Você está na página 1de 7

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Penisbatan Qadariyah


Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang
bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminologi/istilah adalah suatu
aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah.
Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini
berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada
qadar Tuhan. Sebab itulah faham seperti ini dinisbatkan dengan istilah Qadariyah.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang
berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu
melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadariyah, manusia mempunyai
kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan
demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada
qadar atau kadar Tuhan.
Dalam istilah Inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act.
Mereka, kaum Qadariyah mengemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil naqal (Al-
Quran dan Hadits) untuk memperkuat pendirian mereka. Mereka memajukan dalil, kalau
perbuatan manusia sekarang dijadikan oleh Tuhan, kenapa mereka diberi pahala kalau
berbuat baik dan disiksa kalau berbuat maksiat, padahal yang membuat atau
menciptakan hal itu adalah Allah Taala.
Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan sendiri oleh kaum
Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan
sahabat Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat:
?????? ???????? ???? ????????? ?????? ????? ???????????? ?????? ????? ???????????
Artinya : Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka
berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah. (QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung
pada orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang
menentukan, bukan Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran
dengan Mutazilah.
Jadi istilah Qadariyah dinisbatkan kepada faham ini, bukan berarti faham ini
mengajarkan percaya pada taqdir, justru sebaliknya faham Qadariyah adalah faham
pengingkaran taqdir. Penyebab lebih dikenalkanya penisbatan dan sebutan Qadariyah
para pengingkar takdir ialah:
1. Tersebar luasnya madzhab asy'ariyah sehingga menjadikan kaum qadariyah dan
mu'tazilah sebagai minoritas dihadapan kaum asy'ariyah yang mayoritas.
2. Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama majusi,
sebab yang diketahui bahwa kaum majusi membatasi takdir ilahi hanya pada apa yang
mereka namakan kebaikan saja, sedangkan kejahatan berada diluar takdir ilahi

B. Latar Belakang Kemunculan Faham Qadariyah


Islam sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata tidak sesempit yang dipahami
pada umumnya. Dalam sejarah pemikiran Islam, terdapat lebih dari satu aliran yang
berkembang. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama-ulama
kalam dalam memahami ayat-ayat al-Quran.
Ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya
sendiri dan ada pula ayat yang menunjukkan bahwa segala yang terjadi itu ditentukan
oleh Allah, bukan kewenangan manusia . Dari perbedaan pendapat inilah lahir aliran
Qadaryiah dan Jabariyah. Aliran Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai
kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan kata
lain manusia mempunya qudrah (kekuatan atas perbuatannya). Sedangkan Jabariyah
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan kehendak dalam menentukan
perbuatannya. Kalaupun ada kehendak dan kebebasan yang dimiliki manusia, kehendak
dan kebebasan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun, karena yang menentukannya
adalah kehendak Allah semata .
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar
teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Mabad al-
Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan
Radhiyallahu 'anhu terbunuh. Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi
perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada
masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah.
Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dan Umar Radhiyallahu
'anhu, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman Radhiyallahu 'anhu, belum terjadi sama
sekali perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para sahabat justru melakukan
penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira para sahabat
mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan pula
disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar
masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil
terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam
sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang
politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya
selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh
Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam
perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam faham Mutazilah.

C. Doktrin Pokok Faham Qadariyah


Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan
baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan
atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-
Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat
berkuasa atas segala perbuatannya.
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan
pembahasan tentang doktrin-doktrin Mutazilah, sehingga perbedaan antara kedua
aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar
lebih luas di kupas oleh kalangan Mutazilah sebab faham ini juga menjadikan salah
satu doktrin Mutazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mutazilah
karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas
kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia
berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula
memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini
disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan
neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh
takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan
balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang
dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib
manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya
bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan
demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta
beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah al-Quran adalah
sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum
alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan
yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan
seperti gajah yang mampu membawa barang dua ratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada
Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat al-Quran yang
berbicara dan mendukung paham itu, seperti berikut:
????????? ??? ???????? ??????? ????? ??????????? ??????
Artinya: Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu
perbuat. (QS. Fush-Shilat : 40).
?????????? ????????????? ????????? ???? ?????????? ??????????? ???????? ?????? ????
? ???? ???? ???? ?????? ???????????? ????? ??????? ????? ????? ?????? ???????
Artinya: dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal
kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada
peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah:
"Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. (QS.Ali Imran :165)
????? ??????? ?? ????????? ??? ???????? ?????? ??????????? ??? ??????????????
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan [Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak
merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri. (QS.Ar-
Rad :11)
Secara terperinci asas-asas ajaran Qadariyah adalah sebagai berikut :

1. Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmu-Nya.


2. Berlebihan/melampaaui di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap
mereka bebas berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak
mempunyai pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar).
Mereka menganggap bahwa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali
selepas ia terjadi.
3. Mereka berpendapat bahwa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan
pengingkaran mereka terhadap sifat Allah.
4. Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah. Jadi
menurut faham Qadariyah, Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal
perbuatan tidak mempengaruhi iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak
mempengaruhi keimanannya.
5. Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana'),
selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab siksa.
Akar Qadariah bersumber dari ketidak mampuan akal mereka dalam memahami qadar
Allah, perintah dan larangannya, janji dan ancamannya, serta mereka mengira hal-hal
seperti itu dilarang untuk difikirkan. Latar belakang timbulnya firqoh Qadariyah
ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggap
kejam dan dzalim. Apabila firqoh Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayyah
membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini berarti
merupakan legitimasi kekejaman Bani Umayyah, maka firqoh Qadariyah mau membatasi
masalah takdir tersebut. Mereka mengatakan bahwa kalau Allah itu adil, maka Allah
akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat
kebajikan. Manusia harus bebas memilih dalam menentukan nasibnya sendiri dengan
memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah menentukan takdir
manusia dan memaksakan berlakunya, maka Allah itu zalim. Mengapa Allah menyiksa
manusia karena sesuatu yang telah ditadirkan dan dipaksakan terjadi oleh-Nya?
Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar bebas atas perbuatannya.
Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia hanyalah
tergantung pada takdir Allah saja, selamat atau celaka sudah ditentukan oleh takdir
Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah keliru menurut mereka. Sebab pendapat
tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggap-Nya pula yang
menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah melakukan kejahatan.
Jadi firqoh Qadariyah menolak adanya takdir Allah dan berpendapat bahwa manusia
bebas merdeka menentukan perbuatannya.
D. Perkembangan, Tokoh dan Sekte (Firqah) Qadariyah
1. Perkembangan Qadariyah
Jika kita berbicara perkembangan faham Qadariyah, maka tentu akan bersinggungan
dengan faham Jabariyah. Oleh karena itu pada pembahasan ini, penulis sedikit
menyitir ajaran faham Jabariyah sebagai perbandingan terhadap faham Qadariyah.
Faham ini mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal
yang menyebabkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun
Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham
fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari
pengetahuan, mereka merasa diri mereka lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran
hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. Sehingga ketika faham qadariyah
dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya karena dianggap bertentangan dengan
Islam. Kedua, tantangan dari pemerintah, karena para pejabat pemerintahan menganut
faham jabariyah. Pemerintah menganggap faham qadariyah sebagai suatu usaha
menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu
mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai dan bahkan dapat
menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
Aliran Qadariyah termasuk yang cukup cepat berkembang dan mendapat dukungan cukup
luas di kalangan masyarakat, sebelum akhirnya pemimpinnya, Mabad dan beberapa
tokohnya, berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh penguasa Damsyiq pada tahun 80
H/699 M, karena menyebarkan ajaran sesat. Sejak terbunuhnya pentolan Qadariyah
tersebut, aliran Qadariyah mulai pudar, sehingga akhirnya sirna dimakan zaman dan
kini tinggal sebuah nama yang tertulis di dalam buku. Namun, fahamnya sendiri masih
dianut oleh segelintir orang.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham
tradisional dan konservatif dalam Islam, sedangkan paham Qadariyah disebut juga
sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut
melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing
atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen
pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah
paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang
terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan
dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham
Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan
perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak
peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah
semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah
kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat
investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan
(perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu
investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk
yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari
perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam
paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai
kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila
tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya
tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan
tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan
pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam "mengganggu"
ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami?
Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya,
dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda musibah.
2. Tokoh-Tokoh Qadariyah
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad
Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya
beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya
adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syuib. Sementara W. Montgomery
Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam
kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar
tahun 700M.
Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa Qadariyah mula-mula ditimbulkan
pertama kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama Mabad al-
Juhani dan Jaad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan
(685-705 M). Menurut Ibn Nabatah, Mabad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi
mengambil faham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Maad al-Juhni
adalah seorang tabiin, pernah belajar kepada Washil bin Atho, pendiri Mutazilah.
Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur Basrah, karena ajaran-ajarannya. Dan
menurut al-Zahabi, Mabad adalah seorang tabiin yang baik, tetapi ia memasuki
lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman ibn al-Asyas, gubernur Sajistan, dalam
menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Mabad mati
terbunuh dalam tahun 80 H.
Sedangkan Ghailan al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya seorang yang
pernah bekerja pada khalifah Utsman bin Affan. Ia datang ke Damaskus pada masa
pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H). Ghailan juga dihukum mati
karena faham-fahamnya. Ghailan sendiri menyiarkan faham Qadariyahnya di Damaskus,
tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Menurut Ghailan,
manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri
pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan
dayanya sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya.
Di sini tak terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan
terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak
menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal. Selain penganjur faham
Qadariyah, Ghailan juga merupakan pemuka Murjiah dari golongan al-Salihiah. Tokoh-
tokoh faham Qadariyah antara lain : Abi Syamr, Ibnu Syahib, Galiani al-Damasqi, dan
Saleh Qubbah.
Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran Qadariyah, karna aliran
tersebut dapat dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut ini adalah tokoh-
tokoh yang termasuk didalamnya tokoh pencetus aliran Qadariyah :
- Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba' Al-Yahudi
Dia adalah seorang Yahudi yang mengaku-ngaku beragama Islam berikut pengikut dan
sekutunya. Ide kotornya pertama kali muncul sekitar tahun 34 H. Ibnu Sauda' ini
memadukan antara faham Khawarij dan Syi'ah.
- Ma'bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80 H)
Dia meluncurkan pemikiran seputar masalah takdir sekitar tahun 64 H. Ia menggugat
ilmu Allah dan takdirNya. Ia mempromosikan pemikiran sesat itu terang-terangan
sehingga banyak meninggalkan ekses. Disamping orang-orang yang mengikutinya juga
banyak. Namun bid'ahnya ini mendapat penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf,
termasuk di dalamnya para sahabat yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar
Radhiyallahu 'anhuma.

Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-Itidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam
Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia adalah tabiin yang dapat dipercaya, tetapi ia
memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh
oleh al-Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu al-Asyas. Tampaknya disini ia
dibunuh karena soal politik, meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya
karena soal zindik. Mabad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan
banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya .
- Ghailan Ad-Dimasyqi
Sepeninggal Mabad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu
Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa
Ghailan adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-
Haris Ibnu Said yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap
pengertian faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar
wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya.
Dialah yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar masalah-masalah takdir sekitar
tahun 98 H. Dan juga dalam masalah ta'wil, ta'thil (mengingkari sebagian sifat-
sifat Allah) dan masalah irja. Para salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk
diantara yang menentangnya adalah Khalifah Umar bin Abdil Aziz. Beliau menegakkan
hujjah atasnya, sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul
Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan
ciri yang sangat dominan bagi ahli bid'ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari
bid'ah. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan
kembali kepada bid'ahnya. Ghailan ini akhirnya dihukum mati setelah dimintai taubat
namun menolak bertaubat pada tahun 105 H. Dia mati dihukum oleh Hisyam Abd al-
Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman mati diadakan perdebatan antara Ghailan
dan al-Awzai yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
- Al-Ja'd bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H)
Dia mengembangkan pendapat-pendapat sesat pendahulunya dan meracik antara bid'ah
Qadariyah dengan bid'ah Mu'aththilah dan ahli ta'wil. Kemudian ia menyebarkan
pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum muslimin. Sehingga para ulama Salaf
memberi peringatan kepadanya dan menghimbaunya untuk segera bertaubat. Namun ia
menolak bertaubat. Para ulama membantah pendapat-pendapat Al-Ja'd ini dan
menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap bersikeras. Maka semakin banyak kaum
muslimin yang terkena racun pemikirannya, para ulama memutuskan hukuman mati
atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah
Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja'd ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai
menunaikan shalat 'Idul Adha : "Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga Allah
menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja'd bin Dirham,
karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menjadikan Ibrahim
sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa berbicara ...... dan
seterusnya". Kemudian beliau turun dari mimbar dam menyembelihnya. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 124 H.
- Al-jahm bin Shafwan
Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian
marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid'ah dan
kesesatan generasi pendahulunya serta menambah bid'ah baru. Akibat ulahnya
muncullah bid'ah Jahmiyah serta kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang
ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan
Al-Ja'd, bahkan ia menambah lagi dengan bid'ah ta'thil (penolakan sifat-sifat
Allah), bid'ah ta'wil, bid'ah irja', bid'ah Jabariyah, bid'ah Kalam, dan
sebagainya. Al-Jahm akhirnya dihukum mati pada tahun 128 H
- Washil bin Atha' dan Amr bin Ubeid
Orang ini muncul bersamaan di masa Al-Jahm bin Shafwan. Mereka berdua meletakkan
dasar-dasar pemikiran Mu'tazilah Qadariyah.

3. Sekte Qadariyah
Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi
beberapa kelompok. Banyak pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya
dikatakan bahwa faham Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok besar, yang
setiap kelompok dari mereka mengkafirkan kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran
dari Qadariyah itu adalah Washiliyah, Amruwiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah,
Murdariyah, Mamariyah, Tsamamiyah, Jahizhiyah, Khabithiyah, Himariyah,
Khiyathiyah, Syahamiyah, Ashhab Shalih Qubbah, Marisiyah, Kabiyah, Jubbaiyah,
Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah. Dari Bahsyamiyah lahir pula aliran besar, yakni
Khabithiyah dan Himariyah.
Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada
yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran)
tersendiri dan kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah
keadaan ahlul bidah yang mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu
menciptakan pemikiran-pemikiran dan penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan
saling berlawanan.
Namun berapa banyak pun jumlah golongan dari hasil perpecahan penganut faham
Qadariyah, tetap saja hal ini berujung dan bersumber pada tiga pemahaman.
Golongan Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar serta
mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata jika
Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya, dan
kami tidak mengharamkan apapun.
Yang kedua, Qadariyah majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat
dalam penciptaan-penciptaan-Nya, sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan
sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa
yangterjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala
merekaberkata Allah juga tidak mengetahuinya.
Dan yang ketiga Qadariyah Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber
terjadinya kedua perkara (pahala dan dosa) Adapun yang menjadikan kelebihan dari
paham ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin
maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi
kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham lainnya (Ahlussunah wal
jamaah).
Sedangkan dalam segi pengamalan Qadariyah terbagi dua, yaitu: Qadariyah yang ghuluw
(berlebihan) dalam menolak takdir, dan Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam
menetapkan takdir.

WALLAHU ALAM
...................................................................................
.........................................................
SUMBER / REFERENSI:
1. Al-Quran dan Terjemah (Kalim, Banten, 2010)
2. Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Sedia, 1998).
3. Al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari
"Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)
4. An-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-
Ma'arif, 1977)
Asy-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon:
Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th)
5. Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2
6. Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
7. Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
8. Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam,
(Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
9. Hadi, Muhammad, Manhaj Dan Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah Menurut Paham Salaf
(Jakarta:Gema Insani Press, 1994)
10. Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil:
al-Izzah, 2002)
11. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5
12. Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1998)

Share

Você também pode gostar