Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga Karya Ilmiah Akhir ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan kedepannya.
Depok, 08 Juli 2013
Penulis
Kata kunci :
Diabetes melitus, edukasi, gaya hidup, Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan, stres, ulkus kaki diabetik
The aim of this paper was to analyze the nursing care in patient with diabetes
mellitus (DM) problems through Public Health Nursing in Urban approach in
Medical surgical Nursing setting. DM is a condition in which high blood sugar
levels due to impaired production or use of insulin. DM type 2 in urban
community is caused unhealthy lifestyle including unhealthy diet, stress, and lack
of physical activity. Promotive, preventive, curative, and rehabilitative approach
was necessary to prevent more severe impact of the DM problem. Complications
of diabetic foot ulcers is one of the impacts of patient noncompliance to diabetes
management. Holistic management of diabetic foot including mechanical control,
metabolic control, vascular control, wound control, infection control, and
education control. Nursing care is given to the DM patient continuously.
Practitioner recommends that health education such as foot care and wound care
for patient and family should be addressed to improve patients quality of life.
Key words:
Diabetes melitus, diabetic foot ulcer, education, life style, public health nursing in
urban, stress
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Tujuan Penulisan ..................................................................... 4
1.2.1 Tujuan umum ............................................................... 4
1.2.2 Tujuan khusus .............................................................. 5
1.3 Manfaat Penulisan
1.3.1 Pelayanan kesehatan .................................................... 5
1.3.2 Pendidikan.................................................................... 5
ix Universitas Indonesia
BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan .................................................................................... 68
5.2 Saran ......................................................................................... 69
5.2.1 Perawat ............................................................................ 69
5.2.2 Pasien .............................................................................. 70
5.2.3 Pelayanan Kesehatan ...................................................... 70
5.2.4 Institusi Pendidikan ......................................................... 70
x Universitas Indonesia
xi Universitas Indonesia
Urbanisasi merupakan isu yang sangat kompleks dan meliputi banyak sektor
(Soetomo, 2009). Urbanisasi merupakan suatu proses adanya perubahan persebaran
penduduk di suatu wilayah (BAPPENAS, 2013). Urbanisasi dapat memberikan
dampak terhadap masalah-masalah kesehatan. Perubahan gaya hidup, kondisi penuh
stresor, dan perubahan kondisi lingkungan membuat munculnya berbagai masalah
kesehatan di masyarakat perkotaan. Masalah kesehatan yang dipengaruhi karena gaya
hidup dan stresor salah satunya adalah diabetes melitus (PERKENI, 2011).
Diabetes melitus (DM) merupakan keadaan peningkatan gula darah diatas normal
karena gangguan dalam produksi atau penggunaan insulin (ADA, 2013). DM dapat
terjadi karena beberapa faktor risiko seperti gaya hidup tidak sehat, kurang aktifitas,
dan stres. World Health Organization (WHO) memproyeksikan akan adanya
kenaikan jumlah penduduk yang terkena diabetes melitus pada tahun 2030. Indonesia
merupakan jumlah penderita diabetes terbanyak ke 4 setelah India, Cina, dan USA.
Pertumbuhan diabetes melitus di Indonesia sebesar 152% atau dari 8.426.000 orang
pada tahun 2.000 menjadi 21.257.000 orang di tahun 2030 (PERKENI, 2011).
1 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dapat masuk pada seting pelayanan kesehatan salah satunya Keperawatan Medikal
Bedah (KMB).
Praktikan saat praktik di RSUP Fatmawati mengelola 5 orang pasien dengan diabetes
melitus tipe 2 beserta komplikasi. Praktikan melakukan asuhan keperawatan melaui
pendekatan KKMP dalam seting KMB. Pasien yang dikelola merupakan pasien yang
sudah lama terdiagnosa DM. Pasien dirawat karena gaya hidup yang tidak sehat
seperti kurang memperdulikan makanan, stres karena tuntutan kehidupan, dan kurang
olahraga. Keadaan tersebut merupakan penyebab dan faktor risiko yang terjadi
didalam masyarakat perkotaan. Ketidakpatuhan terhadap program pengobatan dan
terapi juga merupakan menyebabkan timbulnya komplikasi pasien dirawat, salah
satunya luka ulkus. Komplikasi lebih lanjut dapat dicegah dengan perawatan yang
tepat dan efektif.
Universitas Indonesia
adalah melalui kontrol diabetes yang optimal, perawatan luka dan kontrol infeksi,
strategi mengurangi beban tekanan, dan meningkatkan aliran pulsasi. Pengontrolan
diabetes yang optimal dapat dilakukan dengan melakukan empat pilar
penatalaksanaan diabetes melitus yaitu: edukasi; nutrisi; aktivitas; dan pengobatan
(PERKENI, 2011). Konsep penatalaksanaan luka menurut The Eroupean Wound
Management Association (EWMA) tahun 2004 dengan debridemen jaringan, kontrol
inflamasi dan infeksi, keseimbangan kelembaban, dan epitelisasi. Pemilihan balutan
yang mempertimbangkan lokasi luka, luas dan kedalaman luka, jenis dan tipe
eksudat, kondisi luka, dan mencegah nyeri dan trauma juga dapat mempengaruhi
proses penyembuhan luka. Kerjasama antara pasien dengan tim kesehatan profesional
dalam merawat pasien DM sangat berperan mempercepat masa perawatan.
Masyarakat urban yang mengalami perubahan gaya hidup dan kondisi stresor
merupakan bagian dari faktor risiko terjadinya DM. Kesadaran yang rendah dan
ketidakpatuhan masyarakat terhadap dampak negatif penyakit DM membuat angka
kejadian diabetes menjadi meningkat dikalangan masyarakat perkotaan.
Penatalaksanaan DM termasuk komplikasi yang terjadi merupakan hal penting yang
perlu diperhatikan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat DM dan
komplikasinya. DM juga merupakan penyakit kedua terbanyak di lantai V selatan
RSUP Fatmawati. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas asuhan
keperawatan pada pasien diabetes melitus di ruang penyakit dalam lantai V selatan
RSUP Fatmawati dan menganalisis masalah terkait konsep KKMP dalam seting
KMB.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Urbanisasi terjadi karena adanya daya tarik di daerah seperti terdapatnya pusat
pemerintahan, pusat pertumbuhan sosial, dan ekonomi (BAPPENAS, 2013). Faktor
yang menjadi daya tarik terjadinya urbanisasi adalah kehidupan kota yang lebih
modern, sarana dan prasarana yang lebih lengkap, dan ketersedian lapangan
pekerjaan (Soetomo, 2009). Kondisi yang terjadi adalah mayoritas populasi dunia
tinggal di kota-kota yang dulunya merupakan daerah rural dan akhirnya telah mampu
berkembang untuk menjadi sebuah kota (Allender, Rector, & Warner, 2010).
Urbanisasi yang terjadi juga dapat menimbulkan berbagai dampak baik terhadap
kesehatan, lingkungan kota, masyarakat, maupun keadaan sekitar. Urbanisasi akan
menimbulkan masalah seperti penyakit menular dan tidak menular, semakin
6 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Ruang lingkup praktik keperawatan masyarakat (Potter & Perry, 2009; DeLaune &
Ladner, 2002):
A. Promotif yaitu upaya meningkatkan kesehatan individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat
B. Preventif yaitu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit dan gangguan terhadap
kesehatan terhadap individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat
C. Kuratif yaitu upaya untuk merawat dan mengobati masalah kesehatan individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat
D. Rehabilitatif yaitu upaya pemulihan kesehatan individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat.
E. Resosialitatif yaitu upaya mengembalikan atau memfungsikan kembali individu,
keluarga, dan kelompok ke masyarakat.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Etiologi dan faktor risiko berdasarkan tipe diabetes (Doenges, 2010; PERKENI,
2011).
A. DM tipe 1 terjadi karena defisiensi insulin akut dikarenakan destruksi sel beta
yang disebabkan faktor genetik, faktor imunologi yang berupa respon autoimun,
dan faktor lingkungan seperti virus atau toksin tertentu yang memicu proses
terjadinya autoimun
B. DM tipe 2 terjadi ketika hormon insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi
dengan semestinya karena gangguan produksi insulin, resistensi terhadap insulin,
atau berkurangnya sensitivitas sel dan jaringan tubuh terhadap insulin. Resistensi
ini sering terjadi karena faktor obesitas, gaya hidup, riwayat keluarga, usia > 30
tahun, dan kelompok etnis tertentu (ADA, 2013; PERKENI, 2011).
Universitas Indonesia
DM tipe 2 dimana insulin masih diproduksi oleh sel-sel pulau Langerhans, tetapi
produksi insulin tersebut tidaklah adekuat atau tidak sensitif dalam memenuhi
aktivitasnya. Resistensi insulin yang terjadi, membuat glukosa dalam darah tidak
dapat masuk ke sel. Tingginya glukosa darah memicu kelebihan sekresi insulin oleh
pankreas. Lama-lama terjadi kerusakan sel-sel pulau Langerhans dan dapat terjadi
defisiensi insulin. Defisiensi insulin yang terjadi membuat glukosa darah semakin
tidak dapat dimasukkan ke dalam jaringan sehingga terjadilah hiperglikemia (ADA,
2013; PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2002).
Universitas Indonesia
B. Polidipsi
Polidipsi atau banyak minum terjadi karena respon tubuh yang timbul akibat
peningkatan pengeluaran urin.
C. Polifagia
Polifagia terjadi akibat kehilangan kalori. Ketiadaan atau resistensi insulin membuat
glukosa yang terdapat pada darah tidak dapat masuk ke dalam sel dan tidak dapat
diubah menjadi kalori. Selain itu, glukosa juga hilang bersama urine, maka pasien
mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang.
Gejala tambahan yang dapat muncul pada penderita DM yaitu luka yang sukar
sembuh (Lilly, 2005; PERKENI 2011), penglihatan berkurang atau menjadi buram
(PERKENI, 2011), kesemutan atau kebas (PERKENI, 2011), dan kelelahan (Lilly,
2005; PERKENI, 2011).
Universitas Indonesia
b. Komplikasi menahun
Komplikasi menahun atau jangka panjang yang dapat dialami oleh pasien DM (ADA,
2013; PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2002):
1) Makroangiopati
a) Penyakit arteri koroner
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah arteri koroner yang dapat
menyebabkan peningkatan insiden infark miokard.
b) Vaskular perifer
Tanda dan gejala mencakup berkurangnya denyut nadi perifer dan klaudikasio
intermiten (nyeri pada pantat atau betis ketika berjalan). Gangguan vaskuler perifer
lama kelamaan dapat menyebabkan gangren.
c) Serebrovaskular
Penderita diabetes berisiko dua kali lipat untuk terkena penyakit serebrovaskuler
seperti TIA (Transient Ischemic Attack) dan stroke.
2) Mikroangiopati
a) Retinopati diabetik
Retinopati terjadi karena perubahan dalam pembuluh darah kecil pada
retinaRetinopati diabetik dapat menyebabkan penglihatan kabur yang diakibatkan
oleh perubahan mendadak glukosa darah. Penyebab terjadinya retinopati pada
penderita diabetes ialah hipoksia kronik pada retina.
b) Nefropati diabetik
Nefropati diabetik disebabkan oleh hipertensi dan kadar glukosa plasma yang tinggi,
sehingga terjadi kerusakan kapiler glomerulus dan penebalan membran, serta
pembesaran glomerulus.
Universitas Indonesia
c) Neuropati diabetik
Neuropati terjadi karena hilangnya sensasi pada bagian terjauh. Risiko tinggi
terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Neuropati terjadi karena ada penebalan membran
basalis kapiler dan demielinisasi saraf karena hiperglikemi sehingga hantaran saraf
terganggu.
Universitas Indonesia
B. Nutrsi
Pola makan sehat dan seimbang sesuai dengan jadwal, jam, dan jumlah (3J) dalam
pemberian nutrisi pasien (Lilly, 2005; PERKENI, 2011). Makanan sehari-hari
hendaknya cukup karbohidrat, serat, protein,rendah lemak jenuh, kolesterol,
Universitas Indonesia
C. Latihan
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan secara teratur 3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit (Sutedjo, 2013). Latihan dilakukan untuk menjaga stamina,
menurunkan berat badan, dan meningkatkan kepekaan insulin. Latihan jasmani yang
dianjurkan (Lilly, 2005; PERKENI, 2011) . Latihan jasmani yang bersifat aerobi
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang (Sutedjo, 2013).
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak (ADA, 2013; PERKENI, 2011).
D. Pengobatan
Pasien yang mengalami diabetes melitus juga memerlukan tambahan pengobatan
berupa obat hipoglikemi oral ataupun insulin sesuai dengan keadaan pasien (Lilly,
2005; PERKENI, 2011)
1) Obat hipoglikemi oral
Obat hipoglikemik oral berdasarkan cara kerja (Lilly, 2005; PERKENI, 2011):
a) Golongan insulin sekretorik yang merupakan pemicu sekresi insulin. Jenis obat
yaitu sulfonilurea dan glinid.
b) Golongan biguanid yang meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Jenis obat
yaitu metformin. Obat ini kontraindikasi pada pasien yang memiliki penyakit
fungsi ginjal dan hati. Metformin sebaiknya diberikan setelah makan karena obat
akan memberikan efek samping mual.
c) Penghambat glukoneogenesis seperti metformin
d) Penghambat absorpsi glukosa
Universitas Indonesia
2) Insulin
Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel beta di dalam pankreas dan
digunakan untuk mengontrol kadar glukosa dalam darah (Smeltzer & Bare, 2002).
Sekresi insulin dibagi menjadi dua yaitu insulin basal dan insulin prandial. Insulin
basal atau insulin saat puasa atau sebelum makan merupakan jumlah insulin
eksogen per unit waktu yang diperlukan untuk mencegah hiperglikemia puasa
akibat glukoneogenesis dan mencegah ketosis yang tidak terdeteksi. Insulin
prandial atau insulin setelah makan merupakan insulin yang dibutuhkan untuk
mengkonversi bahan makanan kedalam bentuk energi cadangan sehingga tidak
terjadi hiperglikemi postprandial. Insulin dapat dibedakan berdasarkan lama
kerjanya akan dijabarkan pada tabel 2.1 (PERKENI, 2011):
Universitas Indonesia
Ulkus kaki diabetik menurut International Working Group on the Diabetic Foot
(2011) diklasifikasikan menjadi neuropati, iskemi, atau neuroiskemi. Perbedaan
klasifikasi akan dijabarkan dalam tabel 2.2.
Universitas Indonesia
Suhu kaki dan pulsasi Hangat dan pulsasi Dingin dan tidak ada Dingin dan tidak ada
terbatas pulsasi pulsasi
Lokasi Area penekanan kaki Jari, kuku, antara jari, Penyatuan kaki dan
seperti tumit dan dan batas samping jari
telapak kaki kaki
Pasien dengan ulkus kaki diabetik membutuhkan pengkajian yang holistik untuk
mengkaji faktor yang menyebabkan terjadinya ulkus. Pengkajian ulkus kaki
merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan dengan keputusan dalam terapi
(Asep, 2009). Pengkajian meliputi riwayat pasien yang lengkap meliputi riwayat
medikasi, komorbiditas, dan status diabetes (Mulder, Amstrong, & Seaman, 2003).
Pengkajian yang juga perlu dilakukan terhadap riwayat luka, ulkus kaki diabetik
sebelumnya, amputasi, dan gejala yang menunjukan neuropati atau penyakit arteri
perifer (Boulton, Armstrong, & Albert, 2008). Pengkajian keadaan ulkus kuki, tes
untuk sensasi dengan menggunakan monofilament, tes untuk vaskularisasi dengan
pemeriksaan Ankle Brachial Index (ABI), Identifikasi infeksi dengan melakukan
pengkajian tanda infeksi dan kultur pus luka, Inspeksi kaki terhadap deformitas, dan
klasifikasi ulkus kaki diabetik yang dapat menggunakan sistem klasifikasi Wagner,
University of Texas, PEDIS, atau SINBAD (Wound International, 2013).
Klasifikasi ulkus diabetik menurut Lipsky (2012) berdasarkan PEDIS yaitu mengkaji
Perfusion, Extent (size), Depth (tissue loss), Infection and Sensation (neuropathy).
Klasifikasi derajat lesi kaki diabetik dapat dibagi menjadi enam tingkatan menurut
Wagner berdasarkan dalamnya luka, derajat infeksi, dan derajat gangren (PERKENI,
2011):
a. Derajat 0:Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai
kelainan bentuk kaki.
b. Derajat I :Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
c. Derajat II :Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
d. Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
Universitas Indonesia
e. Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.
f. Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.
Komponen penting dalam manajemen luka adalah mengatasi penyakit yang terjadi,
memastikan aliran darah yang adekuat, perawatan luka lokal dan kontrol infeksi, dan
pengurangan tekanan (Wound International, 2013). Penyakit yang dialami harus
diatasi seperti melakukan penatalaksanaan diabetes atau pengontrolan faktor risiko.
Aliran darah harus adekuat, jika tidak lakukan revaskularisasi (Apelqvist, 2012).
Perawatan luka yang optimal dengan melakukan debridemen jaringan, kontrol
inflamasi dan infeksi, keseimbangan kelembaban, dan epitelisasi (EWMA, 2004).
Beban tekanan dikurangi dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengurangi
penekanan pada area kaki (Cavanagh & Bus, 2010).
Universitas Indonesia
Balutan yang dipilih dapat memberikan hasil tergantung dengan keadaan ulkus
diabetik. Pemilihan balutan mempertimbangkan (Wound International, 2013): lokasi
luka, luas dan kedalaman luka, jenis dan tipe eksudat, kondisi luka, dan mencegah
nyeri dan trauma. Hal yang perlu dipertimbangkan praktikan dalam pemilihan balutan
yaitu kenyamanan, cocok untuk mempercepat durasi penyembuhan, mudah
dilepaskan, mudah diterapkan, dan harga efektif (World Union of Wound Healing
Societies, 2013). Perawatan yang diberikan bersifat memberikan kehangatan dan
lingkungan yang lembab pada luka. Kelembaban luka merupakan hal yang dapat
mempengaruhi proses penyembuhan luka (Ismail, 2009). Gitarja (2008), luka harus
dengan suasana lembab karena mempercepat fibrinolisis, mempercepat angiogenesis,
menurunkan risiko infeksi, mempercepat pembentukan growth factor, dan
mempercepat pembentukan sel aktif.
Balutan banyak yang diciptakan untuk memberikan kelembaban bagi lingkungan luka
untuk mempercepat proses penyembuhan luka (Asep, 2009). Pramana (2012), Nacl
0,9% merupakan cairan yang aman untuk merawat luka. Nacl 0,9% merupakan cairan
yang bersifat fisiologis, non toksik, dan tidak mahal. Nacl dalam setiap liternya
mempunyai komposisi natrium klorida 0,9 gram dengan osmolalitas 308 mOsm/l
sehingga aman digunakan. Nacl 0,9% memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik
daripada pasien lain. Cairan normal salin/ Nacl 0,9% sangat direkomendasikan
sebagai cairan pembersih dalam semua jenis luka. Cairan ini bersifat isotonis, tidak
toksik terhadap jaringan, tidak menghambat proses penyembuhan, dan tidak
menyebabkan alergi (Huda, 2010). Penelitian Ismail (2009), penggunaan balutan
konvensional dengan menggunakan Nacl 0,9% dapat dilakukan dan sebaiknya
ditetapkan prosedur perawatan luka diabetes dengan mengganti balutan 2 kali sehari
Universitas Indonesia
Penelitian Situmorang (2009), balutan madu memberikan perubahan yang baik dalam
penyembuhan luka. Penelitian Suranto (2007), madu memiliki kandungan yang dapat
menyembuhkan infeksi kaki diabetikum. Madu yang memiliki kandungan air kurang
dari 18% yang dapat menarik nanah di daerah yang diolesi madu. Enzim katalase
pada madu juga dapat digunakan sebagai antibakteri. Madu memiliki manfaat
mengangkat jaringan mati, antibakteri. Penelitian Pramana (2012), penggunaan madu
alami dengan kandungan air <18 % dan Nacl lebih efektif dibanding dengan yang
hanya menggunakan Nacl.
Penelitian yang dilakukan oleh Robson, Dodd, dan Thomas (2008) dengan judul
Standardized antibacterial honey (Medihoney) with standard therpay in wound care:
randomized clinical trial memberikan hasil penyembuhan luka dengan madu lebih
cepat dalam waktu penyembuhan luka dibandingkan dengan perawatan luka yang
dilakukan secara konvensional. Madu memiliki manfaat klinis dalam penyembuhan
luka. Hal tersebut diyakini karena madu merupakan pencegah inflamasi,
pembengkakan pada luka, menurunkan rasa nyeri dan bau, meningkatkan granulasi
dan epitelisasi, dan meminimalkan terjadinya jaringan parut. Gethin dan Cowman
(2008) melakukan penelitian dengan judul Manuka honey vs hydrogel- a prospective,
open label, multicenter, randomised controlled trial to compare desloughing efficacy
and healing outcomes in venous ulcers. Penelitian yang dilakukan memberikan hasil
penggunaan madu lebih berkhasiat dan mempunyai kadar infeksi yang lebih rendah
dibandingkan dengan hidrogel.
Penyembuhan luka juga dipengaruhi beberapa faktor (Bryant & Nix, 2007):
1. Perfusi jaringan dan oksigenasi
Oksigen memiliki peranan penting dalam penyembuhan luka. Oksigen sangat
dibutuhkan terutama dalam fase inflamasi. Perpindahan leukosit dan makan bakteri
membutuhkan oksigen lebih dari 30 mmHg (Whitney, 2003).
Universitas Indonesia
2. Nutrisi
Nutrisi memberikan unsur bagi aktivitas sel dalam proses penyembuhan luka
(MacKay & Miller, 2003; Williams & Barbul, 2003). Nutrisi yang adekuat penting
untuk sistem imun dan mencegah infeksi. Pasien memerlukan diet kaya protein,
karbohidrat, vitamin C, vitamin A, dan mineral seperti Fe dan Zn dibutuhkan dalam
membantu sintesis kolagen.
3. Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan luka. Infeksi dapat memperpanjang fase
inflamasi, menghambat sintesis kolagen, dan mencegah epitelisasi.
4. Diabetes
Pasien diabetes memiliki risiko tinggi terhadap penyakit mikrovaskular. Hambatan
terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah yang dapat
menyebabkan nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel.
5. Obesitas
Obesitas meningkatkan risiko gangguan penyembuhan luka. Obesitas menyebabkan
jaringan adiposa memiliki vaskularisasi yang buruk.
6. Pengobatan
Pengobatan yang dijalani ada yang menyebabkan efek negatif dalam penyembuhan
luka.
7. Usia
Penuan menyebabkan penurunan respon inflamasi, penurunan produksi cytokines
atau growth factor, dan mengurangi reseptor cytokines.
8. Stres
Stres dapat meningkatkan level kortikosteroid yang berdampak pada fungsi sistem
imun yang menyebabkan vasokontriksi pada aliran darah.
Universitas Indonesia
3.1 Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 8 Mei 2013. Pasien bernama Ny. F 49 tahun,
lahir di Tegal pada tanggal 12 Juni 1963. Ny. F tinggal di Jalan Peninggaran RT
010 RW 02, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan. Ny. F masuk ke rumah sakit
pada tanggal 03 Mei 2013 dengan diagnosa mdis DM tipe 2 dan ulkus pedis
sinistra. Ny. F masuk ke rumah sakit karena luka pada bagian jari telunjuk kaki
kiri yang mengeluarkan nanah sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit,
merasa mual, dan badan lemas. Ny. F mengatakan luka awalnya hanya berbentuk
lentingan kemudian pecah dan mengeluarkan nanah.
Ny. F memiliki riwayat penyakit diabetes melitus yang diketahui sejak 2 tahun
yang lalu saat periksa di klinik dekat rumah. Ny. F mengalami penurunan
penglihatan sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Ny. F pernah mengalami
luka juga pada bagian ibu jari kaki kiri 6 bulan sebelum masuk rumah sakit dan
luka dibersihkan menggunakan rivanol dan sembuh sendiri. Ny. F mengatakan
berobat rutin ke klinik dekat rumah dan diberikan obat metformin 2x sehari,
namun 1 bulan sebelum masuk rumah sakit sibuk dengan acara keluarga sehingga
sering lupa minum obat. Ny. F saat 3 minggu sebelum masuk rumah sakit berhenti
minum obat karena diberikan obat herbal oleh tetangganya dan dianjurkan jalan di
krikil yang panas. Ny. F saat berjalan diatas kerikil tidak merasakan sakit, tapi
tiba-tiba timbul lepuhan pada kakinya. Kedua orang tua Ny. F tidak ada yang
menderita sakit diabetes melitus, jantung, ataupun hipertensi.
26 Universitas Indonesia
Pasien biasanya saat berdagang dan udara yang panas membuat sering minum es
teh manis. Pasien mengatakan saat mengalami penyakit diabetes melitus tubuhnya
sering terasa lemas, sehingga kegiatan berdagang mulai ditinggalkan dan
dilakukan oleh anaknya. Pasien sehari-hari saat sakit hanya beristirahat sambil
menonton tv di rumah. Pasien sering merasa bosan dengan aktivitas sehari-hari
yang dilakukan karena keterbatasan kondisi fisik yang dialami.
Pasien tidur tidak teratur, tidur hanya sekitar 6 jam saat malam hari dan tidak
pernah tidur siang. Pasien sering mengalami insomnia karena rasa sakit pada luka
di kaki yang dialami. Pasien juga memiliki kebiasaan sebelum tidur harus dipijat
terlebih dahulu. Pasien saat bangun tidur terkadang tidak merasa segar dan masih
lemas. Pasien selama dirawat dirumah sakit sering merasa lemas namun kesulitan
untuk tidur karena kepikiran penyakitnya.
B. Tanda/objektif
Respon terhadap aktivitas yang teramati: tekanan darah: 130/70 mmmHg, nadi:
88x/menit, frekuensi nafas: 18x/menit. Status mental: compus mentis. Pengkajian
neuromuskular, tonus otot lemas, postur tegap, rentang gerak aktif kecuali pada
area kaki kiri terbatas, tremor pada ekstremitas atas, dan kekuatan otot
5555 5555
5555 5555
3.1.1.2 Sirkulasi
A. Gejala (Subjektif)
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, masalah jantung, demam
rematik, dan edema mata kaki/ kaki, klaudikasi, dan flebitis. Pasien mengalami
penyembuhan lambat pada luka di bagian kaki kiri. Pasien sering merngalami
kesemutan dan kebas pada ekstremitas atas dan bawah. Pasien mengalami
peningkatan frekuensi dalam berkemih terutama dimalam hari bisa lebih dari 6
kali.
Universitas Indonesia
B. Tanda (Objektif)
Tekanan darah saat berbaring 130/70 mmHg, Nadi radialis 88x/menit, JVP 5-
2cmH20, getaran tidak ada, dorongan tidak ada. BJ I/II (N), gallop (-), murmur (-),
suara napas vesikuler (+), ronkhi -/-, whezing -/-, distensi vena jugularis (-).
Ekstremitas hangat, warna pucat, CRT < 3 detik. Bagian ekstremitas tidak ada
tanda homans, varises, dan abnormalitas kuku. Penyebaran rambut normal dan
merata. Warna membran mukosa pucat, bibir pucat, konjungtiva anemis, sklera
non ikterik, dan diaforesis positif. Pemeriksaan ABI sinistra 1 dan ABI dextra 1.
B. Tanda (Obyektif)
Pasien tampak banyak berdiam diri dan berbaring ditempat tidur. Pasien saat
menceritakan masalahnya sambil menangis. Pasien terlihat cemas terhadap
keadaan penyakit yang dialami. Pasien mengalami kecemasan tingkat sedang
dimana pasien memikirkan keadaannya namun tidak mengalami penyempitan
fokus.
3.1.1.4 Eliminasi
A. Gejala (Subjektif)
Pola BAB teratur 1 x sehari tanpa menggunakan laksatif. Karakter feses lunak,
BAB terakhir 8 Mei 2013. Pasien tidak memiliki riwayat hemoroid maupun
Universitas Indonesia
B. Tanda (Objektif)
Nyeri tekan abdomen pada bagian kuadran atas terutama tengah dan kiri.
Abdomen lunak, masa tidak ada, bising usus positif 3x/menit, hemoroid tidak ada,
perubahan kandung kemih tidak ada, dan BAK dari tampung urin 24 jam pada
tanggal 08 Mei sampai 09 Mei 2013 yaitu 1800 ml.
B. Tanda (Objektif)
Berat badan sekarang 43 kg, tinggi badan 153 cm, IMT 18,3, dan bentuk tubuh
kurus. Edema ekstremitas dan asites tidak ada. Pasien tidak mengalami distensi
Universitas Indonesia
vena jugularis, pembesaran tiroid. Kondisi gigi/gusi terdapat gigi berlubang pada
bagian graham bawah dan terdapat karies gigi seri bawah. Penampilan lidah
bersih. Membran mukosa kering. Bising usus positif. Pasien tampak mual dan
muntah 2x.
3.1.1.6 Higine
A. Gejala (Subjektif)
Aktivitas kebersihan diri seperti mandi, menggosok gigi, dan mengganti pakaian
selama di RS dibantu oleh keluarga ataupun perawat. Pasien mengalami hambatan
mobilitas karena luka pada bagian kaki kiri dan harus menggunakan infus.
B. Tanda/objektif
Penampilan umum pasien bersih dan cara berpakaian sesuai. Kebiasaan pasien
mandi 2x sehari, gosok gigi 2x sehari, cuci rambut 3 hari sekali. Pasien kulit
kepala bersih dan tidak ada bau badan.
3.1.1.7 Neurosensori
A. Gejala (Subjektif)
Pasien mengatakan sering merasakan ingin pingsan dan pusing. Pasien sering
mengalami kesemutan/kebas/kelemahan pada bagian ekstremitas. Pasien tidak
pernah mengalami stroke ataupun kejang. Penglihatan pasien berkurang dan
terlihat buram sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Telinga tidak mengalami
kekurangan pendengaran.
B. Tanda objektif
Status mental pasien tenang, kesadaran compus mentis, dan GCS 15. Pasien
terorientasi terhadap waktu, tempat, dan orang. Memori saat ini dan masa lalu
baik. Pasien tidak menggunakan alat bantu penglihatan seperti kacamata atau
lensa kontak. Pasien juga tidak menggunakan alat bantu pendengaran. Pupil
bereaksi terhadap cahaya, facial drop tidak ada, kemampuan menelan baik. Pasien
dapat melakukan lepas dan genggam tangan dengan baik. Postur tubuh tegap,
refleks tendon dalam +/+, paralisis tidak terjadi.
Universitas Indonesia
B. Tanda (Objektif)
Pasien tampak mengerutkan muka dan menjaga area yang sakit. Pasien menarik
kaki jika disentuh.
3.1.1.9 Pernapasan
A. Gejala (Subjektif)
Pasien mengatakan kadang batuk namun tidak mengalami sesak nafas. Pasien
tidak memiliki riwayat bronkitis, asma, tuberkulosis, emfisema, dan pneumonia
kambuhan. Pasien sewaktu berdagang sering terpajan dengan polusi udara dari
asap kendaraan dan asap rokok dari pedagang lainnya. Pasien tidak menggunakan
alat bantu pernapasan
B. Tanda (Objektif)
Pasien bernafas 18x/ menit, irama teratur, kedalaman normal, simetris, tidak ada
nafas cuping hidung, tidak menggunakan otot bantu pernafasan. Pasien tidak
mengalami sesak. Bunyi nafas vesikuler, bronkial, dan bronkovesikuler positif.
Bunyi nafas abnormal whezing dan ronkhi tidak ada. Pasien tidak mengalami
sainosis, jari tubuh normal. Fungsi mental baik. Hasil rontgen torax tanggal 04
Mei 2013 kesan: CTR < 50%, infiltrat tidak ada
3.1.2.10 Keamanan
A. Gejala (Subjektif)
Pasien tidak memiliki riwayat alergi dan penyakit hubungan seksual. Pasien tidak
mengalami perubahan sistem imun sebelumnya. Pasien tidak pernah ditransfusi
darah. Pasien tidak memiliki riwayat cedera kecelakaan, fraktur/dislokasi, artritis/
Universitas Indonesia
sendi tak stabil, masalah punggung, perubahan pada tahi lalat, dan pembesaran
nodus. Pasien mengatakan jarang menggunakan alas kaki. Pasien sering merasa
buram pada penglihatan. Pasien tidak memiliki masalah pada pendengaran. Pasien
tidak menggunakan alat bantu dan melakukan aktifitas dibantu oleh anak ataupun
perawat.
B. Tanda (Objektif)
Suhu tubuh 36,8 0C dan diaforesis positif. Integritas kulit: ulkus pedis sisnistra
plantar dan gangren pedis sinistra dorsal digiti II. Ulkus pedis sinistra plantar
kedalaman otot, ukuran 10x4 cm, pus (+), sensorik menurun (gambar 3.1).
Gangren pedis sinistra dorsal digiti II, kedalaman otot, ukuran 4x 2 cm, pus (+),
hiperemesis (+), hematome (+), bengkak (+) (gambar 3.2), dan perabaan hangat.
Kekuatan umum lemas, tonus otot lemas, cara berjalan tegap, ROM aktif, paralisis
(-). Hasil biakan pus luka pada tanggal 08 Mei 2013: terdapat bakteri gram positif
cocous ditemukan yaitu staphylococus epidermidis. Sensitiv terhadap antibiotik
no IV golongan Carbapenem yaitu Imipenem, meropenem dan no VIII Antibiotik
jenis lain Tetracycline dan Fosfomycin. Nilai Fall Morse Scale 35 risiko rendah.
Universitas Indonesia
3.1.2.11 Seksualitas
A. Gejala (Subyektif)
Pasien tidak aktif melakukan hubungan seksual sejak 5 tahun yang lalu karena
suaminya telah meninggal. Pasien menarke pada usia 14 tahun, lamanya siklus 28
hari, durasi 7 hari, dan menstruasi teratur. Periode menstruasi terakhir pada usia
46 tahun. Pasien sudah mengalami menopouse. Pasien tidak mengalami rabas
vagina. Pasien tidak pernah melakukan pemeriksaan mamogram dan PAP smear.
B. Tanda (objektif)
Pasien tidak ada luka, lecet, ataupun kemerahan pada bagian vagina. Tidak ada
masa abnormal pada bagian payudara.
B. Tanda (Objektif)
Pasien berbicara jelas dan bahasa mudah dimengerti. Pasien tidak mengalami
afasia dan kerusakan bicara. Pasien tidak menggunakan alat bantu bicara.
Komunikasi verbal dan nonverbal dengan keluarga atau orang terdekat baik.
Pasien saat berkomunikasi juga melakukan kontak mata.
Universitas Indonesia
3.1.2.13 Penyuluhan/Pembelajaran
A. Gejala (Subjektif)
Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa indonesia. Pasien melek huruf
dan tingkat pendidikan SD. Pasien mengalami keterbatasan kognitif terkait
penyakit yang dialami. Pasien saat ini, penglihatannya semakin berkurang
sehingga tidak bisa membaca dengan jelas. Keyakinan kesehatan yang dilakukan
adalah mengkonsumsi herbal dan berobat kedokter. Faktor resiko keluarga:
diabetes melitus (-), hipertensi (-), dan penyakit jantung (-).
Universitas Indonesia
Diagnosa saat masuk adalah diabetes melitus tipe II dengan ulkus pedis sinistra.
Pasien dirawat karena luka yang sulit sembuh sejak 3 minggu sebelum masuk
rumah sakit pada bagian kaki sinistra, mual, muntah, dan kadar gula darah tinggi.
Riwayat keluhan terakhir pasien adalah lemas, mual, nafsu makan berkurang,
nyeri pada bagian luka kaki kiri. Harapan pasien terhadap perawatan/pembedahan
sebelumnya agar cepat sembuh dan bisa kembali beraktivitas seperti sebelumnya.
Pemeriksaan fisik lengkap terakhir: 10 Mei 2013
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
38 Universitas Indonesia
39 Universitas Indonesia
40 Universitas Indonesia
41 Universitas Indonesia
42 Universitas Indonesia
43 Universitas Indonesia
44 Universitas Indonesia
45 Universitas Indonesia
46 Universitas Indonesia
47 Universitas Indonesia
48 Universitas Indonesia
49 Universitas Indonesia
50 Universitas Indonesia
51 Universitas Indonesia
52 Universitas Indonesia
53 Universitas Indonesia
54 Universitas Indonesia
55 Universitas Indonesia
Hasil rekapitulasi jumlah pasien yang dirawat inap di ruang penyakit dalam lantai V
selatan selama bulan April dan Mei tahun 2013 didapatkan diabetes melitus sebagai
kasus terbanyak kedua di ruangan setelah gagal ginjal dengan jumlah 35 kasus.
Ruangan lantai V selatan juga memiliki ruangan edukasi diabetes melitus yang
digunakan untuk edukasi diabetes melitus oleh tim edukator yang sudah terlatih.
4.2 Analisis masalah keperawatan dengan konsep terkait KKMP dan konsep
kasus terkait
Ny. F merupakan penduduk Indonesia yang melakukan urbanisasi. Ny. F pindah dari
Tegal ke Jakarta. Ny. F pindah ke Jakarta karena ketertarikannya terhadap kehidupan
di Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi. Hal ini didukung oleh Soetomo
(2009) dimana urbanisasi terjadi karena adanya daya tarik di daerah seperti
terdapatnya pusat pemerintahan, pusat pertumbuhan sosial dan ekonomi. Urbanisasi
merupakan proses perubahan yang diinginkan manusia untuk mempertahankan hidup
dan menuju perbaikan nasib (Soetomo, 2009). Perpindahan Ny. F ke Jakarta
merupakan bagian dari peningkatan urbanisasi melalu perpindahan dari desa ke kota.
56 Universitas Indonesia
Hal ini sesuai dengan konsep urbanisasi yang terjadi karena perpindahan penduduk
dari desa ke kota (BAPPENAS, 2013).
Lingkungan yang semakin padat dengan penduduk dan berkurangnya lapangan hijau
membuat perubahan iklim yang dapat meningkatkan suhu lingkungan. Konsumsi
minuman dingin dan manis merupakan salah satu pilihan masyarakat dalam
mengatasi rasa haus akibat panas dan kepadatan aktvitas. Hal ini sesuai dengan
Haines, Kovarts, Campbell-Lendrum, & Corvalan (2006), perubahan iklim secara
langsung dan tidak langsung mempengaruhi kesehatan individu. Perubahan iklim
dapat mempengaruhi pola iklim regional dan lokal. Di daerah perkotaan, temperatur
yang tinggi dapat meningkatkan efek kesehatan yang terkait polusi udara (Anderson
& McFarlane, 2011). Suku jawa yang masih melekat pada Ny. F berpengaruh
terhadap masakan Ny. F yang suka menambahkan gula merah dan manis. Makanan
cepat saji juga menjadi pilihan karena padatnya aktivitas. Padatnya aktivitas juga
membuat masyarakat perkotaan jarang melakukan olahraga. Keadaan yang penuh
dengan tekanan membuat lupa akan kesehatan diri dengan makan yang tidak teratur,
Universitas Indonesia
istirahat kurang, dan jarang berolahraga. Kebiasan yang ada tersebut merupakan gaya
hidup yang tidak sehat yang dapat berisiko terhadap masalah kesehatan.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada pada masyarakat perkotaan seperti gaya hidup yang
tidak sehat meliputi pola makan yang tidak sehat, stres, dan tidak ada waktu untuk
olahraga merupakan bagian dari faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya
penyakit DM tipe 2. Hal ini didukung oleh PERKENI (2011), ADA (2013), dan Lilly
(2005) dimana faktor risiko terjadinya DM yaitu karena gaya hidup tidak sehat seperti
pola makan yang tidak sehat, kondisi stres, dan aktivitas yang kurang. Stres dapat
merangsang hipotalamus anterior untuk memproduksi adenocorticoroid hormone
(ACTH). ACTH terutama akan memproduksi kortisol yang akan merangsang
glukoneogenesis sehingga terjadi peningkatan gula darah (Smeltzer & Bare, 2002;
Wetherill, 2001). Aktifitas fisik yang kurang dapat menurunkan sensitivitas insulin,
penurunan toleransi glukosa, dan peningkatan lemak adiposa (Smeltzer & Bare,
2002).
Ny. F memiliki penyakit diabetes melitus sejak 2 tahun yang lalu. Penyakit diabetes
melitus tipe 2 yang dialami Ny. F disebabkan beberapa faktor risiko yaitu pola makan
yang tidak sehat dengan mengkonsumsi makanan manis dan berlemak, jarang
berolahraga, dan stres karena kehidupan yang dialami. Ny F walaupun memiliki DM
masih suka mengkonsumsi makanan yang manis dan berlemak. Aktivitas sehari-hari
Ny. F kurang gerak dan jarang olahraga membuat diabetes melitus bertambah parah.
Saat aktivitas fisik, otot akan menggunakan glukosa yang dibakar menjadi energi.
Aktifitas fisik dapat meningkatkan produksi insulin yang membuat glukosa dapat
masuk ke dalam sel untuk dibakar menjadi tenaga. Aktifitas fisik dapat juga
menghambat perkembangan DM tipe 2. Mekanisme yang terjadi yaitu aktifitas fisik
dapat menyebabkan peningkatan sensitivitas insulin, peningkatan toleransi glukosa,
penurunan lemak adiposa, pengurangan lemak sentral, dan perubahan jaringan otot
(Smeltzer & Bare, 2002).
Universitas Indonesia
Usia Ny. F juga sudah 49 tahun, dimana usia diatas 45 tahun berisiko mengalami
diabetes melitus. Hal ini sesuai dengan PERKENI (2011), usia diatas 45 tahun
berisiko diabetes. DM terjadi semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Ny. F yang sekarang berusia 49 tahun memiliki peningkatan risiko terjadi DM tipe 2.
Peningkatan usia yang terjadi disebabkan penurunan jumlah insulin akibat
menurunnya kinerja dari pankreas. Hal ini didukung oleh penelitian Mihardja (2009),
semakin lanjut usai pengeluaran insulin semakin berkurang. Ketidakpatuhan Ny. F
dalam menjalani program pengobatan juga terlihat dari hasil pemeriksaan HbA1C
pada tanggal 06 Mei 2013 sebesar 9,1%, dimana terlihat kualitas pengontrolan DM
dalam 3 bulan terakhir kurang. Hal ini dikuatkan dengan konsep ADA (2013) dimana
HbA1C > 6,5% menunjukan kualitas pengontrolan yang kurang. Pengetahuan dan
kepatuhan pada Ny. F perlu selalu diingatkan karena pendidikan Ny. F yang rendah
yaitu SD. Pengetahun tentang diet, aktifitas, dan pengobatan penting dilakukan
dengan mengadakan edukasi kesehatan. Pendidikan kesehatan pada pasien dengan
tingkat pendidikan rendah sebaiknya melibatkan keluarga. Hal ini didukung oleh
penelitian Mihardja (2009) dimana prevalensi DM pada pasien dengan pendidikan
rendah sbesar 56,3%.
Penatalaksanaan DM 4 pilar juga tidak dijalankan Ny. F dengan baik, Ny. F tidak
menjalankan diet DM, aktifitas kurang gerak, dan tidak patuh dalam program
pengobatan yang dijalankan. Semua penyebab diabetes tipe 2 umumnya karena gaya
hidup yang tidak sehat. Hal ini membuat metabolisme dalam tubuh tidak sempurna
sehingga membuat insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik. Hormon
insulin dapat diserap oleh lemak dalam tubuh, sehingga pola makan dan gaya hidup
tidak sehat bisa membuat tubuh kekurangan insulin (Hardiman, 2013)
Ny. F sering merasa mual, lemas, luka sukar sembuh, penglihatan berkurang, BAK
banyak terutama malam hari, sering kesemutan dan kebas pada ekstresmitas, dan
berat badan turun merupakan tanda dan gejala terjadinya diabetes melitus. Hal ini
sesuai dengan tanda dan gejala pada diabetes mellitus luka yang sukar sembuh (Lilly,
Universitas Indonesia
Masalah kesehatan yang terjadi pada Ny.F dilakukan pendekatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif oleh semua tim kesehatan. Hal ini sesuai dengan ruang
lingkup praktik keperawatan kesehatan masyarakat yaitu promotif, preventif, kuratif,
Universitas Indonesia
dan rehabilitatif (Potter & Perry, 2009). Upaya promotif dengan melakukan edukasi
tentang penyakit diabetes melitus, pengaturan nutrisi, aktifitas, dan pengobatan. Ny. F
diberikan edukasi cara perawatan kaki, senam kaki, dan perawatan luka. Edukasi
perawatan kaki, senam kaki, dan perawatan luka dilakukan oleh tim kesehatan
terutama perawat selama pasien menjalani rawat inap. Edukasi dilakukan untuk
mendukung perubahan perilaku pasien.
Edukasi tentang cara perawatan kaki dan penggunaan alas kaki yang tepat merupakan
salah satu cara yang dilakukan praktikan untuk melakukan perubahan perilaku pada
Ny.F. Studi yang dilakukan Allaida S.R.SpRM edukasi yang diberikan terus menerus
meningkatkan pengetahuan dan perilaku penderita kaki diabetes (PERKENI, 2011).
Edukasi yang diberikan kepada Ny. F membuat Ny. F lebih mengetahui tentang
manfaat dan cara dari perawatan kaki. Upaya preventif untuk mencegah dampak yang
lebih parah pada kasus ulkus kaki diabetik adalah memotivasi pasien untuk mengatur
nutrisi, melakukan aktifitas teratur, dan menjalankan pengobatan. Pasien dianjurkan
untuk melakukan pengkajian harian terhadap kaki, melakukan perawatan kaki,
penggunaan alas kaki yang tepat, dan senam kaki. Ny.F selama di rumah sakit dalam
melakukan perawatan kaki dibantu oleh perawat atau keluarga. Perawatan kaki
terutama dilakukan pada kaki yang tidak terdapat luka. Upaya kuratif dengan
melakukan perawatan luka rutin dan pemberian pengobatan yang sesuai kondisi
pasien.
Monitoring kaki selama di rumah sakit kaki Ny.F bagian dextra mulai lembab, tidak
ada kalus, dan luka. Praktikan melakukan montoring terhadap kepatuhan pasien
dengan melakukan kontak telepon dengan keluarga pasien. Praktikan menanyakan
perkembangan keadaan pasien selama dirumah. Hasil pantauan praktikan melalui
kontak telepon pada tanggal 05 Juli 2013 dengan keluarga saat di rumah didapatkan
informasi keluarga rutin melakukan perawatan kaki pada Ny. F 1x sehari dan pada
kaki kanan sudah mulai lembab, tidak ada kalus, dan tidak ada luka. Praktikan
memberikan motivasi terhadap keluarga untuk meningkatkan kepatuhan terhadap
program yang dijalankan.
4.3 Analisis salah satu intervensi dengan konsep dan penelitian terkait
Praktikan dalam melakukan perawatan luka mengacu terhadap komponen penting
manajemen luka menurut Wound International (2013) yaitu mengatasi penyakit yang
terjadi, memastikan aliran darah yang adekuat, perawatan luka lokal dan kontrol
infeksi, dan pengurangan tekanan. Praktikan memulai dengan mengidentifikasi
penyebab terjadinya ulkus kaki diabetik pada pasien. Ulkus diabetikum yang terjadi
pada pasien Ny. F dikarenakan adanya penurunan sensasi pada ekstremitas akibat
neuropati perifer. Penurunan sensori disebabkan karena adanya gangguan
mikrovaskuler pada pembuluh darah Ny. F akibat penurunan perfusi perifer.
Penurunan perfusi perifer disebabkan karena tingginya kadar gula darah pada Ny. F.
Universitas Indonesia
Penyakit yang mendasari terjadinya ulkus kaki diabetik pada Ny. F adalah diabetes
melitus. Penyakit diabetes melitus dilakukan dengan melakukan 4 pilar
penatalaksanaan diabetes. Aliran darah harus adekuat, jika tidak adekuat harus
dilakukan revaskularisasi (Apelqvist, 2012). Pada Ny. F nilai ABI sinistra 1 dan ABI
dextra 1 yang menandakan belum terjadi oklusi aliran darah pada ekstremitas bawah
Ny. F. Pasien Ny. F pada pengkajian tanggal 08 Mei 2013 terdapat ulkus pedis
sinistra plantar kedalaman otot, ukuran 10x4 cm, dan pus (+), bau (+), warna luka
kemerahan didalamnya kehitaman sisi luka dengan sedikit warna putih kekuningan.
Luka yang terjadi pada Ny. F kemudian dilakukan perawatan luka.
Praktikan selama perawatan luka pada pasien DM dengan komplikasi kaki diabetik
menggunakan Nacl 0,9 %. Praktikan menggunakan Nacl 0,9 % karena sifatnya yang
aman, tidak iritan, dan mudah didapat, dan murah. Nacl 0,9% juga dapat menyerap
pus yang ada pada luka. Nacl merupakan larutan isotonis, tidak menimbulkan iritasi,
melindungi granulasi jaringan, menjaga kelembaban, mudah didapat, dan murah
(Huda, 2010). Pramana (2012), Nacl 0,9% merupakan cairan yang aman untuk
merawat luka. Nacl dalam setiap liternya mempunyai komposisi natrium klorida 0,9
gram dengan osmolalitas 308 mOsm/l sehingga aman digunakan. Pramana (2012),
Universitas Indonesia
Nacl 0,9% memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik daripada pasien dengan
menggunakan cairan lain. Penelitian Ismail (2009), penggunaan balutan konvensional
dengan menggunakan Nacl 0,9% dapat dilakukan dan sebaiknya ditetapkan prosedur
perawatan luka diabetes dengan mengganti balutan 2 kali sehari
Pemilihan jenis balutan dapat menjadi alternatif dalam melakukan perawatan luka.
Pemilihan balutan mempertimbangkan lokasi luka, luas dan kedalaman luka, jenis
dan tipe eksudat, kondisi luka, dan mencegah nyeri dan trauma (Wounds
International, 2013). Hal yang perlu dipertimbangkan praktikan dalam pemilihan
balutan yaitu kenyamanan, cocok untuk mempercepat durasi penyembuhan, mudah
dilepaskan, mudah diterapkan, dan harga efektif (World Union of Wound Healing
Societies, 2013).
Perkembangan jenis perawatan luka dan balutan sudah mulai berkembang. Balutan
dengan menggunakan madu dan cara modern sudah banyak diterapkan. Penelitian
Situmorang (2009), balutan madu memberikan perubahan yang baik dalam
penyembuhan luka. Penelitian Suranto (2007), madu memiliki kandungan yang dapat
menyembuhkan infeksi kaki diabetikum. Madu yang memiliki kandungan air kurang
dari 18% yang dapat menarik nanah di daerah yang diolesi madu. Enzim katalase
pada madu juga dapat digunakan sebagai antibakteri. Madu memiliki manfaat
mengangkat jaringan mati dan antibakteri. Penelitian Pramana (2012), penggunaan
madu alami dengan kandungan air <18 % dan Nacl lebih efektif dibanding dengan
yang hanya menggunakan Nacl.
Penelitian yang dilakukan oleh Robson, Dodd, dan Thomas (2008) dengan judul
Standardized antibacterial honey (Medihoney) with standard therpay in wound care:
randomized clinical trial memberikan hasil penyembuhan luka dengan madu lebih
cepat dalam waktu penyembuhan luka dibandingkan dengan perawatan luka yang
dilakukan secara konvensional. Madu memiliki manfaat klinis dalam penyembuhan
luka. Hal tersebut diyakini karena madu merupakan pencegah inflamasi,
Universitas Indonesia
pembengkakan pada luka, menurunkan rasa nyeri dan bau, meningkatkan granulasi
dan epitelisasi, dan meminimalkan terjadinya jaringan parut. Gethin dan Cowman
(2008) melakukan penelitian dengan judul Manuka honey vs hydrogel- a prospective,
open label, multicenter, randomised controlled trial to compare desloughing efficacy
and healing outcomes in venous ulcers. Penelitian yang dilakukan memberikan hasil
penggunaan madu lebih berkhasiat dan mempunyai kadar infeksi yang lebih rendah
dibandingkan dengan hidrogel.
Balutan yang digunakan juga harus didukung dengan faktror- faktor penyembuhan
luka seperti perfusi jaringan dan oksigenasi, nutrisi, kontrol infeksi, dan kontrol
diabetes (Bryant & Nix, 2007). Praktikan selama mengelola pasien melihat nutrisi
merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi proses penyembuhan luka.
Nutrisi yang adekuat dan seimbang dapat membantu proses penyembuhan luka yang
terjadi. MacKay & Miller, 2003; Williams & Barbul (2003), nutrisi memberikan
unsur bagi aktivitas sel dalam proses penyembuhan luka. Motivasi Ny. F selama
dirawat untuk menghabiskan makan sesuai dengan diet sesuai dengan kebutuhan Ny.
F. Diet yang diberikan pada Ny. F adalah diet DM 1700 kalori, 60gr protein, 40 gr
lemak, 275 karbohidrat, dan 3 extra putih telur. Nutrisi yang adekuat penting untuk
meningkatkkan sistem imun dan mencegah infeksi (Bryant & Nix, 2007).
lengket. Perawatan luka dilakukan dengan Nacl perlu monitoring yang sering dan
mengganti balutan yang sering untuk mempertahankan kelembaban luka. Keadaan
tersebut membuat praktikan merekomendasikan pemilihan balutan berdasarkan
evidence based nursing sebagai alternatif yang dapat menunjang percepatan proses
penyembuhan luka.
perhari. Penggunaan balutan alternatif juga dapat digunakan untuk menunjang proses
penyembuhan luka seperti penggunaan madu dan balutan modern. Faktor- faktor
yang mempengaruhi proses penyembuhan luka juga perlu diperhatikan seperti perfusi
jaringan dan oksigenasi, nutrisi, kontrol infeksi, dan kontrol diabetes. Upaya
rehabilitatif dengan kontrol tekanan dan kontrol gula darah.
Universitas Indonesia
5.1 Simpulan
5.1.1 Pasien yang menjadi kelolaan utama adalah Ny. F usia 49 tahun. Ny. F
merupakan pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 dengan ulkus kaki diabetik
sinistra. Asuhan keperawatan dilakukan pada Ny. F dari tanggal 08 Mei 2013-
25 Mei 2013. Pengkajian Ny. F dilakukan melalui pendekatan Keperawatan
Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) dalam seting Keperawatan
Medikal Bedah (KMB). Pengkajian yang didapatkan dari hasil wawancara,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik kemudian dianalisis masalah yang
terjadi pada Ny. F. Diagnosis keperawatan pada Ny. F yang didapatkan dari
hasil analisis data yaitu risiko penyebaran infeksi, kerusakan integritas kulit,
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, dan ketidakpatuhan.
Rencana keperawatan dibuat untuk mengatasi diagnosis: ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, risiko penyebaran infeksi,
ketidakpatuhan, dan kerusakan integritas kulit. Perencanaan dilakukan dengan
menentukan prioritas masalah, tujuan, kriteria hasil, dan tindakan dari setiap
diagnosis. Asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien Ny. F kemudian
dilakukan evaluasi. Masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh teratasi. Masalah risiko penyebaran infeksi terkontrol. Ketidakpatuhan
dilakukan monitoring secara kontinu selama pasien dirawat dan pulang
kerumah.
5.1.2 Hasil analisis masalah DM terkait KKMP dikarenakan kebiasaan-kebiasan
yang terjadi dimasyarakat perkotaan. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi pada
masyarakat perkotaan seperti gaya hidup yang tidak sehat meliputi pola
makan yang tidak sehat, stres, dan tidak ada waktu untuk olahraga merupakan
bagian dari faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit DM
tipe 2. Stres dapat merangsang hipotalamus anterior untuk memproduksi
adenocorticoroid hormone (ACTH). ACTH terutama akan memproduksi
68 Universitas Indonesia
5.2 Saran
5.2.1 Perawat
Perawat sebaiknya memberikan edukasi kesehatan terkait diabetes melitus,
pencegahan diabetes melitus, dan penatalaksanaan diabetes melitus kepada pasien
dan keluarga. Edukasi yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
mempertimbangkan keadaan saat pasien pulang ke rumah. Pemberian edukasi
kesehatan sebaiknya selama pasien dirawat sehingga dapat dievaluasi. Perawat juga
perlu memberikan motivasi kepada pasien dan keluarga untuk mematuhi
penatalaksanaan untuk penyakit diabetes melitus. Edukasi kesehatan seperti
perawatan kaki dan perawatan luka perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan pasien dengan diabetes melitus disertai ulkus kaki diabetik.
Universitas Indonesia
5.2.2 Pasien
Pasien sebaiknya mengubah gaya hidup lebih sehat, aktifitas fisik yang teratur, pola
makan yang teratur, mematuhi program pengobatan, rutin melakukan perawatan kaki,
dan memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Universitas Indonesia
Allender, J.A., Rector, C., Warner, K.D. (2010). Community health nursing:
promoting and protecting the publics health. (7th edition). Philadelphia
Lippincott: Williams & Wilkins.
Allender, J. A., Spradley, B.W. (2001). Community health nursing: concept and
practice. (5th edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
American Diabetes Association (ADA). (2013). Diabetes basic.
http://www.diabetes.org/diabetes-basics/ diakses tanggal 24 Juni 2013.
American Nurses Association. (2007). Public health nursing: scope and standarts of
practice. Spring: ANA
Anderson, E., McFarlane, J. (2011). Comumunity as partner: theory and practice in
nursing. (6th edition). Philadelphia: Lippincott williams & Wilkins
Apelqvist, J. (2012). Diagnostic and treatment of the diabetic foot. Endocrine, 41(3),
384-97.
Asep. (2009). Kaki diabetik.Tesis. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanegara
Association of State and Teritorial Directors of Nursing. (2000). Public health
nursing: a partner for healthy population. Washington DC: ANA
Badan Pusat Statistik. (2011). Tabel hasil sensus penduduk 2010.
http://www.bps.go.id/aboutus.php?sp=0 diunduh tanggal 24 Juni 2013.
BAPPENAS. (2005). Urbanization. http://www.datastatistik-
indonesia.com/proyeksi/index.php?option=com_content&task=view&id=923&
Itemid=939 diunduh tanggal 24 Juni 2013.
BAPPENAS. (2013). Proyeksi penduduk Indonesia 2000-2025. http://bappenas.go.id/
diakses tanggal 24 Juni 2013.
Boulton, AJ., Armstrong, DG., Albert, SF. (2008). Comprehensive foot examination
and risk assesment. Diabetes Care, 31, 1679-85.
Bryant, R., Nix, D. (2007). Acute and chronic wounds current management concepts
(3rd edition). St. Louis Missouri: Mosby Elsevier.
71 Universitas Indonesia
Cavanagh, P.R., Bus, S.A. (2010). Offloading the diabetic foot ulcer prevention and
healing. J Vasc Surg, 52, 37S-43S.
DeLaune, S.C., & Ladner, P.K. (2002). Fundamental of nursing: standars & practice.
(2nd edition). Delma: Thomson Learning, Inc.
Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., & Murr, A.C. (2010). Nursing care plan:
Guidelines for individualizing client care across the life span. (8th edition.).
Philadelphia: F. A Davis Company.
Doenges, M. (2010). Nursing care plan. Philadelphia: F.A davis Company.
Europan Wound Management Association (EWMA). (2004). Position document:
wound bed preparation in practice. London: MEP.
Galea, S., Vlahov, D. (2005). Handbook of urban health: populations, methods, and
practice public health. USA: Springer.
Gethin, V., Cowman, S. (2008). Manuka honey vs hydrogel- a prospective, open
label, multicenter, randomised controlled trial to compare desloughing efficacy
and healing outcomes in venous ulcers. Journal of Clinical Nursing, 18, 466-
474.
Gitarja, W. (2008). Perawatan luka diabetes. Edisi 2. Bogor: Wocare Publishing.
Haines, A., kovats, R., Campbell-Lendrum, D., Corvalan, C. (2006). Climate change
and human health: impact, vulnerability, and mitigation. Lancet, 367, 2301-
2309.
Hardiman, D. (2013). Diabetes komplikasinya mengintai kelengahan kita. Surakarta:
RS Dr. OEN.
Herdman, T. (2012). NANDA International nursing diagnoses definition and
clasification 2012-2014. Oxford: John Wiley & Son.
Huda, N. (2010). Pengaruh hiperbarik oksigen terhadap perfusi perifer luka gangren
pada penderita DM. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
A. Tujuan Umum
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan tentang diabetes melitus, Ny. F
diharapkan mampu mengenal diabetes mellitus dan memahami pentingnya
cara perawatan dan pencegahan terjadinya diabetes mellitus.
B. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan selama 1x45menit diharapkan klien
mampu :
1. Mengetahui pengertian Diabetes Mellitus
2. Mengetahui penyebab Diabetes Mellitus
3. Mengetahui tanda dan gejala Diabetes Mellitus
4. Mengetahui akibat dari Diabetes Mellitus
5. Memahami cara perawatan pasien dengan Diabetes Mellitus
6. Mengetahui cara pencegahan Diabetes Mellitus
C. Materi pengajaran
1. Pengertian Diabetes Mellitus
2. Penyebab Diabetes Mellitus
3. Tanda dan gejala Diabetes Mellitus
4. Akibat lanjut Diabetes Mellitus
5. Cara penanganan Diabetes Mellitus
7. Cara Perawatan kaki Diabetes Mellitus
B. Tanya Jawab
1. Mahasiswa
memberikan 1. Klien menanyakan
kesempatan pada hal yang belum
klient untuk dimengerti
menanyakan hal
yang belum
diketahui mengenai
perawatan dan
penanganan diabetes
mellitus
2. Mahasiswa 2. Klien merasa puas
menjawab dan mengetahui
pertanyaan dari jawaban dari
klien pertanyaan yang
diajukan
1. Klien menjawab
2. Mahasaiswa
mengucapkan terima 2. Klien membalas
kasih
3. Salam Penutup
3. Klien membalas
salam
8. Kriteria Evaluasi
1. Struktur
- LP dan Media telah dibuat sebelum melakukan penkes
- Mahasiswa telah melakukan kontrak waktu dan tempat dengan klien
2. Proses
- Penyuluhan dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan
- Klien aktif mengikuti pendkes yang disampaikan oleh mahasiswa
- Mahasiswa mampu menyampaikan materi dengan baik.
3. Hasil
- 80 % dari materi yang disampaikan dapat dipahami oleh klien
- Klien mampu menerapkan perawatan kaki yang telah diajarkan
V. MEDIA
1. Alat-alat perawatan kaki: sabun, lotion/pelembab, gunting kuku, handuk,
pengalas, waskom berisi air bersih.
2. Leaflet.
enderita diabetes harus merasa perlu Karingkan kaki anda dengan baik sampai sela- Gantilah setiap hari kaos kaki dan
2 5
P
untuk merawat kakinya secara baik. sela jari benar-benar kering (gunakan handuk yang pilihlah kaos kaki yang terbuat dari
Merawat kaki dengan cermat dan lembut dan menyerap air) kaos/katun
mamilih sepatu yang sesuai dapat
mencegah gangguan yang bisa timbul
pada penderita diabetes, seperti luka
yang tidak terasa.
No. Hp : 085692214140
Email : itna_tujuhlapan@yahoo.com/
itnatujuhlapan@gmail.com
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia