Você está na página 1de 15

PENCABUTAN HAK POLITIK KORUPTOR DALAM PERSPEKTIF KEPASTIAN

HUKUM, KEADILAN DAN KEMANFAATAN

Erika

Sutrisno

Mahruf

Kompetesi Debat Konstitusi Mahasiswa

Antar Perguruan Tinggi se-Indonesia Tahun 2017

Universitas Bangka Belitung

Balunijuk

Mei,2017
DAFTAR ISI

Halaman Judul .. i

Daftar Isi . ii

Lembar Orisinalitas ... iii

A. Pendahuluan .. 1

B. Pembahasan 3

1. Kelebihan Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih Terpidana Korupsi 3

2. Kekurangan Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih Terpidana Korupsi . 6

C. Penutup .. 9

1. Simpulan .. 9

2. Saran . 10

Daftar Pustaka 11

ii
LEMBAR ORISINALITAS ARTIKEL ILMIAH
KOMPETISI DEBAT KOSTITUSI MAHASISWA
ANTAR PERGURUAN TINGGI SE-INDONESIA
TAHUN 2017

Kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

NIM :

Asal Universitas : Universitas Bangka Belitung

Alamat :

Judul : Pencabutan Hak Politik Koruptor dalam Perspektif Kepastian


Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan

Menyatakan bahwa artikel ilmiah yang kami sertakan dalam kegiatan Kompetisi Debat
Konstitusi Mahasiswa Antar Perguruan Tinggi se-Indonesia Tahun 2017 yang
diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi adalah hasil karya kami sendiri, bukan jiplakan
(plagiat) dari hasil karya orang lain dan belum pernah diikutkan dalam segala bentuk
perlombaan serta belum pernah dipublikasikan dimanapun.

Apabila di kemudian hari terbukti bahwa artikel ilmiah kami tidak sesuai dengan
pernyataan kami, maka secara otomatis karya ilmiah kami dianggap gugur.

Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya.

Balunijuk, 26 Mei 2017

Mengetahui Ketua Tim Debat

Ttd, cap basah Ttd/materai

(Rektor/Pimpinan institusi Pendidikan) (Nama)

NIP. NIM
iii
A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam negara demokrasi, pemilihan
umum (pemilu) merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan
penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilu dipandang sebagai
bentuk yang paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat, serta wujud yang
paling konkret terhadap partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Selain pemilu,
wakil juga dapat dipilih melalui pengangkatan.
Di dalam demokrasi modern, pemilu selalu dikaitkan dengan konsep demokrasi
perwakilan yang berarti keikutsertaan rakyat untuk memilih wakil-wakilnya di dalam
pemerintahan. Pada perkembangannya pemilu di Indonesia bukan hanya untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),Dewan Perwakilan Daerah(DPD), dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD, tetapi juga dilakukan untuk pemilihan presiden dan
wakil presiden, bupati dan gubernur, untuk seleksi hakim agung juga sangat berhubungan
dengan pemilu karena seleksi hakim agung dilakukan melalui fit and proper test yang
dilakukan oleh DPR dimana anggota DPR dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu.
Melalui wakil-wakil rakyat itulah tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat adil dan makmur akan tercapai. Akan tetapi, wakil-wakil rakyat yang
menduduki jabatannya di dalam pemerintahan seringkali mencederai amanat rakyat, salah
satunya tindak pidana korupsi di berbagai struktur pemerintahan yang biasanya disebut
korupsi politik.Merilis data laporan Komisi Pemberantasan Korupsi dari tahun 2014-
20161, Perkara tindak pidana korupsi berdasarkan jabatan mengalami peningkatan yang
tajam yaitu 54 perkara tahun 2014, 63 perkara tahun 2015 dan 99 perkara tahun
2016.Selain itu, perkara tindak pidana penyuapan juga mengalami hal yang sama yaitu 20
perkara tahun 2014, 38 perkara tahun 2015 dan 79 perkara tahun 2016.
Dari kajian korupsi politik yang terjadi di beberapa negara modern 2, terlihat bahwa
korupsi politik memiliki dampak lebih luas dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan
oleh orang yang tidak memiliki posisi politik. Entitas korupsi politik melekat dengan
kekuasaan.

1
Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi , diakses dari https://www.kpk.go.id/splash/, pada tanggal
15 Mei 2017, pukul 18.25 WIB.
2
Artidjo Alkostar, Korelasi Korupsi Politik dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern, Vol.16,
2009.hlm.155.

1
Korupsi politik lebih berada dalam stadium untuk mempertahankan dan memperluas
kekuasaan. Dari konstelasi penyalahgunaan kekuasaan dan kebutuhan ketertiban sosio-
politik, menuntut adanya peran kontrol yang sepadan terhadap pelaksanaan kekuasaan.
Kekuasaan pemerintahan diberi mandat untuk mengatur dan mendistribusikan kekayaan
negara, sehingga dalam proses pendistribusian tersebut selalu berpotensi adanya
penyimpangan yang dilakukan oleh yang berwenang, yaitu pemegang kekuasaan. Adapun
bahaya dari kasus sistemik itu adalah dapat mengancam dan membahayakan tatanan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara karena tindak pidana korupsi tidak
hanya merugikan perekonomian negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-
hak sosial dan ekonomi masyarakat secara meluas. Sudah banyak upaya yang dilakukan
aparat penegak hukum sebagai upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi, akan
tetapi upaya itu tidak serta merta membuat perkara korupsi menjadi berkurang.

Aparat penegak hukum juga sudah berusaha mengeluarkan terobosan baru yang
dipandang mampu mencegah dilakukannya tindak pidana korupsi, salah satunya
penjatuhan hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan
publik. Pencabutan hak politik tersebut dimaksudkan untuk melindungi negara agar
bersih dari para pemangku kekuasaan yang memiliki track record yang buruk khususnya
tindak pidana korupsi. Namun hal itu menuai pro-kontra dalam implementasinya.
Beberapa pihak berpendapat bahwa pencabutan hak politik melanggar hak
konstitusional warga negara yang tercantum dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya dan Pasal 28D ayat (3) setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Perlindungan hak konstitusional warga negara merupakan wujud dari nilai keadilan yang
serta merta menjamin kebahagian masyarakat atas penerapan kepastian hukum dalam
peraturan perundangan-undangan.Hal ini sejalan dengan tiga nilai dasar hukum menurut
Gustaf Radbruch 3yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dengan demikian,
permasalahan yang akan dibahas ialah apakah pencabutan hak politik koruptor telah
memenuhi tiga nilai dasar hukum yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan
dalam penerapannya?

3
Said Sampara ddk,Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum, Total Media, Yogyakarta,2011,hlm.48.

2
B. PEMBAHASAN
1. Kelebihan Pencabutan Hak Politik Bagi Koruptor
Negara Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental. Salah satu ciri negara hukum dengan sistem tersebut ialah sangat
menjunjung tinggi asas legalitas dalam penegakan hukumnya. Hal ini sejalan dengan
salah satu tujuan hukum menurut Soedjono Dirdjosisworo yakni kepastian hukum4.
Dikaitkan dengan kontruksi hukum pidana Indonesia, maka pencabutan hak memilih
dan dipilih terpidana korupsi telah memenuhi asas legalitas.
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa
pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda,
pidana tutupan dan untuk pidana tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Salah satu
pencabutan hak-hak tertentu terdapat pada Pasal 35 KUHP Ayat (1) Angka (3) hak
memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum. Kemudian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juga menegaskan pada Pasal 18 Ayat (1) Huruf (d) pencabutan seluruh atau
sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan
tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Secara filosofis, sesungguhnya penjatuhan hukuman tambahan merupakan
manifestasi dari upaya penegak hukum dalam mewujudkan cita-cita luhur dari
pemidanaan, yaitu keadilan. Aristoteles dalam teori keadilan distributif (justitia
distributiva), mengatakan bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau
jatahnya5. Sementara itu, dalam teori keadilan vindikatif atau korektif yang merupakan
keadilan yang berorientasi pada kepentingan hukum masyarakat, mensyaratkan
terjaminnya ketertiban dan keamanan. Prinsip keadilan korektif menggunakan
instrumen pidana atau hukuman sehingga nilai keadilan sangat tergantung dari
penjatuhan pidana atau hukuman yang tepat yang dikenal pula dengan istilah
penjatuhan hukuman yang setimpal dengan perbuatan.6 Penjatuhan hukuman tambahan
tersebut erat kaitannya dengan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara yang
terkandung di dalam UUD NRI 1945.

4
Said Sampara,dkk,Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum, Total Media, Yogyakarta,2011, hlm.42.
5
Ibid, hlm. 45.
6
J. Pajar Widodo, Menjadi Hakim Progresif, Indepth Publishing, Bandar Lampung, 2013, hlm. 43.

3
Secara konstitusional, pencabutan hak politik tidak bertentangan dengan konstitusi
termasuk dengan Hak Asasi Manusia (HAM), di dalam pasal 28 J Ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945 dan Pasal 70 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM sudah ditegaskan
bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Mengingat perbuatan korupsi merupakan perbuatan yang tidak bermoral, melanggar
nilai-nilai agama dan juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, maka
terpidana korupsi sekalipun wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh
Undang-undang.
Dalam Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM menegaskan
bahwa hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum termasuk dalam kategori
derogable rights, yakni hak yang bisa dilanggar oleh penegak hukum, hal ini sejalan
dengan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi
Indonesia ke dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pada Pasal 25 Point (b) jo Pasal 4 Ayat (1)
menegaskan bahwa hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum ialah bersifat
derogable rights, karena saat ini Indonesia dalam keadaan darurat korupsi sehingga
hak memilih dan dipilih tersebut bisa dibatasi.
Apabila ditinjau melalui prinsip-prinsip Pancasila, maka prinsip Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, haruslah dijadikan satu-satunya parameter pencapaian
keadilan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, hal ini bukan berarti bahwa
keadilan sosial terpidana korupsi yang menjadi prioritas utama dalam perlindungan
hak-hak asasi manusia melainkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia secara
menyeluruh. Pernyataan ini ditegaskan kembali dalam konstitusi yakni Pasal 1 Ayat
(2) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan
rakyat yang berarti pula kedaulatan bagi seluruh rakyat bukan hanya individu. Dengan
demikian, perlindungan hak asasi manusia dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi, bukanlah berdasarkan pada pandangan barat yang menjamin demokrasi
dengan kebebasan individu tanpa batas, tetapi berdasarkan kepada keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.

4
Dari aspek kemanfaatan, penerapan hukuman tambahan berpengaruh baik bagi
masyarakat pada umumnya dan pejabat publik pada khususnya. Hal ini sejalan dengan
teori relative dalam hukum pidana Indonesia yang tidak menekankan pembalasan akan
tetapi lebih kepada ketertiban didalam masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu untuk mempertahankan
ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschappelijke orde), untuk
memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya
kejahatan (het herstel van het doer de misdaad onstanemaatschappelijke nadeel),
untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader), untuk membinasakan si
penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger), dan untuk mencegah kejahatan
(tervoorkonning van de misdaad).7Menurut Koeswadji, pencabutan hak memilih dan
dipilih bagi terpidana korupsi ialah sebagai langkah preventif bukan langkah represif
karena seharusnya yang menjadi prioritas tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi
adalah penyebab yang melatarbelakangi dilakukannya korupsi bukan memberikan efek
jera semata.
Hal ini dapat dijelaskan melalui Teori GONE8 yang terdiri dari Greed,
Opportunity, Neccessity, dan Exposure. Greed yang berarti keserakahan dari pelaku
korupsi yang ingin melanggengkan kekuasaan, Opportunity berarti kesempatan dimana
sistem yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan korupsi,
Neccessity yang berarti kebutuhan yang tak kunjung ada batasnnya dan Exposure yang
berarti pengungkapan dimana pengungkapan kasus korupsi terutama di Indonesia
sangat kecil. Berdasarkan teori tersebut diatas maka pencabutan hak politik terpidana
korupsi tentu bisa memberantas akar permasalahan yang selama ini terjadi. Hukuman
tambahan meminimalisir manajemen struktur pemerintahan yang rawan korupsi
dengan cara mencegah mantan koruptor untuk tidak bisa lagi menjabat sebagai pejabat
publik. Berdasarkan hasil survei Transparancy Internasional Indeks, pencabutan hak
politik menjadi salah satu parameter keberhasilan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Hasil survei tersebut menyatakan bahwa kasus tindak pidana korupsi di Indonesia
mengalami penurunan.

7
Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bhakti, Bandung,1995, hlm. 12.
8
I Ketut Mertha, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana, Udayana University Press, Denpasar,
2014, hlm. 98.

5
Dalam Corruption Perception Index9, Indonesia mengalami peningkatan skor dari
34, 36, dan 37 yang terhitung dari tahun 2014-2016 dengan skala 0-100 (0 berarti
sangat korup dan 100 berarti sangat bersih) sehingga negara Indonesia mengalami
penurunan peringkat sebagai negara terkorup yaitu yang awalnya peringkat ke 107 dari
175 negara pada tahun 2014 kemudian pada tahun 2016 menduduki peringkat ke 90
dari 175 negara. Berdasarkan fakta tersebut maka pencabutan hak memilih dan dipilih
bagi terpidana korupsi merupakan langkah yang paling tepat.

2. Kekurangan Pencabutan Hak Politik Koruptor


Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945 telah menegaskan bahwa kedaulatan tertinggi
berada di tangan rakyat, sekaligus menegaskan bahwa negara Indonesia ialah negara
demokrasi. Salah satu ciri negara demokrasi adalah dilaksanakannya pemilu dalam
waktu-waktu tertentu. Pemilu pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan
hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak tersebut oleh rakyat
kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.10 Negara yang berkedaulatan
rakyat sangat menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia dalam
konstitusinya. Sebaliknya, negara yang tidak menjunjung tinggi supremasi hukum dan
hak-hak asasi manusia ialah negara yang mendasarkan atas kekuasaan dan
kesewenangan belaka.
Sampai saat ini,paling tidak ada beberapa kasus besar yang terdakwanya pernah
dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik, yakni mantan Kepala Korps
Lalu Lintas Irjen Pol.Djoko Susilo yang terlibat kasus korupsi dalam proyek simulator
Surat Izin Mengemudi (SIM) dan eks Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi
Hasan Ishaq yang terlibat kasus pengadaan daging sapi impor. Irjen Pol. Djoko Susilo
yang dijatuhkan pencabutan hak memilih dan dipilihnya berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung (MA) Nomor 573K/Pid.Sus./2014,11 sedangkan Luthfi Hasan Ishaq
dijatuhkan pencabutan hak dipilihnya berdasarkan putusan MA Nomor
1195K/Pid.Sus/2014.12

9
Hasil Survei Transparancy International , diakses dari https://www.transparency.org/research/cpi/overview,
pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 20.15 WIB.
10
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2006,hlm. 248.
11
Putusan Mahkamah Agung Nomor 573K/Pid.Sus./2014, diakses dari http://putusan.mahkamahagung.go.id/,
pada tanggal 17 mei 2017, pukul 20.35 WIB.
12
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus./2014, diakses dari http://putusan.mahkamahagung.go.id,
pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 18.35 WIB.

6
Dalam konsep legalitas, sebuah peraturan perundang-undangan harus dapat
diterapkan tanpa ada pertentangan antara peraturan yang satu dengan yang lain.
Penjatuhan hukuman tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih bagi
terpidana korupsi menimbulkan berbagai kontroversi, karena terjadi tumpang tindih
peraturan dimana dalam putusan Makhamah Agung (MA) Nomor 573K/Pid.Sus./2014
terhadap terpidana korupsi Djoko Susilo dalam kasus korupsi proyek simulator (SIM)
dan Putusan MA Nomor 1195K/Pid.Sus/2014 terhadap Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus
pengadaan daging sapi impor yang tidak mecantumkan legitimasi masa pencabutan hak
tersebut. Sudah jelas pada Pasal 38 Ayat (1) KUHP menegaskan bahwa pencabutan hak
tertentu paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling banyak 5 (lima) tahun lebih lama dari
pidana pokoknya. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-
VII/200913 yang menetapkan bahwa pencabutan hak tertentu hanya berlaku sampai 5
(lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. Sementara dalam
pemberlakuannya tidak ada legitimasi masa pencabutan hak politik.Tidak adanya
legitimasi masa pencabutan hak politik di dalam penerapannya menjadi salah satu alasan
pencabutan hak politik tidak bisa diterapkan karena sudah tidak sesuai dengan aturan
dasarnya yaitu KUHP. Selain itu hal ini juga menunjukkan bahwasanya hakim agung
tidak memiliki integritas, adil dan professional dalam menjalankan tugasnya,
sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 24A Ayat (2) UUD NRI 1945 hakim agung
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional, dan
berpengalaman di bidang hukum.

Sebagai lembaga tinggi negara yang menjamin agar konstitusi sebagai hukum
tertinggi dapat ditegakkan, MK mengemban fungsi sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of the constitusion)14. Hal tersebut membawa konsekuensi MK sebagai
penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution). Konstitusi sebagai hukum
tertinggi mengatur penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah
satu fungsi konstitusi adalah melindungi HAM. Oleh karena itu MK juga berfungsi
sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy), pelindung hak
konstitusional warga negara (the protector of the citizens constitutional rights) dan
pelindung HAM (the protector of human rights).

13
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU- VII/2009, diakses dari
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/, pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 15.30 WIB.
14
Janedjri M.Gaffar, Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait
Penyelenggaraan Pemilu, Vol. 10, 2013, hlm. 13.

7
Sejalan dengan asas ius curia novit yang berarti hakim dianggap tahu,15 maka
putusan MK seharusnya dijadikan pedoman putusan hakim agung beserta hakim
peradilan di bawahnya. Apalagi, putusan hakim konstitusi berlandaskan UUD NRI 1945,
sementara putusan hakim agung beserta hakim lainnya hanya berlandaskan Undang-
undang (UU).Disamping itu tidak bisa dipungkiri bahwa banyak terdapat kasus korupsi
yang tidak menerapkan hukuman tambahan tersebut terhitung dari tahun 2014. Sebagai
contoh kasus korupsi proyek pembangunan pusat pendidikan Hambalang terhadap
terdakwa Andi Alfian Mallarangeng.16 Dari pernyataan itu juga dapat disimpulkan
bahwa terdapat indikasi perbedaan perlakuan terhadap terpidana korupsi di hadapan
hukum yang mana sangat bertentangan dengan asas equality before the law.

Dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD NRI 1945, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani ialah bersifat non derogable rights. Hak tersebut merupakan bagian dari prinsip
negara demokrasi yang berarti setiap orang berhak atas kebebasan pribadi untuk berpikir
sesuai hati nurani dalam menentukan suatu pilihan sesuai keyakinan politiknya dan
dalam mencalonkan diri sebagai pejabat publik dengan tujuan untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negaranya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28C Ayat (2) UUD NRI 1945.
Pasal 28D Ayat (3) setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan. Sementara dengan adanya pencabutan hak politik maka mantan
terpidana kasus tindak pidana korupsi yang merupakan warga negara Indonesia tidak
bisa mendapatkan haknya dan menutup kesempatannya untuk memperbaiki
diri.Perbedaan mendasar antara warga negara dengan orang asing adalah hanya warga
negara yang mempunyai hak memilih dan dipilih 17sehingga mantan koruptor yang tidak
mempunyai hak tersebut ialah sama saja orang asing. Hak-hak yang diatur dalam UUD
NRI 1945 juga di atur dalam aturan khususnya yakni Pasal 4 Ayat (1) UU HAM seperti
hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani serta Pasal 43 Ayat (1) hak memilih dan
dipilih dalam pemilihan umum yang pada hakikatnya mengacu pada ketentuan Pasal 74
UU HAM yaitu, tidak satu ketentuan pun dalam Undang-undang ini boleh diartikan
bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi,

15
Said Sampara dkk, ,Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum, Total Media, Yogyakarta,2011, hlm. 84.
16
Fathiyah Wardah, Andi Mallarangeng Divonis 4 Tahun Penjara, diakses dari
http://www.voaindonesia.com/a/andi-mallarangeng-divonis-4-tahun-penjara-/1960514.html, pada tanggal 18
Mei 2017, pukul 18.30 WIB.

17
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 2006,hlm.228.

8
merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur
dalam undang-undang ini. Oleh karena itu, pencabutan hak politik terpidana korupsi
yang tidak memberikan legitimasi masa pencabutan, sama saja menghapuskan hak asasi
manusia yang mana tidak boleh di kurangi apalagi menghapuskanya.Menurut Franz
Magnis Suseno, ada empat alasan agar negara diselenggarakan dan menjalankan
tugasnya berdasarkan hukum yakni : kepastian hukum, tuntutan perlakuan yang sama,
legitimasi demokrasi, tuntutan budi akal18. Dalam konteks berhukum penjatuhan
hukuman tambahan tidak menjunjung tinggi kepastian hukum yang adil, karena didalam
KUHP tidak ada ketentuan berapa tahun pidana pokok yang jatuhkan baru bisa
ditambahkan dengan hukuman tambahan.
Selanjutnya, jika tujuan hakim dalam pemidanaan ialah agar proses peradilan
mampu memberikan efek penjeraan dengan menjatuhkan pidana yang setimpal
sebagaimana yang terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Penjatuhan Pidana yang Berat dan Setimpal dalam Tindak Pidana
Korupsi maka itu merupakan hal yang keliru karena pidana dijatuhkan bukan quia
peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan nepeccetur (supaya orang
jangan melakukan kejahatan) yang mana hal ini sesuai dengan sistem pemidanaan yang
dianut Indonesia saat ini yaitu sistem pemasyarakatan. Pasal 2 Undang-undang Nomor
12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menegaskan tujuan pemidanaan bahwa sistem
pemasyarakatan yang diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan
permasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki
diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup
secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dengan demikian,
pencabutan hak memilih dan dipilih tersebut tentunya akan menghambat tujuan
pemidanaan.

C. PENUTUP
1. Simpulan
Penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih terpidana
korupsi tersebut sangat efektif untuk mencegah korupsi yang berkelanjutan baik bagi
pelaku ataupun masyarakat. Hanya saja, dalam pelaksanaannya haruslah berlandaskan

18
Nimatul huda, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta,2015, hlm. 94.

9
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan yakni dengan memberikan legitimasi
pencabutan hak memilih dan dipilih bagi terpidana korupsi sehingga tidak cenderung
diskriminasi. Disisi lain, penerapan pencabutan hak politik yang selama ini diterapkan
di Indonesia masih tidak jelas dalam penerapannya karena tidak diterapkan dalam
semua kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik sehingga sangat
bertentangan dengan asas equality before the law yang dianut dalam hukum
pemidanaan di Indonesia.

2. Saran
Dalam memberantas tindak pidana korupsi, ada baiknya mengetahui terlebih
dahulu penyebab timbulnya korupsi yaitu tentunya sistem hukum yang kurang baik dan
sikap pemerintah yang tidak tegas. Oleh karena itu, gagasan yang kami tawarkan dalam
meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi yaitu sebagai berikut:
1. Memperbaiki sistem hukum yang telah ada dengan merevisi undang-undang yang
mengatur syarat-syarat untuk menjadi pejabat publik atau diangkat menjadi pejabat
publik, dengan memberikan ketentuan bahwa seseorang yang pernah menjadi
pelaku tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan wewenangnya tidak bisa
mencalonkan diri sebagai pejabat publik atau diangkat menjadi pejabat publik,
sehingga siapapun yang pernah melakukan tindak pidana korupsi tidak bisa menjadi
pejabat publik walaupun pidananya hanya beberapa tahun.
2. Ditambahkan ketentuan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang mengatur tentang berapa lama pidana pokok yang dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana korupsi yang bisa ditambah dengan pidana tambahan berupa
pencabutan hak politik yaitu hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 tahun 1981) menyediakan
mekanismenya yang sejalan dengan ketentuan Pasal 35 United Nations Convention
Against Corruption / Konvensi PBB Anti Korupsi yang mewajibkan kepada setiap
negara memberikan jalan bagi pihak-pihak (badan hukum atau pribadi) yang
dirugikan untuk menuntut para terdakwa korupsi agar bertanggung jawab atas
kerugian yang diakibatkan perbuatan korupsinya, yang mana mekanisme tersebut
tercantum pada Pasal 98-100 KUHAP yang mengatur penggabungan perkara pidana
dan perdata. Dengan demikian, mekanisme ini bisa digunakan untuk menuntut
pidana terdakwa korupsi bersama-sama tuntutan perdata yakni membayar uang
ganti rugi dengan sistem gugatan class action (perwakilan).

10
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku

Mertha, I Ketut. 2014. Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana.
Denpasar:Udayana University Press.

Widodo, J. Pajar.2013.Menjadi Hakim Progresif. Bandar Lampung: Indepth Publishing.

Koeswadji.1995.Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan


Hukum Pidana. Bandung:Citra Aditya Bhakti.

Sampara, Said, dkk.2011. Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum.Yogyakarta: Total Media.

Huda, Nimatul. 2015. Ilmu Negara,.Jakarta: Rajawali Pers.

Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara. Jakarta:Prestasi Pustaka
Publisher.

B. Internet dan Jurnal


Putusan Mahkamah Agung Nomor 573K/Pid.Sus./2014.diakses dari
http://putusan.mahkamahagung.go.id/. (pada tanggal 17 mei 2017, pukul 20.35 WIB)

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus./2014.Diakses dari


http://www.putusan.mahkamahagung.go.id/. (pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 18.35 WIB)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU- VII/2009. Diakses dari


http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/.(pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 15.30 WIB)

Hasil survei Transparancy International. Diakses dari .


https://www.transparency.org/research/cpi/overview.( pada tanggal 18 Mei 2017, pukul
20.15 WIB)

Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi. Diakses dari


https://www.kpk.go.id/splash/.(pada tanggal 15 Mei 2017, pukul 18.25 WIB)

Wardah, Fathiyah.2014. Andi Mallarangeng Divonis 4 Tahun Penjara.(Online).Tersedia:


http://www.voaindonesia.com/a/andi-mallarangeng-divonis-4-tahun-penjara-/1960514.html.
(diakses pada tanggal 18 Mei 2017, pukul 18.30 WIB)

M.Gaffar,Janedjri. Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi


Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu, Vol. 10, 2013.

11
Alkostar,Artidjo. Korelasi Korupsi Politik dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara
Modern.Vol.16. 2009.

C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor


31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvenan Internasional


Hak-Hak Sipil dan Politik

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

D. Surat Edaran Mahkamah Agung

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Penjatuhan Pidana yang
Berat dan Setimpal dalam Tindak Pidana Korupsi

12

Você também pode gostar