Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TINJAUAN PUSTAKA
Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan
Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix terlihat pada
minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix berada pada
apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica
ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada
kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh
karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3
1
Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5
Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata panjang
6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada dasar Caecum,
ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix
mengalami peradangan. 1,2
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini, Appendix
dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan Imunoglobulin terutama
Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan komponen integral dari sistem Gut
2
Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya tidak penting dan Appendectomy tidak akan
menjadi suatu predisposisi sepsis atau penyakit imunodefisiensi lainnya.2
3
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal
mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal 0,1
mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal sekitar
60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan
nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. 2)
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan bakteri
yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi tekanan vena,
aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol
tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih
nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada
regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7 )
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai
darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan suplai
darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi,
invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu
daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7)
Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya
pada anak-anak.6
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di
dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam
beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut,
dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin
meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini
menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia
jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke
dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator
inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding
Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
4
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burneys. Jarang
terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya.
Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda
karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi
Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat
timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat
ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi
Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus.
Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh
pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup
peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada
pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat
menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi
karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang
melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih
tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui
dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering dijumpai
pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi Ileum terminalis
atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.6
1.2.2 Bakteriologi
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal. Sekitar 60%
cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob,
dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang normal. Diduga
lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa
terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon
memainkan peranan penting pada perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa
dan Appendicitis perforata. 1,2,7)
Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih
2)
dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi. Flora
5
normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada Appendix akan
tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada
orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan
Appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai
variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. 1,2,7)
Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata dan non
perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali pasien telah
mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan laboratorium untuk
mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus
dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau
penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess setelah terapi Appendicitis. Perlindungan
antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis
perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien
tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal
dan transperitoneal masih kontroversi. 2,6)
6
1.3 Manifestasi Klinis
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya suhu
naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC.
Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah yang
umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan
ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut
dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. 2,8
Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis.
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien
yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa pasien
terutama anak-anak. 2,3,8 Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi Appendix.12,13
7
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya ditentukan
apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA
terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang
akut dan bukan radang akut.11)
8
Anak-anak dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan gerakan
yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya jarang didiagnosis
sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis letak retrocaecal. Pada
Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter sehingga nyeri yang timbul
menyerupai nyeri pada kolik renal.6
Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan, karena
pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut akan
mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut berkurang. 6
Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa letak
anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi pangkal Caecum.
Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina
iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri rectal.6
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal
toucher tidak diperlukan lagi.6
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik: 10
Rovsings sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum.
Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
Psoas sign
9
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien dan
tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam
arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas
kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan Appendix.
Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.
10
Gambar 8. Dasar anatomis Obturator sign10)
11
jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm 3 pada Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis
sel darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi
Appendix dengan atau tanpa abscess.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati sebagai
respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara 6-12 jam
inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP 8 mcg/mL, hitung leukosit 11000,
dan persentase neutrofil 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas 90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran kemih.
Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi Urethra atau Vesica
urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada Appendicitis acuta dalam
sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.
1.4.2.Ultrasonografi1,2,6,7)
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis. Appendix
diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang nonperistaltik
yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal, Appendix diukur dalam
diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa kompresi ukuran anterior-
posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya appendicolith akan mendukung
diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal, yang dengan tekanan ringan merupakan
struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan
diagnosis Appendicitis acuta. Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan
tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendicitis acuta
tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus
dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ
panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar
dapat menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen.
Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96%
dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil,
walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.
USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai. Penilaian
positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periappendicitis dari peradangan sekitarnya,
dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang dapat menyerupai appendicolith,
dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak tertekan karena proses inflamasi Appendix yang
12
akut melainkan karena terlalu banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila
Appendicitis terbatas hanya pada ujung Appendix, letak retrocaecal, Appendix dinilai
membesar dan dikelirukan oleh usus kecil, atau bila Appendix mengalami perforasi oleh
karena tekanan.
13
Gambar 10. Gambaran CT Scan abdomen: Appendicitis perforata
dengan abscess dan kumpulan cairan di pelvis1)
14
Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari
inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari yang simple sampai yang perforasi, serta umur
dan jenis kelamin pasien. 2,6)
1. Adenitis Mesenterica Acuta
Diagnosis penyakit ini seringkali dikacaukan oleh Appendicitis acuta pada anak-anak.
Hampir selalu ditemukan infeksi saluran pernafasan atas, tetapi sekarang ini telah
menurun. Nyeri biasanya kurang atau bisa lebih difus dan rasa sakit tidak dapat
ditentukan lokasinya secara tepat seperti pada Appendicitis. Observasi selama beberapa
jam bila ada kemungkinan diagnosis Adenitis mesenterica, karena Adenitis mesenterica
adalah penyakit yang self limited. Namun jika meragukan, satu-satunya jalan adalah
operasi segera.
2. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan dengan
Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut self limited
dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual, dan muntah. Nyeri
hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium
biasanya normal.
3. Penyakit urogenital pada laki-laki.
Penyakit urogenital pada laki-laki harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding
Appendicitis, termasuk diantaranya torsio testis, epididimitis akut, karena nyeri epigastrik
dapat muncul sebagai gejala lokal pada awal penyakit ini, Vesikulitis seminalis dapat juga
menyerupai Appendicitis namun dapat dibedakan dengan adanya pembesaran dan nyeri
Vesikula seminalis pada waktu pemeriksaan Rectal toucher.
4. Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis acuta.
Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena Diverticulitis
Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti Appendicitis dan memerlukan
terapi yang sama yaitu operasi segera.
5. Intususseption
Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk membedakan
Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat berbeda. Umur pasien
sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2 tahun, sedangkan
Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun. Pasien biasanya
mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa berbentuk sosis dapat teraba di
15
RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah
barium enema, sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Appendicitis acuta
sangat berbahaya.
6. Chrons enteritis
Manifestasi enteritis regional berupa demam, nyeri RLQ, perih, dan leukositosis
sering dikelirukan sebagai Appendicitis. Selain itu, terdapat diare dan anorexia. Mual dan
muntah yang jarang, dapat mengarahkan diagnosis kepada enteritis namun tidak
menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta.
7. Perforasi ulkus peptikum
Gejala perforasi ulkus peptikum menyerupai Appendicitis jika cairan gastroduodenal
mengalir ke bawah di daerah caecal. Jika perforasi secara spontan menutup, gejala nyeri
abdomen bagian atas menjadi minimal.
8. Epiploic appendagitis
Epiploic appendagitis mungkin disebabkan oleh infark Colon sekunder dari torsi
Colon. Gejala dapat minimal atau terjadi gejala abdomen yang dapat berlangsung hingga
beberapa hari. Pasien tidak tampak sakit, jarang terjadi mual dan muntah, dan nafsu
makan tidak berubah. Terdapat nyeri tekan pada daerah yang terkena. Pada 25% kasus,
nyeri berlangsung terus menerus hingga epiploic appendage yang mengalami infark
dioperasi.
9. Infeksi saluran kencing
Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai
Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan terutama
pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.
10. Batu Urethra
Bila calculus tersangkut dekat Appendix dapat dikelirukan dengan Appendicitis
retrocaecal. Nyeri alih ke daerah labia, scrotum atau penis, hematuria, dan atau tanpa
demam atau leukositosis mendukung adanya batu. Pyelografi dapat memperkuat
diagnosis.
11. Peritonitis Primer
Peritonitis primer jarang menyerupai Appendicitis acuta simplex namun dapat
ditemukan gambaran yang sangat mirip dengan peritonitis difus sekunder yang
disebabkan oleh ruptur Appendix. Diagnosis ditegakkan dengan aspirasi peritoneal. Bila
ditemukan bakteri coccus pada pewarnaan Gram, peritonitis tersebut adalah peritonitis
16
primer dan terapinya adalah obatobatan. Bila ditemukan bermacammacam bakteri,
peritonitis tersebut adalah peritonitis sekunder.
12. Purpura HenochSchonlein
Sindrom ini biasanya terjadi 2-3 minggu setelah infeksi Streptococcus. Nyeri
abdomen merupakan gejala yang paling menonjol, namun nyeri sendi, purpura dan
nephritis juga hampir selalu ditemukan.
13. Yersiniosis
Infeksi Yersinia menyebabkan berbagai macam gejala klinik, termasuk adenitis
mesenterica, ileitis, colitis dan Appendicitis acuta. Umumnya infeksinya ringan dan self
limited, namun pada beberapa dapat terjadi sepsis sistemik yang umumnnya sangat fatal
bila tidak diobati. Kecurigaan pada diagnosis preoperatif tidak boleh menunda operasi,
karena secara klinis Appendicitis yang disebabkan oleh Yersinia tidak dapat dibedakan
dengan Appendicitis oleh sebab lainnya. Sekitar 5% dari kasus Appendicitis acuta
disebabkan oleh infeksi Yersinia.
17
1.6 Komplikasi
Perforasi
Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( membran serosa yang melapisi rongga
abdomen dan menutupi visera abdomen ) merupakan penyulit berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran
infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen.
Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon (pada
kasus ruptura appendik) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides. Peritonitis pada
perforasi appendiks merupakan peritonitis sekunder. Pada appendisitis biasanya
disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit,
benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena
sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga
menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general.
Appendicular infiltrat
Appendicular infiltrat adalah infiltrat/massa yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus
atau usus besar. Umumnya massa Appendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan
mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa Appendix lebih sering dijumpai pada
pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan
baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang. 16Bila
semua proses patofisiologi Appendicitis berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah Appendix hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
Appendicularis infiltrat. Peradangan Appendix tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.17
Appendicularis infiltrat merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai dimukosa
dan melibatkan seluruh lapisan dinding Appendix dalam waktu 24-48 jam pertama, ini
18
merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
Appendix dengan omentum, usus halus, atau Adnexa sehingga terbentuk massa
periappendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abscess, Appendicitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 17
1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu 1,2,3,6,7)
1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia.
2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral
3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.
4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan
didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.
Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika profilaksis
harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan single dose dipilih
antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.
19
4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 2427 jam setelah
Appendectomy, kadangkadang setelah 1014 hari. Sumbernya adalah echymosis dan
erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli retrograd dari sistem
porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.
1.9 Prognosis 2)
Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada tahun
1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang menyebabkan
penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana diagnosis dan terapi,
antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan darah dan plasma, serta
meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th edition.
Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier
Saunders. 2004: 1381-93
2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartzs Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www
.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg
5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendicitis1x.jpg
6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingots Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
7 Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed: Norton
JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New
York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62
8 Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of Surgery Vol
II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.
2001: 1466-78
9 Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of Family
Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at October 20th 2011.
From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html
10. http://www.alkalizeforhealth.net/gifs/naturesplatform.gif
11. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the Alvarado score
in acute Appendicitis. Retrieved at June 25th 2007. From:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1294889&blobtype=pdf
21
BAB II
BORANG PORTOFOLIO KASUS
22
Subjektif :
Keluhan Utama: Nyeri perut kanan bawah sejak 1 minggu SMRS.
Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri
terasa semakin hebat sejak 1 hari ini.
Demam ada sejak 1 minggu SMRS, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak terus
menerus, dan tidak berkeringat.
Nafsu makan berkurang semenjak sakit.
Mual tidak ada, muntah tidak ada.
Riwayat sakit maag ada.
BAB tidak ada sejak 4 hari yang lalu.
BAK tidak ada kelainan.
Pasien sudah minum obat magh yang biasa dikonsumsi tapi nyeri tidak hilang
Objektif :
Pemeriksaan Fisik
Umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 110/70 mmhg
Nadi/ irama : 90x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 37,9 oC
BB : 60 kg
Turgor kulit : baik
Kulit dan kuku : ikterik (-), pucat (-), sianosis (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran KGB
Toraks
o Pulmo
23
Ekstremitas: akral hangat, refilling kapiler < 2s, sianosis(-)
Status Lokalis:
Abdomen:
Inspeksi : Tidak tampak membuncit
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (+) dan
nyeri lepas (+) di titik Mc burney, rovsing (+),
Psoas sign (+), obturator sign (+), defans muskuler (-),
Tidak teraba massa di perut kanan bawah
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium:
Hb : 12 gr%
Leukosit : 22.600/mm3
Trombosit : 314.800/l3
Hematokrit : 37%
CT: 3.30
BT: 2.30
Urinalisa :
- Warna : kuning
- Glukosa : normal
- Protein : (+)
- Reduksi : (-)
- Bilirubbin : (-)
- Urobilin : (-)
- Sedimen : eritrosit (-), leukosit (+), silinder (-), kristal (-), sel epitel
(-)
- Plano tes : negatif
Alvarado score:
Migration of pain :1
Anorexia :1
Nausea/vomiting :-
RLQ tenderness :2
Rebound :1
Elevated temperatur : 1
Leukocytosis :2
Left shift :-
24
Total points : 8 (kemungkinan besar appendisitis)
25
maka diagnosis Appendicitis diragukan. 2,8
Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh 37,9C dan pada pemeriksaan
abdomen ditemukan nyeri tekan (+) di titik McBurney , nyeri lepas (+), rovsing (+),
Psoas sign (+), obturator sign (+), defans muskuler (-). Pada pemeriksaan lab darah
ditemukan leukositosis 22.600mm3. Berdasarkan kepustakaan, nyeri lepas muncul karena
rangsangan peritoneum, sementara rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa
nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang
perlahan dan dalam di titik Mc Burney. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Rigiditas
psoas dapat ditemukan bila appendiks letak retrocaecal, terutama bila appendiks melekat
pada otot psoas. Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagnosis
apendisitis akut. Pada kebannyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus
dengan komplikasi.6
Gejala dan pemeriksaan fisik appendisitis bisa dinilai untuk menegakkan diagnosa
appendisitis dengan menggunakan Alvarado Score. Semua penderita dengan suspek
Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu:
skor <6 dan >6. Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang akut. Pada pasien ini didapatkan alvarado
score 8 dan ditarik kesimpulan bahwa pasien ini kemungkinan besar menderita
Appendisitis akut. Appendisitis akut merupakan kegawatdaruratan yang harus segera
ditangani untuk mencegah komplikasi terjadinya perforasi. Perforasi appendisitis dapat
menyebabkan tejadinya peritonitis sekunder
Plan :
a. Penatalaksaan
Penatalaksaan di IGD:
Anjuran rawat (Konsul Bedah)
IVFD RL 20 tpm
Injeksi Ranitidin 2x1 amp (IV)
Injeksi Cefoperazon 2x1gr (IV) skin test
Paracetamol 3x500mg
Puasa mulai jam 24.00
26
Follow up
19 Januari 2016
S/ Demam(+), Nyeri seluruh perut (+), muntah(-), BAB(-)
O/ TD 90/60mmhg Nadi:98x/menit Nafas 22x/menit T : 38,8C
Abdomen: nyeri tekan(+) nyeri lepas(+) seluruh regio, defans muskuler (+), BU(+)
A/ Peritonitis ec. appendisitis perforasi
P/ - Konsul anestesi
- Persiapan Laparotomi Eksplorasi jam 10.00Wib Keluarga pasien masih
berundingbatal OK
- IVFD RL + drip ketorolac 20 tpm
- Paracetamol 4x500mg
- Pasang NGT
- Terapi Lanjut
20 Januari 2016
S/ Demam(+), Nyeri diseluruh perut (+), Kembung(+), BAB(-)
O/ TD 100/60mmhg Nadi 100 x/menit Nafas 22x/menit T : 38C
Abdomen : nyeri tekan(+) nyeri lepas(+) seluruh regio, defans musculer (+), BU(+)
A/ Susp Peritonitis ec. appendisitis perforasi
P/ -Keluarga setuju dioperasi
- Laparotomi eksplorasi jam 10.00Wib dalam general anestesi
PostOp:
Immobilisasi
Rawat ruangan terartai
Sementara puasa
Awasi vital sign, balance cairan
Cek Hb post op Transfusi jika Hb< 10gr%
IVFD RL 20tpm
Inj. Cefazolin 2x1 gr (IV) skintest
Metronidazol infus 3x500mg
Inj Ranitidin 2x1 amp (IV)
Inj. Crome 3x1 amp (IV)
27
Inj. Ketorolac 2x1 amp (IV)
21 Januari 2016
S/ Demam(-), muntah(-), nyeri pada luka operasi(+), Flatus(+), BAB(-)
O/ TD 120/80 mmhg Nadi 84x/menit Nafas 21x/menit T : 36,5C
Abdomen:distensi(-), BU(+), nyeri tekan bekas luka operasi (+)
Produksi drain 10cc, NGT 5cc kehijauan
Hb: 11,8gr%
A/- Peritonitis difus ec Appendisitis perforasi
- Post Laparotomi eksplorasi + appendektomi Hari ke-I
P/ - IVFD RL 20tpm stop
- IVFD RL: Aminofluid = 2:2 20 tpm
- Terapi Lanjut
22 Januari 2016
S/ Demam(-), muntah(-), nyeri pada luka operasi(+), Flatus(+), BAB(-)
O/ TD 110/70 mmhg Nadi 78x/menit Nafas 20x/menit T : 36,9C
Abdomen:distensi(-), BU(+), nyeri tekan bekas luka operasi
Produksi drain 5cc, NGT bersih
A/ Peritonitis difus ec Appendisitis perforasi
- Post Laparotomi eksplorasi + appendektomi Hari ke-II
O/ - Mobilisasi (miring kiri miring kanan)
- Inj Alinamin F 3x1 amp (IV)
- Dulcolax supp (ekstra)
- Inj. Ketorolac 2x1 amp (IV) stop
- Terapi lanjut
23 Januari 2016
S/ Demam(-), BAB(+)
O/ TD 110/70 mmhg Nadi 72x/menit Nafas 20x/menit T : 36,6C
Abdomen:distensi(-), BU(+)
Produksi drain
A/ -Peritonitis difus ec Appendisitis perforasi
- Post Laparotomi eksplorasi + appendektomi Hari ke- III
O/ - Diet MC 6x25cc lanjut MS besok 24/1/16
- Aff NGT
28
- Aff drain
- Aff DC
- Mobilisasi (duduk)
- Terapi lanjut
24 Januari 2016 (libur)
25 Januari 2016
S/ Keluhan (-)
O/ TD 110/70 mmhg Nadi 70x/menit Nafas 20x/menit T : 36,9C
Abdomen:distensi(-), BU(+)
Luka : kalor(-), rubor(-), dolor(-), pus(-)
A/ -Peritonitis difus ec Appendisitis perforasi
- Post Laparotomi eksplorasi + appendektomi Hari ke-V
O/ - Boleh pulang, Kontrol Poli Bedah 1 Februari 2016
- Obat pulang Cefadroxyl 2x500mg, Ranitidin 2x150mg, Asam mefenamat 3x500mg
29
Portofolio Kasus
Disusun oleh:
dr. Ryri Rahmawati Helmi
Pendamping:
dr. Matruzi
dr. Elsa Sri Fadila
30
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
RSUD DR. ADNAAN WD PAYAKUMBUH
2016
31