Você está na página 1de 22

ANALISIS SISTEM MANAJEMEN KINERJA

STUDI KASUS PADA PT. PLN PERSERO

disusun oleh :

Muhammad Fadli Auliyufliha (1201140300)


Maxwel Hutahaean (1201142050)

PROGRAM S1 TEKNIK INDUSTRI

FAKULTAS REKAYASA INDUSTRI

TELKOM UNIVERSITY

2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul
Analisis Sistem Manajemen Kinerja Studi Kasus pada PT. PLN Persero.
Karya tulis ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan karya tulis ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga karya tulis ilmiah ini yang berjudul Analisis Sistem
Manajemen Kinerja Studi Kasus pada PT. PLN Persero ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.

Bandung, 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Kinerja ............................................................................................................ 3
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja ................................................................................. 3
2.3 Pengertian Pengukuran Kinerja ........................................................................................ 4
2.4 Prinsip Pengukuran Kinerja .............................................................................................. 4
2.5 Ukuran Pengukuran Kinerja ............................................................................................. 5
2.6 Sistem Pegukuran Kinerja................................................................................................. 5
BAB 3 PENGUMPULAN DATA ................................................................................................... 7
3.1 Objek Penelitian ................................................................................................................ 7
3.2 Sumber Data ..................................................................................................................... 9
BAB 4 ANALISIS DATA............................................................................................................. 10
4.1 Implementasi Sistem Manajemen Kinerja di PT. PLN Persero ...................................... 10
4.2 Evaluasi Sistem Manajemen Kinerja .............................................................................. 12
4.3 Perbaikan Secara Berkelanjutan ..................................................................................... 14
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................... 17
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 17
5.2 Saran ............................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 18

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: PLTA Cikapundung, Bandung tahun 1906 ................................................................... 7
Gambar 2: Jawatan Listrik dan Gas Tahun 1945 ............................................................................ 8
Gambar 3: Program Terbaru Listrik Pintar oleh PLN ..................................................................... 8

iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kinerja merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam
sebuah perusahaan dalam upayanya untuk menciptakan suatu produk atau jasa. Kinerja
biasanya identik dengan proses pekerjaan dikalangan karyawan suatu perusahaan. Karena
kinerja inilah yang akan memberikan suatu hasil bagi perusahaan tersebut. Kinerja karyawan
merupakan aspek penting dalam sebuah perusahaan. Karena hal inilah yang akan menentukan
maju atau mundurnya suatu perusahaan. Apabila para karyawannya berkinerja buruk maka
yang terjadi adalah kemerosotan pada perusahaannya. Hal ini juga akan berlaku sebaliknya,
apabila para karyawannya merupakan para karyawan yang rajin dan senang berinovasi maka
yang terjadi adalah kemajuan yang positif bagi perusahaan tersebut.
Manajemen kinerja adalah cara-cara melalui mana para manajer menjamin bahwa
aktivitas-aktivitas dan hasil-hasil karyawannya sesuai dengan tujuan organisasi. Manajemen
kinerja ada sebagai instrument pengelolaan kinerja dari perusahaan. Manajemen kinerja yang
baik berpotensi untuk meningkatkan kinerja, sebab penilaian yang baik mempengaruhi
seberapa tepat perlakuan yang harus diberikan kepada individu karyawan.
PT. PLN sendiri adalah sebuah perusahaan besar yang dikelola oleh negara. PT. PLN
bergerak di bidang penyediaan energi listrik di seluruh pelosok negara Indonesia. Dalam
prakteknya, tetap diperlukan sebuah efisiensi manajemen kinerja untuk menghadapi
persaingan di tingkat global, mendorong perusahaan untuk senantiasa melakukan inovasi-
inovasi baru pada hasil produksinya. Maka dari itu, diperlukan sistem manajemen kinerja
yang efektif dan efisien.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah berisi sejumlah pertanyaan yang terkait dengan fokus utama masalah
berdasarkan latar belakang yang sudah dibuat.
1. Apa saja yang perlu dievaluasi dari sistem manajemen kinerja PT PLN Persero?
2. Bagaimana pengendalian dan pengelolaan yang baik terhadap kinerja PT PLN Persero?
3. Bagaimana solusi dari permasalahan yang terdapat di dalam kinerja PT PLN Persero?

1
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian menunjukkan hasil yang didapatkan berdasarkan latar belakang dan
rumusan masalah yang telah dikaji.
1. Mengetahui apa saja yang perlu dievaluasi dari sistem manajemen kinerja PT PLN
Persero.
2. Mengetahui bagaimana solusi dari permasalahan yang terdapat di dalam kinerja PT PLN
Persero.
3. Mengetahui bagaimana solusi dari permasalahan yang terdapat di dalam kinerja PT PLN
Persero.

2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya. Pada dasarnya pengertian kinerja dapat dimaknai secara
beragam. Beberapa pakar memandangnya sebagai hasil dari suatu proses penyelesaian
pekerjaan, sementara sebagian yang lain memahaminya sebagai perilaku yang diperlukan
untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kinerja juga dapat digambarkan sebagai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, visi
perusahaan yang tertuang dalam perumusan strategi planning suatu perusahaan. Penilaian
tersebut tidak terlepas dari proses yang merupakan kegiatan mengolah masukan menjadi
keluaran atau penilaian dalam proses penyusunan kebijakan/program/kegiatan yang dianggap
penting dan berpengaruh terhadap pencapaian sasaran dan tujuan.
Kinerja diartikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya (Mangkunegara, 2000). Kinerja juga diartikan sebagai hasil dari pelaksanaan suatu
pekerjaan, baik yang bersifat fisik/mental maupun non fisik/non mental (Hadari, 2003). Dari
beberapa pendapat tersebut, kinerja dapat dipandang dari perspektif hasil, proses, atau perilaku
yang mengarah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu, tugas dalam konteks penilaian
kinerja, tugas pertama pimpinan organisasi adalah menentukan perspektif kinerja yang mana
yang akan digunakan dalam memaknai kinerja dalam organisasi yang dipimpinnya.

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja


Kinerja tidak terjadi dengan sendirinya. Dengan kata lain, terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi kinerja. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Armstrong (1998 : 16-
17) adalah sebagai berikut:
1. Faktor individu (personal factors). Faktor individu berkaitan dengan keahlian, motivasi,
komitmen, dll.
2. Faktor kepemimpinan (leadership factors). Faktor kepemimpinan berkaitan dengan
kualitas dukungan dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, manajer, atau ketua
kelompok kerja.
3. Faktor kelompok/rekan kerja (team factors). Faktor kelompok/rekan kerja berkaitan
dengan kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja.

3
4. Faktor sistem (system factors). Faktor sistem berkaitan dengan sistem/metode kerja yang
ada dan fasilitas yang disediakan oleh organisasi.
5. Faktor situasi (contextual/situational factors). Faktor situasi berkaitan dengan tekanan dan
perubahan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal.

2.3 Pengertian Pengukuran Kinerja


Pengukuran kinerja adalah proses di mana organisasi menetapkan parameter hasil
untuk dicapai oleh program, investasi, dan akusisi yang dilakukan. Proses pengukuran kinerja
seringkali membutuhkan penggunaan bukti statistik untuk menentukan tingkat kemajuan suatu
organisasi dalam meraih tujuannya. Tujuan mendasar di balik dilakukannya pengukuran adalah
untuk meningkatkan kinerja secara umum.
Pengukuran Kinerja juga merupakan hasil dari suatu penilaian yang sistematik dan
didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator
masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak.. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar
untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan
tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi.
Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja juga
digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran (Whittaker, 1995). Artinya, setiap
kegiatan perusahaan harus dapat diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah
perusahaan di masa yang akan datang yang dinyatakan dalam misi dan visi perusahaan.
2.4 Prinsip Pengukuran Kinerja
Dalam pengukuran kinerja terdapat beberapa prinsip-prinsip yaitu:
1. Seluruh aktivitas kerja yang signifikan harus diukur.
2. Pekerjaan yang tidak diukur atau dinilai tidak dapat dikelola karena darinya tidak ada
informasi yang bersifat obyektif untuk menentukan nilainya.
3. Kerja yang tak diukur selayaknya diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
4. Keluaran kinerja yang diharapkan harus ditetapkan untuk seluruh kerja yang diukur.
5. Hasil keluaran menyediakan dasar untuk menetapkan akuntabilitas hasil alih-alih sekedar
mengetahui tingkat usaha.
6. Mendefinisikan kinerja dalam artian hasil kerja semacam apa yang diinginkan adalah cara
manajer dan pengawas untuk membuat penugasan kerja dari mereka menjadi operasional.
7. Pelaporan kinerja dan analisis variansi harus dilakukan secara kerap.
4
8. Pelaporan yang kerap memungkinkan adanya tindakan korektif yang segera dan tepat
waktu.
9. Tindakan korektif yang tepat waktu begitu dibutuhkan untuk manajemen kendali yang
efektif.

2.5 Ukuran Pengukuran Kinerja


Terdapat tiga macam ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja secara
kuantitatif yaitu :
1. Ukuran Kriteria Tunggal (Single Criterium).
Yaitu ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja
manajernya. Jika kriteria tunggal digunakan untuk mengukur kinerjanya, orang akan
cenderung memusatkan usahanya kepada kriteria tersebut sebagai akibat diabaikannya
kriteria yang lain yang kemungkinan sama pentingnya dalam menentukan sukses atau
tidaknya perusahaan atau bagiannya..
2. Ukuran Kriteria Beragam (Multiple Criterium)
Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran dalam menilai
kinerja manajernya. Kriteria ini merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria
tunggal dalam pengukuran kinerja. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran
kriterianya sehingga seorang manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria. Tujuan
penggunaan kriteria ini adalah agar manajer yang diukur kinerjanya mengerahkan usahanya
kepada berbagai kinerja.
3. Ukuran Kriteria Gabungan (Composite Criterium)
Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran
memperhitungkan bobot masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai
ukuran menyeluruh kinerja manajernya. Karena disadari bahwa beberapa tujuan lebih
panting bagi perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan yang lain,
beberapa perusahaan memberikan bobot angka tertentu kepada beragan kriteria kinerja
untuk mendapatkan ukuran tunggal kinerja manajer, setelah memperhitungkan bobot
beragam kriteria kinerja masing-masing.

2.6 Sistem Pegukuran Kinerja


Untuk mengukur kinerja, dapat digunakan beberapa ukuran kinerja. Beberapa ukuran
kinerja yang meliputi; kuantitas kerja, kualitas kerja, pengetahuan tentang pekerjaan,
kemampuan mengemukakan pendapat, pengambilan keputusan, perencanaan kerja dan daerah
5
organisasi kerja. Ukuran prestasi yang lebih disederhana terdapat tiga kreteria untuk mengukur
kinerja, pertama; kuantitas kerja, yaitu jumlah yang harus dikerjakan, kedua, kualitas kerja,
yaitu mutu yang dihasilkan, dan ketiga, ketepatan waktu, yaitu kesesuaiannya dengan waktu
yang telah ditetapkan.
Kriteria sistem pengukuran kinerja (Cascio, 2003) adalah sebagai berikut:
1. Relevan (relevance). Relevan mempunyai makna (1) terdapat kaitan yang erat antara
standar untuk pelerjaan tertentu dengan tujuan organisasi, dan (2) terdapat keterkaitan yang
jelas antara elemen-elemen kritis suatu pekerjaan yang telah diidentifikasi melalui analisis
jabatan dengan dimensi-dimensi yang akan dinilai dalam form penilaian.
2. Sensitivitas (sensitivity). Sensitivitas berarti adanya kemampuan sistem penilaian kinerja
dalam membedakan pegawai yang efektif dan pegawai yang tidak efektif.
3. Reliabilitas (reliability). Reliabilitas dalam konteks ini berarti konsistensi penilaian.
Dengan kata lain sekalipun instrumen tersebut digunakan oleh dua orang yang berbeda
dalam menilai seorang pegawai, hasil penilaiannya akan cenderung sama.
4. Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa pengukuran kinerja yang
dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang menggunakannya.
5. Praktis (practicality). Praktis berarti bahwa instrumen penilaian yang disepakati mudah
dimenegerti oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses penilaian tersebut.

6
BAB 3 PENGUMPULAN DATA

3.1 Objek Penelitian


Berawal di akhir abad ke 19, perkembangan ketenagalistrikan di Indonesia mulai
ditingkatkan saat beberapa perusahaan asal Belanda yang bergerak di bidang pabrik gula dan
pabrik teh mendirikan pembangkit listrik untuk keperluan sendiri. Antara tahun 1942-1945
terjadi peralihan pengelolaan perusahaan- perusahaan Belanda tersebut oleh Jepang, setelah
Belanda menyerah kepada pasukan tentara Jepang di awal Perang Dunia II.

Gambar 1: PLTA Cikapundung, Bandung tahun 1906

Proses peralihan kekuasaan kembali terjadi di akhir Perang Dunia II pada Agustus 1945,
saat Jepang menyerah kepada Sekutu. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para pemuda dan
buruh listrik melalui delegasi Buruh/Pegawai Listrik dan Gas yang bersama-sama dengan
Pimpinan KNI Pusat berinisiatif menghadap Presiden Soekarno untuk menyerahkan
perusahaan-perusahaan tersebut kepada Pemerintah Republik Indonesia. Pada 27 Oktober
1945, Presiden Soekarno membentuk Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan
Umum dan Tenaga dengan kapasitas pembangkit tenaga listrik sebesar 157,5 MW.

7
Gambar 2: Jawatan Listrik dan Gas Tahun 1945

Pada tanggal 1 Januari 1961, Jawatan Listrik dan Gas diubah menjadi BPU-PLN (Badan
Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara) yang bergerak di bidang listrik, gas dan kokas
yang dibubarkan pada tanggal 1 Januari 1965. Pada saat yang sama, 2 (dua) perusahaan negara
yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pengelola tenaga listrik milik negara dan
Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai pengelola gas diresmikan.
Pada tahun 1972, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17, status Perusahaan Listrik
Negara (PLN) ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi
kepentingan umum.
Seiring dengan kebijakan Pemerintah yang memberikan kesempatan kepada sektor
swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik, maka sejak tahun 1994 status PLN
beralih dari Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai
PKUK dalam menyediakan listrik bagi kepentingan umum hingga sekarang.

Gambar 3: Program Terbaru Listrik Pintar oleh PLN

8
3.2 Sumber Data
Data yang dikumpulkan untuk karya ilmiah ini adalah data sekunder. Data sekunder
adalah sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media
perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain) (Sugiyono, 2014).

Data sekunder berupa bukti, catatan, atau laporan historis yang tersusun dalam arsip
yang dipublikasikan. Data yang digunakan diambil dari Majalah Menahtandur (majalah
internal PLN) edisi 11 Februari 2007 dan dari sumber-sumber yang tersedia di internet.

9
BAB 4 ANALISIS DATA

4.1 Implementasi Sistem Manajemen Kinerja di PT. PLN Persero


Konsep tentang Manajemen kinerja bukan merupakan sesuatu yang asing bagi PT PLN
(Persero). Bahkan PLN telah mengadopsi konsep balanced scorecard di dalam menentukan
target kinerja unit yang dikenal dengan Kontrak Kinerja/manajemen. Kontrak kinerja ini
merupakan instrumen untuk menilai apakah suatu unit sudah dapat mencapai kinerja yang
diinginkan atau belum. Kontrak kinerja ini berisikan suatu kesepakatan mengenai indikator
kinerja yang ingin dicapai, baik sasaran pancapaiannya maupun jangka waktu pencapaiannya.
Didalam format kontrak kinerja/manajemen PLN yang baru, indikator kinerja unit dibagai
kedalam enam perspektif, pertama Perspektif Bisnis Internal, yang terdiri dari DSM (Load
faktor DSM), Rasio Energi dengan HSD terhadap Total energi dibangkitkan sendiri, Rasio
volume bahan bakar alternatif terhadap volume BBM, Efficiency Drive Program, Lingkungan
Hidup dan Keselamatan Ketenagalistrikan. Kedua Perspektif Pelayanan Pelanggan, yang terdiri
dari SIDI, SAIFI, Tingkat kepuasan pelanggan (CSF), Kemitraan dan Bina lingkungan. Ketiga
perspektif Keuangan, terdiri dari Rasio Operasi, Operating Asets Turn Over (OAT), Umur
Piutang (COP), Rasio Piutang Ragu-ragu (BDR), Perputaran Material Pemeliharaan (ITO),
Biaya kepegawaian/kWh jual, Biaya administrasi/kWh jual. Keempat perspektif pembelajaran,
terdiri dari pembelajaran SDM, Kelima perspektif administrasi, terdiri dari LPT, RKAP, LM
LPTK. Keenam Perpektif Pengawasan, terdiri Temuan Auditor Internal dan atau Ekseternal.
Seluruh indikator kinerja tersebut menggunakan ukuran secara kuantitatif untuk memudahkan
dalam mengukur tingkat keberhasilanya.
Untuk pengukuran kinerja individu pegawai, PLN juga telah menerapkan suatu sistem
manajemen kinerja, yang dikenal dengan istilah Sistem Manajemen Unjuk Kerja (SMUK).
Sistem ini mulai dilaksanakan di PLN sejak tahun 1998 yang ditandai dengan dikeluarkanya
Keputusan Direksi No. 075.K/010/DIR/1998 dan Edaran Direksi No. 043.E/012/DIR/1998
yang mengatur mengenai Sistem Manajemen Unjuk Kerja. Di dalam keputusan direksi tersebut
(Pasal 1 huruf d) telah dijelaskan bahwa Sistem Manajemen Unjuk Kerja (SMUK) merupakan
proses untuk menciptakan pemahaman bersama mengenai tujuan apa yang harus dicapai dan
bagaimana hal itu harus dicapai, serta bagaimana mengatur sumberdaya untuk mengefektifkan
pencapaian tujuan tersebut. Sistem ini sekaligus dipakai didalam proses pemberian
penghargaan bagi setiap pegawai selama mengabdi kepada perseroan dalam kurun waktu satu

10
tahun berjalan. Penilaianya disesuaikan dengan Nilai unjuk kerja pegawai yang diperoleh
selama satu tahun.
Sistem Manajemen unjuk kerja memiliki beberapa siklus (proses kerja), yang
merupakan proses kerjasama antara atasan langsung dengan pegawai. Siklus yang pertama
adalah perencanaan unjuk kerja pegawai. Tahap ini merupakan diskusi formal antara atasan
langsung dengan pegawai yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan bersama antara
atasan langsung dengan pegawai yang bersangkutan yang biasanya dilaksanakan pada awal
tahun atau menjelang program kerja tahun berikutnya. Yang perlu dicatat dalam proses ini
adalah bahwa sasaran unjuk kerja pegawai harus dibuat berdasarkan sasaran kerja unit
organisasi dan sasaran unjuk kerja atasan dari atasan langsungnya. Sehingga sasaran unjuk
kerja pegawai yang disusun oleh pegawai pada peringkat paling bawah selaras/relevan dengan
sasaran organisasi dimana pegawai yang besangkutan berada. Sasaran unjuk kerja pegawai juga
harus memenuhi prinsip SMART, yaitu Spesific artinya sasaran unjuk kerja pegawai harus
terfokus pada arah dari pekerjaan serta usaha yang diperlukan untuk mencapai tujuan
perusahaan. Measureble, artinya sasaran unjuk kerja pegawai harus bisa diukur baik secara
kuantitatif maupun secara kualitatif. Agreed, artinya sasaran unjuk kerja pegawai harus
didiskusikan, disepakati dan dipahami baik oleh atasan maupun pegawai. Ralistic, artinya
sasaran unjuk kerja pegawai harus dapat dicapai dalam konteks yang sesuai dengan ketrampilan
dan kemampuan pegawai serta mendapatkan dukungan sumber daya yang tersedia. Time Bond,
artinya sasaran unjuk kerja pegawai harus mempunyai target waktu sehingga dapat membantu
pegawai untuk memprioritaskan rencana kerja dan menggunakan sumberdaya yang efektif.
Siklus yang kedua adalah pemantauan unjuk kerja pegawai. Tahap ini merupakan tahap
intern berupa diskusi formal antara atasan langsung dengan pegawai untuk memperoleh
informasi tentang kemajuan pencapaian unjuk kerja pegawai. Proses pemantauan ini dapat
dipergunakan oleh atasan langsung untuk melakukan pembinaan (conseling), bimbingan
(coaching), dan konsultasi terhadap pegawai yang bersangkutan. Pemantauan ini dilaksanakan
sebanyak tiga kali (biasanya setiap empat bulan sekali).
Siklus yang ketiga adalah penilaian unjuk kerja. Proses ini dilakukan pada akhir proses
manajemen unjuk kerja pegawai (akhir tahun). Penilaian dilakukan oleh atasan langsung
dengan diketahui oeh pegawai yang bersangkuan dan harus mendapatkan persetujuan dan
pengesahan oleh atasan dari atasan langsungnya. Dalam penilaian ini ada dua aspek penilaian,

11
pertama adalah sasaran individu yang merupakan penjabaran dari sasaran organisasi dan aspek
yang kedua adalah aspek kontribusi individu.
Ketiga siklus diatas dituangkan kedalam sebuah formulir, yang didalamnya mencakup
mengenai beberapa hal, seperti kriteria penilaian, derajat penilaian dan informasi tentang
kesimpulan Nilai Unjuk Kerja Pegawai, disertai identifikasi kebutuhan pengembangan
pengetahuan dan kemampuan serta pengembangan karier pegawai sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 7. Formulir sistem manajemen unjuk kerja sendiri dibedakan menjadi tiga, dan
telah disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawabnya masing masing yang sekaligus
menjadi kriteria penilaian, yang terdiri dari formulir untuk jabatan struktural (form A1),
formulir untuk jabatan fungsional ahli (form A2), formulir untuk jabatan fungsional lain (form
B).

4.2 Evaluasi Sistem Manajemen Kinerja


Berikut ini beberapa evaluasi secara global mengenai pelaksanaan Sistem Manajemen
Unjuk Kerja (SMUK) di PLN:
1. Proses perencanaan sasaran unjuk kerja pegawai belum dilaksanakan secara berjenjang,
baik sasaran pancapaiannya maupun jangka waktu pencapaiannya. Padahal seharusnya
sasaran unjuk kerja pegawai merupakan turunan dari kontrak kinerja unit organisasi, yang
dibuat mulai dari kontrak kinerja antara kantor pusat dengan kantor induk (Wilayah),
kemudian antara Kantor Induk dengan Kantor Unit Pelasana (cabang/sektor), dan antara
Kantor Unit Pelaksana dengan Kantor Sub Unit Pelaksana (Ranting/rayon). Selama ini
masih terkesan bahwa antara kontrak kinerja unit dengan SMUK berjalan sendiri-sendiri
dan tidak ada kaitanya. Sehingga sasaran unjuk kerja pegawai yang disusun oleh seorang
pegawai belum selaras/relevan dengan sasaran organisasi dimana pegawai yang
besangkutan berada. Oleh karena itu, untuk selanjutnya proses pembuatan kontrak kinerja
harus dapat terjadwal dengan baik mulai dari tingkat PLN pusat sampai dengan tingkat
yang paling rendah yaitu level pegawai. Semuanya harus sudah selesai pada awal periode
tahun berjalan. Selain itu sasaran kinerja beserta targetnya harus ditentukan secara
berjenjang mulai dari sasaran kinerja tingkat pusat, tingkat wilayah, tingkat cabang, tingkat
ranting/rayon dan tingkat bagian, tingkat seksi dan terakhir tingkat pegawai.
2. Sasaran individu banyak yang belum mencerminkan tugasnya sehari-hari serta belum
dibuat berdasarkan prinsip SMART, sehingga banyak indikator kinerja yang tidak jelas

12
terutama untuk bagian administrasi yang kinerjanya lebih bersifat kualitatif. Hal ini dapat
menyebabkan penilaian yang bias atau tidak obyektif.
3. Siklus (proses kerja) yang ada dalam SMUK belum berjalan dengan baik. Pada tahap
perencanaan unjuk kerja masih belum terlihat adanya proses komunikasi dua arah
(kerjasama) antara pegawai dengan atasan langsungnya. Sehingga tidak jarang apabila
proses pembuatan dan penilaian SMUK dilakukan secara sepihak baik oleh atasan
langsungnya saja atau oleh pegawai yang bersangkutan. Bahkan ada juga SMUK disuatu
bagian yang dibuat oleh satu orang pegawai. Hal ini menyebabkan partisipasi dari para
pegawai dalam proses Sistem Manajemen Unjuk Kerja masih sangat kurang.

Pada tahap pemantauan, proses pengajaran dan pembimbingan (coaching dan


conseling/mentoring) dari atasan kepada bawahan juga belum berjalan secara maksimal. Hal
ini bertolak belakang dengan hasil dari penelitian tentang pelaksanaan sistem manajemen
kinerja diberbagai perusahaan, yang menyebutkan bahwa porsi proses pengajaran dan
pembimbingan dalam siklus manajemen kinerja mencapai 70% 80%, jauh lebih besar
dibandingkan dengan proses perencanaan dan evaluasi kinerja. Sehingga proses pengajaran dan
pembimbingan ini memegang peranan yang sangat besar dalam keberhasilan pelaksanaan
manajemen kinerja. Proses ini juga jauh lebih efektif dibandingkan dengan training dalam
rangka pengisian gap kompetensi atau penyelesaian permasalahan di seputar pekerjaan. Proses
Pengajaran dan pembimbingan ini memang tidak mudah dilakukan. Menurut survei
performance management di Indonesia yang dilakukan oleh Marcer menyebutkan bahwa
keahliahan dari seorang atasan dalam memberikan umpan balik, pengajaran dan pembimbingan
kepada bawahan masih kurang. Alasan lainya adalah permasalahan waktu. Banyak seorang
atasan yang tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan proses pengajaran dan
pembimbingan kepada bawahanya. Selain itu juga memang terdapat keengganan dari seorang
atasan untuk melakukan proses tersebut. Permasalahan tersebut tentunya tidak boleh terjadi di
dalam Sistem Manajemen Unjuk Kerja. Karena dalam form penilaian unjuk kerja seorang
atasan (jabatan struktural) terdapat kriteria penilaian manajerial, yang terdiri dari analisa dan
pengambilan keputusan, perencanaan organisasi, komunikasi, kepemimpinan individu,
pembinaan dan pendelegasian wewenang.
Pada tahap selanjutnya, yaitu penilaian unjuk kerja (evaluasi) permasalahan yang
timbul adalah mengenai proses penilaian kinerja yang masih subyektif/bias dan belum
berdasarkan dari data dan hasil kerja pegawai yang bersangkutan. Permasalahan ini timbul
13
salah satunya disebabkan karena didalam Sistem Manajemen Unjuk Kerja (SMUK), penilaian
unjuk kerja hanya dilakukan oleh seorang atasan langsungnya saja dengan mendapat
persetujuan atasan dari atasan langsungnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa nasib seorang
pegawai sangat ditentukan oleh penilaian dari atasan langsungya, yang cenderung subyektif.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, barangkali penilaian dengan sistem Multirater
Assesment, khususnya 360 degrees feedback (penilaian 360 derajat. Penilaian ini tidak hanya
dilakukan oleh atasan langsungnya saja, tetapi juga dilakukan oleh dirinya sendiri serta
melibatkan pihak lain seperti atasan dari atasan langsung, rekan kerja dan bawahanya. Penilaian
ini dilatarbelakangi bahwa pada prinsipnya manusia itu cenderung berfikir secara subyektif,
sedangkan berfikir bersama dapat mengubah sikap subyektif itu menjadi mendekati obyektif.
Dengan demikian, berpikir bersama jauh lebih obyektif daripada berpikir sendiri-sendiri. Ini
adalah semangat yang dibawa oleh konsep penilaian 360 derajat. Namun konsep penilaian ini
pun tidak terlepas dari kelemahan juga ketika diterapkan dalam Sistem Manajemen Unjuk
Kerja, yaitu dalam hal penilaian sasaran individu. Karena didalam sasaran individu ini terdapat
sasaran unjuk kerja dari seoang pegawai beserta standard unjuk kerjanya (indikator) yang
bersifat kuantitatif, dimana hasil dari kinerja seorang pegawai hanya akan diketahui oleh
dirinya sendiri beserta atasan langsungnya. Karena dalam proses pembuatan Sistem
Manajemen Unjuk Kerja ini hanya melibatkan pegawai yang bersangkutan dengan atasan
langsungnya. Sehinggga kemungkinanya kecil seorang rekan kerja akan mengetahui target
kinerja serta hasil kinerja dari rekanya yang lain. Selain itu karena ukuran penilaian dari sasaran
individu ini bersifat kuantitatif, maka sangat tidak dimungkinkan apabila hasil penilaian dari
rekan kerja akan berlainan dengan hasil penilaian dari atasan langsungnya atau dari penilaian
dirinya sendiri. Karena penilaian sasaran individu ini didasarkan pada data hasil kerja seorang
pegawai. Oleh karena itu Penilaian 360 derajat tersebut hanya dapat diterapkan untuk
melakukan penilaian terhadap kontribusi individu, yang ukuranya bersifat kualitataif dan
berkaitan dengan persepsi seseorang terhadap orang lain. Selain itu, pelaksanaan penilaian 360
derajat ini juga membutuhkan banyak waktu karena melibatkan banyak pihak dalam proses
penilaianya.

4.3 Perbaikan Secara Berkelanjutan


Pelaksanaan sistem manajemen kinerja membutuhkan komitmen, dukungan serta
keterlibatan dari semua pihak baik dari manajemen maupun dari para pegawai. Selain itu dalam
membangun sistem ini dibutuhkan investasi waktu, pikiran dan tenaga yang cukup banyak dari

14
semua pihak yang terlibat didalamnya. Sehingga seringkali proses ini menyita banyak waktu
dari para pegawai. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila sistem manajemen kinerja lebih
dilihat sebagai change project dibandingkan sebagai measurement project.

Sistem manajemen kinerja yang diterapkan di PLN selama ini sebetulnya sudah cukup
bagus dan memadai. Terlepas dari beberapa kekurangan hal itu sangatlah wajar. Karena
sebetulnya tidak ada satupun alat pengukuran kinerja atau sistem manajemen kinerja yang
sempurna. Semua pasti terdapat kelemahanya masing masing, tergantung bagaimana suatu
perusahaan ataupun organisasi mengelolanya.Berdasarkan pengamatan dan pengalaman
penulis selama bekerja di PLN dan menjalankan Sistem Manajemen Unjuk Kerja ini ada
beberapa hal yang perlu dibenahi:

1. Perlu adanya sosialisasi kembali kepada semua pegawai tentang apa dan bagaimana Sistem
Manajemen Unjuk Kerja. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat masih banyak
pegawai yang belum memahami secara benar dan lengkap mengenai SMUK, sehingga
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam hal pelaksanaan SMUK di antara masing-masing
unit. Selain itu, perlu adanya pelurusan mengenai makna dan tujuan dari sebuah manajemen
kinerja dari yang hanya sekedar dimaknai sebagai alat untuk menentukan prosses kenaikan
peringkat reguler dan gaji berkala serta bonus dalam bentuk insentif prestasi kerja (IPK)
menjadi sebuah media yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja perusahaan
secara efektif serta sebagai salah satu pilar dalam Manajemen Sumber Daya Berbasis
Kompetensi (MSDMBK). Hal ini sesuai dengan apa yang termuat dalam Pasal 1 huruf d
Keputusan Direksi No. 075.K/010/DIR/1998 yang menyebutkan bahwa Sistem Manajemen
Unjuk Kerja (SMUK) merupakan proses untuk menciptakan pemahaman bersama
mengenai tujuan apa yang harus dicapai dan bagaimana hal itu harus dicapai, serta
bagaimana mengatur sumberdaya untuk mengefektifkan pencapaian tujuan tersebut.
Termasuk didalamnya adalah bagaimana proses pengembangan dan peningkatan
kompetensi pegawai.
2. Perlu di pikirkan adanya pengembangan teknologi dibidang Sistem Manajemen Unjuk
Kerja (SMUK). Hal ini bertujuan agar proses pelaksanaan SMUK dapat dilaksanakan
secara mudah, cepat dan efektif.

15
3. Perlu adanya Tim Kinerja atau pejabat fungsional di masing-masing unit pelaksana
(cabang/sektor) untuk mengelola dan mengawal proses pelaksanaan Sistem Manajemen
Kinerja. Tim atau pejabat inilah yang akan mengelola kinerja organisasi atau kinerja dilevel
unit (kontrak kinerja unit) dan bertanggung jawab secara langsung kepada manajer unit
pelaksana. Sedangkan kinerja dilevel pegawai menjadi tugas dan tanggung jawab dari seksi
SDM. Oleh karenan itu, antara Tim kinerja/pejabat kinerja dengan SDM harus bekerja
secara sinergis, karena antara kinerja level organisasi dengan kinerja level pegawai akan
saling berkaitan. Sehingga diharapkan proses manajemen kinerja, mulai dari pembuatan
kontrak kinerja atau Key Performances Indicator/KPI level organisasi sampai pada level
pegawai dapat terlaksana tepat waktu. Selain itu sasaran unjuk kerja pegawai yang disusun
oleh para pegawai diharapkan dapat lebih selaras/relevan dengan sasaran organisasi dimana
pegawai yang besangkutan berada. Pertimbangan lain dari perlu adanya tim kinerja atau
pejabat fungsional yang menangani kinerja adalah mengingat didalam proses sistem
manajemen kinerja dibutuhkan kedisiplinan dalam hal pengumpulan data, memonitor dan
menilai kontrak kinerja atau Key Performances Indicator/KPI dari kantor sub unit
pelaksana (Ranting/Rayon) yang ada dibawah kantor unit pelaksana.

16
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
PT. PLN Persero adalah sebuah perusahaan negara yang bergerak di bidang penyediaan
energi listrik di Indonesia. PT. PLN Persero telah mengimplementasikan berbagai jenis macam
sistem manajemen kinerja. Namun PT. PLN Persero masih memiliki banyak kendala, di
antaranya adalah proses perencanaan sasaran unjuk kerja pegawai belum dilaksanakan secara
berjenjang, sasaran individu banyak yang belum mencerminkan tugasnya sehari-hari serta
belum dibuat berdasarkan prinsip SMART, dan siklus (proses kerja) yang ada dalam SMUK
belum berjalan dengan baik.
Perbaikan yang dapat dilakukan oleh PT. PLN Persero adalah perlu adanya sosialisasi
kembali kepada semua pegawai tentang apa dan bagaimana Sistem Manajemen Unjuk Kerja,
pengembangan teknologi dibidang Sistem Manajemen Unjuk Kerja (SMUK), dan perlu adanya
Tim Kinerja atau pejabat fungsional di masing-masing unit pelaksana (cabang/sektor) untuk
mengelola dan mengawal proses pelaksanaan Sistem Manajemen Kinerja.
5.2 Saran
Saran penelitian untuk perkembangan penelitian ke depannya berdasarkan dari
kelemahan-kelemahan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan perbaikan terhadap struktur SDM, dengan memberikan pembinaan berupa
pelatihan, pendidikan, perkembangan karier, serta jaminan kesehatan dan keselamatan.
2. Memberi motivasi kepada SDM supaya meningkatkan semangat dan produktivitas
pegawai.
3. SDM harus berkerja secara lebih sinergis.

17
DAFTAR PUSTAKA
Cascio, W. F. (2003). Managing Human Resources. Colorado: McGraw-Hill.

Hadari, N. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Bisnis yang Kompetitif. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.

Mangkunegara, P. A. (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.

Whittaker, J. B. (1995). The Government Performance and Results Act of 1993: A mandate for
strategic planning and performance measurement . Arlington: Educational Service
Institute.

18

Você também pode gostar