Você está na página 1de 70

DAMPAK PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI TERHADAP

ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN SERTA PERUBAHAN STATUS


GIZI BALITA DI KABUPATEN KULON PROGO

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Memperoleh Derajat Sarjana Gizi
Universitas Gadjah Mada

Disusun oleh:

ARIF DWISETYO HARIPAMILU


NIM. 05/191950/EKU/00207

PROGRAM STUDI S1 GIZI KESEHATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007
LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI
DAMPAK PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI TERHADAP
ASUPAN ENERGI DAN PROTEIN SERTA PERUBAHAN STATUS
GIZI BALITA DI KABUPATEN KULON PROGO
Disusun oleh :

ARIF DWISETYO HARIPAMILU


NIM. 05/191950/EKU/00207

Telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 2 Januari 2006

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Ketua

Prof. dr. Hamam Hadi, MS, Sc.D tanggal


NIP. 131 963 560

Anggota

Joko Susilo, SKM, M.Kes. tanggal


NIP. 140 216 147

Anggota

M. Primiaji R., SST, M.Kes. tanggal


NIP. 140 225 886

Mengetahui:
An. Dekan
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, Ph.D


NIP. 131 860 994
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah syukur kehadirat Allah SWT, atas taufiq dan hidayah-

Nya sehingga skripsi yang berjudul Dampak Program Bantuan Langsung

Tunai terhadap Asupan Energi dan Protein serta Perubahan Status Gizi

Balita di Kabupaten Kulonprogo ini dapat diselesaikan.

Terima kasih setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah

membantu penyelesaian skripsi ini:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

2. Prof. dr. Hamam Hadi, MS, Sc.D. selaku Ketua Program Studi S1 Gizi

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada sekaligus

Pembimbing Utama.

3. Joko Susilo, SKM, M.Kes. selaku pembimbing pendamping.

4. M. Primiaji R., SST, M.Kes selaku penguji

5. Also that I cant forget: my mom, my beloved wife: Imelda Telisa, and

so do my cute childrens (Qurratul Ainunnisa & Muhammad Fakhri

Rabbani) who gives all that I need: loves, spirits and pray.

6. Teman-temanku di Prodi Gizi Kesehatan FK UGM angkatan 2005.

Thank U guys, berkat kalian aku gak usah susah-susah cari data.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-

Nya kepada kalian semua.

Yogyakarta, Januari 2007


Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii

KATA PENGANTAR .............................................................................. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................ 4

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 4

D. Manfaat Penelitian ............................................................... 4

E. Keaslian Penelitian ............................................................. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka ................................................................... 7

B. Kerangka Teoritis ................................................................ 22

C. Kerangka Konseptual .......................................................... 24

D. Hipotesis ............................................................................. 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ......................................... 25

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 25

C. Populasi dan Subjek Penelitian ........................................... 25

D. Alat Penelitian ...................................................................... 26


E. Variabel Penelitian ............................................................... 26

F. Definisi Operasional Penelitian ............................................ 26

G. Cara Pengumpulan Data ..................................................... 28

H. Cara Pengdahan Data ....................................................... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Subyek Penelitian ........................................... 29

B. Analisis Univariat ................................................................. 31

C. Analisis Bivariat .................................................................... 37

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ............................................................................. 47

B. Saran .................................................................................. 47

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kaitan antara asupan gizi, makan tidak seimbang, infeksi

penyakit dengan status gizi ................................................ 22

Gambar 2 Kaitan antara perbaikan gizi dan kemiskinan ..................... 23

Gambar 3 Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi.. 24

Gambar 4 Persentase asupan energi ................................................. 32

Gambar 5 Rata-rata asupan energi .................................................... 33

Gambar 6 Persentase asupan protein ................................................ 34

Gambar 7 Rata-rata asupan protein ................................................... 35

Gambar 8 Persentase perubahan status gizi ...................................... 37


DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi frekuensi jenis kelamin .......................................... 30

Tabel 2 Distribusi frekuensi umur ....................................................... 31

Tabel 3 Distribusi frekuensi perubahan status gizi ............................ 35

Tabel 4 Hasil uji beda program BLT terhadap asupan energi ............ 38

Tabel 5 Hasil uji beda program BLT terhadap asupan protein .......... 38

Tabel 6 Hasil uji beda program BLT terhadap perubahan status gizi.. 41

Tabel 7 Hasil uji beda rerata z-score skrining I dan II ........................ 42

Tabel 8 Hasil uji beda rerata delta nilai z-score ........ ........................ 44
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997,

ditandai oleh depresiasi nilai rupiah yang tajam, harga barang (pangan

dan bukan pangan) menjadi mahal dan sekaligus tingkat inflasi yang

meningkat tajam dan signifikan. Kondisi ini membawa dampak dalam

bentuk penurunan riil dan daya beli masyarakat. Selain itu juga

berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran sebagai akibat

pemutusan hubungan kerja) dan jumlah penduduk miskin (Deptan,

2001)

Krisis ekonomi ini menjadi pusat keprihatinan karena ternyata

Indonesia salah satu negara yang mengalami kesulitan untuk keluar

dari krisis ekonomi dibanding dengan negara Thailand dan Korea

Selatan misalnya. Pada waktu itu tingkat inflasi mencapai 80%,

pengangguran mencapai 17 juta orang dan tingkat kemiskinan

mencapai 79,4 juta orang. Tingkat kemiskinan ini merupakan sekitar

40% dari jumlah penduduk Indonesia atau kurang lebih setara dengan

kondisi pada tahun 1970-an.

Sebelum krisis ekonomi terjadi, di Indonesia setiap tahunnya

terdapat 14% atau 600.000 dari 4,6 juta bayi yang dilahirkan menderita
kekurangan gizi. Angka ini meningkat menjadi 35% pada usia anak

mencapai satu tahun. Dalam keadaan krisis ekonomi saat itu 50-70%

bayi yang mencapai usia satu tahun menderita kekurangan gizi.

Krisis ekonomi saat itu sudah sampai kepada kesulitan yang

tinggi, karena rendahnya daya beli masyarakat untuk memenuhi

kebutuhan pangan dan berakibat timbulnya masalah kekurangan gizi

khususnya pada kelompok rentan seperti bayi dan anak balita

(Aritonang, 2000).

Hal itu kemudian diperparah dengan adanya kenaikan harga

bahan bakar minyak. Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara

2005 diperkirakan harga minyak bumi sebesar US$ 24/barel sehingga

jumlah total subsidi BBM dialokasikan sebesar Rp. 21,0 trilyun tetapi

pada kenyataannya harga minyak dunia tahun 2005 membengkak

pernah menembus US$ 70/barel sehingga beban subsidi BBM menjadi

Rp. 113,7 trilyun. Apabila harga BBM disesuaikan maka subsidi BBM

dapat dikurangi menjadi Rp. 89,2 trilyun dan defisit akan turun menjadi

Rp. 25,1 trilyun (Djalil, 2005).

Sebagai bentuk kompensasi pengurangan subsidi BBM,

Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk memberikan Bantuan

Langsung Tunai (BLT) kepada keluarga miskin (gakin) sebesar

Rp. 100.000/bulan yang diberikan sekaligus untuk 3 bulan. Pada tahap

I yang dimulai pada bulan Oktober 2005, jumlah sasaran gakin pada
waktu itu sebesar 15,5 juta keluarga. Selanjutnya pada tahap II yang

dimulai pada bulan Januari 2006, jumlah sasaran Gakinnya telah

terkoreksi berdasarkan hasil pencocokan dan penelitian (Setiana,

2006)

Data di Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya

hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan

merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi

anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan

pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi

persentasi anak yang kekurangan gizi, makin tinggi pendapatan makin

kecil persentasinya (Depkes RI, 2005).

Di negara berkembang, orang-orang miskin hampir membe-

lanjakan pendapatannya untuk makanan, uang yang berlebih biasanya

berarti susunan makanan akan lebih baik (Berg, 1986).

Bantuan langsung tunai merupakan salah satu dari bentuk

pendapatan di luar pendapatan yang diterima oleh masyarakat sehari-

hari. Kebijakan bantuan langsung tunai pada awal peruntukkannya

adalah untuk peningkatan konsumsi/kesejahteraan masyarakat. Tetapi,

di kemudian hari penggunaan bantuan langsung tunai oleh masyarakat

menjadi tidak jelas peruntukkannya karena bisa digunakan untuk apa

saja yang bukan untuk keperluan produktif.


B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan

dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah program BLT berpengaruh pada besarnya asupan energi?

2. Apakah program BLT berpengaruh pada besarnya asupan protein?

3. Apakah program BLT berpengaruh pada perubahan status gizi?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak

program bantuan langsung tunai terhadap besarnya asupan energi

dan protein serta status gizi balita di Kabupaten Kulonprogo.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

a. Mengetahui pengaruh program BLT terhadap asupan energi

b. Mengetahui pengaruh program BLT terhadap asupan protein

c. Mengetahui pengaruh program BLT terhadap perubahan status

gizi

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan

Tersedianya sebuah karya tulis ilmiah yang dapat dijadikan sebagai

suatu referensi bagi pihak pendidikan dan mahasiswa.


2. Bagi Peneliti

Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam

menerapkan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang hampir serupa dan berhubungan dengan pola

konsumsi dengan status gizi antara lain :

1. Pemanfaatan bantuan langsung tunai pada balita gizi buruk pernah

diteliti oleh Hadi (2005) pada sampel balita gizi kurang dan gizi

buruk di Kabupaten Kulonprogo dan Kotamadia Yogyakarta. Hasil

dari penelitian tersebut menunjukkan tidak ada bukti bahwa

bantuan langsung tunai dapat memperbaiki asupan zat gizi.

Persamaan dengan penelitian ini adalah subyek penelitiannya juga

anak balita usia 0-5 tahun dan lokasi penelitian, sedangkan yang

membedakan adalah konsumsi pangan yang ingin diketahui hanya

energi dan protein.

2. Penelitian Theresia (2000), meneliti tentang dampak krisis ekonomi

terhadap konsumsi makanan dan status gizi. Penelitian ini

mencoba untuk mengkaji pengaruh krisis ekonomi terhadap

konsumsi karbohidrat, protein dan lemak serta status gizi anak-

anak balita di Kecamatan Rindi Umalulu Sumba Timur dengan

subyek 283 orang anak balita. Penelitian ini bersifat observasional


dengan rancangan pre dan post test design yang bersifat deskriptif

analitik. Persamaan dengan penelitian ini adalah subyek

penelitiannya juga anak balita usia 0-5 tahun, sedangkan yang

membedakan dengan penelitian ini adalah ingin mengetahui

konsumsi energi dan protein, lokasi penelitian yang berbeda. Jenis

penelitian yang dilakukan adalah penelitian survey dengan

menggunakan rancangan penelitian cohort.

3. Werdiningsih (2001) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi

perbaikan status gizi balita gizi buruk di Kabupaten Sleman dan

Bantul. Werdiningsih mencoba mengkaji faktor-faktor yang

mempengaruhi status gizi seperti asupan makanan (asupan energi

dan protein), penyakit (batuk, pilek, panas dan diare), faktor anak

(umur, jenis kelamin dan nomor urut anak), faktor keluarga

(pendidikan dan pekerjaan orang tua). Penelitian bersifat

observasional dilakukan secara longitudinal selama 3 bulan dengan

subyek 46 orang anak balita dengan gizi buruk. Persamaan dengan

penelitian ini adalah ingin mengetahui asupan energi dan protein,

sedangkan yang membedakan adalah umur subyek yang diteliti,

lokasi penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Bantuan Langsung Tunai

Salah satu kebijakan pembangunan kurun waktu 2004-2009

seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

(RPJM) adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat yang diantaranya

memuat target menurunkan angka kemiskinan dari 16,7 persen pada

tahun 2004 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009. Target tersebut akan

berhasil jika daya beli penduduk terus dapat ditingkatkan secara

berkelanjutan (Leiyen, 2005).

Pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat

bawah yang jumlahnya sangat besar membutuhkan pembiayaan yang

meningkat setiap tahun dalam alokasi APBN. Namun demikian,

kendala pembiayaan yang dihadapi saat ini adalah membengkaknya

subsidi BBM sebagai akibat dari meningkatnya harga minyak mentah

di pasar Internasional. Jika subsidi tersebut tidak dapat dikendalikan

akan mengganggu pelaksanaan program pembangunan kedepan

khususnya yang menyangkut kehidupan sebagian besar penduduk.

Kenaikan harga BBM disadari akan berdampak secara berantai pada


kenaikan harga barang-barang pokok sehari-hari sehingga akan

berpengaruh pada penurunan daya beli sebagian besar masyarakat

khususnya rumah tangga dengan pendapatan rendah atau rumah

tangga miskin (Leiyen, 2005).

Sebagai kompensasi terhadap kenaikan harga barang dan jasa

yang diakibatkan kenaikan BBM pada awal Maret 2005 pemerintah

meluncurkan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS

BBM). BLT merupakan salah satu program dari PKPS BBM (Program

Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM) (Setiana, 2006).

Pada dasarnya PKPS BBM mengambil dua bentuk, yaitu: dalam

bentuk pemberian bantuan langsung seperti beras murah, bantuan

permakanan, dan bantuan tunai; dan dalam bentuk pemberdayaan

masyarakat seperti dana bergulir dan pemberdayaan ekonomi

masyarakat pesisir (Djalil, 2005).

PKPS BBM tahun 2005, bidang Subsidi Langsung Tunai telah

mengalokasikan dana sebesar Rp. 4,65 trilyun untuk pemberian uang

tunai sebesar Rp. 100.000/rumah tangga/bulan kepada 15,5 juta

rumah tangga miskin (Djalil, 2005).

Kriteria masyarakat yang berhak menerima BLT meliputi

masyarakat sangat miskin, miskin dan mendekati miskin (near poor)

berdasarkan definisi konsumsi kalori atau pengeluaran. Kemudian oleh


BPS, kriteria rumah tangga miskin ini dirinci menjadi 14 variabel yang

diperoleh dari hasil kajian selama bertahun-tahun (Samhadi, 2005).

Besarnya bantuan adalah Rp. 100.000/bulan/rumah tangga

yang dibayarkan per 3 bulan (Rp. 300.000). Tujuan subsidi langsung

tunai adalah mempertahankan tingkat konsumsi/kesejahteraan rumah

tangga miskin bila pemerintah menaikkan harga BBM. (Djalil, 2005).

Karena BLT ini merupakan program yang pertama kali dilakukan

di Indonesia, ditambah lagi dengan persiapan yang sangat singkat,

maka banyak dijumpai permasalahan di lapangan (Setiana, 2006).

Menurut Muhtadi (2005), dana kompensasi BBM yang

diterima masyarakat itu bisa saja digunakan apa saja yang bukan

keperluan produktif, seperti untuk membayar hutang, membeli rokok,

dan bahkan tidak ada larangan dana tersebut digunakan untuk berjudi

dan membeli minuman keras. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya

dengan peningkatan konsumsi/kesejahteraan masyarakat. Tujuan BLT

juga tidak jelas, baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjangnya

apakah untuk entry point, untuk kesejahteraan rakyat atau sekedar

dana kompensasi. Berbeda dengan negara lain, ada sekitar 10 negara

yang membuat program serupa namun dengan sistem conditional cash

transfer (transfer uang bersyarat). Biasanya programnya diperuntukkan

bagi pendidikan, kesehatan dan pangan.


2. Kemiskinan dan Gizi Buruk

Krisis ekonomi yang disertai dengan kekeringan yang

berkepanjangan, dalam jangka pendek atau jangka panjang akan

berdampak negatif tidak saja pada penurunan daya beli masyarakat

tetapi juga ketersediaan bahan makanan bagi penduduk (Utomo,

1998).

Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya

hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan

merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi

anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan

pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi

persentasi anak yang kekurangan gizi, makin tinggi pendapatan makin

kecil persentasinya. Kurang Gizi berpotensi sebagai penyebab

kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Lebih dari

separuh (54%) kematian anak balita didasari oleh kekurangan gizi.

Kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang

cukup sehingga kurang gizi (Depkes RI, 2005)

Di negara berkembang, orang-orang miskin hampir

membelanjakan pendapatannya untuk makanan (di India Selatan

keluarga-keluarga yang miskin menghabiskan 80 persen anggaran

belanjanya untuk makanan, sedang di negeri-negeri maju hanya 45%),

uang yang berlebih biasanya berarti susunan makanan akan lebih


baik. Bila orang miskin bertambah pendapatannya, maka biasanya

mereka akan menghabiskan sebagian besar pengeluaran dan

pendapatannya itu untuk menambah makanan. Tingkatan pendidikan

juga menentukan pola makanan apa yang dibeli dengan uang

tambahan tersebut. Orang miskin biasanya akan membelanjakan

sebagian besar pendapatan tambahan itu untuk makanan, sedang

yang kaya sudah tentu akan lebih kurang dari jumlah itu. Bagian untuk

makanan padi-padian akan menurun dan untuk makanan yang dibuat

dari susu akan bertambah jika keluarga-keluarga beranjak ke

pendapatan tingkat menengah. Semakin tinggi pendapatan, semakin

bertambah pula persentase pertambahan pembelanjaannya termasuk

untuk buah-buahan, sayur-sayuran, dan jenis-jenis makanan lainnya.

Dengan meningkatnya pendapatan per kepala suatu bangsa, maka

makanan yang penuh dengan protein pun akan semakin meningkat.

Dengan demikian, pendapatan merupakan faktor yang paling

menentukan kuantitas dan kualitas makanan. Meski begitu adalah

jelas ada hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi didorong

oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat

bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang

berkaitan dengan keadaan gizi hampir berlaku umum terhadap semua

tingkat pertambahan pendapatan, juga jelas kalau rendahnya

peningkatan pendapatan orang-orang miskin dan lemahnya daya beli


mereka telah tidak memungkinkannya untuk mengatasi kebiasaan

makanan dan cara-cara tertentu yang menghalangi perbaikan gizi

yang efektif, terutama untuk anak-anak mereka.

Ada sejumlah kekecualian pada peraturan-peraturan yang telah

diterima umum. Sebenarnya, teori yang mengatakan bahwa

pertumbuhan ekonomi nasional bisa membawa perbaikan gizi yang

paling baik bersandar pada serangkaian asumsi yang masih bisa

dipertanyakan:

- Peningkatan pada pendapatan per kapita nasional berarti akan

memperbesar dan meningkatkan pendapatan golongan miskin

untuk memperbaiki gizinya

- Pendapatan orang-orang miskin yang meningkat akan segera dan

otomatis membawa peningkatan dalam jumlah pembelanjaan

makanan untuk keluarganya

- Peningkatan pengeluaran makanan oleh keluarga-keluarga miskin

akan membawa perbaikan gizi

- Perbaikan gizi keluarga akan sangat berarti pada anggota-anggota

keluarga yang sangat membutuhkan gizi (Berg, 1986).

Menurut Soekirman pada Pidato Pengukuhan Guru Besar IPB

(1991) dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggu-

langan Gizi buruk mengatakan bahwa kemiskinan merupakan peng-

hambat keluarga untuk memperoleh akses terhadap ketiga faktor


penyebab kekurangan gizi, tetapi untuk mencegah gizi buruk tidak

harus menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi sampai masalah

kemiskinan dituntaskan. Masalahnya berapa lama kita harus

menunggu perbaikan ekonomi, dan membiarkan anak-anak mati akibat

gizi buruk. Kita tahu pembangunan ekonomi rakyat dan menang-

gulangi kemiskinan memakan waktu lama. Pengalaman selama ini

menunjukkan bahwa diperlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk

mengurangi penduduk miskin dari 40% (1976) menjadi 11% (1996).

Data empirik dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi

dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi

menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk

memakmurkan rakyat (Depkes RI, 2005).

Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebab-

kan orang-orang tak mampu membeli pangan dalam jumlah yang

diperlukan. Rendahnya pendapatan itu mungkin disebabkan mengang-

gur atau setengah menganggur karena susahnya memperoleh

lapangan kerja tetap sesuai dengan yang diinginkan (Sajogyo dkk,

1994)

3. Asupan Energi dan Protein

Rendahnya tingkat pendapatan keluarga mempengaruhi

kemampuan daya beli keluarga itu sendiri sehingga pemenuhan


kebutuhan gizi keluarga semakin berkurang, sehingga pola konsumsi

makanan keluarga akan berubah dari keadaan sebelum krisis. Akan

terjadi perubahan pola konsumsi makanan atau perubahan frekuensi

makan keluarga terhadap makanan tertentu yang pada akhirnya akan

mempengaruhi status gizi keluarga termasuk anak balita sebagai

konsumen pasif yang tergantung sepenuhnya kepada orang tua,

dalam hal ini ibu.

Terbatasnya bahan makanan yang tersedia dan rendahnya

tingkat pendapatan masyarakat dapat mengakibatkan masyarakat

tidak dapat memilih bahan makanan yang akan dimakan, sehingga

kebutuhan gizinya tidak terpenuhi (Winarno, 1993).

Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh metabolisme basal,

umur, aktivitas fisik, suhu lingkungan serta kesehatannya. Kita tidak

perlu menghitung lagi jumlah yang diperlukan melainkan dapat melihat

dari tabel mengenai jumlah yang dianjurkan (tabel RDA) bagi semua

golongan umur. Kebutuhan energi berbeda-beda walaupun pada umur

yang sama, terutama oleh perbedaan aktivitas fisiknya, maka untuk

menentukan jumlah makanan yang harus diberikan untuk semua anak

dari golongan umur tertentu tidak mungkin. Angka-angka yang

tercantum dalam daftar kecukupan gizi sangat membantu untuk

menentukan jumlah energi yang harus diberikan. Angka yang


tercantum tidak merupakan angka minimum yang diperlukan, akan

tetapi beberapa persen di atas kebutuhan rata-rata (Pudjiadi, 2003)

Widya Karya Pangan dan Gizi ke-8 menganjurkan kecukupan

gizi energi rata-rata yang dianjurkan untuk umur 0-6 bln 550 kkal, 7-12

bln 650 kkal, 1-3 tahun 1000 kkal dan 4-6 tahun 1550 kkal (LIPI, 2004)

Kebutuhan akan protein bagi tiap kilogram berat badannya ada-

lah tinggi pada bayi oleh sebab pertumbuhannya yang cepat sekali,

untuk kemudian berkurang dengan bertambahnya umur. Jumlah prote-

in yang diberikan dianggap adekuat jika mengandung semua asam

amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna dan diserap

oleh tubuh. Maka protein yang diberikan harus sebagian berupa

protein yang berkualitas tinggi seperti protein hewani (Pudjiadi, 2003).

Widya Karya Pangan dan Gizi ke-8 menganjurkan kecukupan

gizi protein rata-rata yang dianjurkan untuk umur 0-6 bl 10 gr, 7-12 bln

16 gr, 1-3 tahun 25 gr dan untuk anak umur 4-6 tahun adalah 39 gr

(LIPI, 2004).

4. Status Gizi

Ada tiga konsep yang harus dipahami dalam membahas tentag

status gizi, yaitu (a) proses dari organisme dalam menggunakan bahan

makanan melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi,

penyimpanan, metabolisme dan pembuangan untuk pemeliharaan


hidup, pertumbuhan, fungsi organ tubuh, dan produksi energi. Proses

ini disebut gizi (nutrition), (b) keadaan yang disebabkan oleh

keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi disebut

nutriture, (c) tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh

nutriture dapat dilihat pada variabel tertentu, hal ini disebut status gizi

(nutritional status) yaitu hasil interaksi antara masukan gizi dan

lingkungan yang didasari oleh faktor genetik (Suharjo, 1990).

Pada prinsipnya, penilaian status gizi anak serupa dengan

penilaian pada periode kehidupan lainnya. Pemeriksaan yang perlu

diperhatikan tentu saja bergantung pada bentuk kelainan yang

bertalian dengan kejadian penyakit tertentu. Kurang kalori protein,

misalkan, lazim menjangkiti anak. Oleh karena itu, pemeriksaan

tehadap tanda dan gejala ke arah sana termasuk pula kelainan yang

menyertainya, perlu dipertajam (Arisman, 2004)

Kurang energi protein adalah suatu bentuk masalah gizi yang

disebabkan oleh berbagai faktor, terutama makanan yang tidak

memenuhi kebutuhan anak akan energi dan protein serta karena

infeksi, yang berdampak pada penurunan status gizi anak dari bergizi

baik atau normal menjadi bergizi kurang atau buruk. Dengan demikian

untuk mengetahui ada tidaknya kurang energi protein pada anak perlu

dilakukan pengukuran keadaan atau status gizi anak. Ada beberapa

cara mengukur status gizi anak, yaitu dengan pengukuran


antropomerik, klinik dan laboratorik. Diantara ketiganya, pengukuran

antropometrik adalah yang relatif paling sederhana dan banyak

dilakukan. (Soekirman, 2000).

Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui dengan

mengukur berat badan (BB) atau tinggi badan (TB) sesuai dengan

umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator

yang dapat merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-masing

indikator mempunyai makna tersendiri.

Indikator berat badan menurut umur menunjukkan secara

sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah. Namun

indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi

oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator tinggi badan

menurut umur menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator

berat badan menurut tinggi badan menggambarkan secara sensitif dan

spesifik status gizi saat ini.

a. Indikator berat badan menurut umur (BB/U)

Indikator BB/U dapat normal, lebih rendah, atau lebih tinggi setelah

dibandinglan dengan standar WHO. Apabila BB/U normal,

digolongkan pada status gizi baik. BB/U rendah dapat berarti

berstatus gizi kurang atau buruk. Sedang BB/U tinggi dapat

digolongkan berstatus gizi lebih. Baik status gizi kurang maupun

status gizi lebih kedua-duanya mengandung resiko yang tidak baik


bagi kesehatan. Status gizi kurang yang diukur dengan indikator

BB/U di dalam ilmu gizi dikelompokkan ke dalam kelompok berat

badan rendah (BBR) atau underweight. Menurut tingkat kepa-

rahannya BBR dikelompokkan lagi ke dalam kategori BBR tingkat

ringan (mild), sedang (moderate) dan berat (severe). BBR tingkat

berat atau sangat berat sering disebut sebagai status gizi buruk.

1) Kelebihan indikator BB/U

- Dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat

umum

- Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka

waktu pendek

- Dapat mendeteksi kegemukan

2) Kelemahan indikator BB/U

- Interpretasi status gizi dapat keliru apabila terdapat

pembengkakan

- Data umur yang akurat sering sulit diperoleh terutama di

negara-negara yang sedang berkembang

- Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak yang

tidak dilepas/dikoreksi dan anak bergerak terus

- Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi orang

tua untuk tidak mau menimbang anaknya karena dianggap

seperti barang dagangan


b. Indikator tinggi badan/panjang badan menurut umur (TB/U atau

PB/U)

Mereka yang diukur dengan indikator TB/U atau PB/U dapat

dinyatakan TBnya normal, kurang dan tinggi, menurut standar

WHO. Bagi yang TB/U kurang menurut WHO dikategorikan sebagai

stunted yang diterjemahkan sebagai pendek tak sesuai umurnya

atau PTSU. Tingkat keparahannya dapat digolongkan menjadi

ringan, sedang dan berat atau buruk.

Hasil pengukuran TB/U menggambarkan status gizi masa lalu.

Seorang yang tergolong PTSU kemungkinan keadaan gizi masa

lalunya tidak baik. Berbeda dengan BBR yang diukur dengan BB/U

yang mungkin dapat diperbaiki dalam waktu pendek baik pada

anak maupun dewasa, PTSU pada dewasa tidak dapatlagi

dipulihkan atau dinormalkan. Pada anak balita kemungkinan untuk

menormalkan pertumbuhan linier dan mengejar pertumbuhan

potensial (catch up growth) masih ada. Sedangkan pada anak usia

sekolah sampai remaja kemungkinan menormalkan pertumbuhan

linier masih ada, tetapi kemungkinan kecil untuk dapat catch-up

growth.

Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan

bertambahnya umur. Pertambahan tinggi atau panjang badan relatif

kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu yang singkat.


Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru

terlihat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu indikator

TB/U menggambarkan status gizi masa lampau.

1) Kelebihan indikator TB/U (PB/U)

- Dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi masa

lampau

- Dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk

2) Kelemahan indikator TB/U (PB/U)

- Kesulitan dalam pengukuran panjang badan pada kelompok

usia balita

- Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat kini

- Memerlukan data umur yang akurat yang sering sulit

diperoleh di negara-negara berkembang

- Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur,

terutama bila dilakukan oleh petugas non-profesional.

c. Indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Pengukuran antropometrik yang terbaik adalah menggunakan

indikator BB/TB. Ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat

ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya, mereka yang BB/TB

kurang, dikategorikan sebagai kurus atau wasted.

Berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam

keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti


pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan

demikian berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi

badannya. Indikator BB/TB merupakan indikator yang baik untuk

menilai status gizi saat kini, terutama bila data umur yang akurat

sering sulit diperoleh. Oleh karena itu indikator BB/TB merupakan

indikator yang independen terhadap umur.

1) Kelebihan pemakaian indikator BB/TB

- Independen terhadap umur dan ras

- Dapat menilai status kurus dan gemuk dan keadaan

marasmus atau KEP berat lain

2) Kelemahan pemakaian indikator BB/TB

- Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak yang

tidak dilepas/dikoreksi dan anak bergerak terus

- Masalah sosial budaya setempat yang mempengaruhi

orangtua untuk tidak mau menimbang anaknya karena

dianggap seperti barang dagangan

- Kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan atau

tinggi badan pada kelompok balita

- Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur,

terutama bila dilakukan oleh petugas non-profesional

- Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut

pendek, normal atau jangkung.


B. Kerangka Teoretis

Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait.

Secara langsung dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu: anak tidak cukup

mendapat makanan bergizi seimbang, anak tidak mendapat asupan

gizi yang memadai dan anak mungkin menderita infeksi (Depkes RI,

2005).

Gbr. 1. Kaitan antara asupan gizi, makan tidak seimbang, infeksi


penyakit dengan status gizi.

Status Gizi

Asupan Gizi Infeksi penyakit

Ketersediaan Perilaku/asuh Pelayanan


pangan tingkat an Ibu dan kesehatan
rumah tangga anak

Kemiskinan, pendidikan rendah,


ketersediaan pangan, kesempatan kerja

Krisis politik dan ekonomi

Sumber : Unicef (1996)


Gbr. 2. Kaitan antara perbaikan gizi dan kemiskinan

Kemiskinan Ekonomi
kurang meningkat

Perbaikan gizi,
Peningkatan Investasi Sektor sosial
tumbuh kembang,
produktivitas fisik dan mental (Gizi, kes, pendidikan)
anak

Peningkatan
kualitas SDM

Sumber: Martorell (1992) dalam Depkes RI (2005)

Pada model jaring-jaring sebab akibat, suatu penyakit tidak tergantung

pada satu sebab yang berdiri sendiri, melainkan merupakan

serangkaian proses sebab dab akibat. Dengan demikian, timbulnya

penyakit dapat dicegah atau diatasi dengan memotong rantai pada

berbagai titik. Berdasarkan metode ini, dalam usaha memerangi

masalah gizi, kita harus melakukan intervensi berdasarkan penyebab

utama dari masalah gizi (root causes of malnutrition).


Gbr. 3. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi

Zat gizi dalam


makanan

Ada tidaknya pemberian


makanan di luar keluarga
Konsumsi
Daya beli keluarga makanan
Status Gizi

Kebiasaan makan
Kesehatan
Pemeliharaan kesehatan

Lingkungan fisik dan


sosial

Sumber: Call dan Levinson (1871) dalam Supariasa (2001)

C. Kerangka Konseptual

Asupan Energi Perubahan


Program BLT
dan protein Status Gizi

D. Hipotesis

1. Asupan energi pada kelompok balita yang menerima BLT lebih

tinggi daripada kelompok balita yang tidak menerima BLT.

2. Asupan protein pada kelompok balita yang menerima BLT lebih

tinggi daripada kelompok balita yang tidak menerima BLT.

3. Perubahan status gizi kelompok balita yan menerima BLT lebih baik

daripada kelompok balita yang tidak menerima BLT.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei dengan

menggunakan rancangan penelitian Cohort. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui dampak program bantuan langsung tunai terhadap

besarnya asupan energi dan protein serta status gizi pada kelompok

penerima BLT dan bukan penerima BLT.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Kulonprogo dan dilakukan pada

bulan Agustus dan bulan Desember 2005. Alasan pemilihan

Kabupaten Kulonprogo didasarkan pada banyaknya prevalensi gizi

buruk dibandingkan dengan kabupaten lain di propinsi D.I. Yogyakarta

pada skrining gizi buruk bulan Agustus yaitu sebesar 1,66%.

C. Populasi dan Subyek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita gizi buruk dan gizi

kurang di Kabupaten Kulonprogo. Subyek penelitian adalah seluruh

balita yang diidentifikasi berstatus gizi buruk dan gizi kurang yang

diambil sebagai sampel pada saat skrining I di Kabupaten Kulonprogo.


D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1. Lembar kuesioner

2. Formulir food recall

3. Dacin berkapasitas 25 kg dengan ketelitian 0,1 kg

E. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : program bantuan langsung tunai.

2. Variabel antara : asupan energi dan protein

3. Variabel terikat : perubahan status gizi

F. Definisi Operasional Penelitian

1. Bantuan Langsung Tunai

Bantuan langsung tunai adalah program bantuan dari pemerintah

kepada rumah tangga miskin dalam rangka kompensasi

pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) berupa uang

sebesar Rp. 100.000/bulan.

Parameter: menerima dan tidak menerima.

Skala : nominal

2. Asupan Energi

Asupan energi adalah jumlah intake energi rata-rata sehari yang

dinyatakan dalam satuan kilokalori (kkal), diperoleh dengan metode

recall 24 jam selama 3 hari.


Skala: rasio, ordinal.

Parameter : Tidak adekuat < 80% AKG

Adekuat 80% AKG

3. Asupan Protein

Asupan protein adalah jumlah intake protein rata-rata sehari yang

dinyatakan dalam satuan gram (g), diperoleh dengan metode recall

24 jam selama 3 hari.

Skala: rasio, ordinal

Parameter : Tidak adekuat < 80% AKG

Adekuat 80% AKG

4. Perubahan Status Gizi

Variabel perubahan status gizi adalah perubahan status gizi, pada

skrining II dibandingkan dengan status gizi pada skrining I yang

diukur berdasarkan indeks berat badan menurut umur dengan

menggunakan standar deviasi unit (Z-score). Skala : nominal

Parameter :

Meningkat: bila status gizi mengalami perubahan dari buruk

ke sedang, buruk ke baik, kurang ke baik.

Tidak meningkat: bila status gizi dari buruk ke buruk, dari

kurang ke kurang dan dari kurang ke buruk


G. Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang didapat melalui

pencatatan hasil skrining I (bulan Agustus) dan skrining II (bulan

Desember) balita gizi buruk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

tahun 2005. Data diambil dari Program Studi Gizi Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

H. Cara Pengolahan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini kemudian diolah. Untuk

melihat gambaran variabel univariat dianalisis secara deskriptif dengan

menggunakan tabel distribusi frekuensi sedangkan untuk analisis

bivariat menggunakan program SPSS (Statistical Program for Social

Science). Untuk menguji pengaruh program bantuan langsung tunai

terhadap besarnya asupan energi dan protein dilakukan dengan

independent t-test. Sedangkan untuk menguji pengaruh program

bantuan langsung tunai terhadap perubahan status gizi digunakan uji

chi-square. Apabila syarat-syarat untuk uji tersebut tidak terpenuhi

maka akan digunakan uji alternatifnya yaitu Mann-Whitney untuk

independent t-test dan Fisher-Exact untuk chi-square. Derajat

kepercayaan yang digunakan adalah 95% ( = 0,05).


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Subyek Penelitian

Subyek yang diteliti dalam penelitian ini sebanyak 528 balita.

Data jumlah balita tersebut didapat melalui pencatatan hasil skrining

yang dilakukan di daerah Kulonprogo tahun 2005. Setelah

ditindaklanjuti, yang dapat menjadi subyek penelitian sebanyak 419

orang. Sisanya sebanyak 109 balita tidak dapat menjadi subyek

penelitian karena setelah dilakukan pendataan ulang, ternyata 106

balita tidak termasuk balita berstatus gizi buruk atau kurang, dan 3

balita lainnya tidak ada data asupan energi dan proteinnya.

1. Menurut Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar subyek penelitian

adalah perempuan sebanyak 225 orang (53,7%) sedangkan subyek

yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 194 (46,3%) orang

Dari hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan

program BLT (Tabel 1) dapat dilihat bahwa ada sebanyak 66 dari 194

(34,02%) subyek berjenis kelamin laki-laki yang menerima BLT.

Sedangkan diantara subyek yang berjenis kelamin perempuan ada 76

dari 225 (33,78%) yang menerima BLT. Hasil uji statistik diperoleh nilai

p = 0,958 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan


proporsi kejadian penerimaan program BLT antara subyek berjenis

kelamin laki-laki dan subyek yang berjenis kelamin perempuan.

Tabel 1. Distribusi frekuensi jenis kelamin berdasarkan


penerimaan BLT
Program BLT
Menerima Tidak Total
Jenis kelamin x2 p-value
BLT menerima BLT
n % n % n %
Laki-laki 66 34,02 128 65,98 194 100 0,003 0,958
Perempuan 76 33,78 149 66,22 225 100
Jumlah 142 33,89 277 66,11 419 100

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa distribusi subyek penelitian

berdasarkan jenis kelamin untuk kedua kelompok di atas adalah

homogen.

2. Menurut Umur

Dari hasil analisis hubungan antara umur dengan program BLT

(Tabel 2) diperoleh bahwa ada sebanyak 48 dari 138 (34,78%) subyek

berusia kurang dari 24 bulan menerima BLT dan ada sebanyak 79 dari

234 (33,76%) subyek berusia antara 24 48 bulan yang menerima

BLT. Sedangkan diantara subyek yang berusia lebih dari 48 bulan ada

15 dari 47 (31,91%) yang menerima BLT. Hasil uji statistik diperoleh

nilai p = 0,936 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan

proporsi kejadian penerimaan program BLT antara subyek yang

berusia kurang dari 24 bulan, berusia 24 48 bulan dan yang berusia

lebih dari 48 bulan.


Tabel 2. Distribusi frekuensi umur berdasarkan penerimaan BLT
Program BLT
Menerima Tidak Total
Umur (bulan) x2 p-value
BLT menerima BLT
n % n % n %
< 24 48 34,78 90 65,22 138 100 0,133 0,936
24 48 79 33,76 155 66,24 234 100
> 48 15 31,91 32 68,09 47 100
Jumlah 142 33,89 277 66,11 419 100

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa distribusi subyek penelitian

berdasarkan umur untuk kedua kelompok di atas adalah homogen.

B. Analisis Univariat

1. Asupan Energi

Dari hasil analisis univariat terhadap variabel asupan energi

terhadap keseluruhan subyek penelitian didapatkan ada sebanyak 160

(38,2%) dari 419 balita yang asupan energinya adekuat. Sedangkan

sisanya asupan energinya tidak adekuat yaitu sebanyak 259 (61,8%)

balita.

Pada kelompok balita yang menerima BLT didapatkan 45

(31,7%) dari 142 balita yang asupan energinya adekuat sementara

sebanyak 97 (68,3%) balita asupan energinya tidak adekuat.

Sedangkan pada kelompok balita yang tidak menerima BLT

didapatkan 115 (41,5%) dari 277 balita yang asupan energinya

adekuat sementara sebanyak 162 (58,5%) balita asupan energinya

tidak adekuat.
Gbr 4. Persentase asupan energi berdasarkan penerimaan BLT

90
80
68.3
% Asupan Energi

70
58.5
60
50 41.5
40
31.7
30
20
10
0
Adekuat Tidak adekuat

Asupan energi

Menerima BLT Tidak menerima BLT

Dari hasil analisis statistik deskriptif terhadap variabel asupan

energi pada subyek yang menerima BLT didapatkan rata-rata asupan

energi balita adalah 727,87 kkal (95% CI: 664,63 - 791,11) dengan

standar deviasi 381,199 kkal. Asupan terendah 70 kkal dan asupan

tertinggi 2232 kkal.

Sedangkan asupan energi pada subyek yang tidak menerima

BLT didapatkan rata-rata asupan energinya adalah 821,50 kkal (95%

CI: 774,07 - 868,94), dengan standar deviasi 401,029 kkal. Asupan

terendah 52 kkal dan asupan tertinggi 2190 kkal.


Gbr 5. Rata-rata asupan energi berdasarkan penerimaan BLT

840
820
Asupan Energi (kkal)

821.5
800
780
760
740
720 727.87

700
680
Menerima BLT Tidak menerima BLT

Program BLT

2. Asupan Protein

Dari hasil analisis univariat terhadap variabel asupan protein

terhadap keseluruhan subyek penelitian didapatkan ada sebanyak 219

(52,3%) dari 419 balita yang asupan proteinnya adekuat. Sedangkan

sisanya asupan proteinnya tidak adekuat yaitu sebanyak 200 (47,7%)

balita.

Pada kelompok balita yang menerima BLT didapatkan 62

(43,7%) dari 219 balita yang asupan proteinnya adekuat sementara

sebanyak 157 (56,7%) balita asupan proteinnya tidak adekuat.

Sedangkan pada kelompok balita yang tidak menerima BLT

didapatkan 80 (56,3%) dari 200 balita yang asupan proteinnya adekuat

sementara sebanyak 120 (43,3%) balita asupan proteinnya tidak

adekuat.
Gbr 6. Persentase asupan protein berdasarkan penerimaan BLT

90
80
% Asupan protein

70
56.7 56.3
60
43.7 43.3
50
40
30
20
10
0
Adekuat Tidak adekuat

Asupan protein

Menerima BLT Tidak menerima BLT

Dari hasil analisis statistik deskriptif terhadap variabel asupan

protein pada subyek yang menerima BLT didapatkan rata-rata asupan

protein adalah 24,4675 gr (95% CI: 20,5390 - 28,3960) dengan standar

deviasi 23,67984 gr. Asupan terendah 0,10 gr dan asupan tertinggi

189,00 gr.

Sedangkan asupan protein pada subyek yang tidak menerima

BLT didapatkan rata-rata asupan proteinnya adalah 27,5696 gr (95%

CI: 25,1971 - 29,9421), dengan standar deviasi 20,05831 gr. Asupan

terendah 1,88 gr dan asupan tertinggi 154 gr.


Gbr 7. Rata-rata asupan protein berdasarkan penerimaan BLT

28
Asupan protein (gram)

27.5 27.5696
27
26.5
26
25.5
25
24.5
24.4675
24
23.5
23
22.5
Menerima BLT Tidak menerima BLT
Program BLT

3. Perubahan Status Gizi

Tabel 3 menunjukkan distribusi frekuensi perubahan status gizi

berdasarkan kelompok balita yang menerima BLT dan tidak menerima

BLT.

Tabel 3. Distribusi frekuensi perubahan status gizi


berdasarkan penerimaan BLT
Tidak Menerima
Menerima BLT Jumlah
Perubahan status gizi BLT
n % n % n %
Gizi buruk menjadi gizi kurang 10 31,25 22 68,75 32 100
Gizi buruk menjadi gizi baik 3 42.86 4 57,14 7 100
Gizi kurang menjadi gizi baik 27 36,49 47 63,51 74 100
Gizi buruk menjadi gizi buruk 16 31,37 35 68,63 51 100
Gizi kurang menjadi gizi kurang 72 32,88 147 67,12 219 100
Gizi kurang menjadi buruk 14 38,89 22 61,11 36 100
142 277 419
Dari 142 balita yang menerima BLT terdapat 40 (28,17%) balita

yang mengalami peningkatan status gizi yaitu dari status gizi buruk

menjadi status gizi kurang sebanyak 10 balita, dari status gizi buruk

menjadi gizi baik sebanyak 3 balita dan dari status gizi kurang menjadi

status gizi baik sebanyak 27 balita. Sedangkan sisanya sebanyak 102

(71,83%) balita tidak mengalami peningkatan status gizi yaitu dari

status gizi gizi buruk menjadi status gizi buruk sebanyak 16 balita, dari

status gizi kurang menjadi status gizi kurang sebanyak 72 balita dan

sisanya dari status gizi kurang menjadi status gizi buruk sebanyak 14

balita.

Sementara dari 277 balita yang tidak menerima BLT terdapat 73

(26,35%) balita yang mengalami peningkatan status gizi yaitu dari

status gizi buruk menjadi status gizi kurang sebanyak 22 balita, dari

status gizi buruk menjadi gizi baik sebanyak 4 balita dan dari status gizi

kurang menjadi status gizi baik sebanyak 47 balita. Sedangkan sisanya

sebanyak 204 (73,65%) balita tidak mengalami peningkatan status gizi

yaitu dari status gizi gizi buruk menjadi status gizi buruk sebanyak 35

balita, dari status gizi kurang menjadi status gizi kurang sebanyak 147

balita dan sisanya dari status gizi kurang menjadi status gizi buruk

sebanyak 22 balita.

Gambar 8 menunjukkan perbandingan perubahan status gizi

antara kelompok balita yang menerima dan yang tidak menerima BLT.
Gbr 8. Persentase perubahan status gizi berdasarkan penerimaan BLT

90
80 73.65
% perubahan starus gizi

71.83
70
60
50
40
28.17 26.35
30
20
10
0
Meningkat Tidak meningkat

Perubahan Status Gizi

Menerima BLT Tidak menerima BLT

C. Analisis Bivariat

1. Pengaruh program BLT terhadap asupan energi dan protein

Untuk menguji pengaruh program BLT terhadap asupan energi

dan protein digunakan uji statistik non paramaterik menggunakan uji

Mann-Whitney. Berdasarkan hasil uji normalitas data asupan energi

dan protein tidak memiliki sebaran nomal.

Dari hasil uji pengaruh program BLT terhadap asupan energi

didapatkan nilai p = 0,005. Karena nilai p < 0,05 maka Ho ditolak.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan

rerata asupan energi pada kelompok balita yang menerima BLT

dengan balita yang tidak menerima BLT (Tabel 4). Dimana rata-rata
asupan energi pada kelompok balita yang menerima BLT adalah

727,87 kkal dan rata-rata asupan energi untuk kelompok balita yang

tidak menerima BLT adalah 821,50 kkal.

Tabel 4. Hasil uji beda program BLT terhadap asupan energi

p value p value
Program BLT n Mean SD SE
(2-tailed) (1-tailed)
Menerima BLT 142 727,87 381,199 31,989 0,010 0,005
Tidak menerima BLT 277 821,50 401,290 24,095

Sedangkan untuk uji pengaruh program BLT terhadap asupan

protein didapatkan hasil nilai p = 0,003. Karena nilai p < 0,05 maka Ho

ditolak. Dari hasil uji statistik ini dapat diambil kesimpulan bahwa

terdapat perbedaan rerata asupan protein pada kelompok balita yang

menerima BLT dengan balita yang tidak menerima BLT (Tabel 5).

Dimana rata-rata asupan protein pada kelompok balita yang menerima

BLT adalah 24,47 gram dan rata-rata asupan protein untuk kelompok

balita yang tidak menerima BLT adalah 27,57 gram.

Tabel 5. Hasil uji beda program BLT terhadap asupan protein

p value p value
Program BLT n Mean SD SE
(2-tailed) (1-tailed)
Menerima BLT 142 24,4675 23,67984 1,98717 0,006 0,003
Tidak menerima BLT 277 27,5696 20,05831 1,20519

Dari hasil uji analisis pengaruh program BLT terhadap asupan

energi dan protein didapatkan hasil bahwa rata-rata asupan energi


maupun protein pada kelompok balita yang menerima BLT ternyata

lebih rendah daripada kelompok balita yang tidak menerima BLT.

Gambar 4 menunjukkan bahwa pada kelompok yang menerima

BLT, persentase balita yang asupan energinya adekuat hanyalah

31,7%. Persentase ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan

persentase asupan energi pada kelompok balita penerima BLT yang

adekuat (41,5%).

Demikian pula halnya dengan persentase asupan protein

(Gambar 6). Pada kelompok balita yang menerima BLT, hanya ada

43,7% balita yang asupan proteinnya adekuat. Dibandingkan dengan

persentase asupan protein adekuat pada kelompok balita yang tidak

menerima BLT (56,3%), persentase kelompok balita yang menerima

BLT ini juga terbilang lebih rendah.

Tampaknya, program BLT yang diberikan kepada setiap rumah

tangga miskin belum sepenuhnya dipergunakan untuk pemenuhan

kebutuhan konsumsi makanan terutama untuk konsumsi makanan

anak balita. Pengawasan pemerintah terhadap penggunaan BLT

memang tidak ada. Tidak adanya pengawasan pemerintah ini bisa

menyebabkan penyelewengan penggunaan BLT oleh rumah tangga

miskin untuk keperluan yang tidak berkaitan dengan peningkatan

kesejahteraan.
Seperti yang diutarakan oleh Muhtadi (2005), BLT sebagai

dana kompensasi BBM yang diterima oleh rumah tangga miskin itu

bisa digunakan untuk apa saja yang bukan keperluan produktif seperti

misalnya untuk membayar hutang, membeli rokok, dan bahkan tidak

ada larangan dana itu dipergunakan untuk berjudi atau membeli

minuman keras. Jadi tidak ada sama sekali sangkut pautnya dengan

peningkatan kesejahteraan.

Hal ini jelas tidak sejalan dengan pernyataan Berg (1986) yang

mengatakan bahwa di negara berkembang, orang-orang miskin hampir

membelanjakan pendapatannya hanya untuk makanan. Bila orang

miskin bertambah pendapatannya, maka biasanya mereka akan

menghabiskan sebagian besar pengeluaran dan pendapatannya itu

untuk menambah makanan sementara orang yang sudah kaya tentu

akan lebih kurang dari jumlah itu.

Kurangnya konsumsi makanan dapat disebabkan karena tidak

tersedianya pangan secara memadai. Lebih lanjut masalah konsumsi

makanan ini dapat berkaitan dengan rendahnya pendapatan.

Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga miskin memang dapat

mengakibatkan ketidakmampuan untuk membeli bahan makanan

tetapi dengan adanya tambahan pendapatan yang berasal dari

program BLT diharapkan bisa meningkatkan kemampuan daya beli

rumah tangga miskin. Meski besarnya asupan energi dan protein


kelompok balita yang menerima BLT tidak bisa melebihi asupan energi

pada kelompok balita yang tidak menerima BLT, namun paling tidak

hampir mendekati besarnya asupan energi dan protein pada kelompok

balita yang tidak menerima BLT.

2. Pengaruh program BLT terhadap perubahan status gizi

Dari 419 balita yang menjadi subyek penelitian terdapat 113

(27%) balita yang mengalami perbaikan status gizi, sedangkan 306

(73%) balita tidak mengalami perbaikan status gizi (Tabel 6).

Tabel 6. Hasil uji beda program BLT terhadap perubahan status gizi
Perubahan Status Gizi
Tidak Total p value p value
Program BLT Meningkat
meningkat (2 tailed) (1 tailed)
n % n % n %
Menerima BLT 40 28,2 102 71,8 142 100 0,692 0,346
Tidak menerima
73 26,4 204 73,6 277 100
BLT
Jumlah 113 27,0 306 73,0 419

Dari hasil uji chi-square didapatkan nilai p = 0,346. Karena nilai

p > 0,05 maka Ho diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa perubahan status gizi pada kelompok balita yang menerima

BLT sama dengan kelompok balita balita yang tidak menerima BLT.

Asupan gizi adalah faktor penyebab langsung yang bisa

mempengaruhi status gizi balita selain infeksi (lihat Gbr. 1). Meski dari

hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan energi pada kelompok

balita yang menerima BLT lebih rendah (727,87 kkal) dari yang tidak
menerima BLT (821,50 kkal) dan asupan protein kelompok yang

menerima BLT juga lebih rendah (24,47 gram) dari kelompok balita

yang tidak menerima BLT (27,57 gram) namun ternyata perubahan

status gizi pada kelompok balita yang menerima BLT dan yang tidak

menerima BLT justru menunjukkan tidak ada perbedaan (p = 0,346).

Dari hasil uji beda terhadap rerata z-score skrining I dan z-score

skrining II (Tabel 7) pada kelompok balita yang menerima BLT

menggunakan uji t-berpasangan menghasilkan kesimpulan bahwa

terdapat perbedaan rerata z-score pada kelompok balita penerima

BLT dimana nilai z-score pada skrining I lebih rendah dari nilai z-score

pada skrining II (p = 0,002). Hasil yang sama juga didapat pada

kelompok balita yang tidak menerima BLT dimana nilai z-score pada

skrining I lebih rendah dari nilai z-score pada skrining II (p = 0,000).

Uji ini membuktikan bahwa baik kelompok balita yang menerima

BLT maupun yang tidak menerima BLT sama-sama terjadi

peningkatan status gizi.

Tabel 7. Hasil uji beda rerata z-score skrining I


dan z-score skrining II
Nilai z-score
t p-value
Menerima BLT Tidak menerima BLT

Skrining I -2,72 0,68 -2,69 0,48 -0,584 0,560


Skrining II -2,54 0,75 -2,52 0,69 -0,340 0,734
t -3,099 -4,267
p-value 0,002 0,000
0,18 0,70 0,17 0,66 0,176 0,860
Efek dari peningkatan status gizi pada kedua kelompok tersebut

bisa terlihat dari tidak adanya perbedaan rerata nilai z-score antara

kelompok balita yang menerima BLT dan kelompok balita yang tidak

menerima BLT baik pada skrining I maupun skrining II. Dari tabel 7,

bisa disimpulkan bahwa nilai z-score pada skrining I antara kelompok

balita yang menerima BLT dan kelompok balita yang tidak menerima

BLT tidak menunjukkan adanya perbedaan rerata (p = 0,560). Hasil

yang sama juga didapat pada skrining II, dimana dari hasil uji beda

terhadap rerata nilai z-score antara kelompok balita yang menerima

BLT dan kelompok balita yang tidak menerima BLT menghasilkan nilai

p = 0,734 yang berarti bahwa rerata nilai z-score pada kelompok balita

yang menerima BLT dan kelompok balita yang tidak menerima BLT

adalah sama.

Pembuktian lebih lanjut adalah dengan menguji perbedaan

rerata delta nilai z-score pada skrining I dan skrining II antara

kelompok balita yang menerima BLT dan kelompok balita yang tidak

menerima BLT.

Dari hasil uji statistik menggunakan uji t-tidak berpasangan

didapatkan kesimpulan tidak ada perbedaan rerata delta nilai z-score

antara kelompok balita yang menerima BLT dan kelompok balita yang

tidak menerima BLT (p = 0,860) (Tabel 8).


Tabel 8. Hasil uji beda rerata delta nilai z-score

Program BLT n Mean SD t df p value


Menerima BLT 142 0,1821 0,70008 0,176 417 0,860
Tidak menerima BLT 277 0,1698 0,66227

Dari gambar 8 terlihat bahwa perubahan status gizi pada

kelompok balita penerima BLT yang mengalami peningkatan status gizi

sebanyak 28,17% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok

balita yang tidak menerima BLT (26,35%).

Dari hasil uji beda rerata terhadap delta nilai z-score (Tabel 8)

bisa dikatakan bahwa perubahan status gizi pada kelompok balita

penerima BLT yang mengalami peningkatan status gizi, itu karena

adanya pengaruh dari pemberian program BLT.

Dalam kurun waktu 2,5 bulan semenjak program BLT

digulirkan pada bulan Oktober kelompok balita yang menerima BLT

mengalami perubahan status gizi yang cukup signifikan hingga sampai

pada tingkat yang sama dengan kelompok balita yang tidak menerima

BLT. Bahkan bila dilihat dari selisih rerata delta nilai z-score bisa

dikatakan bahwa kelompok balita yang menerima BLT 0,01 lebih baik

daripada kelompok balita yang tidak menerima BLT ( z-score

menerima BLT= 0,18 dan z-score tidak menerima BLT = 0,17).


Terkait dengan hal tersebut, memang terdapat beberapa faktor

penyebab yang berkaitan dengan perubahan status gizi. BLT hanya

salah satu cara untuk meningkatkan status gizi balita tapi bukan satu-

satunya cara untuk memperbaiki status gizi.

Menurut Roedjito (1989) masalah kurang gizi merupakan

masalah yang sangat kompleks karena banyak faktor yang menjadi

penyebabnya antara lain tingkat konsumsi makanan, infeksi dan faktor-

faktor lain yang berhubungan dengan aspek produksi dan penyediaan

pangan, ekonomi, pendidikan, budaya dan lain-lain.

Senada dengan Apriaji (1986) yang menyatakan bahwa cukup

tidaknya zat gizi yang masuk ke dalam tubuh akan menentukan tingkat

kesehatan atau status gizi seseorang yang dipengaruhi oleh banyak

faktor. Faktor-faktor yang berperan dalam menentukan status gizi

seseorang pada dasarnya terdiri dari dua bagian, yaitu faktor gizi

eksternal dan faktor gizi internal. Yang dimaksud dengan faktor gizi

internal di sini adalah kemampuan cerna, status kesehatan, status

fisiologis, kegiatan, umur, jenis kelamin dan ukuran tubuh. Sementara

yang dimaksud dengan faktor gizi eksternal adalah daya beli keluarga,

latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi,

jumlah anggota keluarga dan kebersihan lingkungan.


Penyakit infeksi juga punya keterkaitan dengan status gizi balita.

Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan

hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi

dapat memperburuk keadaan gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat

mempermudah terkena infeksi. Penyakit yang umumnya terkait dengan

masalah gizi antara lain diare, tuberkulosis, campak dan batuk rejan

(Supariasa dkk, 2001).


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Tidak cukup bukti bahwa asupan energi pada kelompok balita

penerima BLT lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok balita

bukan penerima BLT.

2. Tidak cukup bukti bahwa asupan protein pada kelompok balita

penerima BLT lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok balita

bukan penerima BLT.

3. Perubahan status gizi pada kelompok balita yang menerima BLT

lebih baik daripada kelompok balita yang tidak menerima BLT.

B. Saran

Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas disampaikan beberapa saran

sebagai berikut:

1. Program BLT yang bertujuan untuk mempertahankan tingkat

konsumsi/kesejahteraan rumah tangga miskin menjadi tidak

realistis pada saat ini sehingga perlu ditinjau kembali dan dicarikan

bentuk program lain misalnya program dengan sistem transfer uang


bersyarat (conditional cash transfer) yang diperuntukkan bagi

pendidikan, kesehatan dan pangan.

2. Keluarga miskin yang mempunyai balita gizi buruk dan kurang perlu

ditangani secara lintas sektor, seperti kependudukan, kesehatan

dan kesejahteraan sosial, dan lain-lain secara terpadu termasuk

Lembaga Swadaya Masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Apriaji (1986), Gizi Keluarga, Penebar Swadaya, Jakarta.

Arisman (2004), Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi, Penerbit
EGC, Jakarta.

Aritonang, Irianton (2000), Krisis Ekonomi: Akar Masalah Gizi, Cetakan I,


Media Pressindo, Yogyakarta.

Berg, Alan (1986), Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional, Cetakan


I, CV. Rajawali, Jakarta.

Depkes RI (2005), Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan


Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2006, Jakarta.

Deptan RI (2001), Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan


dan Gizi Rumah Tangga htpp://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi/
BAE_1_3_2001_1.pdf.

Djalil, Sofyan A (2005), Latar Belakang dan Kebijaksanaan BBM,


http://www. depkominfo.go.id/download/Menteri_Kominfo.ppt#17

LIPI (2004), Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII: Ketahanan


Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan GlobalisasiJakarta

Leiyen, Yeidio (2005), Distribusi Kartu Kompensasi BBM,


http://www.kalteng. go.id/SBBM/subsididepan.htm

Muhtadi, Dedi (2005), BLT, Bantuan Pemalasan Rakyat Miskin, http://


www.kompas.com/kompas-cetak/0510/22/Fokus/2144259.htm

Pudjiadi, Solihin (2003), Ilmu Gizi Klinis pada Anak, Edisi 4, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.

Roedjito, Djiteng (1989), Kajian Penelitian Gizi, PT. Mediyatama Sarana


Perkasa, Jakarta.
Sajogyo, Goenardi, Said Roesli, Sri Setiati Harjadi, Muhammad Khumaedi
(1994), Menuju Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Kota,
Cetakan Kelima, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Samhadi, Sri Hartati (2005), BLT, Lahir dari Kecemasan Pemerintah,


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/22/Fokus/2145441.htm

Setiana, Adang (2006), Pokok-pokok Pikiran Subsidi Langsung Tunai:


Adakah Manfaatnya Bagi Kesejahteraan Masyarakat Miskin,
Seminar Bantuan Langsung Tunai, UGM, Yogyakarta.

Soekirman (2000), Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan


Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional, 2000.

Suharjo (1990), Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat, IPB, Bogor.

Supariasa, I Dewa Nyoman, Bachyar Bakri, Ibnu Fajar (2001), Penilaian


Status Gizi, Penerbit Buku Kedokteran: EGC, Jakarta.

Utomo, Budi (1998), Dampak Krisis Moneter dan Kekeringan terhadap


Status Kesehatan dan Gizi Anak.

Winarno, FG (1993), Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen, PT.


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN 2

POLA KONSUMSI DAN STATUS GIZI BALITA


DI KABUPATEN KULONPROGO DAN KOTA YOGYAKARTA

I. KETERANGAN TEMPAT KODE


1 Kabupaten : 5
2 Kecamatan : 55
3 Desa/Kelurahan : 555
4 No. Identitas : 55555

II. IDENTITAS BALITA


1 Nama : .
2 Tanggal lahir : 555555 1
3 Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Wanita 5 2
4 BB awal/saat screening : kg 55,55 3
5 Status gizi awal : 1. Gizi kurang 2. Gizi buruk 5 4
*
6 BB saat ini : kg 55,55 5
7 Status gizi saat ini : 1. Gizi buruk 5 6
2. Gizi kurang
3. Gizi baik
4. Gizi kebih
8 Apakah mendapat BLT? : 1. Ya 5 2. Tidak 5 7
Ket: * BB bulan terakhir, November atau Desember. Jika tidak ada dilakukan sweeping.

III. IDENTITAS ORANG TUA


A IBU
1 Nama :
2 Umur : th 5 8
3 Pekerjaan utama : 1. Buruh 5 9
2. Pedagang/jasa/wiraswasta
3. Petani
4. Nelayan
5. Pegawai swasta
6. PNS/TNI/Polri
7. Lainnya
4 Pendidikan terakhir : 1. Tidak sekolah 5 10
2. Tamat SD
3. Tamat SLTP
4. Tamat SLTA
5. Tamat PT
B BAPAK
1 Nama :
2 Umur : th 5 11
3 Pekerjaan utama : 1. Buruh 5 12
2. Pedagang/jasa/wiraswasta
3. Petani
4. Nelayan
5. Pegawai swasta
6. PNS/TNI/Polri
7. Lainnya
4 Pendidikan terakhir : 1. Tidak sekolah 5 13
2. Tamat SD
3. Tamat SLTP
4. Tamat SLTA
5. Tamat PT
5 Jumlah tanggungan : orang 55 14
keluarga

IV. RIWAYAT PENYAKIT BALITA DAN PEMBERIAN ASI


1 Apakah dalam bulan Agustus, September, Oktober, November balita anda
mempunyai keluhan kesehatan sebagai berikut (kode 1 jika ya dan kode 2 jika
tidak)
a. Panas 1. Ya 5 2. Tidak 5 15
b. Batuk 1. Ya 5 2. Tidak 5 16
c. Pilek 1. Ya 5 2. Tidak 5 17
d. Asma/nafas sesak/cepat 1. Ya 5 2. Tidak 5 18
e. Diare 1. Ya 5 2. Tidak 5 19
f. Sakit kepala berulang 1. Ya 5 2. Tidak 5 20
g. Sakit gizi 1. Ya 5 2. Tidak 5 21
h. Lainnya (sebutkan) 1. Ya 5 2. Tidak 5 22
2 Apakah balita diberi ASI ? 1. Ya 5 23
2. Tidak
3 Sampai umur berapa balita anda diberi ASI? . bulan 55 24
V. PENDAPATAN
A Pendapatan Keluarga
1 Siapa saja anggota keluarga yang - Bapak : Rp....................../bln
telah berpenghasilan uang dan - Ibu : Rp....................../bln
berapa rupiah perbulan - Lainnya : Rp....................../bln
2 Siapa saja anggota keluarga yang - Bapak : Rp....................../bln
telah berpenghasilan barang dan - Ibu : Rp....................../bln
berapa nilainya (rupiah) perbulan - Lainnya : Rp....................../bln
Jumlah : Rp....................../bln 25
B Pengeluaran Keluarga
Pengeluaran apa saja yang dilakukan oleh anggota keluarga dalam satu bulan terakhir
1 Pengeluaran untuk non-pangan - Listrik : Rp................/bln
- Pendidikan : Rp................/bln
- Sandang : Rp................/bln
- Keperluan rumah tangga non
Pangan (sabun, pasta gigi dll)
: Rp................/bln 26
2 Pengeluaran untuk pangan - Mak pokok : Rp................/bln
- Lauk pauk : Rp................/bln
- Buah2an : Rp................/bln
- Sayur2an : Rp................/bln
- Minyak grg : Rp................/bln
- Kelapa : Rp................/bln
- Teh/kopi : Rp................/bln
- Gula : Rp................/bln
- Susu : Rp................/bln
- Lainnya : Rp................/bln
Jumlah : Rp................/bln 27
3 Pengeluaran untuk kesehatan - Bapak : Rp................/bln
(obat-obatan, suplemen, dll) - Ibu : Rp................/bln
- Balita : Rp................/bln
- Lainnya : Rp................/bln
Jumlah : Rp................/bln 28

Tanggal wawancara
Pewawancara

(.)
VI. RECALL KONSUMSI 24 JAM
No Waktu Menu/makanan Bahan Makanan URT Gram
Pagi

Selingan

Siang

Selingan

Malam
LAMPIRAN 3

1. Hasil tabulasi silang jenis kelamin dengan program BLT

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis kelamin
419 100.0% 0 .0% 419 100.0%
* Program BLT

Jenis kelamin * Program BLT Crosstabulation

Count
Program BLT
Tidak
Menerima menerima
BLT BLT Total
Jenis kelamin Laki-laki 66 128 194
Perempuan 76 149 225
Total 142 277 419

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square .003b 1 .958
Continuity Correction a .000 1 1.000
Likelihood Ratio .003 1 .958
Fisher's Exact Test 1.000 .520
Linear-by-Linear
.003 1 .958
Association
N of Valid Cases 419
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
65.75.
2. Hasil tabulasi silang umur dengan program BLT

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
UMUR_3 * Program BLT 419 100.0% 0 .0% 419 100.0%

UMUR_3 * Program BLT Crosstabulation

Count
Program BLT
Tidak
Menerima menerima
BLT BLT Total
UMUR_3 <24 48 90 138
24 - 48 79 155 234
>48 15 32 47
Total 142 277 419

Chi-Square Tests

Asymp. Sig.
Value df (2-sided)
Pearson Chi-Square .133a 2 .936
Likelihood Ratio .133 2 .936
Linear-by-Linear
.126 1 .723
Association
N of Valid Cases 419
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 15.93.
3. Hasil uji normalitas data asupan energi

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
Program BLT N Percent N Percent N Percent
Asupan energi Menerima BLT 142 100.0% 0 .0% 142 100.0%
Tidak menerima BLT 277 100.0% 0 .0% 277 100.0%

Descriptives

Program BLT Statistic Std. Error


Asupan energi Menerima BLT Mean 727.87 31.989
95% Confidence Lower Bound 664.63
Interval for Mean Upper Bound
791.11

5% Trimmed Mean 701.50


Median 657.50
Variance 145312.6
Std. Deviation 381.199
Minimum 70
Maximum 2232
Range 2162
Interquartile Range 499.25
Skewness 1.133 .203
Kurtosis 1.856 .404
Tidak menerima BLT Mean 821.50 24.095
95% Confidence Lower Bound 774.07
Interval for Mean Upper Bound
868.94

5% Trimmed Mean 797.58


Median 777.00
Variance 160824.3
Std. Deviation 401.029
Minimum 52
Maximum 2190
Range 2138
Interquartile Range 485.50
Skewness .905 .146
Kurtosis 1.060 .292

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Program BLT Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Asupan energi Menerima BLT .090 142 .007 .932 142 .000
Tidak menerima BLT .079 277 .000 .950 277 .000
a. Lilliefors Significance Correction
4. Hasil uji normalitas data asupan protein

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
Program BLT N Percent N Percent N Percent
Asupan protein Menerima BLT 142 100.0% 0 .0% 142 100.0%
Tidak menerima BLT 277 100.0% 0 .0% 277 100.0%

Descriptives

Program BLT Statistic Std. Error


Asupan protein Menerima BLT Mean 24.4675 1.98717
95% Confidence Lower Bound 20.5390
Interval for Mean Upper Bound
28.3960

5% Trimmed Mean 21.4029


Median 19.2500
Variance 560.735
Std. Deviation 23.67984
Minimum .10
Maximum 189.00
Range 188.90
Interquartile Range 16.7750
Skewness 4.124 .203
Kurtosis 23.346 .404
Tidak menerima BLT Mean 27.5696 1.20519
95% Confidence Lower Bound 25.1971
Interval for Mean Upper Bound
29.9421

5% Trimmed Mean 25.4127


Median 22.9000
Variance 402.336
Std. Deviation 20.05831
Minimum 1.88
Maximum 154.00
Range 152.12
Interquartile Range 20.7500
Skewness 2.624 .146
Kurtosis 11.387 .292

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Program BLT Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Asupan protein Menerima BLT .203 142 .000 .628 142 .000
Tidak menerima BLT .138 277 .000 .793 277 .000
a. Lilliefors Significance Correction
5. Hasi uji program BLT terhadap asupan energi

Ranks

Program BLT N Mean Rank Sum of Ranks


Asupan energi Menerima BLT 142 188.62 26784.00
Tidak menerima BLT 277 220.96 61206.00
Total 419

Test Statistics a

Asupan
energi
Mann-Whitney U 16631.000
Wilcoxon W 26784.000
Z -2.588
Asymp. Sig. (2-tailed) .010
a. Grouping Variable: Program BLT

6. Hasil uji program BLT terhadap asupan protein

Ranks

Program BLT N Mean Rank Sum of Ranks


Asupan protein Menerima BLT 142 187.39 26609.00
Tidak menerima BLT 277 221.59 61381.00
Total 419

Test Statistics a

Asupan
protein
Mann-Whitney U 16456.000
Wilcoxon W 26609.000
Z -2.737
Asymp. Sig. (2-tailed) .006
a. Grouping Variable: Program BLT
7. Hasil uji program BLT terhadap perubahan status gizi

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Program BLT *
419 100.0% 0 .0% 419 100.0%
Perubahan status gizi

Program BLT * Perubahan status gizi Crosstabulation

Perubahan status gizi


Tidak
Meningkat meningkat Total
Program Menerima BLT Count 40 102 142
BLT Expected Count 38.3 103.7 142.0
Tidak menerima BLT Count 73 204 277
Expected Count 74.7 202.3 277.0
Total Count 113 306 419
Expected Count 113.0 306.0 419.0

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.


Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided)
Pearson Chi-Square .157b 1 .692
Continuity Correction a .078 1 .779
Likelihood Ratio .156 1 .693
Fisher's Exact Test .728 .388
Linear-by-Linear
.157 1 .692
Association
N of Valid Cases 419
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
38.30.
8. Hasil uji beda mean z-score skrining I dan skrining II pada BLT
Paired Samples Statistics

Std. Error
Mean N Std. Deviation Mean
Pair Nilai Zscore1 -2.724350 142 .6788746 .0569699
1 Nilai Zscore2 -2.542280 142 .7526700 .0631627

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.
Pair Nilai Zscore1 &
142 .526 .000
1 Nilai Zscore2

Paired Samples Test

Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Std. Error Difference
Mean Std. Deviation Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)
Pair Nilai Zscore1 -
-.182070 .7000765 .0587491 -.298213 -.065927 -3.099 141 .002
1 Nilai Zscore2

9. Hasil uji beda mean z-score skrining I dan skrining II pada non BLT

Paired Samples Statistics

Std. Error
Mean N Std. Deviation Mean
Pair Nilai Zscore1 -2.687006 277 .4820571 .0289640
1 Nilai Zscore2 -2.517220 277 .6932153 .0416513

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.
Pair Nilai Zscore1 &
277 .410 .000
1 Nilai Zscore2

Paired Samples Test

Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Std. Error Difference
Mean Std. Deviation Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)
Pair Nilai Zscore1 -
-.169786 .6622745 .0397922 -.248121 -.091451 -4.267 276 .000
1 Nilai Zscore2
10. Uji beda mean z-score skrining I antara BLT dan Non BLT

Group Statistics

Std. Error
Program BLT N Mean Std. Deviation Mean
Nilai Zscore1 Menerima BLT 142 -2.724350 .6788746 .0569699
Tidak menerima BLT 277 -2.687006 .4820571 .0289640

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Mean Std. Error Difference
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper
Nilai Zscore1 Equal variances
5.254 .022 -.650 417 .516 -.037344 .0574316 -.1502357 .0755472
assumed
Equal variances
-.584 215.941 .560 -.037344 .0639100 -.1633114 .0886230
not assumed

11. Uji beda mean z-score skrining II antara BLT dan Non BLT

Group Statistics

Std. Error
Program BLT N Mean Std. Deviation Mean
Nilai Zscore2 Menerima BLT 142 -2.542280 .7526700 .0631627
Tidak menerima BLT 277 -2.517220 .6932153 .0416513

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Mean Std. Error Difference
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper
Nilai Zscore2 Equal variances
1.133 .288 -.340 417 .734 -.025060 .0736790 -.1698883 .1197689
assumed
Equal variances
-.331 264.717 .741 -.025060 .0756594 -.1740306 .1239111
not assumed
12. Uji beda mean delta z-score pada BLT dan Non BLT

Group Statistics

Std. Error
Program BLT N Mean Std. Deviation Mean
DELTA Menerima BLT 142 .1821 .70008 .05875
Tidak menerima BLT 277 .1698 .66227 .03979

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Mean Std. Error Difference
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper
DELTA Equal variances
.114 .735 .176 417 .860 .0123 .06970 -.12472 .14929
assumed
Equal variances
.173 270.919 .863 .0123 .07096 -.12741 .15198
not assumed

Você também pode gostar