Você está na página 1de 27

A.

Latar Belakang
Wilayah pantai merupakan wilayah yang rawan berubah akibat dari pengaruh kegiatan
manusia serta faktor alam. Tekanan penduduk yang banyak bermukim di daerah pantai secara
sejarah menjadikan kawasan pantai sebagai titik tolak pembangunan kebudayaan manusia,
menjadikan daerah ini rentan atas perubahan dan kerusakan, disamping faktor-faktor yang
diakibatkan oleh alam (lokal dan global). Pertumbuhan jumlah penduduk di daerah pantai yang
memanfaatkan potensi sumberdaya pantai di akhir abad 20 an cenderung mangabaikan daya
dukung lingkungan di sekelilingnya serta ancaman bencana yang berpotensi merusak.
Keterbatasan ruang yang layak dikembangkan menyebabkan perluasan merambah lingkungan
perairan yang seharusnya dipertahankan sebagai penyangga, antara lain yang berada di hulu,
hilir, pantai dan perairan dengan pulau-pulau di depannya (Hantoro, 2004 dalam Hidayati,
2010).
Supriharyono (2009) dalam Hidayati (2010) menyatakan bahwa, aktivitas manusia
dalam memanfaatkan potensi sumberdaya di wilayah pantai banyak menggunakan alat tangkap
yang kurang/tidak ramah lingkungan, seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak dan
racun yang biasanya dilakukan di ekosistem terumbu karang. Dampak dari pemusatan aktivitas
manusia di wilayah pantai dengan mengekploitasi sumberdaya tanpa memperhatikan konsep
pelestarian lingkungan menyebabkan kerusakan potensi sumberdaya hayati di wilayah pantai,
sehingga perlu upaya pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya alam yang berasaskan
kesinambungan.
Kepulauan Karimunjawa yang secara administratif termasuk wilayah Kabupaten
Jepara, Provinsi Jawa Tengah mempunyai ekosistem yang asli dengan keanekaragaman hayati
yang tinggi mulai dari daratan hingga perairannya yang perlu dipertahankan dan dimanfaatkan
secara lestari dan bijaksana sebagai asset nasional dan daerah khususnya masyarakat setempat
yang hidupnya sangat tergantung dari sumber daya alam kepulauan tersebut. Taman Nasional
Karimunjawa merupakan kawasan pelestarian alam yang berada di Kepulauan Karimunjawa.
Kawasan ini mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan
rekreasi (UU No 5 tahun 1990).
Kawasan ekosistem pantai di Kepulauan Karimunjawa sebagai Taman Nasional Laut
merupakan kawasan yang telah lama diketahui menyimpan permasalahan yang cukup serius
bagi kelangsungan hidup manusia yang memanfaatkannya. Persoalan demi persoalan yang
muncul di Kawasan Karimunjawa Kabupaten Jepara mulai dari privatisasi pantai, kepemilikan
tanah dan pulau oleh warga negara asing sampai rusaknya terumbu karang terus saja terjadi.
1
Hutabarat dan Syarani (2008) dalam Hidayati (2010) mengemukakan aksi perusakan
ekosistem dan biota laut di Kepulauan Karimunjawa dari sejumlah pulau yang masuk wilayah
Kabupaten Jepara, Jawa Tengah makin marak dilakukan oleh berbagai pihak swasta yang
mengeksplotasi besar-besaran kawasan pantai.
B. Permasalahan
Kepulauan Karimunjawa sebagai Taman Nasional Laut merupakan kawasan yang telah
lama diketahui menyimpan permasalahan yang cukup serius bagi kelangsungan hidup manusia
yang memanfaatkannya. Persoalan demi persoalan yang muncul di Kawasan Karimunjawa
Kabupaten Jepara mulai dari privatisasi pantai, kepemilikan tanah dan pulau oleh warga negara
asing sampai rusaknya terumbu karang terus saja terjadi. Seperti yang pernah diberitakan oleh
beritajateng.net seorang anggota Komisi B DPRD Jawa Tengah Didiek Hardiana
mengemukakan, permasalahan di Karimunjawa harus segera diselesaikan agar tidak semakin
kronis dan berakibat rusaknya tata kelola sosial dan lingkungan.
Saat ini hampir semua daratan yang berhadapan langsung dengan pantai di Karimun
sudah dimiliki oleh investor yang hanya tinggal menunggu waktu untuk mendirikan bangunan
dan menerapkan aturan larangan melintas bagi masyarakat. Beberapa lahan pantai dan pulau
yang saat ini sudah dikuasai investor adalah Pantai Ujung Gelam, Pantai Nyamplung Ragas,
Legon Lele, Anora, Pulau Cemara Besar, Cemara Kecil, Geleyan, Krakal Besar, Krakal Kecil,
Bengkoan, Katang, Kembar, Kembang, Seruni, Sintok, Mrica, dan Cendekian. Salah satu kasus
yang memerlukan perhatian adalah kasus yang terjadi di Pulau Menyewakan.
Pulau Menyawakan merupakan pulau yang memiliki keindahan panorama pantai yang
saat ini tidak dapat dinikmati publik, kecuali memiliki cukup uang karena harus menginap di
resort yang memiliki tarif jutaan rupiah. Pulau Menyawakan saat ini dikuasai dua pemilik,
sebagian dimiliki oleh Takmir Masjid Jami Karimun (tanah wakaf) dan sebagian besar dikuasai
oleh investor Pietro Tura, bule asal Italia yang mendirikan Kura-Kura Resort. Kawasan-
kawasan pantai yang diklaim dimiliki secara pribadi yang tidak boleh dimasuki wisatawan
(kecuali yang menginap di resort dimaksud) bahkan masyarakat setempatpun tidak
diperbolehkan lagi memasuki kawasan khusus ini. Bahkan untuk sekadar berlindung bagi
mereka yang sedang mencari ikan dari serangan badai. Situasi seperti ini tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut, yang pada muaranya membuat masyarakat (wisatawan) tidak bisa menikmati
keindahan pantai dan mengubah keberadaan Karimunjawa sebagai tempat wisata tertutup bagi
kalangan tertentu, bahkan di beberapa lokasi dibangun tembok pembatas agar masyarakat
termasuk wisatawan tidak bisa melintas.

2
Gambar 1. Pulau Menyawakan dalam Kepulauan Karimunjawa

3
C. Literatur Review
1. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pasal 35
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan,
pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.
Pasal 36
(1) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalamPasal 35 disusun sebagai pedoman
pengendalian pemanfaatan ruang.
(2) Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona
pemanfaatan ruang.
(3) Peraturan zonasi ditetapkan dengan:
a. peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi; dan
c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi.
Pasal 37
(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui
prosedur yang benar, batal demi hukum.
(4) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian
terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin.
(6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata
ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan
memberikan ganti kerugian yang layak.
(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang
dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
4
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian
yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 38
(1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat atau upaya
untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan
rencana tata ruang, berupa:
a. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan
urun saham;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
d. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah.
(3) Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat untuk
mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan
dengan rencana tata ruang, berupa:
a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;
dan/atau
b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.
(4) Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak masyarakat.
(5) Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh:
a. Pemerintah kepada pemerintah daerah;
b. pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya; dan
c. pemerintah kepada masyarakat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif
diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 39
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 merupakan tindakan penertiban yang
dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan
peraturan zonasi.
5
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pemanfaatan ruang diatur dengan peraturan
pemerintah.

Pasal 61
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai milik umum.

KETENTUAN PIDANA
Pasal 69
(1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian
terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 70
(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

6
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi
ruang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian
terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah).
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 71
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

Pasal 72
Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf d,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau


Kecil
Pasal 16
(1) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan
pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi.
(2) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian Izin
Pengelolaan.

Pasal 17
(1) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan
rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
7
(2) Pemberian Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan
kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan tradisional,
kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.
(3) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam luasan dan waktu
tertentu.
(4) Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan
pelabuhan, dan pantai umum.

Pasal 19
(5) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
a. produksi garam;
b. biofarmakologi laut;
c. bioteknologi laut;
d. pemanfaatan air laut selain energi;
e. wisata bahari;
f. pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
g. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Izin Pengelolaan.
(6) Izin Pengelolaan untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Dalam hal terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan
pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26 A
(1) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka
penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri.
(2) Penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan
kepentingan nasional.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari
bupati/wali kota.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas;
b. menjamin akses publik;
8
c. tidak berpenduduk;
d. belum ada pemanfaatan oleh Masyarakat Lokal;
e. bekerja sama dengan peserta Indonesia;
f. melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia;
g. melakukan alih teknologi; dan
h. memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.

LARANGAN
Pasal 35
Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau
tidak langsung dilarang:
a. menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem terumbu
karang;
b. mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;
c. menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak
Ekosistem terumbu karang;
d. menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak Ekosistem terumbu
karang;
e. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai
dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f. melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak
memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g. menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman,
dan/atau kegiatan lain;
h. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun;
i. melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis,
sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran
lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;
j. melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis,
ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau
pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;
k. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau
ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan
dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta
9
l. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau
merugikan Masyarakat sekitarnya.

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 42
(1) Untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan implementasi Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah melakukan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta pengembangan sumber daya manusia di bidang
pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
(1) Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk menghasilkan
pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi dan ramah
lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi atau budaya lokal.

Pasal 43
Penelitian dan pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat
dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat, lembaga penelitian dan pengembangan swasta, dan/atau perseorangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 71
(1) Pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau
kecil yang tidak sesuai dengan Izin Lokasi yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan, pembekuan
sementara, dan/atau pencabutan Izin Lokasi.
(3) Pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak
sesuai dengan Izin Pengelolaan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
10
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penutupan lokasi;
d. pencabutan izin;
e. pembatalan izin; dan/atau
f. denda administratif.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 72
(1) Dalam hal program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak
dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan, Pemerintah dapat menghentikan
dan/atau menarik kembali insentif yang telah diberikan kepada Pemerintah Daerah,
pengusaha, dan Masyarakat yang telah memperoleh Akreditasi.
(2) Pemerintah Daerah, pengusaha, dan Masyarakat wajib memperbaiki ketidaksesuaian
antara program pengelolaan dan dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Dalam hal Pemerintah Daerah, pengusaha, dan Masyarakat tidak melakukan perbaikan
terhadap ketidaksesuaian pada ayat (2), Pemerintah dapat melakukan tindakan:
g. pembekuan sementara bantuan melalui Akreditasi; dan/atau
h. pencabutan tetap Akreditasi program.

KETENTUAN PIDANA
Pasal 73
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang
dengan sengaja:
a. melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di
kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara
lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan
konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan

11
permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e,
huruf f, dan huruf g;
c. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf h;
d. melakukan penambangan pasir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf i.
e. melakukan penambangan minyak dan gas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
huruf j.
f. melakukan penambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf k.
g. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf l.
h. tidak melaksanakan mitigasi bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
diakibatkan oleh alam dan/atau Orang sehingga mengakibatkan timbulnya bencana
atau dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya
kerentanan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1).
(2) Dalam hal terjadi kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kelalaian,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan

Pasal 25
Setiap wisatawan berkewajiban:
a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat setempat;
b. memelihara dan melestarikan lingkungan;
c. turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; dan
d. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan
kegiatan yang melanggar hukum.

Pasal 26
Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban:
a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat setempat;
b. memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;
12
c. memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
d. memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan
wisatawan;
e. memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang
berisiko tinggi;
f. mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang
salingmemerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;
g. mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan
memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
h. meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;
i. berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan
masyarakat;
j. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan
kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;
k. memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;
l. memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
m. menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan
secara bertanggung jawab; dan
n. menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

LARANGAN
Pasal 27
(1) Setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya tarik wisata.
(2) Merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah melakukan
perbuatan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu,
mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil, menghancurkan, atau
memusnahkan daya tarik wisata sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan,
keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

13
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 62
(1) Setiap wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dikenai sanksi berupa teguran lisan disertai dengan pemberitahuan mengenai hal yang
harus dipenuhi.
(2) Apabila wisatawan telah diberi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak
diindahkannya, wisatawan yang bersangkutan dapat diusir dari lokasi perbuatan
dilakukan.

Pasal 63
(1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha; dan
c. pembekuan sementara kegiatan usaha.
(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan kepada
pengusaha paling banyak 3 (tiga) kali.
(4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak mematuhi
teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Sanksi pembekuan sementara kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).

KETENTUAN PIDANA
Pasal 64
(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum merusak fisik daya tarik wisata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya dan melawan hukum, merusak fisik, atau
mengurangi nilai daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

14
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, Dan Taman Wisata Alam
Kewajiban Dan Hak Pemegang Izin
Pasal 21
(1) Pemegang izin usaha penyediaan jasa wisata alam wajib:
a. membayar iuran izin usaha penyediaan jasa wisata alam sesuai ketentuan yang
ditetapkan;
b. ikut serta menjaga kelestarian alam;
c. melaksanakan pengamanan terhadap kawasan beserta potensinya dan setiap
pengunjung yang menggunakan jasanya;
d. merehabilitasi kerusakan yang ditimbulkan akibat dari pelaksanaan kegiatan
usahanya;
e. menyampaikan laporan kegiatan usahanya kepada pemberi izin usaha penyediaan
jasa wisata alam; dan
f. menjaga kebersihan lingkungan.
(2) Pemegang izin usaha penyediaan sarana wisata alam wajib:
a. melakukan kegiatan usaha penyediaan sarana wisata alam sesuai dengan izin yang
diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah izin diterbitkan;
b. membayar pungutan izin usaha penyediaan sarana wisata alam sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan pengamanan kawasan dan potensinya serta pengamanan pengunjung
pada areal izin usaha penyediaan sarana wisata alam;
d. menjaga kebersihan lingkungan tempat usaha dan merehabilitasi kerusakan yang
terjadi akibat kegiatan izin usaha penyediaan sarana wisata alam termasuk
pengelolaan limbah dan sampah;
e. memberi akses kepada petugas pemerintah yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan
pemantauan, pengawasan, evaluasi, dan pembinaan kegiatan izin usaha penyediaan
sarana wisata alam;
f. memelihara aset negara bagi pemegang izin yang memanfaatkan sarana milik
Pemerintah.
g. merealisasikan kegiatan pembangunan sarana wisata alam paling lambat 6 (enam)
bulan setelah izin usaha penyediaan sarana wisata alam diterbitkan;

15
h. melibatkan tenaga ahli di bidang konservasi alam dan pariwisata alam, serta
masyarakat setempat di dalam melaksanakan kegiatan izin usaha penyediaan sarana
wisata alam sesuai izin yang diberikan;
i. membuat laporan kegiatan izin usaha penyediaan sarana wisata alam secara periodik
kepada Menteri;
j. menyusun dan menyerahkan rencana karya lima tahunan dan rencana karya tahunan.

SANKSI
Pasal 27
(1) Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dapat dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai oleh pemberi izin.

Pasal 28
(1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2) huruf a dikenai kepada setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dengan tenggat waktu masing-masing 20 (dua puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya setelah 20 (dua puluh) hari
peringatan tertulis ketiga diterima oleh pemegang izin, pemegang izin dikenai sanksi
penghentian sementara kegiatan.
(4) Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dikeluarkannya sanksi penghentian
sementara kegiatan pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya, pemberi izin
memberikan sanksi pencabutan izin.
(5) Sanksi penghentian sementara dibatalkan apabila pemegang izin melaksanakan
kewajibannya sebelum berakhirnya tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari.
(6) Selain dicabut izinnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4), bagi pemegang izin yang
tidak melaksanakan kewajiban merehabilitasi kerusakan dan/atau karena kegiatannya
menimbulkan kerusakan pada suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, atau
16
taman wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d atau ayat (2)
huruf d, dikenai kewajiban pembayaran ganti rugi sesuai dengan kerusakan yang
ditimbulkan.
(7) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak menghilangkan tuntutan pidana
atas tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Peraturan Menteri Kehutanan No.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan


Pariwisata alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata Alam

Pasal 13
(1) Pemegang IUPJWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) mempunyai
kewajiban:
a. membayar pungutan hasil usaha penyediaan jasa wisata alam;
b. ikut serta menjaga kelestarian alam;
c. melaksanakan pengamanan terhadap kawasan beserta potensinya;
d. melaksanakan pengamanan terhadap setiap pengunjung;
e. merehabilitasi kerusakan yang ditimbulkan akibat dari pelaksanaan kegiatan
usahanya;
f. menjaga kebersihan lingkungan; dan
g. menyampaikan laporan kegiatan usaha kepada pemberi IUPJWA.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf g, dikecualikan bagi
pemegang IUPJWA perorangan.

Kewajiban Pemegang IUPSWA


Pasal 23
Berdasarkan IUPSWA yang diberikan, pemegang IUPSWA mempunyai kewajiban:
a. merealisasikan pembangunan sarana wisata alam sesuai dengan RKT yang telah
disahkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah IUPSWA diterbitkan;
b. membayar Pungutan Hasil Usaha Penyediaan Sarana Pariwisata Alam (PHUPSWA)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan pengamanan kawasan dan potensinya serta pengamanan pengunjung
pada areal IUPSWA;

17
d. menjaga kebersihan lingkungan tempat usaha termasuk pengelolaan limbah dan
sampah;
e. merehabilitasi kerusakan yang terjadi akibat kegiatan IUPSWA;
f. memberi akses kepada petugas pemerintah yang ditunjuk untuk melakukan
pemantauan, pengawasan, evaluasi dan pembinaan kegiatan IUPSWA;
g. memelihara aset negara bagi pemegang izin yang memanfaatkan sarana milik
pemerintah;
h. melibatkan tenaga ahli di bidang konservasi alam dan pariwisata alam, serta
masyarakat setempat dalam melaksanakan kegiatan IUPSWA sesuai izin yang
diberikan;
i. membuat laporan kegiatan usaha penyediaan sarana wisata alam secara periodic
kepada Menteri; dan
j. menyusun dan menyerahkan rencana karya lima tahunan dan rencana karya tahunan.

SANKSI
Pasal 49
(1) Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 23, dikenakan sanksi administrasi.
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan
c. pencabutan izin.
(3) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan oleh pemberi izin
sesuai dengan kewenangan.

Pasal 50
(1) Sanksi administrasi berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (2) huruf a, dikenakan kepada setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 23.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dengan tenggat waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal surat peringatan pertama tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin
dan/atau substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan
surat peringatan kedua.
18
(4) Dalam hal surat peringatan kedua tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin
dan/atau substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan
surat peringatan ketiga.
(5) Dalam hal surat peringatan ketiga tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin
dan/atau substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menetapkan
penghentian sementara kegiatan.

Pasal 51
Dalam hal surat peringatan pertama ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya sudah
sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu diterbitkan peringatan berikutnya dan pemberi
izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan
aktivitas sebagai pemegang izin.

Pasal 52
(1) Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi dan substansinya sudah sesuai dengan surat
peringatan, maka tidak perlu diterbitkan peringatan ketiga dan pemberi izin
menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan
aktivitas sebagai pemegang izin.
(2) Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya tidak
sesuai dengan surat peringatan, maka diterbitkan surat peringatan ketiga.
(3) Dalam hal surat peringatan ketiga tidak ditanggapi oleh pemegang izin dalam tenggat
waktu 30 (tiga puluh) hari, maka diterbitkan surat penghentian sementara kegiatan.

Pasal 53
(1) Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya sudah
sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu dilakukan tindakan penghentian
sementara kegiatan dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada
pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.
(2) Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya tidak
sesuai dengan surat peringatan, maka pemberi izin menetapkan penghentian sementara
kegiatan.
(3) Dalam hal surat peringatan ketiga tidak ditanggapi oleh pemegang izin dalam tenggat
waktu 30 (tiga puluh) hari, maka pemberi izin menetapkan penghentian sementara
kegiatan.
19
(4) Dalam hal pemegang izin dalam tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengehentian
sementara kegiatan diterima tidak ada upaya klarifikasi kepada pemberi izin, pemberi
izin menetapkan keputusan pencabutan izin.
(5) Dalam hal pemegang izin menyampaikan klarifikasi kepada pemegang izin dalam
tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari dan substansinya diterima oleh pemberi izin, pemberi
izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap
melaksanakan kegiatan sebagai pemegang izin.
(6) Dalam hal pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya setelah 30 (tiga puluh) hari
peringatan tertulis ketiga diterima pemegang izin, pemegang izin dikenakan sanksi
penghentian sementara kegiatan.
(7) Dalam hal penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya, maka pemegang izin dikenakan sanksi
pencabutan.

Pasal 54
(1) Selain dicabut izinnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (7), bagi pemegang
izin yang kegiatan usahanya menimbulkan kerusakan pada suaka margasatwa, taman
nasional, taman hutan raya atau taman wisata alam, dikenakan kewajiban melakukan
rehabilitasi dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan kerusakan yang ditimbulkan.
(2) Pengenaan kewajiban rehabilitasi dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
(3) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tuntutan pidana
atas tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

20
D. Pembahasan
Tabel 1
Kasus Terlibat Peraturan Terkait Sanksi dan Ketentuan Pidana
Privatisasi Pantai Investor dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Pasal 72
Oleh Kura-Kura Masyarakat Pasal 61 huruf d Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan
Resort Di Pulau Dalam pemanfaatan ruang, setiap perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam
Menyawakan orang wajib memberikan akses Pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
terhadap kawasan yang oleh denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
ketentuan peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai milik
umum.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Pasal 73 Ayat 1 Huruf L
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10
Pulau-Pulau Kecil (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
Pasal 35 Huruf l rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap
Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir Orang yang dengan sengaja melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan
dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.
secara langsung atau tidak langsung
dilarang melakukan pembangunan
fisik yang menimbulkan kerusakan
lingkungan dan/atau merugikan
Masyarakat sekitarnya
Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 63
Nomor 10 Tahun 2009 Tentang (1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
Kepariwisataan dimaksud dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif.
Pasal 26 huruf a (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
Setiap pengusaha pariwisata a. teguran tertulis;
berkewajiban menjaga dan b. pembatasan kegiatan usaha; dan
menghormati norma agama, adat c. pembekuan sementara kegiatan usaha.
istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang (3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan
hidup dalam masyarakat setempat kepada pengusaha paling banyak 3 (tiga) kali.
Pasal 26 huruf c (4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha yang tidak
Setiap pengusaha pariwisata mematuhi teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
berkewajiban memberikan pelayanan (5) Sanksi pembekuan sementara kegiatan usaha dikenakan kepada pengusaha
yang tidak diskriminatif yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4).

21
Kasus Terlibat Peraturan Terkait Sanksi dan Ketentuan Pidana
Peraturan Pemerintah Republik Pasal 27
Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 (1) Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
Tentang Pengusahaan Pariwisata dimaksud dalam Pasal 21 dapat dikenai sanksi administratif.
Alam Di Suaka Margasatwa, Taman (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
Nasional, Taman Hutan Raya, Dan a. peringatan tertulis;
Taman Wisata Alam b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
Pasal 21 Ayat 2 huruf h c. pencabutan izin.
Pemegang izin usaha penyediaan (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai oleh
sarana wisata alam wajib pemberi izin.
melibatkan tenaga ahli di bidang
konservasi alam dan pariwisata alam,
serta masyarakat setempat di dalam
melaksanakan kegiatan izin usaha
penyediaan sarana wisata alam sesuai
izin yang diberikan
Peraturan Menteri Kehutanan Pasal 27
No.48/Menhut-II/2010 tentang (1) Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
Pengusahaan Pariwisata alam di dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 23 dapat dikenai sanksi
Suaka Margasatwa, Taman Nasional, administratif.
Taman Hutan Raya dan Taman (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
Wisata Alam a. peringatan tertulis;
Pasal 23 Ayat 2 Huruf h b. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
Berdasarkan IUPSWA yang c. pencabutan izin.
diberikan, pemegang IUPSWA (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai oleh
mempunyai kewajiban melibatkan pemberi izin sesuai dengan kewenangan.
tenaga ahli di bidang konservasi alam
dan pariwisata alam, serta
masyarakat setempat di dalam
melaksanakan kegiatan izin usaha
penyediaan sarana wisata alam sesuai
izin yang diberikan

22
Privatisasi Pantai Oleh Kura-Kura Resort Di Pulau Menyawakan telah menimbulkan
konflik antara masyarakat dengan investor. Hal ini di karenakan keindahan panorama Pulau
Menyawakan saat ini tidak dapat dinikmati publik, kecuali memiliki cukup uang karena harus
menginap di resort yang memiliki tarif jutaan rupiah. Kondisi yang demikian menyebabkan
masyarakat setempatpun tidak diperbolehkan lagi memasuki kawasan khusus ini, bahkan
untuk sekadar berlindung bagi mereka yang sedang mencari ikan dari serangan badai. Jika
dilihat dari konteks penataan ruang Kura-Kura Resort dapat dikatakan melanggar ketentuan
penrundang-undangan diantaranya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan
ruang, Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman
Wisata Alam, dan Peraturan Menteri Kehutanan No.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan
Pariwisata alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata
Alam.
Dalam ketentuan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang Pasal 61
huruf d bahwa dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib memberikan akses terhadap
kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Dalam hal ini kura-kura resort membatasi akses masyarakat setempat untuk memasuki kawasan
pulau menyawakan bahkan untuk sekadar berlindung bagi mereka yang sedang mencari ikan
dari serangan badai. Hal ini dapat menyebabkan kura-kura resort di tuntut dengan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) sesuai pasal 71 pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan
ruang.
Selanjutnya dalam ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Pengelolaan Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 35 Huruf l bahwa dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan
pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat
sekitarnya. Hal ini tentu dilanggar karena dengan di bangunnya resort dan tembok-tembok
pembatas yang menyebabkan merugikan masyarakat termasuk wisatawan lainnya karena tidak
bisa melintas. Oleh karena itu pemilik kura-kura resort dapat di tuntut dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) sesuai dengan pasal 73 ayat 1 huruf L.
23
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan Pasal 26 huruf a Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban menjaga dan
menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
setempat. Kenyataannya dengan dilarangnya nelayan berlindung di pulau menyawakan saat
badai maka ini dapat mengganggu budaya dan nilai-nilai hidup masyarakat setempat.
Kemudian pada Pasal 26 huruf c disebutkan bahwa setiap pengusaha pariwisata berkewajiban
memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif, namun masyarakat malah mengalami
tindakan diskriminatif dengan adanya pelarangan memasuki kawasan pulau menyawakan.
Seharusnya masyarakat melaporkan hal ini kepada pemerintah sehingga bisa di tindak lanjuti
dan apabila terbukti bersalah maka kura-kura resort dapat dikenakan sanksi administratif yang
berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, dan pencabutan izin sesuai pasal
63.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya,
Dan Taman Wisata Alam Pasal 21 Ayat 2 huruf h disebutkan bahwa pemegang izin usaha
penyediaan sarana wisata alam wajib melibatkan tenaga ahli di bidang konservasi alam dan
pariwisata alam, serta masyarakat setempat di dalam melaksanakan kegiatan izin usaha
penyediaan sarana wisata alam sesuai izin yang diberikan. Disini sudah jelas bahwa seharusnya
dalam kegiatan izin usaha pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat, namun pada
kenyataannya jangankan terlibat, memasuki kawasan pulau menyewakan saja di larang.
Seharusnya masyarakat melaporkan hal ini kepada pemerintah sehingga bisa di tindak lanjuti
dan apabila terbukti bersalah maka kura-kura resort dapat dikenakan sanksi administratif yang
berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, dan pencabutan izin sesuai pasal
27.
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan
Pariwisata alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata
Alam Pasal 23 Ayat 2 Huruf h disebutkan bahwa berdasarkan IUPSWA yang diberikan,
pemegang IUPSWA mempunyai kewajiban melibatkan tenaga ahli di bidang konservasi alam
dan pariwisata alam, serta masyarakat setempat di dalam melaksanakan kegiatan izin usaha
penyediaan sarana wisata alam sesuai izin yang diberikan. Disini sudah jelas bahwa seharusnya
dalam kegiatan izin usaha pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat, namun pada
kenyataannya jangankan terlibat, memasuki kawasan pulau menyewakan saja di larang.
Seharusnya masyarakat melaporkan hal ini kepada pemerintah sehingga bisa di tindak lanjuti
dan apabila terbukti bersalah maka kura-kura resort dapat dikenakan sanksi administratif yang
24
berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, dan pencabutan izin sesuai pasal
27.
Sanksi administrasi yang di berikan berupa peringatan tertulis kepada setiap pemegang
izin yang tidak melaksanakan kewajiban. Peringatan tertulis diberikan sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dengan tenggat waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kerja. Dalam hal surat
peringatan pertama tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin dan/atau substansinya
tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan surat peringatan kedua. Dalam
hal surat peringatan kedua tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin dan/atau
substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan surat peringatan
ketiga. Dalam hal surat peringatan ketiga tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin
dan/atau substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menetapkan
penghentian sementara kegiatan.
Apabila dalam hal surat peringatan pertama ditanggapi oleh pemegang izin dan
substansinya sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu diterbitkan peringatan
berikutnya dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk
tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin. Sedangkan kalau dalam hal surat
peringatan kedua ditanggapi dan substansinya sudah sesuai dengan surat peringatan, maka
tidak perlu diterbitkan peringatan ketiga dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan
kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin. Jika
dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya tidak sesuai
dengan surat peringatan, maka diterbitkan surat peringatan ketiga. Apabila dalam hal surat
peringatan ketiga tidak ditanggapi oleh pemegang izin dalam tenggat waktu 30 (tiga puluh)
hari, maka diterbitkan surat penghentian sementara kegiatan.
Jika dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya
sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu dilakukan tindakan penghentian
sementara kegiatan dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang
izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin. Namun apabila dalam hal
surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya tidak sesuai dengan
surat peringatan, maka pemberi izin menetapkan penghentian sementara kegiatan. Kemudian
jika surat peringatan ketiga tidak ditanggapi oleh pemegang izin dalam tenggat waktu 30 (tiga
puluh) hari, maka pemberi izin menetapkan penghentian sementara kegiatan.
Apabila dalam tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pengehentian sementara
kegiatan diterima tidak ada upaya klarifikasi kepada pemberi izin, pemberi izin menetapkan
keputusan pencabutan izin. Namun apabila pemegang izin menyampaikan klarifikasi kepada
25
pemegang izin dalam tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari dan substansinya diterima oleh
pemberi izin, pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk
tetap melaksanakan kegiatan sebagai pemegang izin. Kemudian jika pemegang izin tidak
melaksanakan kewajibannya setelah 30 (tiga puluh) hari peringatan tertulis ketiga diterima
pemegang izin, pemegang izin dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan. jika dalam
hal penghentian sementara kegiatan pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya, maka
pemegang izin dikenakan sanksi pencabutan.

26
Daftar Referensi

Suryanti. 2010. Degradasi Pantai Berbasis Ekosistem Di Pulau Karimunjawa Kabupaten


Jepara. Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro.

Hardiana, Didiek. 2015. Karimunjawa (Bukan) Milik Pribadi. Dalam Suara Merdeka Cetak.
Diunduh pada tanggal 6 Juni 2017.

Kholis, Nur. 2017. Pemerintah Tidak Serius Berantas Mafia Di Karimunjawa. Dalam berita
jateng.net. diunduh pada tanggal 6 Juni 2017.

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil,
Undang-undang RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistem

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Pengusahaan


Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan
Taman Wisata Alam

Peraturan Menteri Kehutanan No.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata alam di


Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

27

Você também pode gostar