Você está na página 1de 16

BAB I

KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. Choiriyah
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
(Pembuat Gorangan)
Alamat : Tempuran, Magelang
Tanggal Masuk : 3 Oktober 2012, Pukul 10.00 WIB

B. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan di Poliklinik Mata RST Dr.Soedjono Magelang
pada hari Rabu tanggal 3 Oktober 2012 pukul 10.00 WIB.
Keluhan Utama :mata kanan dan kiri kabur, pegal setelah membaca, terasa
ada yang mengganjal dan kemerahan.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan mengeluhkan penglihatan kabur terutama saat
melihat jauh sejak 10 hari yang lalu. Bila membaca dekat kabur dan
setelah selesai akan terasa pegal dan pusing. Tidak ada riwayat
mennggunakan kacamata sebelumnya.Pasien merasa ada yang mengganjal
pada mata kanan dan kiri sejak 4 minggu yang lalu.Riwayat sering
terpapar debu dan sinar matahari saat mengendarai sepeda motor tanpa
kacamata pelindung saat bepergian.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.Tidak ada
penyakit lainnya.

1
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa.Tidak ada riwayat
menggunakan kacamata dalam keluarga.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Kesadaran : Compos mentis
Aktifitas : Normoaktif
Kooperatif : Kooperatif
Status Gizi : Cukup
Tekanan Darah : 120/90 mmHg

Pterigium (+)

OCULUS DEXTER OCULUS SINISTer

No. Pemeriksaan OD OS
1. Visus 6/20 6/30
Koreksi S -1,25 6/6 Koreksi S -1,50 6/6
Add S +2,00 Add S +2,00
2. Gerakan bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah
3. Palpebra Superior :
- Ptosis (-) (-)
- Hematom (-) (-)
- Vulnus Laserasi (-) (-)
- Edema (-) (-)
- Hiperemi (-) (-)
- Silia Trikiasis (-) Trikiasis (-)
- Entoprion (-) (-)

2
4. Palpebra Inferior :
- Edema (-) (-)
- Hiperemi (-) (-)
- Silia Trikiasis (-) Trikiasis (-)
- Entoprion (-) (-)
5. Konjungtiva :
- Injeksi konjungtiva (-) (-)
- Injeksi siliar (-) (-)
- Pertumbuhan Tampak selaput Tampak selaput
fibrovaskular berbentuk segitiga berbentuk segitiga
dari arah nasal dari arah nasal
menuju limbus menuju limbus
(belum sampai (belum sampai
limbus, + 3mm) limbus, + 3mm)
6. Kornea :
- Kejernihan Jernih Jernih
- Infiltrat (-) (-)
- Sikatrik (-) (-)
7. COA :
- Kedalaman Cukup Cukup
- Hifema (-) (-)
- Hipopion (-) (-)
8. Iris : Regular Regular
- Sinekia (-) (-)
9. Pupil :
- Bentuk Bulat Bulat
- Diameter 2 mm 2 mm
- Reflek +/+ +/+
- Isokori (+) (+)
10. Lensa Jernih Jernih
11. Korpus Vitreum Jernih Jernih
12. Fundus reflex Cemerlang Cemerlang

3
13. Funduskopi Normal Normal
Miopik kresen - -
14. TIO Normal Normal

D. DIAGNOSIS BANDING
ODS:
Refraksi Anomali :
1. Miopia: dipertahankan karena pasien mengeluh kabur pada penglihatan
jauh dan saat dilakukan koreksi dengan lensa sferis (-) penglihatan
membaik.
2. Hipermetropia: disingkirkan karena pasien terutama mengeluhkan kabur
pada penglihatan jauh dan setelah dilakukan koreksi lebih nyaman dengan
lensa sferis (-).
3. Astigmatisme: disingkirkan karena setelah dilakukan koreksi tidak butuh
lensa silindris.
Kelainan Akomodasi:
Presbiopia: dipertahankan karena mengeluh kabur saat membaca dan terasa
pegal, usia 50 tahun dan setelah dilakukan koreksi kacamata untuk membaca
sesuai umur yaitu + 2,00 membaca menjadi lebih jelas dan nyaman.
Mata merah:
1. Pterigium: dipertahankan karena terdapat jaringan fibrovaskular yang
berbentuk segitiga dari daerah nasal menuju limbus + 3mm Derajat 1.
2. Pinguekula: disingkirkan karena kelainan pada mata terutama berbentuk
segitiga dan tidak terdapat benjolan pada konjungtiva bulbi.
3. Pseudopterigium: disingkirkan karena tidak didapatkan adanya riwayat
cedera pada kornea dan tidak ada perlekatan anatara konjungtiva dan
kornea.

E. DIAGNOSIS KERJA
ODSMiopia, Presbiopia dan Pterigium Derajat I

4
F. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa:
a. Topical:
- Cendo Lyteers ED bt.I
3dd gttI ODS
b. Oral:
- Neurodex
1dd tabI
2. Pemberian Kacamata:
OD S -1,25
OS S -1,50
Add S +2,00

G. PROGNOSIS ODS
1. Quo ad vitam : bonam
2. Quo ad sanam : bonam
3. Quo ad cosmeticam : bonam
4. Quo ad functionam : bonam
5. Quo ad visam : Dubia ad bonam

H. EDUKASI
1. Penerangan yang baik dan cukup saat membaca.
2. Atur jarak baca minimal + 30 cm.
3. Hindari membaca sambil tidur berbaring.
4. Aktifitas pemakaian mata jarak dekat dan jauh bergantian.
Misalnya setelah membaca, melihat gambar atau menggunakan komputer
lama, berhenti dahulu 15 20 menit, beristirahat sambil melakukan
aktifitas lain.
5. Berkendara sebaiknya memakai kacamata pelindung atau helm yang ada
kacanya.
6. Hindari pajanan langsung dengan debu, sinar matahari dan angin.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. KELAINAN REFRAKSI


Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak terbentuk
pada retina.Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada
mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur.Pada mata normal kornea dan
lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina.Keadaan
ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang sesuai dengan panjangnya bola
mata. Pada kelainan refraksi sinar tidak dibiaskan tepat pada bintik kuning, akan
tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu
titik yang tajam.
Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan
kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola
mata.Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi sehingga
pada mata yang dalam keadaan istirahat memberikan fokus yang tidak terletak
pada retina.Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia (rabun
jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan astigmat.

II.2. AKOMODASI
Pada keadaan normal cahaya berasal dari jarak tak berhingga atau jauh
akan terfokus pada retina, demikian pula bila benda jauh tersebut didekatkan, hal
ini terjadi akibat adanya daya akomodasi lensa yang memfokuskan bayangan pada
retina. Jika berakomodasi, maka benda pada jarak yang berbeda-beda akan
terfokus pada retina.
Akomodasi adalah kemampuan lensa di dalam mata untuk mencembung
yang terjadi akibat kontraksi otot siliar.Akibat akomodasi, daya pembiasan lensa
yang mencembung bertambah kuat. Kekuatan akan meningkat sesuai dengan
kebutuhan, makin dekat benda makin kuat mata harus berakomodasi. Refleks
akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan pada waktu melihat dekat.
Bila benda terletak jauh bayangan akan terletak pada retina. Bila benda tersebut

6
didekatkan maka bayangan akan bergeser ke belakang retina. Akibat benda ini
didekatkan penglihatan menjadi kabur, maka mata akan berakomodasi dengan
mencembungkan lensa. Kekuatan akomodasi ditentukan dengan satuan Dioptri
(D), lensa 1 D mempunyai titik fokus pada jarak 1 meter.
Dengan bertambahnya usia, maka akan berkurang pula daya akomodasi
akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar mencembung. Keadaan
berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut presbiopia.

II.3. MIOPIA
II.3.1. Definisi
Miopia disebut sebagai rabun jauh akibat berkurangnya kemampuan untuk
melihat jauh akan tetapi dapat melihat dekat dengan lebih baik.

II.3.2. Etiologi
Secara fisiologis sinar yang difokuskan pada retina terlalu kuat sehingga
membentuk bayangan kabur atau tidak tegas pada makula lutea. Titik fokus sinar
yang datang dari benda yang jauh terletak di depan retina. Titik jauh (pungtum
remotum) terletak lebih dekat atau sinar datang tidak sejajar.Berdasarkan
penyebabnya, miopia dapat dibedakan menjadi myopia aksialis dan refraktif.
1. Miopia aksialis
Terjadi karena panjangnya sumbu bola mata anteroposterior sehingga
bayangan benda difokuskan di depan retina.
2. Miopia refraktif
Bertambahnya indeks bias media penglihatan sehingga bayangan benda
terletak di depan retina. Penyebabnya terletak pada:
- Kornea: Kongenital: keratokonus dan keratoglobus. Didapat: karatektasia,
karena menderita keratitits, kornea menjadi lemah. Oleh karena tekanan
intraokuler, kornea menonjol ke depan.
- Lensa: Lensa terlepas dari zonula zinnii, pada luksasi lensa atau subluksasi
lensa, oleh kekenyalannya sendiri lensa menjadi lebih cembung. Pada
katarak imatur, akibat masuknya humor akueus, lensa menjadi cembung.

7
- Cairan mata: pada penderita diabetes melitus yang tidak diobati, kadar
gula dari humor akueus meninggi sehingga daya biasnya meninggi pula.
II.3.3. Klasifikasi
Berdasarkan derajat beratnya, dibedakan menjadi :
1. Miopia ringan :<3 D.
2. Miopia sedang : 3-6 D.
3. Miopia tinggi :> 6 D.
Berdasarkan perjalanan miopia, dibedakan menjadi :
1. Miopia simpleks, miopia stasioner, miopia fisiologis
Timbul pada usia masih muda, kemudian berhenti. Dapat juga naik sedikit
pada waktu atau segera setelah pubertas, atau didapat kenaikan sedikit
sampai usia 20 tahun. Besar dioptrinya kurang dari -5 D, atau -6 D. Tajam
penglihatan dengan koreksi yang sesuai dapat mencapai keadaan normal.
2. Miopia progresif
Dapat ditemukan pada semua usiadan mulai sejak lahir. Kelainan
mencapai puncaknya waktu masih remaja, bertambah terus sampai usia 25
tahun atau lebih. Besar dioptrinya melebihi 6 D.
3. Miopia maligna
Miopia progresif yang lebih ekstrim.Miopia progresif dan miopia maligna
disebut juga miopia patologis atau degeneratif, karena disertai kelainan
degeneratif di koroid dan bagian lain dari mata, dapat mengakibatkan
ablasi retina dan kebutaan.

II.3.4. Gejala Miopia


Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat,
sedangkan melihat jauh kabur atau disebut rabun jauh.
Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, mempunyai
kebiasaan mengernyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk
mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Pasien mempunyai pungtum remootum
yang dekat (titik terjauh) yang dekat sehingga mata selalu dalam atau
berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia
konvergensi.

8
II.3.5. Koreksi Miopia
Miopia dikoreksi dengan menggunakanbeberapa metode yang dapat
digunakan untuk koreksi miopia dan juga kelainan refraksi lainnya.
a. Lensa kacamata: lensa sferis konkaf (minus) yang dapat memindahkan
bayangan mundur ke retina
b. Lensa kontak :Lensa kontak mengurangi masalah penampilan atau kosmetik
akan tetapi perlu diperhatikan kebersihan dan ketelitian pemakaiannya. Selain
masalah pemakaiannya, perlu diperhatikan masalah lama pemakaian, infeksi,
dan alergi terhadapbahan yang dipakai.
c. Bedah keratorefraktif :mencakup serangkaian metode untuk mengubah
kelengkungan permukaan anterior mata.
d. Lensa intraocular
e. Ekstraksi lensa

II.3.6. Komplikasi
Pada penderita miopia yang tidak dikoreksi dapat timbul komplikasi,
antara lain ablasio retina dan strabismus esotropia. Ablasio retina karena miopia
yang terlalu tinggi terbentuk stafiloma sklera posterior, maka retina harus meliputi
permukaan yang lebih luas sehingga teregang.Akibat regangan mungkin dapat
menyebabkan ruptur dari pembuluh darah retina dan mengkibatkan perdarahan
yang dapat masuk ke badan kaca, mungkin dapat terjadi ablasio retina akibat
robekan karena tarikan.Strabismus esotropia terjadi karena pada pasien tersebut
memiliki pungtum remotum yang terdekat sehingga mata selalu dalam keadaaan
konvergensi yang dapat menimbulkan astenopia konvegensi. Bila kedudukan bola
mata ini menetap maka kedudukan akan terlihat juling kedalam atau esotropia.
Bila terdapat juliing keluar mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau
terdapat ambliopia.

9
II.4. PRESBIOPIA
II.4.1. Definisi
Makin berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan makin
meningkatnya umur.Kelainan ini terjadi pada mata normal berupa gangguan
perubahan kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya
elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi.

II.4.2. Etiologi
Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat:
- Kelemahan otot akomodasi
- Lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis
lensa

II.4.3. Patofisiologi
Pada mekanisme akomodasi yang normal terjadi peningkatan daya refraksi
mata karena adanya perubahan keseimbangan antara elastisitas matriks lensa dan
kapsul sehingga lensa menjadi cembung.Dengan meningkatnya umur maka lensa
menjadi lebih keras (sklerosis) dan kehilangan elastisitasnya untuk menjadi
cembung, dengan demikian kemampuan melihat dekat makin berkurang.

II.4.4. Gejala Klinis


- Akibat gangguan akomodasi ini maka pada pasien berusia lebih dari 40 tahun,
akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair
dan sering terasa pedas.
- Kesulitan pada waktu membaca dekat huruf dengan cetakan kecil.
- Dalam upayanya untuk membaca lebih jelas maka penderita cenderung
menegakkan punggungnya atau menjauhkan obyek yang dibacanya sehingga
mencapai titik dekatnya dengan demikian obyek dapat dibaca lebih jelas.

II.4.5. Penatalaksanaan
Pada pasien presbiopia kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca
dekat yang biasanya berhubungan dengan umur:

10
- 40 tahun: + 1.0 dioptri
- 45 tahun: + 1.5 dioptri
- 50 tahun: + 2.0 dioptri
- 55 tahun: + 2.5 dioptri
- 60 tahun: + 3.0 dioptri
Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi + 3.0 dioptri adalah lensa
positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini mata tidak
melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena benda yang dibaca
terletak pada titik api lensa + 3.00 dioptri sehingga sinar yang keluar akan sejajar.

II.5. PTERIGIUM
II.5.1. Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif, penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang
tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea.Pterigium berasal
dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Insidens
pterigium di Indonesia yang terletak digaris ekuator, yaitu 13,1%. Diduga bahwa
paparan ultraviolet merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium.

Gambar 1. Pterigium

II.5.2. Faktor Resiko


Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterigium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada
usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak, pterigium terbanyak
pada usia dekade dua dan tiga.

11
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar
UV.
3. Tempat tinggal
Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan
setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki
angka kejadian pterigium yang lebih tinggi.
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterigium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterigium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu
seperti asap rokok, pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
pterigium.

II.5.3. Klasifikasi
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia derajat pertumbuhan
pterigium dibagi menjadi :
1. Derajat I : hanya terbatas pada limbus
2. Derajat II : Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati
kornea.
3. Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
4. Derajat IV : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

12
II.5.4. Gejala klinik
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa
mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma
yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat
menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik,
Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.

II.5.5. Diagnosis Banding


Pterigium harus dapat dibedakan dengan
pseudopterigium.Pseudopterigium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada
konjungtiva yang berbeda dengan pterigium, dimana pada pseudopterygium
terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan
sklera.Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi dan
termal.Pseudopterygium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda.Penanganan
pseudopterygium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva
yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan graft konjungtiva yang berasal
dari aspek temporal.
Selain itu pterigium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang
merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun
karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi
tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.

II.5.6. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pemberian obat-obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan
tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi derajat 2.Tindakan
bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah
mengalami gangguan penglihatan.Bila pterigium meradang dapat diberikan
steroid atau suatu tetes mata dekongestan.Lindungi mata yang terkena
pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata

13
pelindung.Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat
diberikan steroid.Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan
dalam bentuk salep.Bila diberi vasokonstriktor maka perlu kontrol dalam 2
minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.
2 . Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu :
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik

Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan


pterygium di antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat
rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
6. Amniotic membrane transplantation
Ada juga teknik lain yaitu Amniotic membrane transplantation, yaitu
teknik grafting dengan menggunakan membran amnion, yang merupakan
lapisan paling dalam dari plasenta yang mengandung membrana basalis

14
yang tebal dan matriks stromal avaskular. Cara kerja teknik ini adalah
dimana komponen membran basalis dari membran amnion ini serupa
dengan komposisi dalam konjungtiva.

II.5.7. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi sebagai berikut:
1.Pra-operatif
a. Astigmatisme
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah astigmatisme
karena pterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat
adanya mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran
daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya
astigmat.Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga
akibat tear meniscus antara puncak kornea dan peninggian pterigium.
b. Kemerahan dan iritasi
c. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea.
2. Intra-operatif
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning) dan
perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi
dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat
sementara dan tidak mengancam penglihatan.
3. Pasca-operatif
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
a. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft
konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.
b. Pterigium rekuren.

II.5.8. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien
dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium
rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata. Ed 3. Balai Penerbit FK UI: Jakarta.
Vaugan, Daniel G dkk. 2000. Oftalmologi Umum. Ed 14. Penerbit EGC: Jakarta.
Nabila, http://www.scribd.com/doc/96263200/MIOPIA
Sandha, http://www.scribd.com/doc/54316495/Pterigium-Final
http://www.docstoc.com/docs/42221231/refrat-Miopia
http://www.scribd.com/doc/82305401/PRESBIOPIA-thea

16

Você também pode gostar