Você está na página 1de 4

Datuk Karama

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Datuk Karama
Abdullah Raqie
Lahir
Minangkabau
Abad 17
Meninggal Kampung Lere, Palu, Sulawesi
Tengah
Nama lain Dato Karama
Pekerjaan Ulama
Penyebar Islam di Tanah Kaili,
Dikenal karena
Sulawesi Tengah
Agama Islam
Pasangan Intje Dille
Intje Dongko
Anak
Intje Saribanu

Datuk Karama atau Syekh Abdullah Raqie adalah seorang ulama Minangkabau yang pertama
kali menyebarkan agama Islam ke Tanah Kaili atau Bumi Tadulako, Sulawesi Tengah pada abad
ke-17.[1] Awal kedatangan Syekh Abdullah Raqie atau Datuk Karama di Tanah Kaili bermula di
Kampung Lere, Lembah Palu (Sulawesi Tengah) pada masa Raja Kabonena, Ipue Nyidi
memerintah di wilayah Palu. Selanjutnya Datuk Karama melakukan syiar Islam-nya ke wilayah-
wilayah lainnya di lembah Palu yang dihuni oleh masyarakat Suku Kaili. Wilayah-wilayah
tersebut meliputi Palu, Donggala, Kulawi, Parigi dan daerah Ampana.

Syiar Islam
Seperti beberapa masyarakat lainnya di nusantara, pada masa itu masyarakat suku Kaili juga
masih menganut kepercayaan animisme/dinamisme yang mereka sebut "tumpuna", dimana
mereka mempercayai adanya makhluk yang menunggui benda-benda yang dianggap keramat.
Namun dengan metode dan pendekatan yang persuasif serta wibawa dan kharismanya yang
tinggi, syiar Islam yang dilakukan Datuk Karama melalui ceramah-ceramah pada upacara-
upacara adat suku tersebut akhirnya secara perlahan dapat diterima oleh raja dan masyarakat
Kaili. Perjuangan Datuk Karama akhirnya berhasil mengajak Raja Kabonena, Ipue Nyidi beserta
rakyatnya masuk Islam, dan dikemudian hari Ipue Nyidi dikenang sebagai raja yang pertama
masuk Islam di Lembah Palu.

Datuk Karama atau Syekh Abdullah Raqie tak kembali lagi ke Minangkabau. Sampai akhir
hayatnya, dia dan keluarganya beserta pengikutnya terus menyampaikan syiar Islam di Lembah
Palu, Tanah Kaili, Sulawesi Tengah.
Makam
Setelah wafat, jasad Datuk Karama dimakamkan di Kampung Lere, Palu (Kota Palu sekarang).
Makam Syekh Abdullah Raqie atau Datuk Karama kemudian hari menjadi Kompleks Makam
Dato Karama dan berisi makam istrinya yang bernama Intje Dille dan dua orang anaknya yang
bernama Intje Dongko dan Intje Saribanu serta makam para pengikut setianya yang terdiri dari 9
makam laki-laki, 11 makam wanita, serta 2 makam yang tidak ada keterangan di batu
nisannya.[2]

Liputan6.com, Palu Di Kota Palu, Sulawesi Tengah terdapat makam Syekh Abdullah Raqie
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Datuk Karama. Makam tersebut sebelumnya dikenal
cukup sakral dan hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke area makam ini, kini menjadi
salah satu obyek wisata religi setelah disetejui oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Palu, beberapa
tahun silam.

Lebih lanjut, Liputan6.com sempat berbincang dengan Juri Kunci Makam Datuk Karama, Aziz
Muhammad di lokasi makam, Kamis (8/5/2014). Ia pun kemudian menceritakan, Datuk Karama
adalah seorang ulama asal Minangkabau, Sumatera Barat yang pertama kali menyebarkan agama
Islam ke Kota Palu pada abad ke-17.

Baca Juga

Rumah Batu Olak Kemang, Jejak Keberagaman di Sumatera


Masjid Merah Panjunan, Kolaborasi Cantik Arab-Tiongkok di Cirebon
Ajib, Ada Bangunan Usia 350 Tahun di Kampung Arab

Awal kedatangan Datuk Karama, menurut dia, bermula di Kampung Lere yang saat ini telah
menjadi Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat.

Kedatangan Datuk Karama saat itu pada masa Kerajaan Kabonena, yang Rajanya saat itu Ipue
Nyidi. Selanjutnya Datuk Karama melakukan syiar Islamnya ke wilayah-wilayah lainnya di Palu
yang dihuni oleh masyarakat asli Suku Kaili. Wilayah-wilayah itu, meliputi Palu, Kabupaten
Donggala, Sigi, Parigi Moutong, dan Tojo Una-Una.
Pada masa itu, masyarakat asli Suku Kaili masih menganut kepercayaan animisme yang mereka
sebut "tumpuna", di mana mereka mempercayai adanya makhluk yang menunggui benda-benda
yang dianggap keramat.

"Namun dengan metode dan pendekatan yang persuasif serta wibawa dan kharismanya yang
tinggi, syiar Islam yang dilakukan Datuk Karama melalui ceramah-ceramah pada upacara-
upacara adat suku tersebut, akhirnya secara perlahan dapat diterima oleh Raja Kabonena Ipue
Nyidi dan masyarakat Kaili. Perjuangan Datuk Karama saat itu, akhirnya berhasil mengajak Raja
Kabonena, Ipue Nyidi beserta rakyatnya masuk Islam, dan dikemudian hari Ipue Nyidi dikenang
sebagai raja yang pertama masuk Islam di Palu," sebutnya.

Saat itu pula, lanjut Aziz, Datuk Karama, beserta keluarga dan pengikutnya tidak kembali lagi ke
tanah kelahirannya di Minangkabau, dan lebih memilih bertahan di Palu untuk menyebarkan
agama Islam.

"Sampai meninggal dunia, Datuk Karama serta keluarganya dan pengikutnya juga di Palu,"
ungkapnya.
Diketahui, setelah wafat, jasad Datuk Karama dimakamkan di Kelurahan Lere. Dan tidak hanya
itu, di dalam areal makam juga terdapat makam istrinya yang bernama Intje Dille dan dua orang
anaknya yang bernama Intje Dongko dan Intje Saribanu serta makam para pengikut setianya
yang terdiri dari 9 makam laki-laki, 11 makam wanita, serta 2 makam yang tidak ada keterangan
di batu nisannya.

Terus berjalannya waktu, akhirnya makam Datuk Karama dibenahi dengan kontruksi rumah
Gadang khas Minang dan dijadikan sebagai cagar budaya sekaligus obyek wisata religi oleh
Pemkot Palu dan dijaga oleh sekeluarga juru kunci, yakni Aziz Muhammad bersama
keluarganya.

Sedangkan untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa Datuk Karama di Palu, Pemkot Palu
menamai salah satu perguruan tinggi di Palu, yakni IAIN dengan nama IAIN Datuk Karama
Palu.

Selain itu, masih banyak juga peninggalam Datuk Karama yang hingga saat ini masih digunakan
warga Palu, salah satunya alat musik tradisional Suku Kaili yang disebut Kakula, itu sama
dengan alat musik tradisonal Talempong di Minangkabau.

"Alat musik tradisonal itu merupakan peninggalan sang Datuk Karama," ujar Aziz. (M Taufan
SP Bustan/Ars)

Você também pode gostar