Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Pada suatu esai, yang utama bukanlah pokok persoalannya, tetapi cara
pengarang mengemukakan persoalannya. Dengan lain perkataan, apa yang
utama pada sebuah esai ialah bayangan kepribadian dari pengarang yang
simpatik dan menarik. Hal ini oleh Arthur Christopher Benson dikemukakan
dalam esainya yang berjudul The Art of the Essayist. Dikatakannya, dalam
menulis sebuah esai, tak perlu ada motivasi-motivasi filosofis atau intelektual
atau religius atau humoristik. Seorang esais menulis sesuai dengan apa yang
hidup dalam dirinya perasaan dan pikirannya.
Maka seorang esais adalah orang yang terpikat. Orang yang jatuh cinta pada
sebuah persoalan/gelaja. Percintaan itu adalah percintaan yang bersifat pribadi
manusia. Menulis esai seakan-akan adalah bercerita kepada dan untuk diri
sendiri seakan-akan merenungkan keindahan percintaannya.
Esai adalah tulisan yang bersifat pribadi sekali.
Dalam puisi, seorang mengalami secara intens suatu pengalaman. Dia seakan-
akan luluh dalam pengalaman tersebut. Dan pengalaman itu dilukiskan secara
intens pula dalam penuangannya menjadi karya seni. Pengalaman tersebut
secara jenuh/dijenuhkan menjelma menjadi karya seni. Maka di sini ada aspek
pathos dalam penghayatan puisi penghayatan yang dialami secara intens.
Kalau di sini disebut puisi, maka ini tidak berarti sebagai lawan dari prosa,
sanjak-sanjak. Yang dimaksud dengan puisi ialah seperti kata Jacques Maritain,
pertemuan antara dunia dalam individu dengan dunia dalam dari alam. Jadi
suatu penghayatan personal terhadap alam. Puisi di sini adalah menurut
pengertian Coleridge ketika dia berkata, Lawan dari puisi bukanlah prosa, tapi
adalah ilmu; lawan dari prosa bukan puisi, tapi sanjak. Itulah pengertian puisi di
sini.
Inti dari karya seni adalah penghayatan puisinya, tampak terutama dalam
kesenian non-verbal: musik, seni lukis, tari dan sebagainya. Dalam kesusastraan,
karya seni bergerak dalam skala antara pengalaman puisi dan sikap ilmiah.
Kritik misalnya, terletak dalam skala yang lebih pada dekat kutub ilmiah. Kutub
yang paling ekstrem dalam skala ini pada kutub ilmiahnya menjelma dalam
tulisan-tulisan ilmiah yang teknis, di mana obyektivitas dan abstraksinya
mencapai titik maksimalnya. Reaksi para pembaca pun (dicoba)
distandardisasikan. Artinya, diusahakan supaya seragam. Unsur-unsur subyektif
dari penulisnya tidak/hampir-tidak berperan sama sekali. Ini tampak misalnya
pada simbol-simbol matematika.
Di mana letaknya esai?
Dari uraian di atas tampak seolah-olah esai hanya bersifat main-main suatu
improvisasi dari warna-warna kehidupan. Seakan-akan tidak ada ide dalam
sebuah esai. Seperti kata A.C. Benson, Seseorang tak boleh mengharapkan dari
seorang esais keterangan-keterangan yang diinginkan atau minta suatu
pemecahan yang jelas tentang suatu persoalan yang kompleks. Makinlah terasa
seakan-akan esai tak ada isi-nya.
Ini adalah tanggapan yang salah.
Esai memang tidak memecahkan persoalan seperti halnya ilmu memecahkan
persoalan artinya, memberi petunjuk-petunjuk atau solutions atau jalan keluar
bagaimana suatu hal harus dihadapi/diatasi. Esai tidak memecahkan persoalan.
Dia melukiskan persoalan. Lebih tepat lagi: dia melukiskan kehidupan sebagai
gejala kehidupan manusia dalam aspek intelektualnya maupun aspek
emosionalnya, yang semuanya itu menjelma menjadi Gestalt/keutuhan
kepribadian yang simpatik. Kata persoalan sebenarnya tidak tepat, karena kata
tersebut menyatakan secara implisit suatu sikap a priori untuk memecahkannya,
hingga bila persoalan tersebut tidak dipecahkan, maka esai yang menyajikan
persoalan tersebut jadi bersifat kerja yang setengah-setengah, belum selesai.
Esai tidak melukiskan persoalan. Dia menjelmakan kehidupan.
Seorang esais melukiskan gejala kehidupan tanpa sikap a priori atau pretensi
apa-apa dia hanya jatuh cinta dan menikmati cintanya secara ramah. Sebab itu
sebuah esai adalah sebuah karya pribadi, yang seakan-akan dituliskan kepada
dan untuk dirinya sendiri.
Tetapi, seperti juga karya-karya seni lainnya, yang merupakan ekspresi nilai,
maka bila dia telah diciptakan menjadi sebuah realitas yang nyata yang
memungkinkan komunikasi dan partisipasi individu lain, maka sebuah esai
meskipun adalah suatu dialog pribadi antara esais dan dunianya dia
memberikan nilai-nilai keindahan dan kemesraan bagi individu-individu lain
yang ikut serta dalam dialog tersebut.
Esai menyentuh realitas yang sebenarnya. Di sinilah letak kekayaan sebuah esai.
Dia menyentuh realitas yang hidup dalam diri seorang secara riil. Kalau pada
ilmu penekanan diarahkan kepada dunia obyektip, pada puisi penekanan
diarahkan kepada nilai yang ditemui manusia dalam dunia/kehidupannya
maka esai menekankan manusia dengan dunianya dalam hubungan
keterjalinannya yang nyata, yang menggejala.
Di sini kita temui persamaan ilmu dan puisi. Keduanya berusaha
mentransendenkan kenyataan yang menggejala. Yang satu ke arah obyektivitas,
yang lain ke arah subyektivitas. Esai berusaha tetap tinggal dalam dunia, dunia
sebagaimana dia menggejala. Ilmu dan seni berusaha mencapai kemutlakan
filosofis, yang satu ke arah positivis, yang lain ke arah idealis. Esai menuju ke
kenyataan psikologis. Lebih tepat lagi, menuju ke kenyataan phenomenologis.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan definisi yang tegas tentang
apakah sebenarnya sebuah esai. Tulisan ini hanya berusaha menunjukkan nilai-
nilai dari esai yang ramah.
Tulisan ini hanyalah sekedar sebuah esai, yang bermaksud untuk menarik
simpati pembacanya kepada sebuah esai.