Você está na página 1de 49

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

SYOK SEPSIS

OLEH :

MUHAMMAD FERHAT E.S. 120100049

ALSYA DAIFA MAHRON NST 120100065

ZENNY WIJAYA 120100187

SITI NUR ATHIRAH 120100534

PEMBIMBING :

Dr. dr. Qodri F Tanjung, Sp.An. KAKV

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul Syok Sepsis.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing, Dr. dr. Qodri Fauzi Tanjung, Sp.An, KAKV yang telah meluangkan
waktunya dan memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan laporan
kasus ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, September 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR . i
DAFTAR ISI ii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang .... 1
1.2. Tujuan . 3
1.3. Manfaat 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA . 4
2.1. Sepsis ... 4
2.1.1. Infeksi dan Inflamasi . 4
2.1.2. Definisi Sepsis ... 4
2.1.3. Skrining Pasien Sepsis ... 6
2.1.4. Definisi Syok Sepsis .. 7
2.1.5. Kriteria Sepsis . 7
2.1.6. Epidemiologi ... 8
2.1.7. Patofisiologi Sepsis . 10
2.1.8. Patofisiologi Syok Sepsis 16
2.1.9. Manifestasi Klinis ... 17
2.1.10. Diagnosis .. 19
2.1.11. Laboratorium 19
2.2. Terapi Adjuvan, Support Hemodinamik dan Terapi Cairan pada
Pasien Sepsis . 20
2.2.1. Norepinefrin 25
2.2.2. Vasopresin 27
BAB 3. STATUS PASIEN ............................................................................... 33
BAB 4. DISKUSI KASUS ................................................................................ 41
BAB 5. KESIMPULAN ................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA .. 45

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sepsis didefinisikan sebagai adanya (suspek atau terbukti) infeksi bersama-
sama dengan manifestasi dari infeksi sistemik. Sepsis yang berat didefinisikan
sebagai sepsis plus, sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau hipoperfusi
jaringan (Dellinger, 2013). Di amerika serikat diidentifikasi 192.980 kasus, pada
tahun 2001 dengan perkiraan nasional 751.000 kasus (3,0 kasus per 1.000 penduduk
dan 2,26 kasus per 100 keluaran rumah sakit), di antaranya 383.000 (51,1%)
menerima perawatan intensif dan 130.000 tambahan (17,3%) yang berventilasi di
unit perawatan intermediate atau dirawat di unit perawatan koroner. Kematian
adalah 28,6%, atau 215.000 kematian nasional, dan juga meningkat dengan usia,
dari 10% pada anak-anak menjadi 38,4% pada mereka dengan usia > 85 tahun
(Dellinger, 2013). Insiden sepsis yang semakin meningkat, mencerminkan populasi
yang menua dengan lebih banyak komorbiditas, dan di beberapa negara, lebih
menguntungkan dari segi coding. Meskipun kejadian yang sebenarnya tidak
diketahui, perkiraan konservatif menunjukkan bahwa sepsis adalah penyebab
kematian dan penyakit kritis utama di seluruh dunia. Semakin disadari bahwa
pasien yang bertahan hidup dari sepsis sering memiliki cacat fisik, psikologis, dan
kognitif jangka panjang dan memerlukan perawatan kesehatan dan sosial yang
signifikan.
Sebuah konsensus konferensi tahun 1991 menyatakan definisi awal sepsis
merupakan akibat sindrom respon inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory
Response Syndrome/SIRS) host terhadap infeksi. Sepsis disertai disfungsi organ
disebut sepsis berat, yang bisa memberat menjadi syok septik yang didefinisikan
sebagai hipotensi yang disebabkan oleh sepsis meskipun setelah resusitasi cairan
yang adekuat. Suatu kelompok kerja pada tahun 2001, mengakui keterbatasan
dengan definisi tersebut, sehingga memperluas daftar kriteria diagnostik tetapi tidak
menawarkan alternatif karena kurangnya bukti-bukti pendukung. Adapun kriteria
diagnostik sepsis yaitu meliputi 2 gejala SIRS atau lebih di antaranya suhu >38C

1
atau <36 C, denyut jantung <90/menit, pernapasan >20x/menit atau PaCO2 <32
mmHg (4,3 kPa), leukosit >12000/mm3 atau <4000/mm3 atau >10% immature
bands. Secara umum definisi sepsis, syok sepsis, dan disfungsi organ tidak berubah
selama lebih dari 2 dekade (Singer et al, 2016; Bone et al, 1992).
Pedoman praktik klinis Surviving Sepsis Campaign: International
Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock: 2016 merupakan revisi dari
Pedoman Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2012 tentang manajemen sepsis berat
dan syok septik. Pedoman SSC yang pada awalnya diterbitkan pada tahun 2004 dan
direvisi pada tahun 2008 dan 2012. Rekomendasi yang terbaru didasarkan pada
pencarian literatur terbaru dimasukkan ke dalam manuskrip pada Juli 2016 (Rhodes
et al., 2017).
Rekomendasi yang dipublikasikan oleh SSC 2016 dimaksudkan untuk
memberikan panduan untuk dokter yang merawat pasien dewasa dengan sepsis atau
syok septik. Rekomendasi pedoman ini tidak dapat menggantikan kemampuan
klinisi dalam pengambilan keputusan ketika menghadapi variabel klinis pasien
yang unik. Pedoman ini sesuai untuk pasien sepsis di rumah sakit. Pedoman ini
dimaksudkan untuk melakukan praktek terbaik (penyusun menganggap tujuannya
adalah untuk praktek klinis) dan tidak diciptakan untuk menggambarkan perawatan
standar (Rhodes et al., 2017)
Ruang lingkup pedoman SSC 2016 berfokus pada manajemen awal pasien
dengan sepsis atau syok septik. Panel pedoman dibagi menjadi lima bagian
(hemodinamik, infeksi, terapi ajuvan, metabolik, dan ventilasi). Semua pertanyaan
pedoman terstruktur dalam format PICO, yang menggambarkan populasi,
intervensi, kontrol, dan hasil (Outcome). Pertanyaan dari versi terakhir pedoman
SSC ditinjau kembali dan yang dianggap penting dan secara klinis relevan tetap
dipertahankan. Pertanyaan yang dianggap kurang penting atau prioritas rendah
untuk dokter dihilangkan, dan pertanyaan-pertanyaan baru yang dianggap prioritas
tinggi ditambahkan. Keputusan mengenai inklusi pertanyaan dicapai dari diskusi
dan konsensus di antara para pemimpin panel pedoman dengan masukan dari
anggota panel dan tim metodologi dalam setiap kelompok (Rhodes et al., 2017).

2
1.2. Tujuan
1. Memahami ilmu kegawatdaruratan dari primary survey dan secondary
survey sampai tatalaksana awal di IGD terutama pada kasus syok sepsis.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Anestesi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai aspek anestesi pada syok sepsis yang berlandaskan teori sehingga syok
sepsis dapat ditatalaksana sedini mungkin sesuai kompetensinya pada tingkat
pelayanan primer.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sepsis
2.1.1. Infeksi dan Inflamasi
Infeksi adalah keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh
manusia yang berkembang biak dan menyebabkan kerusakan sekitar jaringan
infeksi. Pada penyakit infeksi juga menyebabkan reaksi inflamasi. Meskipun proses
inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas infeksi
dan respon tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada lokasi infeksi saja atau dapat
meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik (Guntur, 2007; Butterworth,
2013).
Inflamasi timbul sebagai reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk
infeksi. Pada dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi dari pembuluh darah, saraf,
cairan, dan sel tubuh ditempat infeksi. Inflamasi akut merupakan respon langsung
yang dini terhadap agen penyebab infeksi dan kejadian yang berhubungan dengan
inflamasi akut sebagian besar diakibatkan oleh produksi dan pelepasan berbagai
macam mediator inflamasi. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi
berbeda, mediator yang dilepas sama. Manifestasi klinis yang berupa inflamasi
sistemik disebut systemic inflammation response syndrome (Guntur,2007;
Butterworth, 2013).

2.1.2. Definisi Sepsis


Sepsis didefinisikan sebagai keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa
yang disebabkan oleh terganggunya respon pejamu (host) terhadap infeksi. Definisi
baru sepsis ini terutama menekankan pada respon nonhomeostatik host terhadap
infeksi, yang berpotensi menyebabkan kematian dari proses infeksi yang terus
berlangsung sehingga perlu dikenali dengan cepat. Disfungsi organ yang sederhana
saat pasien disangkakan infeksi untuk pertama kali, berhubungan dengan kematian
di rumah sakit lebih dari 10%. (Rhodes et al., 2017).

4
Sepsis merupakan suatu infeksi yang disertai dengan manifestasi sistemik.
Hipotensi dapat disebabkan oleh sepsis dengan nilai tekanan darah sistolik <90
mmHg atau dengan tekanan darah arteri rerata (MAP) < 70 mmHg atau dengan
penurunan tekanan darah sistolik 40 mmHg atau lebih dari 2 standar deviasi
dibawah normal. Hipoperfusi jaringan yang disebabkan oleh sepsis bermanifestasi
hipotensi yang disebabkan infeksi, peningkatan laktat, atau oligouria (Dellinger,
2012).
Keparahan disfungsi organ telah dinilai dengan berbagai sistem penilaian
yang mengukur kelainan menurut temuan klinis, data laboratorium, atau intervensi
terapeutik. Perbedaan sistem penilaian juga menyebabkan inkonsistensi dalam
pelaporan. Skor yang umum digunakan saat ini adalah Sequential Organ Failure
Assessment (SOFA) (awalnya disebut Sepsis-related Organ Failure Assessment)
(Tabel 2.1.). Skor SOFA yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan
probabilitas mortalitas. Namun, variabel laboratorium, yaitu, PaO2, jumlah
trombosit, kadar kreatinin, dan tingkat bilirubin, diperlukan untuk perhitungan
penuh (Rhodes et al., 2017).

Tabel 2.1. Skor Sequential (sepsis-related) Organ Failure Assesment (Rhodes et


al., 2017)

5
Oleh karena SOFA lebih dikenal dan lebih sederhana, kelompok kerja SSC
2016 merekomendasikan menggunakan nilai total skor SOFA 2 mewakili
disfungsi organ. Skor baseline SOFA harus diasumsikan nol kecuali pasien
diketahui memiliki disfungsi organ sebelum timbulnya infeksi (akut atau kronis).
Pasien dengan skor SOFA 2 memiliki risiko kematian sekitar 10% pada populasi
yang disangkakan infeksi di rumah sakit. Tingkat kematian ini lebih besar dari
tingkat kematian 8,1% untuk infark miokard ST-segmen elevasi, yang secara luas
dianggap sebagai kondisi mengancam kehidupan masyarakat. Jika Skor SOFA 2
maka terdapat peningkatan 2-25 kali lipat risiko keparahan dibandingkan pasien
dengan skor SOFA kurang dari 2 (Rhodes et al., 2017).

2.1.3. Skrining Pasien Sepsis


Suatu model klinis yang dikembangkan dengan regresi logistik
multivariabel mengidentifikasi bahwa 2 dari 3 variabel klinis seperti Glasgow
Coma Scale (GCS) 13, tekanan darah sistolik 100 mmHg, dan tingkat pernapasan
22 kali/menit memiliki validitas prediktif hampir sama dengan skor penuh SOFA
pada keadaan di luar ICU (AUROC = 0,81; 95% CI, 0,80-0,82). Untuk pasien
dengan dugaan infeksi di ICU, skor SOFA memiliki validitas prediktif (AUROC =
0,74; 95% CI, 0,73-0,76) lebih tinggi dari model ini (AUROC = 0,66; 95% CI, 0,64-
0,68), yang mungkin mencerminkan efek modifikasi oleh intervensi (misalnya,
vasopressor, obat penenang, ventilasi mekanis) (Rhodes et al., 2017).
Ukuran baru ini disebut sebagai qSOFA (for quick SOFA) yang terdiri dari
variabel gangguan kesadaran, tekanan darah sistolik 100 mm Hg, dan tingkat
pernapasan 22/menit, memberikan kriteria bedsite yang sederhana untuk
mengidentifikasi pasien dewasa dengan dugaan infeksi yang kemungkinan
memiliki hasil yang buruk (Tabel 2.2.) (Rhodes et al., 2017).
Meskipun qSOFA kurang kuat dibanding skor SOFA 2 di ICU, namun
skor ini tidak memerlukan tes laboratorium dan dapat dinilai dengan cepat dan
berulang-ulang. Satuan tugas menunjukkan bahwa kriteria qSOFA dapat digunakan
oleh dokter untuk menilai disfungsi organ dengan cepat, memulai atau
meningkatkan terapi yang sesuai, dan untuk mempertimbangkan rujukan ke

6
perawatan kritis atau meningkatkan frekuensi pemantauan, jika belum dapat
dirujuk. Kriteria qSOFA positif harus juga menjadi pertimbangan adanya
kemungkinan infeksi pada pasien yang belum dianggap sebagai infeksi (Rhodes et
al., 2017).

Tabel 2.2. Skor quick Sequential Organ Failure Assesment (qSOFA) (Rhodes et
al., 2017)
Tingkat respirasi 22x/menit
Gangguan kesadaran GCS <15
Tekanan darah sistolik 100 mmHg

2.1.4. Definisi Syok Sepsis


Syok sepsis adalah bagian dari sepsis dengan disfungsi peredaran darah
(sirkulasi) dan metabolik/seluler yang terkait dengan risiko kematian yang lebih
tinggi. Satuan tugas tahun 2001 menyatakan definisi syok septik sebagai keadaan
dimana terjadi kegagalan sirkulasi akut (Rhodes et al., 2017).
Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi hipotensi yang persisten dan
membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan tekanan rerata arterial 65 mmHg
atau lebih dan kadar serum laktat lebih besar dari 4 mmol/L (18mg/dL) dengan
syarat sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat (Dellinger et al., 2013).

2.1.5. Kriteria Sepsis


Berdasarkan studi dan konsesi mengenai definisi sepsis baru, yang
dilakukan oleh European Society of Intensive Care Medicines dan The Society of
Critical Care Medicines pada tahun 2016, ditetapkan kriteria sepsis yang terdapat
pada tabel 2.3.
Pasien dengan syok septik dapat diidentifikasi dengan adanya klinis sepsis
disertai hipotensi yang menetap dan membutuhkan vasopressor untuk
mempertahankan MAP 65mmHg dan memiliki kadar serum laktat >2 mmol/L
(18mg/dL) meskipun setelah resusitasi volume yang memadai. Dengan kriteria ini,
kematian di rumah sakit lebih dari 40% (Rhodes et al., 2017).

7
Gambar 2.1. Operasionalisasi kriteria klinis untuk mengidentifikasi pasien
dengan sepsis dan syok sepsis (Rhodes et al., 2017)

2.1.6. Epidemiologi
Sepsis merupakan penyebab kedua tertinggi kematian di UPI dan
merupakan 10 penyebab tertinggi kematian di seluruh dunia secara keseluruhan.
Selama dua dekade, insidensi sepsis meningkat dari 83 per 100.000 populasi pada
tahun 1979 menjadi 140 per 100.000 populasi pada tahun 2000, menunjukkan
peningkatan sebesar 9% setiap tahunnya. Kegagalan fungsi organ menimbulkan
efek akumulasi yang berdampak langsung pada kematian. Mortalitas pasien sepsis
tanpa disfungsi organ sebesar 15%, pasien dengan kegagalan fungsi organ sebesar
70%, dan syok septik sebesar 45-60% (Martin et al., 2003; Hommes et al., 2012).
Hampir 10% pasien yang masuk ke UPI merupakan pasien dengan syok
septik dengan mortalitas mencapai 40-60% (Daley et al., 2013). Kadar laktat darah
sering digunakan sebagai pertanda diagnosis, respon terapeutik dan prognosis untuk
syok sepsis, kadar laktat yang tinggi menunjukkan adanya kondisi hipoksia pada
jaringan. Peningkatan kadar laktat mempunyai hubungan yang signifikan dengan
tingkat mortalitas dan morbiditas pada pasien syok septik. Peningkatan kadar laktat
yang persisten > 24 jam berhubungan dengan tingkat mortalitas sebanyak 89%. Jika
persisten > 48 jam maka tingkat mortalitas lebih tinggi (Nguyen, 2004).

8
Tabel 2.3. Perbandingan kriteria diagnostik sepsis (dikutip dari Singer, 2016)
Lama Baru
SIRS Takikardi (>90x/menit)
Takipnea (> 20x/menit)
Temperatur(<36c atau
>38c). -
Peningkatan leukosit >11.000
L-1 atau < 4.000 L-1
Sepsis SIRS + Fokal infeksi Suspek atau dengan infeksi
+
2 dari 3 tanda qSOFA
Hipotensi (tekanan darah sistol

100 mmHg)
Penurunan kesadaran
(GCS13)
Takipnea (22x/menit)
atau
Peningkatan skor qSOFA 2
Sepsis Berat Sepsis + Disfungsi organ
Laktat > 2 mmol/L
Kreatinin > 2 mg/dL
Bilirubin > 2 mg/dL -
Trombosit <100.000 L
Koagulopati (INR > 1.5)
Syok Sepsis Sepsis Sepsis
+ +
Hipotensi Vasopresor untuk mencapai
setelah mendapatkan cairan MAP > 65 mmHg
resusitasi adekuat +

9
Laktat >4 mmol/L
setelah mendapatkan cairan
resusitasi adekuat

2.1.7. Patofisiologi Sepsis


Inflamasi merupakan suatu mekanisme fisiologis yang terjadi sebagai
respon terhadap organisme yang merusak integritas sel, seperti yang terjadi pada
infeksi dan trauma. Pada keadaan inflamasi, sel akan melepaskan sitokin dan
beberapa mediator, yang mempunyai kontribusi terhadap penghancuran bakteri dan
perbaikan pada jaringan. Dapat dibedakan antara sitokin seperti interleukin-1 (IL-
1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF), dan sitokin antiinflamasi
seperti interleukin-10 (IL-10) dan interleukin-4 (IL-4). Mekanisme regulasi lokal
akibat inflamasi merupakan gambaran penting terhadap proses menghilangkan
sumber dari kerusakan dan mempertahankan homeostasis. Mediator humoral
maupun neuronal memberikan kontribusi terhadap regulasi dari inflamasi. Mediator
antiinflamasi humoral seperti IL-10 dan glukokortikoid menghambat efek
pelepasan sitokin proinflamasi seperti dimana lipoxin dan resolvin berkontribusi
terhadap perbaikan jaringan. Mediator humoral mencapai sel target pada beberapa
organ dengan berdifusi melalui pembuluh darah. Aktivasi substansi yang
dilepaskan oleh syaraf seperti norepinefrin. Asetilkolin akan mencapai target organ
secara cepat (Ballina & Tracey, 2009).
Sepsis merupakan proses kompleks dan inflamasi sistemik terhadap infeksi
yang umumnya akibat bakteri. Pada tahap awal, terjadi disregulasi dan
ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi yang mengakibatkan kerusakan
jaringan, organ, bahkan kematian. Pelepasan sitokin proinflamasi yang berlebihan
memicu pelepasan vasoaktif amine dan chemokines maupun aktivasi sistem
komplemen, koagulasi, dan pelepasan reactive oxgen spesies (ROS). Mediator-
mediator inilah yang bertanggung jawab terhadap peningkatan permeabilitas
vaskular, hipotensi, dan syok septik. Pada tahap lanjut, dilepasnya mediator seperti
High Protein Group Box 1 (HMGB1), yang memungkinkan reaksi inflamasi
tersebut berlanjut (Ballina & Tracey, 2009).

10
Secara umum telah diketahui bahwa sistem imunitas dapat dipengaruhi oleh
status neurologis dan begitu juga sebaliknya, status neurologis dapat dipengaruhi
oleh sistem imunitas. Seperti pada sitokin proinflamasi seperti interleukin-1 (IL-1),
interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF) yang lepas diperifer pada sepsis
dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar darah-otak dan mencetuskan
reaksi inflamasi. Mediator dari sirkulasi perifer dan sistem saraf otonom memegang
peranan penting terhadap patogenesis neuroimun pada sepsis (Weismuller et al.,
2012).
Hubungan dua arah antara susunan syaraf pusat dengan sistem imunitas
dalam meningkatkan efektifitas pada kedua sistem tersebut, dalam konteks
perbedaan inflamasi yang diakibatkan oleh sepsis dengan penyebab lain. Dua jalur
yang menghubungkan antara sistem imunitas dengan susunan syaraf pusat adalah
sistem saraf otonom dan aksis Hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA). Aktivasi
kedua jalur tersebut mempunyai peranan penting terhadap terjadinya sepsis
(Weismuller et al., 2012).

1. Sistem saraf simpatis


Serabut aferen preganglionik yang meninggalkan susunan saraf pusat
didalam saraf spinal torakal dan lumbal dinamakan sistem saraf simpatis atau sistem
torakolumbal. Serabut post ganglionik memiliki inervasi ke organ melalui ganglia.
Sistem saraf simpatis menginervasi semua organ limfoid dan memiliki transmiter
epinefrin dan norepenefrin untuk memodulasi sistem imun. Sitokin proinflamasi
mampu mengaktifkan aksis HPA maupun sistem saraf simpatis (Weismuller et al.,
2012).
Berbagai macam sel dari sistem imun innate mengekspresikan reseptor
atau -adrenergik. Biasanya, reseptor tidak dapat ditemukan pada permukaan
leukosit di darah perifer namun dapat ditemukan pada kondisi patologis.
Norepinefrin berinteraksi dengan reseptor yang akan mestimulasi makrofag untuk
melepaskan TNF- dan seterusnya akan berkontribusi dalam mempertahankan
keadaan sepsis. Sebaliknya, interaksi dengan reseptor akan menurunkan

11
pelepasan IL-1 dan TNF- dan meningkatkan sekresi IL-10 dari makrofag yang
memiliki efek antiinflamasi (Weismuller et al., 2012; Preiser, 2014).

2. Aksis hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA)


Pelepasan sitokin sebagai akibat dari infeksi dan jejas memicu aferen vagal.
Hubungan sinaps dari medulla rostroventral dan lokus coeruleus maupun nukleus
hipotalamik mengaktifkan sistem saraf simpatis dan aksis HPA. Sitokin
proinflamasi juga mengaktifkan sel perivaskular di sawar darah otak. Sel
perivaskular akan melepaskan eikosanoid yang memberikan efek pada hipotalamus.
Sitokin yang berada di sirkulasi juga dapat memberikan efek pada organ
sirkumventrikular seperti area postrema dimana tidak terdapat sawar darah otak.
Sitokin menyebakan ekspresi Corticotropin Releasing Hormones (CRH) atau
Arginin Vasopressin (AVP) di hipotalamus serta Adrenocorticotropic Hormones
(ACTH) pada kelenjar hipofisis adrenal. ACTH dapat meningkatkan pelepasan
kortisol di korteks adrenal. Kortisol memiliki efek antiinflamasi dalam mengurangi
aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-B) dan meningkatkan sintesa sitokin
antiinflamasi. Pro-opiomelanocortin (POMC) adalah prekursor peptida tidak hanya
ACTH tetapi juga -melanocyte stimulating hormones (-MSH). -MSH
menurunkan NF-B dan meningkatkan pelepasan IL-10 dan menghambat aktivitas.
Pada keadaan syok septik sangat relevan bahwa terhambatnya pelepasan -MSH
setelah stimulasi CRH berdampak kepada kematian. Reaksi anti inflamasi sistemik
penting terhadap respon imunitas yang efektif pada pasien sepsis. Berbagai studi
klinis menunjukkan sitokin proinflamasi secara langsung mengaktifkan aksis HPA
dan mengakibatkan pelepasan kortisol (Weismuller et al., 2012).
Peran vasopresin arginin dalam menyekresikan hormon
adrenokortikotropin telah diteliti, khususnya mengenai keterlibatannya dalam
berbagai paradigma respon stres yang mungkin berhubungan dengan patofisiologi
terjadinya depresi. Vasopresin arginin disekresikan melalui 2 area pada
hipotalamus, yaitu regio parviseluler pada nukleus paraventrikuler yang merupakan
tempat terbentuknya hormon pelepas kortikotropin serta melalui neuron-neuron
magnoseluler pada nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikuler. Paradigma

12
stres kronik, yang berhubungan dengan respon berlebihan dari HPA dan pelepasan
ACTH yang menunjukkan hubungan komparatif terhadap stres, telah dikatakan
memiliki konsistensi relatif untuk memengaruhi rasio kortikotropin: arginin
vasopresin. Hal ini dapat dihubungkan pada sensitivitas umpan balik arginin
vasopresin terhadap keterbatasan umpan balik glukokortikoid dan respon yang
lebih besar pada arginin vasopresin dibandingkan dengan kortikotropin pada
keadaan stres kronik yang terstimulasi. Peran vasopresin dalam aktivitas aksis HPA
mungkin memiliki implikasi untuk meningkatkan pemahaman tentang kondisi
kejiwaan seperti depresi.
Penelitian pada hewan, terbukti bahwa stresor psikologis kronis
meningkatkan rasio produksi arginin vasopresin terhadap kortikotropin. Stresor
psikososial secara intrinsik berkaitan dengan kondisi depresif. Adanya peningkatan
arginin vasopresin pada studi tingkat depresi postmortem dan menurunnya kadar
arginin vasopresin dalam CSF akibat penggunaan antidepresan, memunculkan
pertanyaan tentang peran arginin vasopresin yang tepat dalam aktivitas yang
berlebihan dari HPA pada keadaan depresi (Weismuller et al., 2012).

3. Kontrol kolinergik inflamasi


Beberapa tahun terakhir, jalur anti inflamasi kolinergik telah digambarkan
sebagai mekanisme kontrol inflamasi neuronal melalui saraf aferen. Secara in vitro,
asetilkolin menghambat pelepasan sitokin melalui makrofag. Secara in vivo,
stimulasi elektrik saraf vagal menurunkan pelepasan HMGB1 dan meningkatkan
angka kelangsungan hidup. Selanjutnya, asetilkolin menghambat pelepasan TNF-
dengan berikatan dengan reseptor 7-subunit asetilkolin. Sebagai tambahan,
splenektomi yang dilakukan pada percobaan sepsis menurunkan pelepasan
HMGB1 serta meningkatkan angka kelangsungan hidup. Sistem imun mendapat
informasi dari organ perifer dan berperilaku sebagai organ sensorik yang
menyediakan informasi proses inflamasi untuk otak. Reseptor IL-1 pada syaraf
aferen vagal terlibat pada proses ini (Weismuller et al., 2012).

13
4. Aktivasi komplemen
Aktivasi komplemen akan menghasilkan suatu pembentukan protein yang
akan melisis sel patogen. Aktivasi kaskade oleh inflamasi akan menghasilkan
produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif, aktivasi protein koagulasi,
platelet, sel mast, dan secara tidak langsung memproduksi bradikinin. Dengan
demikian terlihat bahwa aktivasi dari salah satu inisiator akan mengaktivasi
inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan kecepatan aliran, dan
pembentukan edema di jaringan (Weismuller et al., 2012).
Patogenesis sepsis sangat kompleks. Meskipun kemajuan ilmu kedokteran
semakin maju namun patogenesis sepsis masih tetap tidak dimengerti. Utamanya,
sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan respon host akibat
dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon host
adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi organisme dari
kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang menimbulkan
respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan kematian,
selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari sepsis adalah respon
proinflamasi tidak terkontrol dan juga gabungan dari disregulasi dari anti-inflamasi,
koagulasi, dan jalur penyembuhan luka (Annane, 2005).

14
Gambar 2.2. Respon host pada sepsis berat (Angus et al., 2013)

15
Gambar 2.3. Kegagalan organ pada sepsis berat dan disfungsi vaskular
endotel dan mitokondria (Angus et al., 2013)

2.1.8. Patofisiologi Syok Sepsis


Patofisiologi dari syok sepsis masih belum diketahui secara jelas tetapi
melibatkan interaksi yang kompleks antara patogen dan sistem imun host. Respon
fisiologis yang normal untuk infeksi lokal melibatkan aktivasi dari mekanisme
pertahanan host yang berupa aktivasi dari neutrofil dan monosit, pelepasan
mediator inflamasi, vasodilatasi lokal, peningkatkan permeabilitas endotel, dan
aktivasi dari jalur koagulasi. Respon mekanisme ini muncul pada syok sepsis, tetapi
pada kala sistemik, mengarah pada kerusakan endotel, permeabilitas vaskular,

16
vasodilatasi, dan trombosis dari kapiler organ. Kerusakan endotel sendiri akan
berakhir mengaktivasi inflamasi dan kaskade koagulasi yang semakin merusak
endotel dan kerusakan organ (Hommes, 2009).
Bakteri gram-positif dan gram-negatif akan menginduksi mediator-
mediator inflamasi, termasuk sitokin seperti TNF dan interleukin (ILs), berperan
penting dalam menginisiasi sepsis dan syok. Bakteri-bakteri ini akan menghasilkan
sitokin, termasuk lipopolisakarida, peptidoglikan, dan asam lipoteichoic. Sitokin-
sitokin dari bakteri akan berikatan langsung dengan molekul major
histocompatibility complex (MHC) dan reseptor sel-T, yang menyebabkan produksi
sitokin yang banyak. Sistem komplemen akan teraktivasi dan berkontribusi untuk
membunuh mikroorganisme tetapi disamping itu dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Hood, 1998; Hommes, 2009).
Oksida nitrat (NO) menghasilkan sitokin-sitokin yang mempengaruhi
dinding pembuluh darah. NO berperan penting pada perubahan hemodinamik dari
syok sepsis dengan cara menyebabkan terjadinya vasodilatasi, yang merupakan
permulaan dari terjadinya syok. Selain itu, sitokin-sitokin itu juga akan
mempengaruhi kapiler sel endotel yang menyebabkan marginasi neutrofil,
perlengketan trombosit, ketidakseimbangan dari mekanisme homeostasis yang
mengarah pada koagulopati dan trombosis mikrovaskular, dan deplesi dari volume
intravaskular. Kedua proses ini akan menyebabkan hipoksia sel dan menurunkan
resistensi sistemik vaskular yang akan menyebabkan asidosis laktat yang
menyebabkan kematian. Selain itu juga, sitokin-sitokin yang dikeluarkan ini akan
mempengaruhi hipotalamus yang akan menyebabkan demam, takikardi, dan
takipnea (Marino, 2007).

2.1.9. Manifestasi Klinis


Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali dengan proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory
response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir
pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS) (Heyland, 2001; Annane,
2005).

17
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respon inflamasi sistemik (yaitu demam,
takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau hangat, dengan muka
kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau
vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau dingin dengan anggota
gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan
gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini (Larosa, 2010).
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah
kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih
sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia,
leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala
takikardi yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker
atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang
berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien
dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat
mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurang-kurangnya
pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis (Cohen,
2002).
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut
menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama di rawat di instalasi
gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada
pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama
disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan
laboratorium, dan mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien
dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.
Penurunan produksi urin (0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain
yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan
digunakan sebagai tambahan pertimbangan klinis (Marino, 2007).

18
2.1.10. Diagnosis
Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi
mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apusan gram dari buffy
coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah, urin,
dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses, dan lesi kulit yang
terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apusan untuk menentukan
organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan
tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil
ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Tanda-tanda klinis sebagai gejala
sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi,
takipnea, tanda-tanda vasodilatasi perifer, syok dan perubahan status mental yang
tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik menunjukkan pada syok septik
curah jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah.
Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor pembekuan, dan
reaktan fase akut mungkin mengindikasikan sepsis (Shapiro,2010).

2.1.11. Laboratorium
Hasil laboratorium yang sering ditemukan adalah asidosis metabolik,
trombositopenia, peningkatan laktat, pemanjangan waktu protrombin dan
tromboplastin parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk
fibrin split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan
morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit
imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik cenderung menandakan infeksi bakteri.
Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan perburukan sepsis.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada
stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal
sebelum terjadi suatu respons inflamasi (Larossa, 2010; Higgins, 2011).

19
2.2. Terapi Adjuvan, Support Hemodinamik dan Terapi Cairan pada
Pasien Sepsis
Dalam 10 tahun terakhir telah banyak didapatkan perkembangan dalam
tatalaksana sepsis, yaitu dalam hal resusitasi cairan, terapi inotropik, dan pemberian
antibiotika. Namun dalam penanganan sepsis terkini diketahui bahwa waktu
memegang peranan penting dan krusial. Early Goal Directed Therapy (EGDT)
merupakan penatalaksanaan pasien dengan sepsis berat dan syok septik, yang
bertujuan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, dalam jangka waktu
tertentu (Rivers et al., 2001).
Rivers et al. (2001) mempublikasikan penelitian mereka tentang EGDT,
yaitu pada 263 pasien dewasa yang didiagnosis sepsis berat dan syok septik di unit
gawat darurat. Pasien tersebut mendapat resusitasi cairan kristaloid dan koloid
untuk mempertahankan tekanan vena sentral 8 mmHg, pemberian vasodilator dan
vasopresor untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) antara 65-90
mmHg, transfusi PRC untuk mempertahankan hematokrit 30% pada pasien
dengan saturasi oksigen vena sentral 70%, serta pemberian inotropik. Resusitasi
dini dilakukan dalam 6 jam pertama dan berhasil mengurangi mortalitas selain juga
berhasil mencegah terjadinya kegagalan multiorgan. Keberhasilan pendekatan
tatalaksana pasien sepsis berat dan syok septik dengan pendekatan EGDT yang
dilaporkan oleh Rivers et al. berupa menurunnya angka mortalitas hingga 16,5%
dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar tanpa pendekatan
EGDT dengan angka mortalitas yang lebih tinggi (Rivers et al., 2001).
Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2012 yaitu resusitasi cairan
untuk sepsis berat direkomendasikan penggunaan kristaloid sebagai pilihan cairan
inisial untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade 1B). Selain
itu, juga tidak direkomendasikan penggunaan hydroxyethyl starches (HES) untuk
resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik (grade 1B) (Rekomendasi ini
berdasarkan hasil dari percobaan VISEP, CRYSTMAS, dan CHEST) dan juga
direkomendasikan penggunaan albumin untuk resusitasi cairan pada sepsis berat
dan syok septik ketika pasien membutuhkan jumlah kristaloid yang substansial
(grade 2C) (Dellinger et al., 2012).

20
Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan optimal
merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan kontraktilitas
miokardium selain juga terdapat gangguan pada resistensi vaskuler sistemik. Akibat
gangguan di atas, maka diperlukan pemberian vasopresor dan terapi inotropik untuk
memperbaiki tekanan darah serta mempertahankan penghantaran oksigen ke
jaringan. Dalam penatalaksanaan sepsis, harus dilakukan usaha secepat mungkin
untuk mengembalikan hemodinamika. Oleh karena itu, vasopresor diberikan segera
setelah resusitasi cairan optimal diberikan. Pemberian vasoaktif direkomendasikan
bila syok tidak teratasi dengan resusitasi cairan sampai dengan 30 mL/kgBB. Jenis
obat yang digunakan yaitu katekolamin dan derivat sintetisnya, meliputi dopamin,
dobutamin, epinefrin, norepinefrin (Dellinger et al., 2012).

Tabel 2.4. Surviving Sepsis Campaign (Dellinger et al., 2015)

Tabel 2.5. Perbandingan rekomendasi dari pedoman SSC 2012 2016 (Rhodes
et al., 2017)
Rekomendasi 2012 Rekomendasi 2016
Definisi Sepsis 1. Sepsis: adanya 1. Sepsis: disfungsi organ
infeksi + manifestasi yang mengancam jiwa
sistemik dari infeksi. disebabkan oleh

21
2. Sepsis berat : sepsis disregulasi respon
+ disfungsi organ pejamu terhadap infeksi.
diinduksi sepsis atau 2. Syok sepsis: bagian dari
hipoperfusi jaringan. sepsis dengan disfungsi
sirkulasi dan
metabolik/sel yang
berkaitan dengan risiko
kematian yang lebih
tinggi.
Resusitasi inisial Sedikitnya 30 ml/kgBB pada 3 jam pertama
Cairan kristaloid (tidak ada rekomendasi untuk NaCl
0.9% ataupun balanced crystalloid lainnya)
1. Protokol perawatan 1. Menggunakan petanda
meliputi CVP, resusitasi yang dinamis
ScVO2 (meninggikan tungkai
2. Normalisasi asam secara pasif)
laktat 2. Target MAP 65 mmHg
3. Periksa ulang status
hemodinamik sebagai
panduan resusitasi
4. Normalisasi asam laktat
Diagnosis 1. Penggunaan uji 1,3- 1. Tidak ada rekomendasi
D-beta glucan khusus untuk diagnosis
mannan dan tes penyebab penyakit
antibodi anti-mannan jamur dan studi
dan kandidiasis pencitraan.
invasif adalah
diagnosis banding
dari penyebab
infeksi.

22
2. Pencitraan untuk
mencari penyebab
infeksi.
Terapi antimikroba 1. Satu atau lebih 1. Antibiotik spektrum
antibiotik yang aktif luas untuk terapi inisial.
melawan patogen 2. Tidak
yang diduga. merekomendasikan
2. Terapi kombinasi terapi kombinasi untuk
(cakupan ganda) sepsis neutropenia.
untuk pasien 3. Procalcitonin dapat
neutropenia dan digunakan untuk de-
pseudomonas. eskalasi antibiotik.
Kontrol sumber Dicapai dalam 12 jam Dilakukan sesegera
infeksi jika memungkinkan. mungkin jika secara medis
dan logistik layak untuk
dilakukan.
Vasopresor 1. Norepinefrin 1. Norepinefrin sebagai
merupakan pilihan vasopressor pilihan
utama. pertama.
2. Disarankan epinefrin 2. Disarankan untuk
jika dibutuhkan agen menambahkan baik
tambahan untuk vasopressin atau
mempertahankan epinefrin ke
tekanan darah yang norepinefrin dengan
adekuat. maksud meningkatkan
3. Vasopressin dapat MAP hingga target,
ditambahkan pada atau menambahkan
norepinefrin dengan vasopressin untuk
maksud menurunkan dosis
meningkatkan MAP norepinefrin.

23
sampai target atau
menurunkan dosis
norepinephrine.
4. Vasopressin dosis
rendah tidak
disarankan untuk
diberikan sebagai
vasopressor awal
tunggal untuk
menangani hipotensi
yang disebabkan
karena sepsis, dan
dosis vasopressin di
atas 0,03-0,04
U/menit harus
disediakan untuk
terapi penyelamatan
(gagal mencapai
MAP yang adekuat
dengan agen
vasopressor lain).
Kortikosteroid Hanya direkomendasikan untuk syok sepsis yang
refraktori terhadap terapi cairan dan vasopresor yang
adekuat.
Strategi ventilator 1. Ada rekomendasi. 1. Tidak
2. Rekomendasi lemah merekomendasikan
untuk ventilasi ventilasi osilasi
noninvasif pada frekuensi tinggi.
pasien tertentu

24
dengan sepsis 2. Tidak dapat membuat
disebabkan ARDS. rekomendasi untuk
3. Posisi ventilasi ventilasi noninvasif.
pronasi pada pasien 3. Posisi ventilasi pronasi
ARDS yang pada pasien ARDS
diinduksi sepsis diinduksi sepsis, P/F
dengan P/F <100 <150mmHg
mmHg. 4. NMBA <48 jam pada
orang dewasa dengan
P/F <150 mmHg.
Sedasi dan analgesia 1. NMBA - bolus 1. Direkomendasikan
intermiten atau infus meminimalkan
kontinu dengan sedasi kontinyu atau
monitoring train-of- intermiten pada
four (TOF). pasien sepsis dengan
ventilasi mekanik,
dengan titrasi hingga
titik tertentu.
Profilaksis stress 1. Proton Pump 2. Disarankan PPI atau
ulcer Inhibitor (PPI) lebih histamin-2 reseptor
disukai daripada antagonis.
H2RB (Histamine-2
Receptor Blocker).

2.2.1. Norepinefrin
Norepinefrin atau sering disebut sebagai noradrenalin merupakan senyawa
kimia dari golongan katekolamin yang berfungsi sebagai hormon dan
neurotransmiter. Di dalam otak, norepinefrin diproduksi oleh sel dalam neuron atau
nukleus yang terletak di pons. Di luar otak, norepinefrin digunakan sebagai
neurotransmiter oleh ganglia simpatetis yang terletak di dekat korda spinalis dan
dilepaskan ke dalam aliran darah oleh kelenjar adrenal (Marino, 2007).

25
Norepinefrin bekerja pada kedua reseptor adrenergik alfa dan beta
menghasilkan vakonstriksi kuat dan kurang mempengaruhi peningkatan cardiac
output (CO). Efek vasokonstriksi poten bekerja dengan meningkatkan aliran balik
vena dan memperbaiki preload jantung. Efek vasokontriksi norepinefrin terlihat
pada peningkatan tekanan darah sistolik yang tidak sesuai dibandingkan dengan
tekanan diastolik yang menyebabkan suatu refleks bradikardi. Respon bradikardi
ini sering berlawanan dengan efek kronotropik ringan norepinefrin, menyebabkan
denyut jantung tidak berubah. Pada dosis rendah (2 g/menit), norepinefrin
menstimulasi reseptor beta adrenergik. Dosis yang biasanya digunakan dalam klinis
(>3 g/menit). Norepinefrin merangsang reseptor alfa untuk menghasilkan
vasokonstriksi (Dellinger et al, 2012).
Di dalam otak, norepinefrin berfungsi sebagai neurotransmiter yang
dikontrol oleh beberapa mekanisme. Setelah disintesis, norepinefrin dari sitosol
dimasukkan ke dalam vesikel sinaps oleh vesicular monoamine transporter
(VMAT). Norepinefrin disimpan dalam bentuk vesikel dan akan dikeluarkan ke
celah sinaps, setelah adanya potensial aksi yang menyebabkan vesikel itu pecah dan
keluar langsung menuju celah sinaps dimana proses ini disebut eksositosis. Setelah
berada di sinaps, norepinefrin akan berikatan dengan reseptornya. Potensial aksi
dari molekul norepinefrin akan melepaskan ikatannya dengan reseptor.
Norepinefrin akan diabsorbsi kembali ke dalam sel presinaps melalui NET. Setelah
berada di dalam sitosol, norepinefrin dipecah oleh monoamin oksidase atau
dimasukkan kembali ke dalam vesikel oleh VMAT (Marino, 2007).
Norepinefrin sangat cepat di eliminasi dalam darah (waktu paruh 2-2.5
menit). Norepinefrin dimetabolisme didalam saraf adrenergik oleh enzim MAO dan
COMT dan membentuk metabolit inaktif. NE akan diekresikan di urine (84-96%)
(Dellinger et al., 2012).
Teori sebelumnya mengemukakan norepinefrin berpengaruh negatif pada
lumen pembuluh darah paru yang menyebabkan vasokonstriksi dan berpotensi pada
hipertensi pulmonal, meskipun hal ini telah disangkal oleh studi terbaru pada hewan
percobaan. Seperti agen lainnya yang meningkatkan inotropik dan afterload,
norepinefrin meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung. Hal ini diimbangi oleh

26
keseimbangan perfusi relatif yang dihasilkan oleh aktivitas gabungan reseptor alfa
dan beta, tetapi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan koroner.
Seperti vasokonstriktor lainnya, norepinefrin dapat menyebabkan iskemia. Hal ini
lebih terfokus pada ginjal dan lumen pembuluh darah splanikus, dimana
vasokonstriksi tersebut dapat menyebabkan kerusakan organ yang tidak diinginkan.
Efek negatif norepinefrin pada perfusi hepatosplanikus masih menjadi kontroversi
(Dellinger et al, 2012).
Surviving Sepsis Campaign, norepinefrin digunakan sebagai lini pertama
dalam support hemodinamik pada syok sepsis. Dalam kondisi emergensi,
norepinefrin digunakan sebagai agen pilihan untuk menangani hipotensi yang
berkaitan dengan sepsis. Norepinefrin juga dapat digunakan sebagai tambahan
dalam kondisi vasodilatasi lainya, seperti syok anafilaksis dan neurogenik, dan
mungkin berguna pada keadaan dengan disfungsi ventrikel (Ellender, 2008).

2.2.2. Vasopresin
Vasopresin dikenal sebagai hormon antidiuretik (ADH). Merupakan non-
peptida yang disintesis di dalam hipotalamus, hormon ini mengandung arginin yang
secara spesifik disebut sebagai arginine vasopressin (AVP). Vasopresin
menyebabkan peningkatan osmolalitas plasma, penurunan tekanan arterial, dan
reduksi volume jantung. Vasopresin dibutuhkan untuk proses osmoregulasi, kontrol
kardiovaskular, dan homeostatis (Treschan dan Peters, 2006).
Vasopresin disintesis dan dilepaskan ke sirkulasi sistemik dari kelenjar
hipofisis posterior. Vasopresin seperti hormon lainya, disintesis sebagai prohormon
dan kemudian dipecah untuk membentuk hormon aktif yang matur. Kadar serum
vasopresin-nonpeptida merepresentasikan interaksi dari sintesis, pelepasan dan
metabolisme vasopresin. Sintesis dari preprovasopresin terjadi pada neuron
neurohipofiseal (juga dikenali sebagai neuron magnoselular) dari nukleus
paraventrikular dan supraoptik dari hipotalamus. Provasopresin terdapat dalam
granul neurosekretori dan ditransportasi sepanjang traktus suprahipofisis menuju
hipofisis posterior. Kemudian, provasopresin diubah oleh proprotein seperti
subtilisin konvertase (SPC3) menjadi vasopresin (Russell, 2011).

27
Vasopresin dimetabolisme oleh beberapa vasopresinase secara acak seperti
LNPEP dan IRAP. LNPEP memetabolisme vasopresin dan juga membersihkan
oksitosin (vasodilator), GLUT4 (dimana memodulasi uptake selular dari glukosa)
dan enzim pengubah angiotensin 4 (merubah angiotensin menjadi angiotensin
vasokonstriktor yang poten), menunjukkan variasi dalam kadar dan fungsi LNPEP
dapat menyebabkan efek kompleks dalam hemodinamik dan tekanan darah pada
sepsis (Russell, 2011).
Vasopresin secara cepat didistribusikan dari plasma ke dalam volume cairan
extraseluler. Vasopresin dimetabolisme di dalam hati dan ginjal, dan dalam jumlah
kecil dibuang ke dalam urine. Waktu paruh dalam plasma adalah 4 20 menit, oleh
karena itu infus kontinu dibutuhkan untuk mempertahankan efeknya. Vasopresin
eksogen harus diberikan secara parenteral, karena peptida dihidrolisis cepat oleh
tripsin (Treschan dan Peters, 2006).
Vasopresin menstimulasi sekelompok reseptor: AVPR1a (dikenal sebagai
reseptor V1, terutama vaskular), AVPR1b (reseptor V3, terutama sentral), AVPR2
(reseptor V2, terutama renal), reseptor oksitosin dan reseptor purinergik. AVPR1a,
reseptor G protein berpasangan, bertanggung jawab untuk vasokontriksi yang
berhubungan dengan vasopressin dan diekspresikan pada otot polos vaskular,
hepatosit dan platelet. Protein G menstimulasi jalur signal fosfatidil-inositol-
kalsium yang menyebabkan kontraksi otot polos. Stimulasi dari reseptor AVPR1a
juga menyebabkan produksi dari vasodilator nitrat oksida yang poten pada
pembuluh darah koroner dan pembuluh darah pulmonal. Sepsis menyebabkan
down-regulation pada reseptor yang memengaruhi AVPR1a, sehingga sensitif
terhadap vasopresin yang meningkatkan hemodinamik (Russell, 2011).
AVPR1b (reseptor V3) yang diekspresikan pada kelenjar hipofisis dan
hipokampus. Stimulasi AVPR1b oleh vasopresin melepaskan hormon
adenokortikotropik (ACTH) karena vaspresin berdistribusi dari hipofisis posterior
melalui kapiler portal hipofisis untuk mengikat AVPR1b pada sel kortikotropik
hipofisis anterior. Sehingga vasopresin berinteraksi dengan aksis kortikosteroid
dalam menanggapi stres seperti hipotensi. Vasopressin dan corticotropin releasing
hormone menstimulasi sistem signaling yang berbeda dan efek sinergis pada

28
pelepasan ACTH. Pada tikus, AVPR1b mengalami gangguan respons stres yang
disebabkan respon ACTH yang menurun. Sebaliknya, ekspresi berlebih pada
AVPR1b berhubungan dengan adenoma hipofisis dan sindroma ACTH ektopik
(Russell, 2011).
AVPR2 (reseptor V2) diekspresikan pada duktus kolektivus ginjal.
Vasopresin adalah faktor trophic dari loop of Henle distal sehingga memberi efek
antidiuretik vasopresin. Stimulasi AVPR2 meningkarkan retensi air (aktivitas
antidiuretik) dengan meningkatkan AMP siklik, yang menyebabkan pergerakan
kanal aquaporin-2 dari sitoplasma pada membran apikal dari sel duktus kolektivus.
Apabila ada defisiensi vasopresin, saluran aquaporin-2 menginternalisasi dari
membran apikal ke vesikel subapikal sehingga tidak ada reabsorpsi air yang aktif.
Reseptor V2 juga menyebabkan vasodilatasi dengan stimulasi jalur nitrit oksida
(Russell, 2011).
Sepsis awalnya meningkatkan kadar vasopresin dengan 20 sampai 200 kali
lipat hingga kadar berlebih dengan berbagai mekanisme. Peningkatan kadar
vasopresin terjadi ketika curah jantung menurun tetapi sebelum hipotensi,
menunjukkan bahwa stimulus selain hipotensi, seperti peningkatan kadar mediator
inflamasi dan penurunan curah jantung yang menstimulasi peningkatan kadar
vasopressin. Hipotensi dan hipernateremia menstimulasi pelepasan vasopresin
yang telah ada dan menstimulasi pembentukan vasopresin. Oleh karena itu
penyimpanan vasopresin banyak dan tersedia untuk pengeluaran secara cepat dari
hipofisis posterior terhadap respons hipotensi pada sepsis maupun syok sepsis
(Russell, 2011).
Syok septik dikarakterisasi dengan vasodilatasi dan hipotensi walaupun
terdapat peningkatan konsentrasi katekolamin dan aktifasi dari sistem renin-
angiotensin. Sementara oksida nitrat diketahui mempunyai efek vasodilatasi,
kegagalan dari otot polos sistem vaskular untuk berkontraksi yang disebabkan
rendahnya kadar vasopresin dalam plasma. Pada pasien dengan syok septik,
konsentrasi vasopresin dalam plasma secara signifikan lebih rendah dibandingkan
dengan pasien syok kardiogenik walaupun keadaan sama-sama mengalami
hipotensi (Treschan dan Peters, 2006).

29
Pada beberapa penelitian vasopresin eksogen telah digunakan pada pasien
syok sepsis. Pemberian infus AVP (0,01 U/menit) pada pasien syok meningkatkan
konsentrasi plasma vasopresin sekitar 30 pg/ml, ini menunjukkan bahwa
peningkatan degradasi vasopressin tidak dapat diukur saat konsentrasi plasma AVP
rendah sepsis. Selanjutnya, infus AVP (0,01-0,04 U/menit) meningkatan resistensi
dan tekanan darah arteri perifer beberapa menit. Dilaporkan adanya peningkatan
resistensi pembuluh darah paru atau arteri pulmonalis tekanan pada pasien yang
diobati dengan vasopresin dosis rendah (0,04 U/menit), atau komplikasi jantung
atau perubahan elektrolit, darah dan osmolalitas urin, atau variabel metabolik.
Bahkan, produksi urin dan kreatinin meningkat secara signifikan pada pasien
dengan perubahan vasopresin, jika diberikan sebelum timbul anuria (Treschan,
2006).

30
Gambar 2.4. Algoritma resusitasi syok sepsis (Saint Joseph Mercy, 2015)

31
BAB 3
STATUS PASIEN

3.1. Identitas Pasien


Nama : T. Syahrul Amri
Umur : 69 tahun
Suku : Jawa
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Medan Gaperta
Tanggal Masuk (ICU) : 20 September 2017
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 165 cm

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Penurunan tekanan darah
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 9 hari di rawat di
rumah sakit. 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
pasien mengalami rasa tidak nyaman di dada. Sesak
nafas (+), PND (-), OP (-), DOE (-). Riwayat kaki
bengkak dialami 1 tahun. Pasien telah dikateterisasi
dengan hasil CAD 3VD + aneurisma di distal LM.
Os kemudian direncanakan untuk CABG. Riwayat
nyeri dada sebelumnya (+). Riwayat hipertensi (-),
diabetes mellitus (-). Dalam 10 hari sebelum masuk
rumah sakit, pasien mengaku dada selalu terasa berat,
nafsu makan menurun, dan BAB (-).
Pasien juga mengeluhkan lemah lengan dan tungkai
kiri sejak 2 bulan SMRS secara tiba-tiba saat sedang
beristirahat. Riwayat nyeri kepala (+) mendenyut
terutama di kepala sebelah kanan dan menghilang
dengan obat pereda nyeri. Riwayat muntah (+)

32
disertai mual (+). Riwayat kejang (-). Riwayat stroke
(+) 1 tahun yang lalu dengan kelemahan sebelah kiri.
Riwayat merokok sejak usia muda, sehari sebungkus,
namun sudah berhenti sejak 1 tahun yang lalu.
Pada hari rawatan ke-9 di rumah sakit, pasien
mengalami sesak, penurunan kesadaran, dan
penurunan tekanan darah.

RPT : CAD 3VD, Aneurisma Distal LM, Stroke


Iskemik

RPO : Aspilet 1x80, Ramipril 1x2.5, Bisoprolol


1x5, Furosemid 1x40, KSR 3x200, NKR 2x1

3.3. Time Sequences

19/09/2017 follow up
20/09/2017
11/09/2017 11/09/2017 14.00 WIB terakhir
10.00 WIB
17.00 WIB
16.00 WIB Pasien dibawa 21/09/2017
Pasien masuk ke RIC Lt.4, Pasien
IGD Jantung Pasien dibawa konsul anestesi dikonsul ke 04.17 WIB
RSUP HAM ke CVCU pemasangan anestesi untuk
perawatan ICU Pasien exit
CVC
di ICU

33
3.4. Secondary Survey di ICU RSUP HAM
B1 : Airway: clear, nasal kanul dengan O2 2-4 l/i, SP/ST: Vesikuler/ ronki
basah (+/+) , S/G/C : -/-/-, riwayat, RR: 30 x/i, SpO2 : 95%
B2 : Akral: hangat, merah, kering, TD: 70/40 mmHg, HR: 122 x/menit, reg,
T/V: cukup, CRT < 2 detik
B3 : Sens: Somnolen, GCS 7 (E2M3V2), pupil: = 3/3 mm, isokor, RC
+/+
B4 : Terpasang kateter urin, UOP (+) volume 250cc, warna: kuning pekat
B5 : Abdomen: soepel, Peristaltik (+) Normal
B6 : Edema (-), Fraktur (-)

3.5. Penilaian Nyeri


Provocation :-
Quality :-
Regio :-
Severity :-
Time :-

3.6. Riwayat
Allergies : Tidak ada
Medication : Aspilet 1x80, Ramipril 1x2.5, Bisoprolol 1x5, Furosemid 1x40,
KSR 3x200, NKR 2x1
Past Illness : Post Stroke Iskemik pada Desember 2016, CAD 3VD, Aneurisma
Distal LM
Last Meal : 12.00 WIB (20-09-2017)
Environment : Tidak ada

3.7. Penatalaksanaan di ICU RSUP HAM


Bed rest + head up 30
Nasal Canul dengan O2 2-4 L/i
IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i (mikro)

34
Inj Dobutamin 250 mg/50cc NaCl 0.9% (titrasi)
Inj NEP 8 mg/50cc NaCl 0.9% (titrasi)
Inj Meropenem 1 gr/8 jam (H-4)
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
PCT drip 1000mg (k/p)
PCT tab 3x1000 mg
Nystatin drip 3x10 gtt
Amidaron drip 450mg/ 24 jam jika HR > 150 x/i
Antasida syr 3x CI
Laxadyn syr 1x CI
Pasang monitor untuk memantau hemodinamik pasien

3.8. Pemeriksaan Penunjang


3.8.1. Pemeriksaan Laboratorium (19 September 2017)

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 10.3 g/dL 13 - 18 g/dL
Eritrosit (RBC) 3.43 juta/L 4.50 6.50 juta/L
Leukosit (WBC) 5.090 /L 4.0 11.0x103/L
Hematokrit 32 % 39 54 %
Trombosit (PLT) 31.000/L 150 450 x103/L
MCV 92 fl 81-99 fl
MCH 30,0 pg 27,0 31,0 pg
MCHC 32,7 g/dl 31,0 37,0 g/dl
RDW 18,6 % 11,5 14,5%
IT Ratio 0,1 < 0,2
Retikulosit 1,51 % 0,2 2,5 %

35
FAAL HEMOSTASIS
Waktu Protombin 11,3 detik 14,00 detik
INR 0,82
APTT 36,9 detik 34,0 detik
Waktu Trombin 23,2 detik 20,0 detik
Fibrinogen 580,0 mg/dL 150-400 mg/dL
D-dimer 458 ng/mL <500 ng/mL
Besi (Fe/iron) 45 g/dL 65 175 g/dL
ANALISA GAS DARAH
pH 7,340 7,35- 7,45
pCO2 23,0 mmHg 38 - 42 mmHg
pO2 108,0 mmHg 85 - 100 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 12.4 mmol/L 22-26 mmol/L
Total CO2 13.1 mmol/L 19 25 mmol/L
Kelebihan basa (BE) -11.5 mmol/L (-2) (+2) mmol/L
Saturasi O2 98% 95 100
GINJAL
Blood Urea Nitrogen 49 mg/dL 8-26 mg/dL
Ureum 105 mg/dL 18 - 55 mg/dL

Kreatinin 0.73 mg/dL 0,7 1,3 mg/dL

Asam Urat 10,6 mg/dL 3,5 7,2 mg/dL

ELEKTROLIT
Natrium (Na) 153 mEq/L 135 - 155 mEq/L
Kalium (K) 5,0 mEq/L 3,6 5,5 mEq/L

Klorida (Cl) 118 mEq/L 96 106 mEq/L

Kalsium (Ca) 9,70 mg/dL 8,4 10,2 mg/dL

Magnesium (Mg) 3,40 mg/dL 1,6 2,6 mg/dL

36
ENZIM JANTUNG

CK-MB 46 U/L <= 24 U/L

LAIN-LAIN

Asam Laktat, Arteri 4,3 U/L 1,0 1,8 U/L

Procalcitonin 34,27 ng/mL <0,05 ng/mL

Troponin I 0,00 ng/mL <0,1 ng/mL

IMUNOSEROLOGI

Dengue NS I Ag negatif negatif

Anti Dengue IgM negatif

Anti Dengue IgG positif

WIDAL/SALMONELLA TITER

S. Typhi O 1/80 < 1/160

S. paratyphi AO 1/80 < 1/160

S. paratyphi BO 1/80 < 1/160

S. paratyphi CO 1/80 < 1/160

S. Typhi H 1/80 < 1/160

S. paratyphi AH 1/80 < 1/160

S. paratyphi BH 1/80 < 1/160

S. paratyphi CH 1/80 < 1/160

Salmonella (Tubex TF) 2 < 2 Negatif


3 :
Borderline
4-5 : Positif
>=6 : Positif
Kuat

37
3.8.2. Pemeriksaan Radiologis (13 September 2017)

Tampak perselubungan di paru kiri.


Kedua sinus costophrenikus lancip, kedua diafragma licin.
Tidak tampak infiltrat pada kedua lapangan paru.
Jantung ukuran normal CTR < 50%.
Trakea di tengah.
Tulang-tulang dan soft tissue baik.
Kesan: Curiga pneumonia kiri.

3.9. Diagnosis
Septik Syok ec Pneumonia + UAP TIMI Risk 5/7 + CHF Fc IV ec CAD 3
VD + LM Aneurisma + Hemiparese Sinistra + Dysartria ec Post Stroke +
Trombositopenia ec Consumption Coagullopathy + Anemia ec dd Penyakit Kronis
dd Pendarahan

3.10. Rencana
Manajemen airway dengan ventilator- Intubasi oral dengan ETT cuff 7.5
dengan O2 8L/I
Transfusi trombosit
Pemeriksaan Darah Rutin, KGD, Analisa Gas Darah, RFT, elektrolit

38
Monitoring kesadaran, RR, HR, TD, SpO2, UOP selama di ICU

3.11. Follow Up (ICU)

20 September 2017 (17.00 WIB)


S -
O Airway clear, SpO2 95% SP: vesikuler (+/+), ST: ronkhi basal (+/+),
RR: 30 x/i
TD: 70/40 mmHg, HR: 60x/i reguler t/v: kuat/cukup, akral H/M/K, CRT
< 2
Sens: Somnolen, GCS 7 (E2M3V2)
UOP (+)
Abdomen soepel, peristaltik (+)N

A Septik Syok ec Pneumonia + UAP TIMI Risk 5/7 + CHF Fc IV ec CAD 3


VD + LM Aneurisma + Hemiparese Sinistra + Dysartria ec Post Stroke +
Trombositopenia ec Consumption Coagullopathy + Anemia ec dd Penyakit
Kronis dd Pendarahan
P Bed rest + head up 30
Nasal Canul dengan O2 2-4 L/i
IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i (mikro)
Inj Dobutamin 250 mg/50cc NaCl 0.9% (titrasi)
Inj NEP 8 mg/50cc NaCl 0.9% (titrasi)
Inj Meropenem 1 gr/8 jam (H-4)
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
PCT drip 1000mg (k/p)
PCT tab 3x1000 mg
Nystatin drip 3x10 gtt
Amidaron drip 450mg/ 24 jam jika HR > 150 x/i
Antasida syr 3x CI
Laxadyn syr 1x CI
Transfusi trombosit (23.00 WIB)

39
21 September 2017 (04.00 WIB)
S -
O Airway clear, SpO2 10% SP: (-/-), ST: (-/-), RR: 2 x/i
TD: Tidak terukur, HR: Tidak terukur T/V: lemah, akral D/P/B, CRT >
2
Sens: Koma, GCS 3 (E1M1V1)
UOP (+)
Abdomen soepel, peristaltik (+)N
A Septik Syok ec Pneumonia + UAP TIMI Risk 5/7 + CHF Fc IV ec CAD 3
VD + LM Aneurisma + Hemiparese Sinistra + Dysartria ec Post Stroke +
Trombositopenia ec Consumption Coagullopathy + Anemia ec dd Penyakit
Kronis dd Pendarahan
P Inj Epinefrin
04.00 WIB : Pasien mengalami cardiac arrest segera dilakukan RJPO +
Epinefrin. Pada pukul 04.05 WIB terjadi ROSC. Segera disusul pemasangan
intubasi ETT cuff 7.5 disambungkan ke ventilator.
04.10 WIB : Pasien mengalami arrest lagi segera dilakukan RJPO. Namun tidak
ada respon. Pada pukul 04.17 tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba, pupil
dilatasi maksimal, refleks cahaya tidak ada. Maka pasien dinyatakan telah
meninggal dunia.

40
BAB 4
DISKUSI KASUS

NO TEORI KASUS
1 DEFINISI Pada pasien dijumpai:
Syok sepsis adalah bagian dari sepsis - Tekanan Darah 70/40 mmHG
dengan disfungsi peredaran darah - Kesadaran Somnolen
(sirkulasi) dan metabolik/seluler yang - Takipneu (30 x/ menit)
terkait dengan risiko kematian yang
lebih tinggi.
2 MANIFESTASI KLINIS Pada pasien dijumpai:
Pasien dengan syok septik dapat - Frekuensi nafas 30 x/menit
diidentifikasi dengan adanya klinis - Somnolen
sepsis disertai hipotensi yang menetap - Tekanan Darah: 70/40 mmHg
dan membutuhkan vasopressor untuk - Auskultasi: Vesikuler/ronkhi di
mempertahankan MAP 65mmHg kedua lapangan paru.
dan memiliki kadar serum laktat > 2
mmol/L (18mg/dL) meskipun setelah
resusitasi volume yang memadai.
Kriteria sepsis menurut qSOFA
adalah:
- Hipotensi dengan nilai tekanan
darah sistolik < 100 mmHg.
- Perubahan pada status mental
- Respirasi (terjadi takipneu dengan
RR > 22 x/menit)
3 PENEGAKAN DIAGNOSIS Pada pasien dijumpai:
Diagnosis syok septik meliputi - Hb: 10.3 g/dL () (Anemia)
diagnosis klinis syok dengan - Kadar leukosit: 5.090/L (N)
konfirmasi mikrobiologi etiologi - Kadar trombosit: 31.000/L ()

41
infeksi seperti kultur darah positif (trombositopenia)
atau apusan gram dari buffy coat - APTT:36,9 detik (memanjang)
serum atau lesi petekia menunjukkan - TT: 23,2 detik (memanjang)
mikroorganisme. - Fibrinogen: 580,0 mg/dL ()
Pemeriksaan hitung sel darah, hitung - D-dimer: 458 ng/mL (N)
trombosit, waktu protrombin dan - BUN: 49 mg/dL ()
tromboplastin parsial, kadar - Ureum: 105 mg/dL ()
fibrinogen serta D-dimer, analisis gas - Kreatinin: 0,73 mg/dL (N)
darah, profil ginjal dan hati, serta - Asam laktat arteri: 4,3 U/L ()
kalsium ion. - Procalcitonin: 34,27 ng/mL ()
Hasil laboratorium yang sering (> 2.0 ng/mL high risk of septic
ditemukan adalah asidosis metabolik, shock)
trombositopenia, peningkatan laktat, - AGDA: Asidosis Metabolik
pemanjangan waktu protrombin dan pH: 7,340 ()
tromboplastin parsial, penurunan pCO2: 23,0 mmHg ()
kadar fibrinogen serum dan pO2: 108,0 mmHg ()
peningkatan produk fibrin split, HCO3: 12.4 mmol/L ()
anemia, penurunan PaO2 dan Total CO2: 13.1 mmol/L
peningkatan PaCO2, serta perubahan ()
morfologi dan jumlah neutrofil. BE: -11.5 mmol/L ()
4 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pada pasien:
Early Goal Directed Therapy - Bed rest + head up 30
(EGDT) merupakan penatalaksanaan - Nasal Canul dengan O2 2-4 L/i
pasien dengan sepsis berat dan syok - IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i
septik, yang bertujuan memperbaiki (mikro)
penghantaran oksigen ke jaringan, - Inj Dobutamin 250 mg/50cc
dalam jangka waktu tertentu. NaCl 0.9% (titrasi)
Resusitasi cairan kristaloid dan koloid - Inj NEP 8 mg/50cc NaCl 0.9%
untuk mempertahankan tekanan vena (titrasi)
sentral 8 mmHg, pemberian - Inj Meropenem 1 gr/8 jam (H-4)
vasodilator dan vasopresor untuk - Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

42
mempertahankan mean arterial - PCT drip 1000mg (k/p)
pressure (MAP) antara 65-90 mmHg, - PCT tab 3x1000 mg
transfusi PRC untuk mempertahankan - Nystatin drip 3x10 gtt
hematokrit 30% pada pasien dengan - Amidaron drip 450mg/ 24 jam
saturasi oksigen vena sentral 70%, jika HR > 150 x/i
serta pemberian inotropik. - Antasida syr 3x CI
- Laxadyn syr 1x CI

43
BAB 5
KESIMPULAN

Seorang laki-laki, TSA, usia 69 tahun, berdasarkan tanda klinis sepsis dan
pemeriksaan penunjang didiagnosis syok sepsis dengan dianjurkan untuk rawat
inap di ICU.
Pasien telah diberikan tatalaksana sesuai dengan rekomendasi SSC 2016
berupa:
o Norepinefrin sebagai vasopressor pilihan pertama.
o Meropenem telah diberikan sebagai antibiotik spektrum luas untuk terapi
inisial.
o Ranitidine diberikan sesuai rekomendasi yang mensarankan PPI atau
histamin-2 reseptor antagonis sebagai profilaksis stress ulcer.
o Setelah pasien dipindahkan ke ICU pasien telah mengalami cardiac arrest
segera dilakukan RJPO dan setelah ROSC segera disusul pemasangan
intubasi ETT cuff 7.5 disambungkan ke ventilator.
o Namun pasien mengalami arrest sekali lagi dan segera dilakukan RJPO.
Namun tidak ada respon, tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba,
pupil dilatasi maksimal, refleks cahaya tidak ada, Maka pasien dinyatakan
telah meninggal dunia.
Syok sepsis yang disertai faktor predeposis atau underline disease seperti
direkomendasikan SSC 2016 haruslah di buat skrining oleh rumah sakit untuk
pasien-pasien yang menderita penyakit akut dan yang berisiko tinggi. Kultur
rutin sebagai alat diagnostik juga disarankan buat pasien yang rentan sepsis
atau syok septik untuk mengelakkan keterlambatan dalam pemberian
antibiotik.

44
Daftar Pustaka

Annane D, Bellissant E, Cavaillon JM, Mechanism of Septic Shock. The Lancet.


2005;2:34-67.
Ballina M, Tracey Kj, Cholinergic Control of Inflamation. J Intern Med.
2009;265;663-679.
Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. American College of Chest Physicians/Society
of Critical Care Medicine Consensus Conference: definitions for sepsis and
organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit
Care Med. 1992;20(6):864-874.
Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhails clinical
anesthesiology, 5th Ed. United State of America: ; 2013; 825 842.
Cohen RD, Simpson R. 1975. Lactate metabolism. Anesthesiology.
Anesthesiology., pp. 43:661-73.
Daley MJ, Lat I, Mieure KD, Jennings HR, Hall JB, Kress JP. A Comparison of
Initial Monotherapy with Norepinephrine Versus Vasopressin for
Resuscitation in Septic Shock. Sage Journal. 2016.
Dellinger RP et al. Surviving Sepsis Campaign International Guideline for Severe
Sepsis and Septic Shock. Critical Care Med. 2013;41(2): 580-637.
Derek C. Angus, M.D., M.P.H., and Tom van der Poll, M.D., Ph.D. 2013. Severe
Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med 369;9.
Guntur, A.H. Sepsis. Buku Ajar Penyakit Dalam FKUI. 2007; 2:1862-5.
Heyland DK et al, Should immunonutrition become routine in critically ill patients.
Journal American of anesthesiologist medicine. 2001;286(8):944 53.
Higgins, Article Central Venouse Blood Gases Analysis.
AcuteCareTesting.Org,2011.
Hommes TJ, Wiersinga, Poll TV, The host response to sepsis. Yearbook of
Intensive Care and Emergency Medicine. 2009;1;p39-48.
Hood VI, Tannen RL. Protection of Acid base Balance by pH Regulation of Acid
Production. NEJM 1998;12;819 25.

45
Marino PL, ICU BOOK, the 3rd Edition. Lippincot Williams & Wilkins. 2007;
254-60.
Martin GS, Mannino MA, Eaton S, Moss M, 2003. The Epidemiology of Sepsis in
the United States from 1970 through 2000. N Engl J Med. 2003;348;1546-
1554.
Nguyen HB, Rivers EP, Knoblich BP, et al. Early Lactate Clearance Is Associated
With Improved Outcome in Severe Sepsis and Septic Shock. Crit Care Med.
2004. Vol 32, No.8
Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Ferrer R, Kumar A. Surviving
Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Sepsis and
Septic Shock: 2016. Crit Care Med. 2017. Doi:
10.1097/CCM.0000000000002255.
Rivers et al, Early goal- Directed Therapy In The Treatment of Severe Sepsis And
Septic Shock, the New England Journal of Medicine, 2001.
Russell JA, Walley KR, Singer J, Gordon AC, et al. Vasopressin versus
Norepinephrine Infusion in Patients with Septic Shock. The New England
Journal of Medicine. 2008. Vol. 358; No.9
Shapiro, Lactate Clearance vs Central Venouse Oxygen Saturation as Goals of
Early Sepsis metabolism. Ulusal Cer Derg2014;30;153-9.
Singer M. Deutschman C.S. Seymour C.W. et al. The Third International
Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis 3). JAMA.
2016;315: 801-810.
Weismuller K, Weigand MA, Hoffer S, The Neuroendocrine Axis : The Nervous
System and Inflammation. Annual Update in Intensive Care and Emergency.
2012;3;12-16.

46

Você também pode gostar