Você está na página 1de 2

Apa dampak vaksin palsu bagi kesehatan ?

Sejak kasus vaksin palsu merebak Juni 2016 lalu, catatan Polri menunjukkan
sedikitnya 197 bayi teridentifikasi mendapat suntikan vaksin palsu. Vaksin palsu yang
memapar ratusan bayi tersebut diduga disuntikkan di 37 fasilitas kesehatan, temasuk 14
rumah sakit, yang tersebar di kawasan Jabodetabek. Dirga Sakti Rambe, selaku dokter
spesialisasi di bidang vaksinologi, mengatakan dampak vaksin palsu bisa ditelaah dari
dua segi, yakni keamanan produk dan proteksi. Dari segi keamanan produk, Dirga
merujuk keterangan sejumlah tersangka yang dimuat media massa bahwa untuk
membuat vaksin palsu mereka mencampur cairan infus dengan vaksin asli. Campuran
tersebut, menurut Dirga, tidak berdampak fatal terhadap tubuh dalam jangka panjang.
Dampak paling mungkin adalah infeksi akibat proses pembuatan vaksin palsu di
lingkungan yang tidak steril. Saat pencampuran bisa terjadi kontaminasi bakteri, virus,
atau kuman. Sehingga bisa saja anak saat disuntikkan mengalami infeksi lokal di bekas
suntikan. Apabila cairan pembuat vaksin palsu yang terkontaminasi, infeksi bisa meluas
ke seluruh tubuh. Jenis infeksinya juga tergantung apa yang mengontaminasi, kata
Dirga kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan. Dampak vaksin palsu
selanjutnya bisa ditinjau dari segi proteksi. Dirga, mengatakan bahwa seorang anak
tidak memiliki proteksi atau perlindungan atas virus-virus tertentu akibat vaksin palsu
yang disuntikkan padanya. Seorang anak biasanya mendapat suntikan vaksin BCG
ketika usianya mencapai dua bulan. Seandainya anak tersebut mendapat vaksin BCG
palsu, maka hingga hari ini tubuhnya rentan terhadap kuman TBC, papar Dirga.
Dirga Sakti Rambe, dokter spesialisasi di bidang vaksinologi, mengatakan sulit
bagi orang awam untuk membedakan vaksin palsu dan vaksin asli. Secara kasat mata,
menurutnya, bungkus luar vaksin palsu dan vaksin asli nyaris sama. Namun, apabila
dilihat secara jeli, tanggal kadaluarsa dan kode unik pada bungkus luar vaksin palsu
berbeda dengan yang tertera pada vaksin di dalamnya. Tanggal kadaluarsa dan kode
unik pada kemasan pembungkus dengan yang tercantum pada vaksin di dalam
seharusnya sama persis. Jika beda, itu sudah pasti palsu, kata Dirga. Direktur Yayasan
Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta mengaku
pernah menemukan vaksin palsu pada 2014. Pada salah satu vaksin BCG, antara cover
dan isi berbeda kode unik dan tanggal kadaluarsanya. Di cover tertulis kadaluarsa bulan
November 2014. Isinya, kadaluarsa bulan Maret 2014, kata Marius yang berprofesi
sebagai dokter di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Bagaimanapun, baik Dirga
maupun Marius, menegaskan bahwa hanya tenaga medis yang mengetahui perbedaan
itu. Lagipula, kepastian 100% sebuah vaksin tergolong palsu apabila dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Menurut Dirga Sakti Rambe, dokter spesialisasi di bidang
vaksinologi, para bayi dan balita yang diduga mendapat vaksin palsu di 37 fasilitas
kesehatan yang diumumkan Kementerian Kesehatan perlu mendapat vaksinasi ulang.
Hal ini memungkinkan karena semua jadwal pemberian vaksin bisa dikejar. Misalnya,
ada anak yang mendapat tiga vaksinasi hepatitis B di rumah sakit yang kemarin disebut.
Lalu, anak itu sekarang sudah berusia tiga tahun. Anak itu bisa mendapat vaksinasi
hepatitis B lagi karena dikhawatirkan vaksinasi yang sebelumnya diberikan palsu, kata
Dirga. Poin kedua mengapa vaksinasi ulang aman dilakukan, lanjut Dirga, adalah
karena tiada istilah overdosis vaksin. Kalau obat ada overdosis obat. Tapi, kalau
vaksin, tidak ada istilah itu. Jadi aman bagi orang tua untuk memberikan vaksinasi
ulang kepada anak mereka. Bahkan, kalaupun ada seseorang ragu apakah dirinya pernah
mendapat vaksin jenis tertentu, dia bisa divaksinasi ulang, pungkas Dirga.

Você também pode gostar