Você está na página 1de 52

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT THT REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Oktober 2017

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KARSINOMA NASOFARING

Oleh :

Hidayat bazeher, S.Ked

Pembimbing :

dr. Sri Wahyuningsi, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITRAAN KLINIK

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES

KUPANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak


dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama
tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit),
sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat
persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas
hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut,
tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).1,2,3
Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK
Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh.
Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002.
Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per
100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia.1,2
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang
tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa
oleh mereka yang bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan
ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin
terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) semakin
buruk.

Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam


pencegahan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini.
Penulis berusaha untuk menuliskan aspek-aspek yang dirasakan perlu untuk

2
dipahami melalui tinjauan pustaka dalam referat ini dan diharapkan dapat
bermanfaat.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOPHARING

Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan


lateral. Batas-batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan
sebagian prosessus basilaris, batas anterior adalah koana dan palatum molle,
batas posterior adalah vertebra servikal dan batas inferior adalah permukaan atas
palatum molle dan berhubungan dengan orofaring.4

Batas nasofaring:

Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia


Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior,
bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
Posterior : - vertebra cervicalis I dan II
- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
- Mukosa lanjutan dari mukosa atas
Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
- Muara tuba eustachii
- Fossa rosenmulleri5,6

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang
konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas
muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan
dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung
atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi
pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga
mengganggu ventilasi udara telinga tengah.4

4
Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh
lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior.
Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale,
foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting
diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.

Gambar 1 Anatomi nasofaring

5
Gambar 2 Fossa of Rosenmuller

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi


karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum
molle. Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior
pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu.

Struktur penting yang ada di Nasopharing

1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva


2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva
yang disebabkan karena musculus levator veli palatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan
penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk

6
membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau
menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat
predileksi Karsinoma Nasofaring.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut
adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut
adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing
dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae
pharingei

Gambar 3 Nasofaring

Fungsi nasofaring :
Sebagai jalan udara pada respirasi
Jalan udara ke tuba eustachii

7
Resonator
Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

2.2. HISTOLOGI

Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia repiratory type. Setelah 10


tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel
nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa
mengalami invaginasi membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan
terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta
sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel
membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai,
tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.7

Gambar 4 Sel epitel transisional, pelapis nasofaring

8
2.3 DEFINISI

Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel


epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan
metastasis.2
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring.
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada
epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring).2

2.4. EPIDEMIOLOGI dan ETIOLOGI


Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi,
yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus
per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based). Santosa (1988)
mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang
diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976)
diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang
mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002. Di RSCMJakarta
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60
kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit
tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT
RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak
dari suku bangsa lainya.1,3

Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan


biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International
Union against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di
Singapura tahun 1964, dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah
ditemukan banyak temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran
epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.1,4

9
KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara
berbagai Negara, maupun yang tersebar dalam 5 benua. Tetapi, insiden KNF
lebih rendah dari 1/105 di semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina
bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden ini tertinggi di provinsi
Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data
IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan
sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus
meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup
banyak kasus pada penduduk lokal dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan
penduduk di Afrika utara dan timur tengah 1,4,8

Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio
2-3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain.
Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg
bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia
dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat
setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya 8

Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga


kekerapan cukup tinggi pada pendduduk Cina bagian selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras
Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang
dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka
kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik
adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para
migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di
China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang
bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari
daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit
putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa

10
menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang
Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di
daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya
Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang
dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang
memudahkan untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola
makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini
dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk
diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari
mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya
seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu
adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai
substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan
percobaan.1,4,8

Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu
(boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal
ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari
negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di
Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan
Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5/100.000)
dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000) 4,5

Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per 100.000 penduduk setiap


tahun. Di rumah Sakit H. Adam Malik Medan, Provinsi Sumatera Utara, penderita
KNF ditemukan pada lima kelompok suku. Suku yang paling banyak menderita
KNF adalah suku Batak yaitu 46,7% dari 30 kasus.8
Karsinoma nasofaring secara histopatologi dapat dibedakan menjadi
Karsinoma nasofaring dengan keratinisasi dan karsinoma nasofaring non-
keratinisasi, di mana karsinoma nasofaring non keratinisasi ada yang
berdiferensisasi dan tidak berdiferensisasi. Pada penelitian ditemukan bahwa Ca
Nasofaring non-keratinisasi merespons pengobatan dan terapi lebih baik

11
dibandingkan Ca Nasofaring keratinisasi. Karsinoma nasofaring non-keratinisasi
merupakan yang paling sering terjadi (75% dari kasus KNF yang ada).1,4,9,10
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF
non keratinisasi telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus
tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi
terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen
dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium
penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit
keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa
menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain
tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.4,9,10

Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker
Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum
alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan
pola makan tertentu. Meskipun demikan tetap ada peneliti yang mencoba
menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko terhadap KNF pada
perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009).
ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan
Hongkong merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya
hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh
Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang
gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-
style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka
mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai
digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.9,10

Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau


familier dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh
terkenal di Cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi
didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara umum

12
didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita keganasan organ
lain.9,10

Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti


formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian
dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine=CHB).
Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi
EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB dapat
menginduksi aktivasi dari virus EBV yang laten. Seperti pada TPA
(Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan
jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob
yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus,
meningkatnya transformasi cell-mediated immunity dari EBV dan
mempromosikan pembentukan KNF (genesis).11

2.5. GEJALA DAN TANDA KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari


nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam
ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari
dasar tulang tengkorak atau palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase
khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh dapat mengenai
tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul
tergantung pada daerah yang terkena1,2. Sekitar separuh pasien memiliki gejala
yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah
bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai7,8,.
Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan infeksi
saluran nafas atas.

Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga.
Ini terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring. Tumor tumbuh
mula-mula di fossa Rosenmuller di dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke
dinding belakang dan atap nasofaring, menyebabkan permukaan mukosa

13
meninggi. Permukaan tumor biasanya rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat
tejadi perdarahan. Timbul keluhan pilek berulang dengan mukus yang bercampur
darah. Kadang-kadang dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat menyumbat
muara tuba eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa
berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma
nasofaring. Sehingga bila timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak
diketahui perlu diwaspadai sebagai karsinoma nasofaring12,13.

Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga
pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor
primer telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis
regional ke kelenjar getah bening servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat
timbul adalah gangguan pada syaraf otak karena pertumbuhan ke rongga
tengkorak dan pembesaran kelenjarleher5,12,13. Tumor yang meluas ke rongga
tengkorak melalui foramen laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu
syaraf otak III, IV dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI (
paresis abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah
sisi yang sakit. Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi (
rasa tebal) pada pipi dan wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila
ketiga syaraf penggerak mata terkena. Nyeri kepala hebat timbul karena
peningkatan tekanan intrakranial12,13. Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar
getah bening mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar getah bening bagian
samping ( limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan
infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi
lekat pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala
utama yang

dikeluhkan oleh pasien12,13.

Gejala nasofaring yang pokok adalah :

1. Gejala Telinga

14
Oklusi Tuba Eustachius
Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan
tumor dapat menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada
muara tuba. Hal ini akan mengakibatkan gejala berupa
mendengung (Tinnitus) pada pasien. Gejala ini merupakan tanda
awal pada KNF.
Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis
Media.
Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran
menurun, dan dengan tes rinne dan webber, biasanya akan
ditemukan tuli konduktif

2. Gejala Hidung
Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang
dindingnya rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan
dinding pembuluh darah tersebut pecah.
Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor
dalam nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis
kronis.

Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma
Nasofaring, karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain.
Namun jika gejala terus terjadi tanpa adanya respons yang baik pada
pengobatan, maka perlu dicurigai akan adanya penyebab lain yang ada pada
penderita; salah satu di antaranya adalah KNF.
3. Gejala Mata
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia
(penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen
laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila
terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.

15
4. Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda
penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma
nasofaring.

5. Cranial sign :
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-
saraf kranialis.
Gejalanya antara lain :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan
metastase secara hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai
N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum
o Faring atau laring
o M. sternocleidomastoideus
o M. trapezeus 14,15

Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan


dengan elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri
pada wajah dan bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus
trigeminal). Ketiga gejala ini jika ditemukan bersamaan, maka disebut
Trotters Triad.

16
2.6. PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING
Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor
yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya
tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan
menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi
awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan
dan kejelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya
metastasis lesi karsinoma lainnya.
Penyebaran KNF dapat berupa :
1. Penyebaran ke atas

Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut


penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke
sinus kavernosus dan Fossa kranii media dan fossa kranii anterior mengenai
saraf-saraf kranialis anterior ( n.I n VI). Kumpulan gejala yang terjadi
akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut
Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan
neuralgia trigeminal.

2. Penyebaran ke belakang

Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia


pharyngobasilaris yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya foramen
spinosum, foramen ovale dll) di mana di dalamnya terdapat nervus kranialais IX
XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari
saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan
gejala akibat kerusakan pada n IX n XII disebut sindroma retroparotidean atau
disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami
gangguan akibat tumor karena letaknya yang tonggi dalam sistem anatomi tubuh,

Gejala yang muncul umumnya antara lain:

a. Trismus
b. Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis)

17
c. Afonia akibat paralisis pita suara
d. Gangguan menelan

3. Penyebaran ke kelenjar getah bening


Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab
utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF,
penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya
stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub mukosa nasofaring. Biasanya
penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di
lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier.
Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga
kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping.
Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan.
Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis
merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.

Dari hasil penelitian didapati : gejala-gejala hidung sebanyak 77,5%,


gejala-gejala telinga sebanyak 73%, sakit kepala sebanyak 61%, pembesaran
kelenjar getah bening sebanyak 60%

Dari hasil penelitian lain berdasarkan pemeriksaan fisik didapati : Gejala


yang paling sering didapati adalah pembesaran kelenjar getah bening tanpa nyeri
sebanyak 80%. Kelumpuhan saraf cranial ditemukan pada 25% penderita
Penelitian mengenai metastase jauh, didapati : paru-paru 20%, tulang 20%, hati
10%, ginja1 0,4%, otak 0,4%,

Gejala akibat metastase jauh:

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah

18
tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat
buruk.

Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat


mengadakan metastase jauh, yang terbanyak ke paru-paru dan tulang, masing-
masing sebanyak 20%, sedangkan ke hati 10%, otak 4%, ginjal 0,4%, tiroid 0,4%.
Kira-kira 25% penderita datang berobat ke dokter sudah-mempunyai pertumbuhan
ke intrakranial atau pada foto rontgen terlihat destruksi dasar tengkorak dan
hampir 70% metastase kelenjar leher.

Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai


sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya
karsinoma nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin,
sedikit memakan sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non makanan seperti
debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar dan asap dupa (kemenyan). 2,16
Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma
1
nasofaring . Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein Barr juga dihubungkan
dengan terjadinya karsinoma nasofaring terutama pada tipe karsinoma nasofaring
non-keratinisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan titer antigen EBV
dalam tubuh penderita Ca Nasofaring non keratinisasi dan kenaikan titer ini pun
berbanding lurus dengan stadium Ca nasofaring; di mana semakin berat stadium
Ca Nasofaring, ditemukan titer antibodi EBV yang semakin tinggi. Hal ini dapat
dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada
penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV
akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan
mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu
EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan
2
EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring . Selain itu
dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli

19
bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai
sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer. 12,7,15
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga
dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini. Pada
pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-
1) di dalam serum plasma.1,16 EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan
dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya,
mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita
karsinoma nasofaring. 7,15,17
Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini mungkin disebabkan
karena letaknya sangat tersembunyi dan juga pada keadaan dini pasien tidak
datang untuk berobat. Biasanya pasien baru datang berobat, bila gejala telah
mengganggu dan tumor tersebut telah mengadakan infiltrasi serta metastase pada
pembuluh limfe sevikal. Hal ini merupakan keadaan lanjut dan biasanya prognosis
yang jelek. Pemeriksaan terhadap karsinoma nasofaring dilakukan dengan cara
anamnesa penderita dan disertai dengan pemeriksaan nasofaringoskopi, radiologi,
histopatologi, immunohistokimia, dan juga pemeriksaan serologi dengan
menggunakan tehnik Enzyme Linked Immunosorbent Assay atau disingkat
11
dengan ELISA . Karena beberapa penelitian telah membuktikan bahwa di dalam
serum penderita karsinoma nasofaring dijumpai EBNA-1 maka sebaiknya pasien
yang mempunyai gejala yang mengarah ke karsinoma nasofaring dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan serologi yaitu antibodi anti EBV (EBNA-1).7,14,15
Tentang pengaruh EBV yang sebagian besar hanya ditemukan pada Ca
Nasofaring tipe non-keratinisasi belum dapat dijelaskan hingga saat ini.

20
2.6.1 Virus Epstein-Barr
Group : Grup I (dsDNA)
Family : Herpesviridae
Subfamily : Gammaherpesvirinae
Genus : Lymphocryptovirus
Species : Human Herpes Virus 4 (HHV-4)

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel
kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara
berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau
CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21
dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai
dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya
menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan
dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam
masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric
Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat
menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi
dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr
yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali
menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan
virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi
transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.18
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu
EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam
mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan
LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat
siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam

21
transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam
amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein
transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C).
Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis
factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan
menghambat respon imun lokal. 18

2.6.2 Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan
gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamine dan karsinogen.
Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2,
HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki
resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina
dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan
lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan HLA pada orang-orang Cina
menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak
pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma
nasofaring.7,13,14,15,

2.6.3 Faktor lingkungan


Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada
di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa
ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar
nitrosodimethyamine (NDMA), nitrospurrolidene (NPYR) dan
nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga

22
merupakan salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi terjadinya
karsinoma nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan
mengadung formaldehyde yang diteliti merupakan faktor risiko karsinoma
nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.7,13,14,15

2.7 DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
pasti serta stadium tumor:

2.7.1. Anamnesis / pemeriksaan fisik


Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala
KNF)

2.7.1.1 Pemeriksaan Nasofaring


Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara
rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta
fibernasofaringoskopi. Jika ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada
mukosa dan memiliki permukaan halus, berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada
permukaan atau massa yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak
dijumpai lesi pada nasofaring sehingga harus dilakukan biopsi dan pemeriksaan
sitologi.
2.7.1.2 Gejala Klinis
Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan
berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya karsinoma nasofaring

23
13
Tabel 1 Formula Digsby

Gejala Nilai

Massa terlihat pada Nasofaring 25

Gejala khas di hidung 15

Gejala khas pendengaran 15

Sakit kepala unilateral atau bilateral 5

Gangguan neurologik saraf kranial 5

Eksoftalmus 5

Limfadenopati leher 25

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma


nasofaring dapat dipertangung jawabkan. Sekalipun secara klinik jelas
karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan,
selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe
histopatologi yang erat kaitannya dengan
pengobatan dan prognosis.13

2.7.2 Biopsi nasofaring


Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang
dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau
sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian,
hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2
cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya
dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya
(blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung

24
menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton
yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada
dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter
yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung
disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai
nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan
terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam
narkosis.
2.7.3 Sitologi dan Histopatologi
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1)
Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin
atau intercellular bridge atau keduanya. (2) Non keratinizing squamous
cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas (pavement cell
pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan
syncitial, sel-sel poligonal berukuran besar atau sel dengan bentuk
spindel,anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit.1,2,3,4 Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma
nasofaring menjadi Keratinizing squamous cell carcinoma, Non
keratinizing squamous cell carcinoma terdiri atas differentiated dan
undifferentiated dan Basaloid Carcinoma.1, 19
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang
sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi
tidak begitu radiosensitif.19
2.7.3.1 Sitologi
Squamous Cell Carcinoma

25
Inti squamous cell carcinoma bentuknya lebih "spindel" dan lebih
memanjang dengan khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata.
Pleomorfisme dari inti dan membran inti lebih jelas. Selalu terlihat perbedaan
(variasi) yang jelas dalam derajat khromasia di antara inti yang berdampingan.
Nukleoli bervariasi dalam besar dan jumlahnya. Sitoplasma lebih padat, berwarna
biru dan batas sel lebih mudah dikenal. Perbandingan inti, sitoplasma dan
nukleolus adalah inti lebih kecil. Keratinisasi merupakan indikasi yang paling
dapat dipercaya sebagai tanda adanya diferensiasi ke arah squamous cell. Bila
keratinisasi tidak terlihat maka dijumpainya halo pada sitoplasma di sekitar inti
dan kondensasi sitoplasma pada bagian pinggir sel merupakan penuntun yang
sangat menolong untuk mengenal lesi tersebut sebagai squamous cell carcinoma.
16

Gambar 5 Cytology smear showing clusters of keratinizing squamous carcinoma indicating metastasis in the
lymph node. (MGG X 400) (*cited from The Internet Journal of Pathology ISSN: 1528-8307)

Undifferentiated Carcinoma
Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma
berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yang
membesar dan khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang,
dijumpai latar belakang sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. 16,20,21
Dijumpai gambaran mikroskopis yang sama dari aspirat yang berasal dari lesi
primer dan metastase pada kelenjar getah bening regional 16,20

26
Gambar 6 Kelompokan sel-sel epitel undifferentiated, dengan latar belakang limfosit.Tampak sitoplasma yang
eosinofilik dan anak inti yang prominen (Dikutip dari: Orell, SR, Philips,J. Fine-Needle Aspiration Cytology,
Fourth Edition Elsevier, 2005).

2.7.3.2 Histopatologi
Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma
memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya.7,8 Dijumpai
adanya diferensiasi dari sel squamous dengan intercellular bridge atau
keratinisasi.2,12 Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan
dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel
plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal
dan stratified. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-
sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak
mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.16,20

27
Gambar 7 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical
Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

Gambar 8 Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J.


Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition,
Philadelphia: Mosby, 2004).

Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma


memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau.2,17 Sel-sel
menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular
bridge yang samar-samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma
ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik
dan anak inti tidak menonjol 16,20

28
Gambar 9 Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical
Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

Undifferentiated Carcinoma
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran
sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular,
dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih6.
Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam
jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai
lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma,
eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang)2,17.
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe
Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas
yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe
Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel
radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma. 16,20

29
Gambar 10 Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang membentuk sarang-sarang padat ( Regaud type).
(Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one,
Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).

Gambar 11 Undifferentiated Carcinoma terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaransyncytial yang difus
(Schmincke type). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition,
Philadelphia: Mosby, 2004).

Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara
karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari
karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata
dan berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari
malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan
anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang
undifferentiated memiliki sel-sel dengan bentuk oval atau spindle. 16,20
Basaloid Squamous Cell Carcinoma

30
Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous
cell carcinoma5,12. Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan
sel-sel squamous. Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan
tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan
konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral
palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara
komponen basaloid dan squamous jelas. 16,20

Gambar 12 Basaloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring.Sel-sel basaloid menunjukkan festoonin growth
pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton. (Dikutip dari: Barnes L. Eveson JW.
Reichart P. Sidrasky D. Pathology and Genetic Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press, 2003).

2.7.4 Pemeriksaan radiologi


Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto polos, CT Scan ataupun
MRI. Saat ini untuk mendiagnosa secara pasti CT Scan dan MRI merupakan suatu
modalitas utama. Melalui CT Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada
tidaknya massa dan sejauh apa penyebaran massa tersebut, hingga dapat
membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang akan dilakukan.

31
Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya
tumor pada daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya.17,21

a. Computed Tomography Scan (C. T Scan)

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

32
3 Pemeriksaan neurologis. Karena nasofaring berhubungan dekat dengan
rongga tengkorak melalui beberapa foramen, maka gangguan beberapa
saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.14,20
4 Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA
(capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan
dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium
III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8%
dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.
IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,
sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis
pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan
terbanyak 160. 14,20

2.8 DIAGNOSIS BANDING


1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada
anak-anak hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos
akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya
berbatas tegas dan umumnya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak
tampak tanda- tanda infiltrasi seperti tampak pada karsinoma. 14,17
2. Angiofibroma juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak
infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring
yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperrti pada penyebaran
karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi
saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan
dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenal sebagai antral sign.

33
Karena tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi karotis eksterna
sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang
sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada
foto polos.14,19
3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan
biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating
untuk pemeriksaan pertama.14,16,19
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral
sehingga menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T.
Scan, pendesakan ruang para faring ke arah medial dapat membantu
mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.14,16
5. Tumor kelenjar parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang
terletak agak dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah
lumen nasofaring. Pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang
parafaring ke arah medial yang tampak pada pemeriksaan
C.T.Scan.14,16,17,19
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi
mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering
timbul kesulitan untuk membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat
kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu
melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervikal bagian atas karena
chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada kelenjar tersebut
sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.14,16
7. Meningioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-
kadang meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis
kranii. Ganbaran CT meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit

34
hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat
hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan
arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.14,16

2.9. STADIUM

Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium kanker nasofaring. Di


Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria
yang ditetapkan AJCC / UICC (American Joint Committe on Cancer /
International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium kanker
nasofaring yang terbaru adalah menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002,
yaitu:5
Tumor di nasofaring (T)
Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
To Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis Carcinoma in situ
T1 Tumor terbatas di nasofaring
T2 Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa perluasan
ke depan parafaring
T2b Dengan perluasan ke parafaring
T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang mastikator
Kelenjar limfe regional (N)
Nx Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan
No Tidak ada pembesaran KGB regional
N1 Metastasis ke KGB unilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula
N2 Metastasis ke KGB bilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula

35
N3 Metastasis ke KGB:
N3a : Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3b : Terletak pada fossa supraklavikula
Metastasis jauh (M)
Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
Mo Tidak ada metastasis jauh
M1 Ada metastasis jauh

Stadium kanker nasofaring menurun sistem TNM:


0 : Tis No Mo
I : T1 No Mo
IIa : T2a No Mo
IIb : T1-2a N1 Mo, T2b No-1 Mo
III : T1-2b N2 Mo, T3 No-2 Mo
Iva T4 No-2 Mo
IVb : Semua T N3 Mo
IVc : Semua T No-3 M1

2.10. PENATALAKSANAAN
Stadium I : Radioterapi
Stadium II : Kemoterapi
Stadium IV dengan N<6cm : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N>6cm : Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
kemoradiasi 5

2.10.1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam


penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

36
Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring
adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat
radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan
pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau
linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari
cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH-
yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam
kromosom, sehingga dapat terjadi :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih
rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak
yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal.
Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan
DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan
lebih cepat dari sel kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi
pada kanker.
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang
parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta
klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan
preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi,
yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini
banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi
tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya.
Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi
eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus
kambuh lokal. Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah
memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring
dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut

37
sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan
dibeberapa negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA
Ribose Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA
terutama terdapat paa khromosom ionizing radiation menghambat
metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti
sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi granuar serta timbul vakuola-
vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang. Pada suatu
keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis
merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan
sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring
sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok
timah. Arah penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan
kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi
dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka
luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad ,
terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .
Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai
dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4,
luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan
diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad. Daerah
penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada
metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan
dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan
dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari
gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi
daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan
memakai blok timah didaerah leher tengah.
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap
penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor,
makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit

38
80% - 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan
angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%.
Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa
faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.22
2.10.1.1 Tujuan Radioterapi
1. Radiasi Kuratif
Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita
dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan
supra klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan
fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu. Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis
di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran supraklavikular dikeluarkan.22
2. Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal.
Dosis radiasi untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per
minggu. Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah
kambuh.22
Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy
yang diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah
dosis mencapai 4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada
akhir istirahat dilakukan penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan
mengecilkan lapangan radiasi dan penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang
manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi untuk tumor primer
sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan pembesaran
kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular
cukup sampai 4000 cGy.22
Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan
secara bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor
primer dan KGB leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan
menggunakan pesawat megavoltage dan menggunakan radioisotop Cobalt60.22

39
2.10.1.2 Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap
radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan
tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

2.10.1.3 Komplikasi radioterapi


a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita
rasa) kadang diperparah dengan infeksi jamur pada
mukosa lidah dan palatum
- Anoreksia
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi
kelenjar parotis yang terkena radiasi)
- Eritema
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan


selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh
dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi,
memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut
dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan

40
obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma
diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan
antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi
local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan
umum nausea, anorexia dan sebagainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik
terhadap keluhan tersebut.22

2.10.2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau
pada keadaan kambuh.14,15,19,23

2.10.2.1 Indikasi Kemoterapi

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif


- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh). 15,19,23

2.10.2.2 Kemoterapi berdasarkan waktu pemberiannya

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas


kepala leher dibagi menjadi

1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi


mendahului pembedahan dan radiasi)

2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy


(diberikan bersamaan dengan penyinaran atau operasi)

41
3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska
pembedahan dan atau radiasi )14,18,23

2.10.2.3 Efek Samping Kemoterapi

Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal
yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada
traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi
sumsum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro
intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna.
Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh
normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa
saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker
menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama
dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker23

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa
kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi
dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi
juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi.23

Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan


dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan
meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik
lewat mikrosirkulasi.22,23

2.10.2.4 Manfaat Kemoradioterapi

Manfaat pemberian keoterapi adjuvan antara lain :

1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan


memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat
tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika

42
tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula
berkurangnya jumlah sel hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
3.
Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser). 22,23

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang
sudah sempat terpapar radiasi.20,22,23

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor


sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju
massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini
dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi
neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan overall
response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi
dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation). 20,22,23

Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi


perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan
Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap
radiasi. 20,22,23

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi


(concurrent or concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi
manfaat radioterapi. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang
sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi
lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya
bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker

43
yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.
20,22,23

2.10.2.5 Kelemahan Kemoradioterapi

Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain


mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat
menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat
begitu besar sehingga berakibat fatal. 22,23

Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara


bersamaan dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan
jadwal pemberian tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen
kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian.22,23

Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan


kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan
khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi
(radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-
Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.22,23

2.10.3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-
kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain.

2.10.4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan imunoterapi, yaitu dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita,

44
yang kemudian melalui suatu proses imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang
kemudian diinjeksikan kembali ke tubuh pasien di mana diharapkan melalui
injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan reaksi imunitas baru terhadap
EBV. Namun teknik ini masih dalam pen elitian sehingga belum dapat digunakan
dalam terapi kanker nasofaring.

2.10.4 Perawatan Paliatif

Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.


Mulut kering disebabkan oleh kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Tidak banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk
makan dengan banyak buah, membawa minum kemanapun pergi dan mencoba
memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya
air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di
daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan
nafsu makan dam kadang-kadang muntah atrau rasa mual.

Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap


diman tumor tetap ada (residu) atay kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul
metastasis jauh pasca pengobatan seperti tulang, paru, hati, otak. Pada kedua
keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat dilakukan selain
pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan
paliatif diindikasikan langsung terhadap pengurangan rasa nyeri, mengontrol
gejala dan perpanjangan usia. Radiasi sangat efektif untuk mengurangi nyeri
akibat metastasis tulang. Pasien akhirnya meninggal akibat keadaan umum yang
buruk, perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan
terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.5

2.11. PROGNOSIS

Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa)


memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring
tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, mestastasis

45
lebih mudah terjadi. Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45
%. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :

Stadium yang lebih lanjut.


Usia lebih dari 40 tahun
Laki-laki dari pada perempuan
Ras Cina dari pada ras kulit putih
Adanya pembesaran kelenjar leher
Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
Adanya metastasis jauh17,18

2.12. KOMPLIKASI

Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu


komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke
arah nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk :

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai


sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II.
yang memberikan kelainan :

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan


suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti
terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari
nervus trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )20

2. Retroparidean sindrom

46
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat
menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke
arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah
bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan
manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor


superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring


disertai gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta


hemiparese palatum mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa


penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.20

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering
adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis
yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring
dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-
masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid
0.4 %. 6,13,17

2.13. PENCEGAHAN
Pemberian vaksinasi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah
cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan
yang berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat,
meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti

47
VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.5

48
BAB III

KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan


dan menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh. Banyak faktor
yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu Adanya infeksi EBV, Faktor
lingkungan, Genetik. Karsinoma nasofaring banyak ditemukan pada ras
mongoloid, termasuk di Indonesia. Untuh pencegahan yang dapat dilakukan yaitu
dengan pemberian vaksinasi pada pada setiap orang yang memiliki resiko tinggi
terkena KNF. Mengubah gaya hidup dan melakukan tes serologic IgA-anti VCA
dan IgA anti EA.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.


Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi
kelima. Jakarta : FK UI, 2001. h. 146-50.

2. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring.


Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11.

3. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h.


70-81.

4. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi


kombinasi/kemoradioterapi.
5. Averdi Roezin, Marlinda Adham. 2012. Karsinoma Nasofaring. Dalam:
Efiaty A. Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. Edisi ketujuh. Jakarta: FKUI. Hal.158-163.
6. Ballenger J. Jacob.. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396
7. Kurniawan A. N.. 1994. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah
Patologi. Jakarta: FKUI. Hal.151-152
8. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of
Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin :
Springer,2010. p. 1-9.

9. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir.


Tinjauan pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144,
2004.h. 16-18.

10. Ahmad, A.. 2002. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada


Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif.
Jakarta: FKUI. Hal. 1-13.

50
11. Arif Mansjoer, et al.. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal. 371-396
12. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan
radioterapi. Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.

13. http://www.pdgionline.com/web/index.php?option=content&task=view&i
d=600&Itemid=0&limit=1&limitstart=1

14. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of
Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal.
89-92.
15. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111,
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001,
Jakarta

16. Abdul Rasyid. Karsinoma nasofaring : penatalaksanaan radioterapi.


Tinjauan pustaka. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. XXXIII
No.1. Medan : FK USU, 2000. h. 52-8.

17. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam:
Evans P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and
Practice of Head and Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz.
Hal. 473-81.
18. 18http://en.wikipedia.org/wiki/Epstein-Barr_virus"

19. T.Yohanita, Ramsi Lutan. Pengobatan karsinoma nasofaring dengan


radioterapi. Laporan kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara.
Vol.XXVI No.1. Medan: FK USU, 1996. h. 15-20.

20. Muhammad Yunus, Ramsi Lutan. Efek samping radioterapi pada


pengobatan karsinoma nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2000.h. 1-
16.

21. I Dewa Gede Sukardja. Onkologi klinik. Surabaya : FK Unair, 1996.h.


179-87.

51
22. Adlin Adnan. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di bagian THT FK
USU/RSUP. H.Adam Malik. Skripsi.Medan : FK USU, 1996.h. 52.

23. Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In :


Cancer in Asia Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93

52

Você também pode gostar