Você está na página 1de 19

TINJAUAN ANALITIS ATAS KEBIJAKAN PEMAJAKAN FREIGHT PADA

PERUSAHAAN JASA PENGURUSAN TRANSPORTASI (KARGO)

Chairil Anwar Pohan

Abstract, It has been 62 years since the enactment of the Sales Tax Act 1951, a trip quite a long
time in learning curve the tax authorities in terms of the consumption tax which later declared
invalid and replaced by the Value Added Tax Act 1984 , up to now , then found a solution "
breakthrough " the taxation of freight that is considered " untouchable " and " untaxable " , but on
the other hand taxation policy based unfortunate Minister of Finance Regulation
No.38/PMK.011/2013 on amendments to the Finance Minister Regulation No.75/PMK.03/2010
about the other value may cause harm / revenue shortfall for the state, because the VAT mechanism
is disrupted by theoritical concept of its tax base is not targeted effectively . Offered is a good
concept that is to " capture the potential VAT contained in freight as income countries " , but from
the standpoint of revenue productivity principle the concept raises new issues that in fact does not
need to happen because it's basically the difference in the incidence of actual freight transactions
that can be " captured " of commercial bookkeeping organized based Financial Accounting
Standard is already an indication of the creation of a value -added is the object of the imposition of
VAT.

Keywords: policy, freight tax, cargo services

Abstrak, Tanpa terasa sudah berjalan 62 tahun semenjak diberlakukannya UU Pajak Penjualan
tahun 1951, suatu perjalanan waktu yang cukup panjang dalam pembelanjaran (learning curve)
fiskus dalam hal pajak konsumsi (consumption tax) yang kemudian dinyatakan tidak berlaku dan
diganti dengan UU Pajak Pertambahan Nilai tahun 1984, hingga kini, barulah ditemukan suatu
solusi terobosan pemajakan atas freight yang selama ini dianggap untouchable dan
untaxable, namun di sisi lain disayangkan kebijakan pemajakan yang berbasiskan Peraturan
Menteri Keuangan No. 38/PMK.011/2013 tentang perubahan atas peraturan Menteri Keuangan No.
75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain tersebut bisa mendatangkan kerugian/kekurangan bagi
pemasukan negara, karena mekanisme PPN terganggu akibat secara theoritical consept dari tax
base-nya tidak terbidik secara efektif. Konsep yang ditawarkan sudah baik yakni untuk menangkap
adanya potensi PPN yang terkandung dalam freight sebagai pendapatan negara, namun dari sudut
pandang revenue productivity principle konsep tersebut menimbulkan permasalahan baru yang
sebenarnya tidak perlu terjadi karena pada dasarnya timbulnya realisasi transaksi selisih freight
yang dapat dijaring dari pembukuan komersial yang diselenggarakan berbasiskan Standard
Akuntansi Keuangan yang berlaku sudah merupakan suatu indikasi terciptanya suatu nilai tambah
yang menjadi objek pengenaan PPN.

Kata kunci: kebijakan, pemajakan freight, perusahaan kargo

Salah satu cabang perekonomian yang dengan perusahaan Freight Forwarding, bukan
sudah lama tumbuh berkembang dengan pesat saja nature of business-nya berbeda tetapi
di Negara kita ini adalah perusahaan Jasa perizinan usaha dan asosiasi yang membawahi
Pengurusan Transportasi atau International kedua jenis industri tersebut juga berbeda.
Freight Forwarding. Kebanyakan masyarakat Sesuai Surat Keputusan Menteri Perhubungan
mengetahui kalau Freight Forwarder itu No. KM-10 Tahun 1988 mendefinisikan Usaha
disebut perusahaan kargo, bahkan tidak jarang Jasa Pengurusan Transportasi (International
menganggap mereka itu seperti perusahaan Freight Forwarding) sebagai suatu usaha yang
kurir, padahal perusahaan kurir tidak sama ditujukan untuk mewakili kepentingan pemilik
barang untuk mengurus semua kegiatan yang Forwarders harus terdaftar sebagai membership
diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan dari FIATA agar dalam melaksanakan
penerimaan barang melalui transportasi darat, pengiriman barang selalu menggunakan FIATA
laut atau udara yang dapat mencakup kegiatan Bill of Lading yang tidak lain merupakan suatu
penerimaan, penyimpanan, sortasi, pengepakan, Combined Transport Bill of Lading. Sedangkan
pengukuran, penimbangan, pengurusan International Freight Forwarder yang
penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen berkecimpung dalam pengangkutan udara,
angkutan, perhitungan biaya angkutan, klaim pengakuan sebagai International Carrier
asuransi atas pengiriman barang serta diperoleh setelah mereka terdaftar sebagai
penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya membership dari IATA (International Air
berkenaan dengan pengiriman barang-barang Transportation Association). Hanya IATA
tersebut sampai dengan diterimanya oleh yang Cargo Agent-lah yang ditunjuk oleh perusahaan
berhak menerimanya. penerbangan (Airliner) untuk bertindak atas
Peranan sektor usaha Freight Forwarding nama airliner tersebut melaksanakan
(kargo) ini sangat besar dalam mata rantai multi pengiriman barang via udara.
moda transport untuk jalur perdagangan Suatu fenomena yang menarik bagaimana
nasional dan internasional untuk antusiasnya fiskus (dengan kesiapan
barang/komoditi yang dikirim ke dan dari luar argumentasi pemajakan yang terkesan seadanya
negeri dan keberadaan jenis usaha ini sangat pada saat itu) ingin menjamah jurisdiksi
diperlukan oleh eksportir/importir untuk pemajakan withholding tax atas handling fee
menjamin barang-barang/komoditi tersebut perusahaan Usaha Jasa Pengurusan
diterima di tempat tujuan/pembeli tepat pada Transportasi (International Freight
waktunya dengan selamat. Ini disebabkan Forwarding), yang diwujudkan di akhir tahun
karena jaringan/ jangkauan operasional 2006 pernah keluar Peraturan Direktur Jenderal
perusahaan pelayaran samudera dan perusahaan Pajak No. PER-178/PJ./2006 yang menentukan,
angkutan udara internasional hanya terbatas bahwa jasa freight forwarding tercantum
sampai pada pelabuhan-pelabuhan/bandara sebagai jasa yang atas penghasilannya dipotong
utama (main ports) di dunia, yang berbeda PPh Pasal 23 sebesar 15% x 20% dari jumlah
dengan jangkauan operasional perusahaan broto tidak termasuk PPN. Peraturan ini sempat
International Freight Forwarding sampai ke berjalan selama 3 bulan seminggu (1 Januari
pelosok-pelosok daerah. Persyaratan legal yang 2007 sampai dengan 8 April 2007), namun
harus dipenuhi untuk bisa masuk dalam kebijakan ini diprotes oleh para International
komunitas perusahaan-perusahaan jasa industri Freight Forwarders melalui asosiasinya
yang bergerak di bidang usaha freight GAFEKSI sehingga akhirnya Peraturan
forwarding (kargo) ini, badan usahanya harus Direktur Jenderal Pajak No. 178/PJ/2006
dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas tersebut dicabut dan digantikan dengan
(PT) dan memiliki perijinan resmi dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-
Kementerian Departemen Perhubungan. Di 70/PJ./2007 dimana Jasa Freight Forwarding
Indonesia sudah lama terbentuk asosiasi yang tidak lagi tercantum sebagai jasa yang atas
mengurus kepentingan dari perusahaan- penghasilannya dipotong PPh Pasal 23,
perusahaan International Freight Forwarding sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau
yang dikenal dengan GAFEKSI (Indonesian imbalan jasa lain yang menurut PER-
Forwarders Association/INFA) yang berdiri 70/PJ./2007 ditetapkan sebagai objek
dalam tahun 1980. Sedangkan di tingkat pemotongan PPh Pasal 23.
Internasional juga sudah lama berdiri Asosiasi Sejak dikeluarkan Undang-undang PPN
International Freight Forwarder yakni tahun No. 8 Tahun 1983 yang kemudian diubah
1925 dengan nama FIATA (Federation terakhir dengan Undang-Undang No. 36 Tahun
Internationale des Associations de Transitaires Tahun 2008, belum ada satu pasal dari undang-
et Assimiles) yang berpusat di Zurich, Swiss. undang tersebut, baik Peraturan Pemerintah,
Untuk mendapat pengakuan sebagai Keputusan Menteri Keuangan maupun
International Carrier khususnya untuk Keputusan Dirjen Pajak dari Direktorat
pengangkutan laut, maka International Freight Jenderal Pajak yang mampu menjaring atau
menyoroti lebih mendalam terhadap potensi (satu) perjalanan atau lebih dari 1 (satu)
PPN yang terkandung dalam freight baik perjalanan, dari suatu pelabuhan ke pelabuhan
seafreight maupun airfreight untuk angkutan lain, dengan dipungut bayaran; (3) Peraturan di
internasional tersebut yang ditangani oleh Bidang Transportasi yang terkait dengan freight
perusahaan Jasa Pengurusan Transportasi charges di dalam transaksi penyerahan Jasa
(International Freight Forwarding) padahal ini Pengurusan Transportasi atau International
suatu lahan terbuka bagi potensi penerimaan Freight Forwading (JPT/IFF) adalah: (3a)
Negara yang cukup signifikan terutama bagi Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang
pemerintah yang sekarang ini lagi berusaha Pelayaran, dan Peraturan Pemerintah Nomor 20
untuk menggenjot penerimaan dari dalam Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan;
negeri guna membiayai proyek-proyek (3b) Pemerintah mengeluarkan Peraturan
pemberantasan kemiskinan dan mengurangi Menteri Keuangan No.75/PMK.03/2010 yang
tingkat pengangguran yang cukup tinggi di kemudian direvisi dengan PMK No.
Negara yang kita cintai ini. Potensi 38/PMK.011/2013), dimana selanjutnya dalam
penerimaannya cukup besar karena cakupannya PMK No. 38/PMK.011/2013 ditambahkan satu
meliputi seluruh lalu lintas perdagangan item nilai lain yakni untuk penyerahan jasa
internasional di Indonesia khususnya melalui pengurusan transportasi (freight forwarding)
angkutan laut dan udara. yang didalam tagihan jasa pengurusan
Untuk menyamakan persepsi tentang transportasi tersebut terdapat biaya transportasi
perlakuan pajak atas freight charges dan (freight charges) adalah 10% (sepuluh persen)
konsep-konsep perpajakan dalam PPN yang dari jumlah yang ditagih atau seharusnya
menjadi landasan teoritis basis pemajakan ditagih. Jumlah yang ditagih atau seharusnya
dalam transaksi penyerahan Jasa Pengurusan ditagih adalah hasil dari keseluruhan proses
Transportasi atau Freight Forwading, marilah menagih atas nilai penyerahan JPT/IFF oleh
kita bentangkan dulu regulasi-regulasi lainnya perusahaan JPT/IFF kepada pengguna JPT/IFF,
yang pernah diturunkan oleh pemerintah yang yang besarnya sama dengan nilai penyerahan
mengatur tentang dasar pengenaan pajak (tax JPT/IFF itu sendiri sebagai satu kesatuan tanpa
base) atas tagihan jasa pengurusan transportasi. membedakan apakah nilai penyerahan JPT/IFF
Dari track record regulasi perpajakan yang ada, tersebut ditagih dengan satu atau beberapa
pemerintah kelihatannya sudah mencoba untuk dokumen tagihan.
memasuki yurisdiksi pemajakan dalam dunia Sementara itu, Pajak Masukan yang
industri International Freight Forwarding, berhubungan dengan penyerahan jasa
sebagaimana diuraikan berikut ini: (1) UU PPN pengurusan transportasi (freight forwarding)
membatasi pemajakan atas freight sebagaimana yang di dalam tagihan jasa pengurusan
dimaksud dalam Pasal 4A UU PPN No. transportasi tersebut terdapat biaya transportasi
42/2009 ayat 3 huruf j yang menyebutkan jenis (freight charges) yang dilakukan oleh
jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu perusahaan JPT/IFF, tidak dapat dikreditkan;
dalam kelompok jasa jasa angkutan umum di (3c) Selanjutnya dengan Surat Edaran No.
darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam 33/PJ/2013 tentang Perlakuan PPN atas
negeri yang menjadi bagian yang tidak penyerahan jasa pengurusan transportasi
terpisahkan dan jasa angkutan udara luar (freight forwarding) (JPT/IFF), menegaskan
negeri; (2) Selanjutnya pada pasal 2 Peraturan beberapa hal untuk menjelaskan dan sekaligus
Menteri Keuangan No. 80/PMK.03/2012 bertujuan untuk dijadikan pedoman dalam
tentang Jasa Angkutan Umum di Darat dan Jasa penerapan Dasar Pengenaan Pajak berupa Nilai
Angkutan Umum di Air Yang Tidak Dikenai Lain untuk penyerahan JPT/IFF yang di dalam
PPN, dinyatakan bahwa PPN tidak dikenakan tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut
atas jasa angkutan umum di air. Jasa angkutan terdapat biaya transportasi (freight charges)
umum di air meliputi jasa angkutan umum di sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
laut yakni Jasa angkutan umum di laut Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.011/2013
merupakan kegiatan pemindahan orang dan Nomor 75/PMK.03/2010, sehingga agar
dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat tidak terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya
lain dengan menggunakan Kapal, dalam 1 di lapangan, ditegaskan bahwa dalam
melakukan kegiatan usahanya, pengusaha kondisi dimana kegiatan seperti pergudangan,
JPT/IFF dapat menyerahkan JPT/IFF yang pengepakan, fumigasi, pengangkutan, dan
dapat terdiri dari satu atau beberapa kegiatan kegiatan lainnya dilakukan oleh pihak ketiga,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) maka semua tagihan-tagihan pihak ketiga
PP. Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di tersebut biasanya ditalangi dulu oleh
Perairan. Kegiatan yang dilakukan dalam International Freight Forwarder tentu saja
penyerahan JPT/IFF dapat termasuk biaya setelah mendapat persetujuan dari
transportasi (freight charges). eksportir/Importir atau shippers/consignees
Walaupun penyerahan JPT/IFF dapat terlebih dulu, untuk kemudian ditagihkan
terdiri dari satu atau beberapa kegiatan, satu kembali untuk di reimburse oleh
atau beberapa kegiatan yang diserahkan shippers/importers tersebut.
tersebut tetap merupakan satu kesatuan, yaitu Tergantung pada order atau shipping
penyerahan JPT/IFF, sehingga kewajiban instruction dari eksportir/Importir atau
Pengusaha Kena Pajak untuk membuat Faktur shipper/consignee, namun secara umum tagihan
Pajak atas setiap penyerahan Jasa Kena Pajak atas jasa International Freight Forwarder
wajib dilakukan. Faktur Pajak yang dibuat kepada para pengguna jasa freight forwarding
harus memenuhi persyaratan formal terdiri dari elemen (items) berikut ini: (1) Biaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Freight (Airfreight/Seafreight); (2) Biaya
UU PPN dan harus memenuhi persyaratan Customs Duty yakni Bea masuk, PPN Import,
material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 PPn Barang Mewah, PPh Ps. 22 (khusus untuk
ayat (9) UU PPN, yaitu Faktur Pajak berisi barang impor dikenakan, sedangkan untuk
keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya barang ekspor tidak dipungut); (3) Biaya
mengenai penyerahan Jasa Kena Pajak. Storage/Warehouse (pergudangan); (4) Biaya
Dengan demikian pengusaha JPT/IFF yang Customs Clearance; (5) Biaya Trucking
sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) (termasuk lift on/off); (6) Handling Fee (Jasa
wajib membuat Faktur Pajak atas setiap handling); (7) Demurrage fee
penyerahan Jasa Freight Forwarding. Untuk tagihan items no. 2 & 3 pada
Penggunaan Dasar Pengenaan Pajak umumnya akan ditagihkan oleh International
berupa Nilai Lain ditujukan hanya untuk Freight Forwarders kepada pelanggan
penyerahan JPT/IFF yang di dalam tagihannya (customers) mereka tadi sebagai tagihan biaya
terdapat tagihan biaya transportasi (freight reimbursement tanpa mark-up, penagihannya
charges), dan penggunaan Dasar Pengenaan dilakukan dalam satu Invoice bersamaan
Pajak tersebut berkonsekuensi pada tidak dapat dengan tagihan biaya-biaya lainnya setelah
dikreditkannya Pajak Masukan yang kegiatan pengiriman/penyerahan barang selesai
berhubungan dengan penyerahan JPT/FF yang dilaksanakan. Kecuali dalam hal dimana cara
pengenaan PPN-nya menggunakan Dasar pelayanan pengiriman barang dilakukan secara
Pengenaan Pajak berupa Nilai Lain tersebut. door to door shipment atau secara borongan
dan penagihan dilakukan tanpa memerincikan
Freight dan Reimbursement biaya-biaya yang dikeluarkan dalam Invoice,
Sebelum kita membahas substansi maka dalam kondisi semacam ini semua
permasalahannya, kita meninjau sejenak tagihan jasa tersebut dikenakan PPN (objek
tentang subjek penelitiannya. Dari sekian PPN).
banyak jenis jasa yang ditawarkan oleh Sedangkan untuk tagihan items no. 1, 4, 5,
International Freight Forwarder kepada dan 7 biasanya tarifnya sudah di mark-up
pelanggan atau calon pelanggannya sesuai terlebih dahulu (berdasarkan persetujuan
dengan ijin usahanya yang diberikan oleh pelanggan mereka sebelumnya). Bila Freight
Menteri Perhubungan, tidak semua Forwarders tersebut memiliki armada
International Freight Forwarder memiliki pengangkutan sendiri, maka pasti tariff yang
kemampuan untuk melaksanakannya sendiri mereka tagihkan adalah sesuai tariff yang
antara lain karena faktor SDM, fasilitas sarana ditawarkan kepada pelanggan mereka.
pergudangan atau armada transportasi yang Handling fee adalah pendapatan usaha
dimiliki maupun kemampuan finansil. Dalam perusahaan International Freight Forwarding
dibedakan antara handling fee untuk ekspor, penjelasan atas Undang-Undang PPN 1984
impor dan pengiriman domestik (antar pulau). disebutkan sebagai berikut:
Berdasarkan surat-surat jawaban terdahulu Pertambahan nilai itu sendiri timbul
dari Dirjen Pajak kepada wajib pajak mengenai karena dipakainya faktor-faktor
reimbursement ini, ditegaskan, bahwa pada produksi di setiap perusahaan dalam
dasarnya semua tagihan Reimbursable items menyiapkan, menghasilkan,
tidak dikenakan PPN (bukan objek PPN) asal menyalurkan dan memperdagangkan
memenuhi empat syarat (bersifat kumulatif) barang atau pemberian pelayanan jasa
yang harus dipenuhi: (a) Dokumen dari pihak kepada para konsumen. Semua biaya
ketiga harus atas nama shipper, atau untuk mendapatkan dan
mencantumkan freight forwarder qq nama mempertahankan laba termasuk
shipper; (b) Pada saat meminta penggantian bunga modal, sewa tanah, upah kerja
reimbursement, dokumen yang asli (butir a) dan laba pengusaha merupakan unsur
diserahkan kepada shipper; (c) Pada saat pertambahan nilai yang menjadi dasar
meminta penggantian, tidak boleh di mark-up; pengenaan PPN. Jadi berdasarkan
(d) Dalam kontrak/perjanjian ada klausul yang pengertian tersebut, sebenarnya laba
jelas dan tegas mengenai reimbursable items. pengusaha dari perusahaan jasa
Lain halnya dengan elemen Freight, karena International Freight Forwarding
elemen yang satu ini tidak sesederhana items (yang dalam pengertian secara
tagihan lainnya (butir 2-7) dalam perlakuan sederhana, dalam siklus kegiatan
perpajakannya. usaha perdagangan secara normal
adalah merupakan selisih dari harga
Freight selama ini dianggap untouchable jual dengan harga beli atas
dan untaxable barang/jasa) adalah merupakan objek
Freight adalah suatu imbalan/balas jasa PPN.
yang dibayarkan kepada pengangkut (shipping
liner/airliner) yang mengangkut dan Pengertian lain dari nilai tambah adalah
menyerahkan muatan barang/kargo dengan suatu nilai yang merupakan hasil penjumlahan
selamat sampai ke pelabuhan tujuan. Antara biaya produksi atau distribusi yang meliputi
freight yang dibayarkan oleh International penyusutan, bunga modal, gaji/upah yang
Freight Forwarder kepada perusahaan dibayarkan, sewa telepon, listrik serta
penerbangan (airliner) atau perusahaan pengeluaran lainnya, dan laba yang diharapkan
pelayaran samudera (shipping liner) dan freight oleh pengusaha. Secara sederhana, Nilai
yang dijual oleh International Freight Tambah di bidang perdagangan dapat juga
Forwarder kepada pelanggan mereka terdapat diartikan sebagai selisih antara harga jual
selisih freight yang pada hakekatnya dengan harga beli barang dagangan (Untung
merupakan nilai tambah dan pada dasarnya Sukardji, 1999)
nilai tambah freight tersebut merupakan Pada prinsipnya semua barang dan jasa
keuntungan dari International Freight merupakan objek PPN, karena PPN dikenakan
Forwarder, dimana selisih tersebut merupakan atas konsumsi barang dan atau jasa di dalam
keuntungan yang didapat oleh perusahaan daerah pabean. PPN dikenakan pada semua
International Freight Forwarder. Selisih tahapan produksi/distribusi/ pemasaran. Yang
freight yang merupakan tambahan biaya yang menjadi permasalahan adalah apakah konsep
dibebankan oleh perusahaan jasa International tariff tunggal (single tariff) yakni tariff 10%
Freight Forwarding kepada pelanggannya atas penyerahan barang dan jasa yang
merupakan Jasa Pengurusan Transportasi dan diterapkan dalam UU PPN No. 8 Tahun 1983
tidak termasuk dalam jasa freight yang tidak tentang PPN barang dan jasa dan Pajak
dikenakan PPN. Oleh sebab itu selisih freight Penjualan atas barang mewah yang diubah
tersebut memiliki potensi sebagai objek PPN. dengan Undang-undang No. 11 Tahun 1994
Untuk memperkuat dasar pengenaan pajak dan No. 18 Tahun 2000 tersebut cocok
atas unsur pertambahan nilai tersebut, dalam digunakan dalam melakukan pemajakan
terhadap obyek PPN atas nilai tambah freight
ataukah karena atas dasar pertimbangan tertentu subyek pajak, obyek pajak, tariff pajak dan
lebih tepat menggunakan tariff efektif dengan prosedur pajak, harus menjamin keadilan yang
persentase tariff yang disepakati? ingin dicapai melalui tax treatment tertentu
Bila perusahaan International Freight (Mansury, R, 1996:5-6)
Forwarding pada akhirnya disepakati lebih Sesuai dengan mekanisme pemungutannya,
cocok menerapkan Dasar Pengenaan Pajaknya PPN menganut prinsip tempat tujuan
untuk sampai kepada perhitungan tariff efektif (destination principle) yang menunjukkan sifat
tersebut tentu tidak dapat diselesaikan secara netral PPN terhadap pola konsumsi dan netral
sepihak oleh fiskus karena pasti akan di bidang perdagangan internasional. Di pihak
mengganggu rasa keadilan dari wajib pajak dan lain perluasan pengenaan PPN dapat
selanjutnya akan terjadi counter productive meningkatkan netralitas Undang-undang PPN
terhadap penerimaan Negara, apalagi sengketa terhadap kebebasan para pengusaha untuk
(dispute) yang terjadi akan menjadi suatu memilih cara memproduksi dan/atau
pemicu terjadinya sengketa pajak antara wajib mendistribusikan barang dan jasa, sehingga
pajak dengan fiskus. Adanya dispute mengenai membuka peluang untuk persaingan usaha yang
penafsiran undang-undang dengan segala lebih wajar, dan efisien. Ketidaksetaraan
peraturan pelaksanaanya itu dapat terjadi perlakuan antara barang dan jasa juga
karena mungkin perumusan undang-undang itu merupakan issu penting yang mencerminkan
sendiri yang kurang tegas sehingga mudah kekurangnetralan pajak, sehingga kaidah
ditafsirkan secara remang-remang (grey area). netralitas pajak bisa menjadi terganggu.
Menurut Adam Smith, pemungutan pajak Secara umum dapat dikatakan, bahwa
hendaknya didasarkan atas empat kaidah/azas hubungan antara Pengangkut dan Agen pada
perpajakan, yakni Equality (azas keadilan), perusahaan penerbangan international atau
Certainty (azas kepastian hukum), Convenience perusahaan pelayaran samudera (airliner atau
of payment (azas ketepatan waktu pemungutan shipping liner) agak berbeda. Airliner lebih
dan Economy in collection (azas pemungutan tergantung pada cargo agent dalam menjual
pajak yang ekonomis/efisien). space barang atau penumpang. Disamping
Keadilan merupakan prinsip dasar pemajakan itu, komisi keagenan yang diberikan
atas penyerahan barang atau jasa kena pajak perusahaan penerbangan lebih tinggi dari pada
yang harus dijadikan suatu kriteria dalam yang diberikan perusahaan pelayaran (Irsyaf
perumusan, pemilihan dan penilaian kebijakan Syarif, 1998).
pajak dan ketentuan perpajakan. Untuk Selain sebagai agen murni, International
meningkatkan keadilan, dalam perubahan Freight Forwarder bisa juga bertindak selaku
Undang-undang PPN 2000 telah diambil principal atau contracting carrier atau sebagai
kebijakan perluasan objek PPN (Pasal 4A dan wakil pemilik barang yang bertindak untuk dan
Pasal 16D), penghapusan fasilitas perpajakan atas nama pemilik barang, menerima order atau
serta kenaikan tariff pajak penjualan barang shipping instruction. Sebagai principal atau
mewah. contracting carrier atau wakil pemilik barang
Dengan demikian azas kepastian hukum dari banyak shipper dengan volume cukup
(certainty) sangat penting untuk menghindari besar, freight forwarder mempunyai bargaining
terjadinya dispute persepsi antar fiskus dengan position yang lebih kuat dalam menegosiasikan
wajib pajak dalam menafsirkan nilai tambah tariff freight yang harus dibayarnya kepada
freight yang pada akhirnya berpengaruh pada pihak pengangkut yakni perusahaan
perbedaan dalam perlakuan perpajakannya. penerbangan international atau perusahaan
Menurut Adam Smith, kepastian adalah lebih pelayaran samudera (airliner atau shipping
penting dari keadilan. Jadi suatu sistem yang liner) ketimbang hanya sebagai cargo agent
telah dirancang menurut azas keadilan, tanpa yang menerima komisi yang relatif kecil. Jadi
kepastian bisa tidak adil atau tidak selalu adil. dalam statusnya selaku principal, International
Prof. Dr. Mansury, Guru Besar Ilmu Perpajakan Freight Forwarder mendapatkan keuntungan
UI, berpendapat, bahwa seharusnya kepastian dari selisih freight antara tariff freight yang
itu harus menjamin tercapainya keadilan dalam dijual kepada eksportir atau pemilik barang
pemungutan pajak, yakni kepastian tentang
Tabel 1

AGENT PRINCIPAL
1 Status - Selaku Agen dari pemilik barang
- Selaku Principal dari Carrier dan
(shipper/consignee) atau Badan Usaha lainnya seperti pemilik
principal. kapal/pesawat, angkutan darat,
Kereta api, pengelola gudang,
packing, dll.

- Dalam mengatur pengangkutan - Dalam mengatur pengangkutan


barang atas dasar aturan barang atas dasar Sales Contract dan
tradisional keagenan, patuh atau Condition of Contract mengenai
kepada principalnya Carriers Limitation of Liability

2 Batas tanggung jawab - Memiliki tanggung jawab - Memiliki tanggung jawab yang lebih
terbatas, sebatas dalam luas, tidak hanya sebatas atas
melaksanakan fungsinya atas kesalahan yang dilakukan oleh
dasar aturan tradisional karyawannya sendiri tetapi juga
keagenan. terhadap kesalahan pihak-pihak yang
Bertanggung jawab atas terkait.
kesalahan yang dilakukan
oleh karyawannya sendiri.
- Bertanggung jawab atas segala
kerusakan maupun kehilangan
barang selama dalam masa
pengangkutan, kecuali biula
diakibatkan oleh keadaan barangnya
sendiri, act of God, atau kejadian
diluar kekuasaannya.

- Menerima tanggung jawab atas


- Tidak mau menerima tanggung kesalahan maulun kelalaian pihak
jawab atas kesalahan maupun ketiga seperti carrier, re forwarder.
kelalaian pihak ketiga seperti
carrier, re forwarder, dst.nya,
dengan catatan bahwa dia telah
memilih pihak ketiganya itu
dengan sungguh-sungguh.
a. Konsolidasi(Groupage) - Tidak melakukan konsolidasi - Melakukan konsolidasi muatan kargo
muatan kargo muatan kargo
4 Multi Modal Transport- Tidak melakukan intergrasi - Berada dalam mata rantai kegiatan
atau pelayanan Door To muatan dan pelayanan door bisnis angkutan yang terintegrasi atau
Door atau Borongan to door atau borongan melakukan pelayanan door to door
atau borongan
5 Dokumen Pengapalan - Master Airwaybill untuk - Master & House Airwaybill untuk
Udara/Laut angkutan udara angkutan udara
- Master Bill of Lading untuk - Master & House Bill of Lading untuk
angkutan laut angkutan laut
- Tidak menerbitkan FIATA Bill of
- Menerbitkan FIATA Bill of Lading
Lading
6 Penghasilan Intl - Komisi dari perusahaan - Komisi dari perusahaan penerbangan
Freight Forwarder penerbangan atau pelayaran atau pelayaran serta mark-up dari
maupun dari pemilik barang freight
(shipper/consignee)
Sumber : Dirangkum dari beberapa sumber : UN ESCAP 1990: Manual on Freight Forwarding, hal 1.7-1.8, 4.14;
Istopo. 1992. Unimoda dan Multimodal Transport Angkutan Barang Terpadu, Laut dan Udara, hal 13, 20-22; Irsyad
Syarif. Meningkatkan Professionalisme Menghadapi Era Pasar Bebas Global; Wawancara dengan Freight
Forwarders-group PT. XYZ.
dengan tariff freight yang dibayarkan kepada sebesar 0%. Bila perusahaan International
pihak pengangkut. Freight Forwarding mengenakan PPN 10%
Selain dari pada itu, International Freight atas tagihan airfreight kepada pengusaha
Forwarder juga bertindak sebagai principal eksportir atau shipper karena adanya
untuk jasa pelayanan terpadu seperti door to pertambahan nilai daripada freight tadi, besar
door services. Jadi dalam statusnya sebagai kemungkinan shipper tersebut akan
operator jasa pelayanan terpadu semacam itu, menolaknya karena dasar hukum/pengenaannya
International Freight Forwarder mendapatkan tidak sesuai dengan maksud yang terkandung
keuntungan dari selisih freight antara tariff dalam Ps. 5 dan 13 PP No. 144 Tahun 2000
yang dibayar secara borongan kepada eksportir yang telah dicabut dan digantikan dengan PP
atau pemilik barang (shipper) dengan tariff No. 1 Tahun 2012 (meskipun sebenarnya
freight yang dibayarkan kepada pihak pengusaha eksportir atau shipper tersebut dapat
pengangkut tadi. mengkreditkan pajak masukan bahkan meminta
Beberapa perbedaan secara umum antara restitusi atas kelebihan bayar PPN); dan bagi
kedudukan Freight Forwarder selaku Agent dan pengusaha khususnya non PKP (bukan
selaku Principal, sebagai berikut: (Tabel 1) Pengusaha Kena Pajak) PPN DN dampaknya
terhadap harga perolehan barang yang menjadi
Permasalahan yang timbul sehubungan beban konsumen akhir akan menjadi lebih
dengan tipologi atau kedudukan Freight mahal.
Forwarder (Sebagai Agent atau sebagai Kebijakan pemungutan PPN atas biaya
Principal) yang berpengaruh terhadap angkutan luar negeri nampaknya bersesuaian
perlakuan Pajak PPN atas Nilai Tambah dengan kaidah/prinsip destinasi dalam
Freight (selisih freight) memperlakukan pajak atas pertambahan nilai
Permasalahannya dimulai dari barang. Pergerakan transaksi-transaksi jasa
ketidaksamaan antara praktek/implementasinya perusahaan angkutan udara internasional ke
dengan teori/konsep dan objek PPN yang perusahaan International Freight Forwarding
terkandung dalam freight. Dari segi yang kemudian dari perusahaan jasa Freight
konsepsional, bila perusahaan angkutan udara Forwarding ke pengusaha eksportir atau
luar negeri (airliner) yang menagih airfreight shippers menggambarkan proses terjadinya
kepada Freight Forwarder tanpa dikenakan nilai tambah yang pada dasarnya adalah
PPN atas airfreight tersebut, hal ini masih dapat merupakan objek pengenaan PPN dengan tariff
dibenarkan sejalan dengan kaidah dalam prinsip 10%. Jadi mustahil bisa diterapkan bila yang
pemajakan yang berdasarkan prinsip destinasi menjadi dasar pengenaan PPN 10% tersebut
(destination principle) bagi barang ekspor. adalah selisih freight -nya dan secara transparan
Namun kondisinya akan lain lagi bila dipaparkan perhitungannya (harga jual harga
penerapannya di bidang perusahaan beli freight) dalam faktur pajak?, karena
International Freight Forwarding yang bagaimana mungkin suatu perusahaan
merupakan usaha penunjang udara (bukan JPT/Freight Forwarding membuka rahasia
sebagai main airliner) karena terdapat nilai dapur mereka sendiri kepada pengusaha
tambah freight dimana sebenarnya nilai tambah eksportir atau shippers atas selisih keuntungan
freight tersebut merupakan keuntungan atau freight tadi.
mark-up yang diperoleh oleh perusahaan Bila dikaitkan dengan tipologi Freight
International Freight Forwarding yang harus Forwarder seperti yang diuraikan diatas, maka
dikenakan PPN jasa. sebagai contracting carrier atau principal
Namun dalam hal mekanisme pemungutan kedudukan pengusaha JPT/IFF dalam multi
PPN, pengenaan PPN atas nilai tambah freight modal transportation akan sangat berbeda jauh
tersebut dengan tarif 10% kepada eksportir atau dengan bila hanya bertindak terbatas sebagai
shippers agak dilemmatis, karena para Agent. Sebagai Contracting Carrier atau
pengusaha eksportir atau shippers sudah Principal, posisinya sangat menentukan karena
mengetahui betul bahwa terhadap biaya perusahaan JPT/IFF tersebut memiliki
angkutan luar negeri tidak dikenakan PPN atau tanggung jawab yang jauh lebih luas, tidak saja
yang setara dengan pemberlakuan tariff PPN bertanggung jawab atas namanya atau
kesalahannya sendiri tetapi juga bertanggung meskipun perusahaan penerbangan Inter-
jawab terhadap seluruh pelaksanaan angkutan national tersebut berdomisili/berkedudukan di
selama barangnya masih berada dalam Indonesia. Dengan alasan, bahwa penyerahan
pengawasan pengangkut (Carrier) atau multi jasa di luar negeri tidak terutang PPN, maka
modal lainnya, sesuai dengan permintaan jasa angkutan ke luar negeri tidak termasuk jasa
pelanggannya. Jadi disini para eksportir tidak yang dikenakan PPN. Atau dengan kata lain,
akan mendapatkan pelayanan/berhadapan jasa penerbangan luar negeri dibebaskan dari
langsung dengan pihak pengangkut/Carrier pengenaan PPN jasa.
(airliner atau shipping liner) karena tanggung Pada tingkatan/alur penyerahan jasa freight
jawab pengangkutan barang tersebut sudah dari International Freight Forwarder kepada
beralih kepada pengusaha JPT/IFF, sehingga eksportir/shippers/consignees sebetulnya tidak
bila terjadi claim pengangkutan, kehilangan lagi merupakan penyerahan jasa yang murni
atau keterlambatan barang sampai di tempat 100% di luar daerah pabean. Terdapat nilai
tujuan, maka urusan ini akan ditangani oleh tambah freight (selisih freight) yang sebenarnya
pengusaha JPT/IFF langsung kepada Carrier- tidak termasuk dalam jasa freight yang tidak
nya, sedangkan keterlibatan pihak eksportir dikenakan PPN karena tambahan biaya yang
dalam kasus ini hanya sebatas penyelesaian dibebankan oleh perusahaan JPT/Freight
secara hukum atau mufakat dengan pengusaha Forwarding kepada pengusaha eksportir atau
JPT/IFF saja. shipper tersebut pada dasarnya merupakan Jasa
Lalu, bagaimana dampaknya terhadap pengurusan Transportasi yang tidak bebas PPN
potensi PPN yang terkandung di dalam freight dengan tariff 10%. Atau dengan kata lain
dari setiap shipment yang diangkut ke luar terdapat bahagian tertentu yang merupakan
negeri? Selama mekanisme pemungutan PPN keuntungan atau mark up dari jasa freight
(dengan sistem Pajak Masukan dan Pajak forwarder yang termasuk dalam syarat-syarat
Keluaran atau dengan tariff efektif) tidak penyerahan jasa yang dikenakan pajak.
berjalan mengikuti pola yang berlaku secara Sebagai ilustrasi, dibawah ini diperlihatkan
prosedural, maka selama itu pulalah potensi seberapa besar potensi perkiraan penerimaan
pemasukan PPN sebagai salah satu sumber Negara dari PPN atas transaksi airfreight
penerimaan Kas Negara RI akan menjadi charges pada perusahaan PT. XYZ yang belum
hilang. Demikian pula halnya bila dapat direalisasikan.
pengangkutan barang ekspor ke luar negeri
dilakukan dengan sistem yang non-regular Data eksport
yakni secara door to door, dimana posisi airfreight PT. XYZ Dlm Rp.
perusahaan JPT/IFF sudah jelas merupakan tahun 2010
Principal yang memberikan pelayanan secara Pembelian export
terpadu dan freight secara borongan, maka airfreight charges
dari airliner 33,4 milyar
batas antara mana yang unsur freight dan non Pembelian
freight sudah kabur sehingga selisih freight airfreight charges
yang menjadi unsur profit margin dari Freight door to door 0,7 milyar
Forwarder itupun tidak lagi dihitung per cost Total Pembelian
item dari setiap job tetapi cenderung dihitung export airfreight
charges 34,1 milyar
secara totalitas profit margin per job item. Penjualan export
Bagaimana pula praktiknya pada export airfreight kepada 35,8 milyar
shipment udara? Selain dari pada komisi pelanggan
freight, export airfreight yang ditagihkan oleh Penjualan airfreight
International Airliner kepada International charges door to door 0,9 milyar
Total Penjualan
Freight Forwarder hingga saat ini tidak export airfreight 36,7 milyar
terutang PPN 10%. Sampai tingkatan ini masih charges
bisa dipahami, karena penyerahan jasa Asumsi komposisi pelanggan semuanya
airfreight tersebut untuk angkutan ke luar adalah pengusaha kena pajak.
negeri murni 100% dilakukan di luar daerah
pabean atau di luar jurisdiksi pemajakan PPN,
Maka berdasarkan data tersebut diatas selisih tersebut pada dasarnya adalah
dapat dihitung potensi perkiraan penerimaan merupakan nilai tambah airfreight yang
PPN nya untuk tahun 2010 sebagai berikut: berpotensi dikenakan PPN karena tambahan
biaya yang dibebankan oleh International
Freight Forwarder kepada pengusaha
PPN atas perkiraan penerimaan eksportir/shipper pada hakekatnya merupakan
komisi International Freight
Jasa Pengurusan Transportasi yang tidak bebas
Forwarder (dengan asumsi
komisi 5%) dari Airliners : 10/110
PPN dengan tariff 10%. Kalau mustahil bisa
* 5% * Rp. 34,1 milyar dikenakan kepada eksportir atau pembeli
barang, lalu apakah PPN atas selisih freight
155,0 juta tersebut akan menjadi tanggungan sendiri dari
Freight Forwarder dan bagaimana mekanisme
PPN atas perkiraan nilai pemungutannya?
tambah/selisih airfreight 10% * Selain dari pada itu, perusahaan JPT/IFF
(36,7 M 34,1 M) juga bertindak sebagai principal untuk jasa
pelayanan terpadu seperti door to door services.
260,0 juta Jadi dalam statusnya sebagai operator jasa
Total potensi perkiraan pelayanan terpadu semacam itu, perusahaan
penerimaan PPN 425,0 juta
JPT/IFF juga mendapatkan keuntungan dari
selisih freight antara tariff yang dibayar secara
Kalkulasi tersebut diatas baru merupakan
borongan kepada eksportir/shipper dengan
proyeksi/perkiraan dari satu perusahaan
tariff freight yang dibayarkan kepada pihak
International Freight Forwarding khusus
pengangkut tadi.
aircargo kelas menengah, dan bila
diakumulasikan dari semua perusahaan
Perlakuan Pajak atas Freight Charges dan
International Freight Forwarding di seluruh
Reimbursement
Indonesia, maka total potensi perkiraan
Sebagaimana dikemukakan diatas,
penerimaan PPN akan signifikan. Memang ada
sehubungan dengan telah diterbitkannya
fiskus sementara berpendapat, bahwa bila PPN
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
diterapkan terhadap airfreight oleh
38/PMK.011/2013 tentang Perubahan atas
International Freight Forwarder kepada
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
eksportir, dengan mekanisme pemungutan PPN
75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai
(PK-PM), maka akhirnya PPN tersebut akan
Dasar Pengenaan Pajak, Surat Edaran No.
direstitusi kembali oleh Negara kepada
33/PJ/2013 menegaskan beberapa hal untuk
eksportir karena PPN terhadap barang ekspor
memperjelas penerapan Dasar Pengenaan Pajak
adalah 0% (destination principle), dan ini pula
berupa Nilai Lain untuk penyerahan jasa
berarti, bahwa penerimaan Negara dari PPN
pengurusan transportasi (freight forwarding)
atas airfreight tersebut menjadi nihil. Pendapat
(JPT/FF) yang di dalam tagihan jasa
itu memang ada benarnya, namun mekanisme
pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya
pemungutan PPN (PK-PM) atas airfreight
transportasi (freight charges). Surat Edaran
mustahil dapat diterapkan dalam praktek bisnis
tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan dan
angkutan udara internasional karena tidak lazim
sekaligus bertujuan untuk dijadikan pedoman
pengenaan PPN atas airfreight menjadi
dalam penerapan Dasar Pengenaan Pajak
tanggungan pembeli/pemilik barang dan belum
berupa Nilai Lain untuk penyerahan JPT/FF
ada satu negarapun yang menerapkan
yang di dalam tagihan jasa pengurusan
pengenaan PPN atas airfreight untuk angkutan
transportasi tersebut terdapat biaya transportasi
udara internasional. Yang menjadi pokok
(freight charges) sehingga tidak terdapat
permasalahan disini adalah, bahwa terdapat
perbedaan dalam pelaksanaannya di lapangan.
selisih airfreight antara harga airfreight yang
Berdasarkan SE No. 33/PJ/2013 tentang
dijual oleh International Freight Forwarder
Perlakuan PPN atas penyerahan jasa
kepada pelanggannya dengan harga perolehan
pengurusan transportasi (freight forwarding)
airfreight yang dibayarkan kepada airliners dan
(JPT/FF) yang di dalam tagihan jasa
pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya oleh pihak ketiga, maka semua tagihan-tagihan
transportasi (freight charges), ditegaskan pihak ketiga tersebut biasanya ditalangi dulu
bahwa: (1) Dasar Pengenaan Pajak berupa Nilai oleh JPT/IFF tentu saja setelah mendapat
Lain digunakan untuk penyerahan JPT/FF persetujuan dari eksportir/Importir atau
yang di dalam tagihan JPT/FF tersebut terdapat shippers/consignees terlebih dulu, untuk
biaya transportasi (freight charges); (2) Dalam kemudian ditagihkan kembali untuk di
melakukan kegiatan usahanya, pengusaha reimburse oleh shippers/importers tersebut.
JPT/FF dapat menyerahkan JPT/FF yang dapat Tergantung pada order atau shipping
terdiri dari satu atau beberapa kegiatan instruction dari eksportir/Importir atau
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) shippers/ consignees, namun secara umum
PP. Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di tagihan atas jasa JPT/IFF kepada para
Perairan. Kegiatan yang dilakukan dalam pengguna jasa freight forwarding terdiri dari
penyerahan JPT/FF dapat termasuk biaya elemen (items) berikut ini: (1) Biaya Freight
transportasi (freight charges). Walaupun (Airfreight/Seafreight charges); (2) Biaya
penyerahan JPT/FF dapat terdiri dari satu atau Customs Duty yakni Bea masuk, Pajak Ekspor,
beberapa kegiatan, satu atau beberapa kegiatan PPN Import, PPn Barang Mewah, PPh Ps. 22
yang diserahkan tersebut tetap merupakan satu (khusus untuk barang impor dikenakan,
kesatuan, yaitu penyerahan JPT/FF, sehingga sedangkan untuk barang ekspor tidak
kewajiban Pengusaha Kena Pajak untuk dipungut); (3) Biaya Storage/Warehouse
membuat Faktur Pajak atas setiap penyerahan (pergudangan); (4) Biaya Customs Clearance;
Jasa Kena Pajak wajib dilakukan. Faktur Pajak (5) Biaya Trucking (termasuk lift on/off); (6)
yang dibuat harus memenuhi persyaratan Handling Fee (Jasa handling); (7) Demurrage.
formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5) UU PPN dan harus memenuhi (1) Untuk tagihan items no. 2 & 3 pada
persyaratan material sebagaimana dimaksud umumnya akan ditagihkan oleh perusahaan
dalam Pasal 13 ayat (9) UU PPN, yaitu Faktur JPT/IFF kepada pelanggan (customer) mereka
Pajak berisi keterangan yang sebenarnya atau tadi sebagai tagihan biaya reimbursement pihak
sesungguhnya mengenai penyerahan Jasa Kena ketiga tanpa mark-up, penagihannya dilakukan
Pajak. dalam satu Invoice bersamaan dengan tagihan
Tagihan sebagaimana dimaksud pada biaya-biaya lainnya setelah kegiatan
angka 2 huruf b adalah hasil dari keseluruhan pengiriman/penyerahan barang selesai
proses menagih atas nilai penyerahan JPT/FF dilaksanakan. Kecuali dalam hal dimana cara
oleh pengusaha JPT/FF kepada pengguna pelayanan pengiriman barang dilakukan secara
JPT/FF, yang besarnya sama dengan nilai door to door shipment atau secara borongan
penyerahan JPT/FF itu sendiri sebagai satu dan penagihan dilakukan tanpa memerincikan
kesatuan tanpa membedakan apakah nilai biaya-biaya yang dikeluarkan dalam Invoice,
penyerahan JPT/FF tersebut ditagih dengan satu maka dalam kondisi semacam ini semua
atau beberapa dokumen tagihan. tagihan jasa tersebut dikenakan PPN (objek
PPN)
Reimbursement (2) Sedangkan untuk tagihan items no. 1, 4, 5, 6
Dari sekian banyak jenis jasa yang dan 7 biasanya tarifnya sudah di mark-up
ditawarkan oleh pengusaha JPT/IFF kepada terlebih dahulu (berdasarkan persetujuan
pelanggan atau calon pelanggannya sesuai pelanggan mereka sebelumnya). Bila
dengan ijin usahanya yang diberikan oleh perusahaan JPT/IFF tersebut memiliki armada
Menteri Perhubungan, tidak semua pengusaha pengangkutan sendiri, maka pasti tariff yang
JPT/IFF memiliki kemampuan untuk mereka tagihkan adalah sesuai tariff yang
melaksanakannya sendiri antara lain karena ditawarkan kepada pelanggan mereka.
faktor SDM, fasilitas pergudangan atau armada Handling fee juga dibedakan antara handling
transportasi yang dimiliki maupun kemampuan fee untuk ekspor, impor dan pengiriman
finansil. Dalam kondisi dimana kegiatan seperti domestik (antar pulau).
pergudangan, pengepakan, fumigasi,
pengangkutan, dan kegiatan lainnya dilakukan
Berdasarkan surat edaran Dirjen Pajak No. dan/atau kereta api tersebut, antara lain fuel
33/PJ/2013 tentang Perlakuan PPN atas surcharge.
penyerahan jasa pengurusan transportasi Penggunaan Dasar Pengenaan Pajak
(freight forwarding) (JPT/IFF) yang di dalam berupa Nilai Lain adalah hanya untuk
tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut penyerahan JPT/FF yang di dalam tagihannya
terdapat biaya transportasi (freight charges), terdapat tagihan biaya transportasi (freight
dinyatakan bahwa tidak termasuk penyerahan charges), dan penggunaan Dasar Pengenaan
JPT/IFF adalah reimbursement tagihan dari Pajak tersebut berkonsekuensi pada tidak dapat
pihak ketiga (yang tidak dikenakan PPN), dikreditkannya Pajak Masukan yang
sepanjang memenuhi kondisi sebagai berikut: berhubungan dengan penyerahan JPT/FF yang
(1) Dalam hal tagihan dari pihak ketiga (selain pengenaan PPN-nya menggunakan Dasar
pemerintah/negara), identitas pengguna Pengenaan Pajak berupa Nilai Lain tersebut.
JPT/IFF tercantum sebagai pihak yang tertagih
dalam dokumen tagihan dari pihak ketiga Contoh Beberapa Transaksi Penyerahan
(selain pemerintah/negara) tersebut; (2) Dalam JPT/FF beserta Perlakuan PPN atas
hal pembayaran kewajiban kepada Penyerahan JPT/FF
pemerintah/negara yang menggunakan Surat Untuk lebih memahami lebih jauh tentang
Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Pabean, implementasi pemajakan PPN atas penyerahan
Cukai dan Pajak Dalam Rangka Impor JPT/FF yang sesuai SE- 33 /PJ/2013, dapat
(SSPCP), Surat Setoran Penerimaan Negara disampaikan beberapa contoh yang diberikan
Bukan Pajak (SSPNBP), dan/atau dokumen dalam surat edaran tersebut sebagai berikut:
pembayaran lainnya kepada pemerintah/negara,
identitas pengguna JPT/IFF tercantum sebagai Contoh 1:
pihak yang wajib melakukan pembayaran PT ABC sebagai pengusaha JPT/FF
kepada pemerintah/negara tersebut; (3) Diatur melakukan penyerahan JPT/FF berupa biaya
dalam kontrak/perjanjian antara perusahaan transportasi menggunakan moda angkutan
JPT/IFF dan pengguna JPT/IFF yang (freight) kapal laut, dengan nilai sebesar
menyatakan bahwa terdapat reimbursement Rp50.000.000,00 (belum termasuk PPN),
tagihan dari pihak ketiga yang harus dibayar kepada PT Z.
oleh pengguna JPT/IFF yang kemudian akan Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan
disetorkan oleh perusahaan JPT/IFF kepada untuk penghitungan PPN yang terutang atas
pihak ketiga; dan (4) Penerimaan pembayaran penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain
untuk reimbursement tagihan dari pihak ketiga sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang
yang diterima dari pengguna JPT/IFF tidak ditagih atau seharusnya ditagih, karena di
dicatat/diakui sebagai penghasilan oleh dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut
perusahaan JPT/IFF dan penyetoran terdapat biaya transportasi (freight charges).
reimbursement tagihan kepada pihak ketiga PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF
yang bersangkutan tidak dicatat/diakui sebagai tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan
biaya/beban oleh perusahaan JPT/IFF. Pajak = 10% x (10% x Rp50.000.000,00) =
Contoh reimbursement tagihan dari pihak Rp500.000,00.
ketiga antara lain pembayaran PPN Impor, PPh
Pasal 22 Impor, Bea Masuk, Pajak Ekspor, dan Contoh 2:
biaya transportasi (freight charges), sedangkan PT DEF sebagai pengusaha JPT/FF
Freight charges merupakan biaya transportasi melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari
yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya kegiatan penyimpanan sementara atas barang
dibayar oleh pengguna jasa, yang dapat berupa yang akan diekspor dengan nilai sebesar
biaya transportasi dengan menggunakan moda Rp30.000.000,00, pengurusan penyelesaian
angkutan berupa pesawat, kapal, dan/atau dokumen dengan nilai sebesar
kereta api. Termasuk dalam pengertian freight Rp20.000.000,00, dan biaya transportasi
charges adalah biaya-biaya yang dikeluarkan menggunakan moda angkutan (freight) kapal
yang terkait dengan biaya transportasi dengan laut dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00,
menggunakan moda angkutan pesawat, kapal, sehingga nilai total penyerahan JPT/FF adalah
sebesar Rp100.000.000,00 (belum termasuk kegiatan penyimpanan sementara atas barang
PPN), kepada PT Y. yang akan diekspor dengan nilai sebesar
PT DEF melakukan penagihan kepada PT Rp15.000.000,00, pengurusan penyelesaian
Y dengan menerbitkan satu dokumen tagihan. dokumen dengan nilai sebesar Rp5.000.000,00,
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk dan pengurusan biaya transportasi dengan
penghitungan PPN yang terutang atas menggunakan moda angkutan (freight) kapal
penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain laut dengan nilai fee sebesar Rp2.000.000,00,
sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang sehingga nilai total JPT/FF yang diserahkan
ditagih atau seharusnya ditagih, karena di adalah sebesar Rp22.000.000,00 (belum
dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut termasuk PPN), kepada PT W.
terdapat biaya transportasi (freight charges). Terkait dengan penyerahan JPT/FF yang
PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF dilakukan oleh PT JKL, terdapat tagihan dari
tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan pengusaha jasa angkutan (freight) laut yang
Pajak = 10% x (10% x Rp100.000.000,00) = dalam dokumen tagihan tersebut PT W
Rp1.000.000,00. tercantum sebagai pihak yang tertagih. Tagihan
dari pengusaha angkutan (freight) laut adalah
Contoh 3: sebesar Rp60.000.000,00.
PT GHI sebagai pengusaha JPT/FF Dalam kontrak/perjanjian antara PT JKL
melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari dan PT W disepakati bahwa terdapat
kegiatan penyimpanan sementara atas barang reimbursement tagihan dari pengusaha jasa
yang akan diekspor dengan nilai sebesar angkutan (freight) laut yang harus dibayar oleh
Rp30.000.000,00, pengurusan penyelesaian PT W melalui PT JKL. PT JKL tidak
dokumen dengan nilai sebesar mencatat/mengakui reimbursement tagihan dari
Rp20.000.000,00, dan biaya transportasi pengusaha angkutan (freight) laut yang
menggunakan moda angkutan (freight) kapal pembayarannya diterima dari PT W sebagai
laut dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00, penghasilan. Demikian juga PT JKL tidak
sehingga nilai total JPT/FF yang diserahkan mencatat/mengakui penyetoran reimbursement
adalah sebesar Rp100.000.000,00 (belum tagihan kepada pengusaha jasa angkutan
termasuk PPN), kepada PT X. (freight) laut sebagai biaya. Penagihan kembali
PT GHI melakukan penagihan kepada PT (reimbursement) sebesar Rp60.000.000,00
X dengan menerbitkan tiga dokumen tagihan tersebut tidak termasuk penyerahan JPT/FF
untuk menagih masing-masing kegiatan dari yang dilakukan oleh PT JKL.
penyerahan JPT/FF tersebut. Walaupun atas PT JKL melakukan penagihan kepada PT
penyerahan JPT/FF tersebut PT GHI W dengan menerbitkan tiga dokumen tagihan
menerbitkan tiga dokumen tagihan, penyerahan untuk menagih masing-masing kegiatan dari
JPT/FF tersebut merupakan satu kesatuan penyerahan JPT/FF tersebut dengan nilai total
penyerahan JPT/FF. sebesar Rp22.000.000,00. Walaupun atas
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan penyerahan JPT/FF tersebut PT JKL
untuk penghitungan PPN yang terutang atas menerbitkan tiga dokumen tagihan, penyerahan
penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain JPT/FF tersebut merupakan satu kesatuan
sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang penyerahan JPT/FF.
ditagih atau seharusnya ditagih, karena di Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan
dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut untuk penghitungan PPN yang terutang atas
terdapat biaya transportasi (freight charges). penyerahan JPT/FF tersebut adalah
PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF Penggantian, karena di dalam tagihan JPT/FF
tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan tersebut tidak terdapat biaya transportasi
Pajak = 10% x (10% x Rp100.000.000,00) = (freight charges).
Rp1.000.000,00. PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF
tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan
Contoh 4: Pajak = 10% x Rp22.000.000,00 =
PT JKL sebagai pengusaha JPT/FF Rp2.200.000,00.
melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari
Tabel-1
Analisis Komparatif Perhitungan PPN antara
Kebijakan Lama dengan Kebijakan Baru
Elemen Pendapatan Nilai PPN PPN Beda
Tagihan (Kebijakan (Kebijakan
Lama) Baru)
IDR IDR IDR IDR %
Freight Charges 28.800.000 0 288.000 (288.000)
(sea/air) export
US$ 3,000.00
Trucking 10.000.000 1.000.000 100.000 900.000 90,00%
Handling 500.000 50.000 5.000 45.000 90,00%
Penumpukan (storage) 3.000.000 300.000 30.000 270.000 90,00%
Documentation fee 300.000 30.000 3.000 27.000 90,00%
Administration fee 200.000 20.000 2.000 18.000 90,00%
CFS 2.000.000 200.000 20.000 180.000 90,00%
Total 44.800.000 1.600.000 448.000 1.152.000 72,00%

Contoh 5: PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF


PT MNO sebagai pengusaha JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan
melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari Pajak = 10% x (10% X Rp82.000.000,00) =
kegiatan penyimpanan sementara atas barang Rp820.000,00.
yang akan diekspor dengan nilai sebesar
Rp14.000.000,00, pengurusan penyelesaian Analisis Komparatif Perhitungan PPN
dokumen dengan nilai sebesar Rp6.000.000,00, antara Kebijakan Lama dengan Kebijakan
dan biaya transportasi menggunakan moda Baru
angkutan (freight) kapal laut dengan nilai Dengan mengillustrasikan pada pengusaha
sebesar Rp62.000.000,00, sehingga nilai total JPT/IFF terdapat transaksi-transaksi berikut ini
JPT/FF yang diserahkan adalah sebesar yakni : (i). Freight Charges (sea freight) atas
Rp82.000.000,00 (belum termasuk PPN) export barang adalah sebesar US$ 3,000, (ii).
kepada PT V. biaya trucking Rp 10.000.000, (iii). biaya
Dalam melakukan penyerahan JPT/FF handling Rp 500.000, (iv). biaya penumpukan
tersebut, PT MNO menggunakan moda (storage) Rp 3.000.000, (v). biaya
angkutan (freight) kapal laut, di mana dalam dokumentasi Rp. 300.000, (vi) biaya
dokumen tagihan dari pengusaha jasa angkutan administrasi Rp. 200.000, (vii) biaya CFS
(freight) laut tersebut PT MNO tercantum (container freight station) Rp 2.000.000, maka
sebagai pihak yang tertagih. berikut ini dapat kita lihat secara komparatif
Atas penyerahan JPT/FF dengan nilai pengenaan PPN dari masing-masing unsur
penyerahan total sebesar Rp82.000.000,00 pendapatan (income items) seperti terlihat
tersebut PT MNO menerbitkan tiga dokumen dalam (tabel-1).
tagihan. Walaupun atas penyerahan JPT/FF
tersebut PT MNO menerbitkan tiga dokumen Komentar Penulis
tagihan, penyerahan JPT/FF tersebut Pemberlakuan penerapan dasar pengenaan
merupakan satu kesatuan penyerahan JPT/FF. pajak berupa Nilai Lain untuk Freight Charges
Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan telah merusak prinsip-prinsip dasar dan
untuk penghitungan PPN yang terutang atas karakteristik perpajakan yang terkandung
penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain dalam PPN dan mekanisme PPN dengan cara
sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang me nilai lain kan freight charges tersebut
ditagih atau seharusnya ditagih, karena di untuk perhitungan/pengenaan PPN atas freight
dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut charges di dalam transaksi penyerahan Jasa
terdapat biaya transportasi (freight charges).
Pengurusan Transportasi atau Freight Dengan demikian terdapat kehilangan
Forwading (JPT/FF). penerimaan pemerintah dari pemungutan PPN
Dalam Peraturan Menkeu No. pada setiap shipment ekspor sebesar Rp
38/PMK.011/2013 ditambahkan satu item nilai 1.152.000,00 atau 72%. Jumlah tersebut sangat
lain yakni untuk penyerahan jasa pengurusan material, namun yang jelas, terlihat kesan
transportasi (freight forwarding) yang didalam bahwa kebijakan pajak yang baru ini seperti
tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut dipaksakan untuk diterapkan tanpa didukung
terdapat biaya transportasi (freight charges) landasan teori yang handal atau dengan kata
adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang lain suatu theoritical consept dari tax base-nya
ditagih atau seharusnya ditagih. Pemberlakuan tidak terbidik secara efektif. Solusi kebijakan
penerapan dasar pengenaan pajak berupa Nilai yang ditawarkan harusnya dalam tataran konsep
Lain untuk Freight Charges telah menjadi seperti yang dikemukakan oleh Prof. Mansury
suatu terobosan yang smart terhadap prinsip- (1996:68) yakni Jangan sampai for the ease of
prinsip dasar dan karakteristik perpajakan yang administration itu dikejar dengan
terkandung dalam PPN dan mekanisme PPN, mengorbankan penerapan azas-azas yang harus
dan kebijakan ini berhasil mengangkat suatu dipegang teguh. Dengan demikian Jangan
complicated issue yang terkandung dalam hanya karena lebih
aspek fiskal (theoritical consept untuk mengutamakan/mendahulukan prinsip the ease
membidik selisih freight) padahal sebenarnya administration and compliance (kemudahan
tidak ada suatu urgensi atau complicated issue administrasi dan kepatuhan wajib pajak serta
dari aspek fiskal yang mengharuskan untuk me memberikan kepastian hukum dalam
nilai lain kan freight charges tersebut untuk pengenaan PPN atas penyerahan jasa freight
perhitungan/ pengenaan PPN atas freight forwarding), sementara di sisi lain prinsip
charges di dalam transaksi penyerahan Jasa revenue productivity (menjamin penerimaan
Pengurusan Transportasi atau Freight negara untuk membiayai semua pengeluaran
Forwading (JPT/IFF). negara) atau the principles of adaptability dan
Dari Analisis komparatif Perhitungan PPN principle of adequacy menjadi terganggu atau
antara Kebijakan Lama dengan Kebijakan Baru dikorbankan; (2) Patut mendapat respek
yang dipaparkan dengan illustrasi tersebut terhadap solusi terobosan pemajakan atas
diatas, dapat dikomentari sebagai berikut; (1) freight atau selisih freight yang selama ini
Dalam ketentuan perpajakan yang lama, PPN dianggap untouchable (karena selisih freight
hanya dikenakan terhadap pendapatan yang dari shipment export yang terkandung dalam
diterima dari jasa trucking, handling, ocean freight atau airfreight untuk international
penumpukan (storage), dokumentasi, traffic shipping yang notabene bukan dalam
administrasi, CFS (container freight station). yurisdiksi pemajakan PPN dalam negeri) dan
Karena freight adalah bukan sebagai objek untaxable (karena selisih freight yang
pengenaan PPN sebagaimana telah dijelaskan terkandung dalam ocean freight atau airfreight
dimuka, maka dari illustrasi tersebut diatas, untuk international traffic shipping yang dijual
jumlah PPN yang ditagihkan kepada oleh pengusaha JPT/IFF diperlakukan sebagai
shipper/eksportir adalah sebesar Rp. pendapatan freight yang dikecualikan dari
1.600.000,00. pengenaan PPN), namun di sisi lain,
Dalam ketentuan perpajakan yang baru, disayangkan kebijakan pemajakan tersebut
PPN hanya dikenakan terhadap seluruh selain bisa menjadi kontra produktif bagi
pendapatan yang diterima dari jasa trucking, pemasukan negara, bagi eksportir sendiri pajak
handling, penumpukan (storage), dokumentasi, masukan yang menggunakan nilai lain (tarif
administrasi, CFS (container freight station) efektif 1%) akan berdampak pada tidak bisa
dan freight (dengan dasar pengenaan pajak dikreditkannya PPN atas semua jasa forwarding
menggunakan nilai lain). Karena freight non freight yakni jasa trucking, handling,
sebagai objek pengenaan objek PPN, jumlah penumpukan (storage), dokumentasi,
PPN yang ditagihkan kepada shipper/eksportir administrasi, CFS (container freight station),
adalah sebesar Rp. 448.000,00. demurrage, dll. Dengan demikian Netralitas
pajak bagi pengguna jasa freight forwading
Tabel 2

International Eksportir Pemerintah


Freight
Kebijakan Forwarding
Perpajakan (IFF)
Freight bukan PPN(IN) dari IFF
Lama
objek PPN creditable
Non freight Non freight adalah
sebagai objek creditable
PPN
Tidak mengganggu arus
kas(cash inflow) karena
mekanisme PK-PM
bekerja tanpa
menghilangkan potensi
merestitusi pajak
masukan dari jasa
forwarding non freight
Baru Freight objek PPN(IN) dari IFF Berkurangnya
(Peraturan PPN adalah non creditable setoran PPN
Menkeu No. (menggunakan buat
38/PMK.011 nilai lain) pemasukan kas
/2013) negara
Non freight Non freight adalah non
sebagai objek creditable
PPN
Kerugian dari
berkurangnya arus
kas(cash inflow) karena
mekanisme PK-PM
tidak bekerja ataupun
hilangnya potensi
merestitusi pajak
masukan dari jasa
forwarding non freight

menjadi terganggu. Hal ini sesuai dengan mengalami kerugian dari berkurangnya arus kas
Peraturan Menkeu No.75/PMK.03/2010 yang (cash inflow) karena mekanisme PK-PM tidak
direvisi dengan PMK No.38/PMK.011/2013, bekerja ataupun hilangnya potensi merestitusi
yang menyatakan bahwa Pajak Masukan yang pajak masukan dari jasa forwarding non freight.
berhubungan dengan penyerahan jasa
pengurusan transportasi (freight forwarding) Bila ditabulasikan uraian pada butir 1 dan 2
yang di dalam tagihan jasa pengurusan diatas akan terlihat sebagai berikut: (Tabel 2)
transportasi tersebut terdapat biaya transportasi
(freight charges) yang dilakukan oleh (3) Kebijakan baru pemajakan atas freight
pengusaha jasa pengurusan transportasi tidak tersebut tanpa disadari telah melanggar Pasal
dapat dikreditkan. Padahal sebelum kebijakan 4A UU PPN No. 42/2009 ayat 3 huruf j yang
baru tersebut lahir, PPN atas semua jasa menyebutkan jenis jasa yang tidak dikenai PPN
forwarding non freight dapat dikreditkan. adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa jasa
Dengan demikian shippers/eksportir akan angkutan umum di darat dan di air serta jasa
angkutan udara dalam negeri yang menjadi diselenggarakan berbasiskan Standard
bagian yang tidak terpisahkan dan jasa Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku
angkutan udara luar negeri, karena dasar sudah merupakan suatu indikasi terciptanya
perhitungan PPN adalah 10%x10% x nilai jual suatu nilai tambah yang menjadi objek
freight atau 1% x nilai jual freight. Berbeda pengenaan PPN. Bukankah selain UU Pajak,
halnya bila sistem pemajakannya dirobah SAK juga menjadi pegangan fiskus dalam
dengan dasar perhitungan menjadi 10% x melakukan tax audit atas SPT dan Laporan
selisih freight, ini tentu saja tidak melanggar Keuangan perusahaan?, (5) Kalau bisa
regulasi pajak yang ada serta tidak pula menggunakan metode pengenaan pajak
melanggar kaidah destinasi (destination lain, kenapa harus menggunakan nilai
principle) dan kaidah Netralitas (Neutrality lain untuk pemajakan atas freight?
principle). Kaidah destinasi, berarti Menurut Allan A.Tait dalam bukunya
pemungutan PPN atas freight charges dilakukan Value Added Tax, International Practice and
di luar negeri/ditempat barang/jasa di konsumsi Problems (1988:4), terdapat empat bentuk
sebagai PPN impor. Sedangkan Kaidah dasar pengenaan pajak yakni: (a) The additive -
netralitas berarti bahwa kebijakan perpajakan direct or accounts method :t(wages+profits);
terhadap freight ini juga berpengaruh terhadap (b) The additive -indirect or accounts method
sifat netral/netralitas (Neutrality principle) dari :t(wages) + t(profits); (c)The subtractive -
pada PPN itu sendiri terhadap kegiatan direct method :t(output input); (d) The
usaha/produksi, baik dalam dimensi subtractive -indirect method(the invoice or
perdagangan dalam negeri maupun dalam credit) method :t(output) t(input)
dimensi perdagangan internasional, salah Dari keempat metode penghitungan
satunya dikarenakan tidak bisa dikreditkannya tersebut, UU PPN 1984 menganut Credit
PPN atas semua jasa forwarding non freight; Method/Invoice Method/Indirect Subtraction
(4) Dalam tataran teknis mekanisme Method (Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 9
pemungutan PPN, mengaitkan tagihan atas ayat(2)). Dalam UU PPN 1984 mekanisme
penyerahan jasa pengurusan transportasi pengurangan pajak yang dibayar pada saat
(JPT/IFF) (padahal ada bahagian dari tagihan pembelian terhadap pajak yang dipungut saat
tersebut yang sifatnya reimbursable maupun penjualan disebut mekanisme pengkreditan.
non-reimbursable) yang didalam tagihan Dalam penerapan Credit Method/Invoice
tersebut terdapat biaya transportasi (freight Method/Indirect Subtraction Method, setiap
charges) untuk bisa dijadikan dasar bagi pemungutan PPN oleh Pengusaha Kena Pajak
perhitungan PPN 1% x nilai jual freight, yang bersangkutan wajib membuat Faktur
menurut penulis masih belum jelas apa rujukan Pajak.
yang fundamental landasan teorinya/konsep
PPN yang digunakan oleh pemerintah untuk Menurut penulis, pengenaan PPN atas
dapat dijadikan basis pemajakan. Setidaknya selisih freight tadi sangat cocok bila
masih ada waktu bagi pemerintah untuk menerapkan metode Subtraction atau
menyempurnakannya agar dapat dijadikan Subtractive direct method. Berdasarkan metode
suatu sisipan pasal baru dalam UU PPN ini PPN yang terutang dihitung dari selisih
mendatang yang mengakomodir pemajakan antara harga penjualan dengan harga
atas selisih freight tersebut. pembelian, dikalikan tarif pajak yang berlaku.
Untuk menangkap adanya potensi PPN Contoh :
yang terkandung dalam freight sebagai Harga Jual Freight = Rp 100.000,00
pendapatan negara, sebenarnya konsep yang Harga Beli Freight = Rp 75.000,00
ditawarkan oleh pemerintah sudah baik, namun Selisih/Nilai tambah Freight = Rp 25.000,00
dari sudut pandang pemenuhan asas revenue PPN = tarif x Nilai Tambah = 10% x Rp
productivity konsep tersebut menimbulkan 25.000,00 = Rp 2.500,00
permasalahan baru yang sebenarnya tidak perlu
terjadi karena pada dasarnya timbulnya realisasi Metode ini tidak memperhatikan apakah
transaksi selisih freight yang dapat dijaring dalam harga beli barang/Jasa tersebut terdapat
dari pembukuan komersial yang bahan baku (BKP/JKP) yang diambil langsung
dari sumbernya yang merupakan unsur yang yang baik untuk mematuhi kewajiban
tidak terutang PPN, dan faktor inilah yang perpajakannya dengan baik dan benar.
menjadi pembeda antara Subtraction method
dengan Indirect Subtraction method. Penutup
Nah, untuk dapat mengakomodir Konsep yang ditawarkan oleh pemerintah
pengimplementasian Subtractive direct method untuk menangkap adanya potensi PPN yang
tersebut, pemerintah harus memberikan payung terkandung dalam freight sebagai pendapatan
hukumnya sehingga tujuan pemungutan PPN negara sudah baik, namun dilihat dari sudut
atas selisih freight tersebut dapat tercapai. pandang pemenuhan asas revenue productivity
Dalam prakteknya, berdasarkan contoh atau fungsi budgetair konsep tersebut
diatas, sebenarnya cukup mudah bagi menimbulkan permasalahan baru atau
pengusaha JPT/IFF untuk melaksanakan kelemahan terutama dalam tataran teknis
kewajiban perpajakannya untuk menghitung mekanisme pemungutan PPN.
berapa PPN yang terutang dalam satu masa Tataran konsep dari sistem pemungutan
pajak, karena dari sarana pembukuan (atas PPN yang mengutamakan/mendahulukan
transaksi pembelian berikut PPN masukannya prinsip ease administration and compliance
dan penjualan berikut pajak keluarannya) yang (kemudahan administrasi dan kepatuhan wajib
sudah ada memungkinkan pengusaha JPT/IFF pajak serta memberikan kepastian hukum
mendapatkan angka-angkanya tanpa perlu dalam pengenaan PPN atas penyerahan jasa
pekerjaan administrasi khusus/tambahan untuk freight forwarding) nampaknya tidak berjalan
melakukan perhitungan PPN yang terutang. secara paralel dengan prinsip revenue
Setelah mendapatkan nilai selisih freight-nya, productivity (menjamin penerimaan negara
dari contoh diatas kemudian perusahaan untuk membiayai semua pengeluaran negara)
JPT/IFF membuat SSP nya sebesar Rp 2.500,00 karena kebijakan baru yang diterapkan tidak
untuk disetor ke kas negara via bank persepsi, memiliki dasar teori yang fundamental
dan selanjutnya melaporkan transaksi tersebut sehingga secara konseptual penerimaan
dalam SPT Masa PPN periode yang pemerintah menjadi berkurang.
bersangkutan. Terobosan yang dilakukan oleh
Jasa forwarding non freight adalah pemerintah atas pemajakan atas freight yang
creditable, sehingga sistem ini membantu selama ini dianggap untouchable dan
likuiditas (cash inflow) perusahaan karena untaxable, menggunakan nilai lain dengan
mekanisme PK-PM bekerja tanpa tarif efektif 1% dari dari jumlah yang ditagih
menghilangkan potensi merestitusi pajak atau seharusnya ditagih, walaupun mungkin
masukan dari jasa forwarding non freight, dan disadari atau tanpa disadari kebijakan baru
karena seluruh pajak masukan atas pembelian tersebut telah melanggar kaidah destinasi
BKP/JKP yang digunakan dalam proses (destination principle) dan kaidah Netralitas
produksi, distribusi/perdagangan segera dapat pajak, serta Pasal 4A UU PPN No. 42/2009
dikreditkan. ayat 3 huruf j yang menyebutkan jenis jasa
Dengan cara ini pemerintah tidak perlu yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu
harus merobah sistem mekanisme Pajak dalam kelompok jasa jasa angkutan umum di
Pertambahan Nilai yang sudah ada berdasarkan darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
Indirect Subtraction method untuk jasa negeri yang menjadi bagian yang tidak
forwarding non freight, atau dengan kata lain terpisahkan dan jasa angkutan udara luar
tidak perlu harus me nilai lain kan jasa negeri. Namun di sisi lain, disayangkan
forwarding non freight karena pemajakannya kebijakan pemajakan tersebut bisa
selama ini dengan sistem mekanisme PPN tidak mendatangkan kekurangan bagi pemasukan
mengalami permasalahan. Kalaupun masih negara, karena secara fundamental theoritical
terdapat permasalahan, ini menyangkut masalah consept dari tax base-nya tidak terbidik secara
kepatuhan wajib pajak baik kepatuhan formal efektif.
maupun kepatuhan material yang menuntut
kesadaran wajib pajak sebagai warga negara Daftar Kepustakaan
Adam Smith. An Inquiry into the Nature and Mcgraw Hill Book Company, Singapore,
Causes of the Wealth of Nations, 1984
Indianapolis : Liberty Classics, 1981. Nurmantu Safri. Pengantar Perpajakan, edisi 3
Alain A. Tait. Value Added Tax, International : Granit, Jakarta, 2005.
Practice and Problems, IMF, Washington Pohan, Chairil Anwar. Optimizing Corporate
DC, 1988. Tax Management-Kajian Perpajakan dan
Clara K. Sullivan. The Tax on Value Added : Tax Planning-nya Terkini : Bumi
Columbia University Press, New York, Aksara, Jakarta, 2012.
1996. Saroyo Atmosudarmo. Perubahan
Dora Hancock. Taxation Policy and Practice Fundamental Undang-Undang Pajak
1997/1998 edition: International Thomson Pertambahan
Business Press, 1997. Nilai Dalam Penyempurnaan Undang-Undang
Edward F Steven. Shipping Practice, 9th edition Perpajakan 1994 (handout materi kuliah
: Pitman Publishing,1975. PPN - FISIP UI-Program Pasca Sarjana
Haula Rosdiana, Edi Slamet Irianto dan Titi Studi Ilmu Administrasi dan Kebijakan
Muswati Putranti, Teori Pajak Perpajakan), 1999.
Pertambahan Nilai, Kebijakan dan Saroyo Atmosudarmo. Tempat dan Saat
Implementasinya di Indonesia : Ghalia Terutangnya Pajak (handout materi kuliah
Indonesia, Jakarta, 2011. PPN FISIP UI-Program Pasca
Human Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Sarjana Studi Ilmu Administrasi dan
Petunjuk Angkutan Laut dan Himpunan Kebijakan Perpajakan), 1999.
Tarif Jasa Maritim, edisi lengkap : BP. Sukardji Untung. Pokok-Pokok Pajak
Bina Dharma Pemuda Indonesia,1989. Pertambahan Nilai: PT. Rajawali Pers,
Istopo. Unimoda dan Multimodal Transport, Jakarta, 2010
Angkutan Barang Terpadu Darat, Laut dan ______. Pajak Pertambahan Nilai (edisi revisi
Udara : Yayasan INFFA (Indonesia 2009): PT.Rajawali Pers, 2009
Freight Forwarders Foundation), 1992. Sullivan Clara K. The Tax on Value Added :
John F Due dan Ann F Friedlaender. Columbia University Press, New York,
Government Finance, 7th edition, Richard 1996.
D. Irwin., Inc. 1981 : Terjemahan Suparmoko. Keuangan Negara Dalam Teori
Ellen Gunawan dan Rudi Sitompul (dengan dan Praktik, edisi 4 :BPFE
judul buku terjemahan Keuangan Yogyakarta, 1987
Negara) : Penerbit Erlangga, 1984. Suyono M. Shipping, Pengangkutan
Mansury R. Pajak Penghasilan Lanjutan : Ind Intermodal Ekspor Impor Melalui Laut,
Hill Co, Jakarta, 1996. edisi keempat Penerbit PPM, 2005.
______. Panduan Konsep Utama Pajak Tait Alain A. Value Added Tax, International
Penghasilan Indonesia Jilid 1-III : PT. Practice and Problems, IMF, Washington
Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1994 & DC, 1988.
1996. Terra Ben. Sales Taxation The Case of Value
Musgrave, Richard A and Peggy B. Musgrave. Added Tax in The European Community:
Public Finance in Theory and Practice : Kluwer Law and Taxation Publisher,
Deventer, Boston, 1988.

Você também pode gostar