Pada Praktikum Produktivitas Perairan Kelompok 7 pada Kolam 2
budidaya ikan nila diperoleh hasil pengukuran nitrat sebesar 1,176 ppm dan
ortofosfat sebesar 0,058 ppm. Artinya konsentrasi nitrat dan ortofosfat tersebut
masih dalam batas wajar untuk pertumbuhan plankton dan belum mencapai
konsentrasi yang dapat menyebabkan blooming alga. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Yuliana dan Thamrin (2006), bahwa untuk pertumbuhan optimal
fitoplankton memerlukan kandungan nitrat pada kisaran 0,9-3,5 mg/l. Selain itu,
menurut Seller dan Markland (1987) dalam Amanta et.al (2012), kandungan
fosfat di perairan sering menjadi faktor pendorong terjadinya dominasi
fitoplankton. Senyawa ortofosfat merupakan faktor pembatas apabila kadarnya di
bawah 0,004 mg/l, sementara itu kadar yang lebih dari 1 mg/l dapat menimbulkan
blooming. Semakin tinggi pH dan nitrat maka kandungan klorofil-a fitoplankton
akan semakin tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Amanta, R., Zahidah H. dan Rosidah. 2012. Struktur Komunitas Plankton Di Situ
Patengan Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Jurnal Perikanan dan
Kelautan. Vol 3 (3): 193-200.

Fitria, F., Indr .J.Z. , Syamsuardi. 2013. Produktivitas Primer Fitoplankton Di


Teluk Bungus Primary Productivity of Phytoplankton In The Bungus
Bay. Jurnal BIOLOGIKA. Vol (1).

Handayani, D. 2009. Kelimpahan dan Keanekaragaman Plankton di Perairan


Pasang Surut Tambak Blanakan, Subang. Skripsi. Program Studi
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta.

Nastiti, A. dan Sri T.H. 2013. Struktur Komunitas Planktn dan Kondisi Lingkungan
Perairan di Teluk Jakarta. Jurnal BAWAL. Vol 5 (3): 131-150.

Paramitha, A. 2014. Studi Klorofil-a di Kawasan Perairan Belawan Sumatera


Utara. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.

Salam, A. 2010. Analisis Kualitas Air Situ Bugur Ciputat Berdasarkan Indeks
Keanekaragaman Fitoplankton. Skripsi. Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta.

Simanjuntak, M. 2009. Hubungan Faktor Lingkungan Kimia, Fisika Terhadap


Distribusi Plankton di Perairan Belitung Timur, Bangka Belitung.
Journal of Fisheries Sciences. Vol 11(1): 31-45.

Supriyanti, S. 2001. Struktur Komunitas Perifiton pada Substrat Kaca di Lokasi


Pemeliharaan Kerang Hijau ( Perna vididis L.), Perairan Kamal Muara
Teluk Jakarta. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB Bogor.

Tarigan, S. 2009. Aplikasi Satelit Aqua MODIS untuk Memprediksi Model


Pemetaan Kecerahan Air Laut di Perairan Teluk Lada, Banten. Ilmu
Kelautan. September 2009. Vol. 14 (3): 126-131.
Yuliana dan Tamrin. 2006. Struktur Komunitas dan Kelimpahan Fitoplankton
dalam Kaitannya dengan Parameter Fisika Kimia Perairan di Danau
Laguna Ternate, Maluku Utara. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Limnologi 2006: Pengelolaan Sumberdaya Perairan Darat Secara
Terpadu di Indonesia. Pusat Penelitian Limnologi, Jakarta.

Warsa, A. dan K. Purnomo. 2011. Potensi Produksi Ikan dan Status Perikanan di
Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Jurnal Lit. Perikanan
Ind. XVII (4): 229-237.

Você também pode gostar