Você está na página 1de 16

TUGAS INDIVIDU ANALISIS KASUS KORUPSI E-KTP

DENGAN TERSANGKA SETYA NOVANTO

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Pendidikan Budaya Anti Korupsi

Oleh
Eli Setiyani
P1337424414002

PROGRAM STUDI S1 TERAPAN KEBIDANAN SEMARANG


JURUSAN KEBIDANAN POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2017
KASUS MEGA KORUPSI E-KTP

KPK akhirya menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka setelah berulang kali lolos dari jeratan
hukum.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Setya


Novanto atau Setnov sebagai tersangka setelah berulang kali lolos dari jeratan hukum. Orang
nomor satu di DPR itu dinilai berperan aktif mengatur lelang proyek E-KTP sebesar Rp 5,9 triliun.

Seperti ditayangkan Kopi Pagi dalam Liputan6 Pagi SCTV, Minggu (23/7/2017), Setnov dan
sejumlah anggota DPR periode 2009-2014 dianggap menyalahgunakan wewenang, memainkan
pengaruhnya, sehingga proyek E-KTP menjadi berantakan. Dananya menguap ke mana-mana.
Negara pun dirugikan Rp 2,3 triliun.

Masyarakat pun sontak tersentak. Terlebih, ini bukan kali pertama petinggi di lembaga tinggi
negara merugikan negara.

Sebelumnya, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar juga berurusan dengan KPK. Akil
yang juga mantan politisi Golkar terbukti menerima suap dalam kasus sengketa pilkada untuk
sejumlah daerah. Di antaranya Lebak, Palembang, Lampung Selatan, Pulau Morotai, dan Gunung
Mas.

Hakim kemudian menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Akil. Namun, dia tidak
diwajibkan membayar denda Rp 10 miliar seperti tuntutan jaksa karena dianggap telah dijatuhi
hukuman maksimal.
Bukan hanya Akil, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman juga tersandung kasus
suap. Senator asal Sumatera Barat ini terbukti menerima uang Rp 100 juta dari pihak swasta untuk
mengatur pemberian kuota gula impor dari Perum Bulog. Jika sukses, Irman bakal mendapat fee
Rp 300 per kilogram dari gula yang dipasok.

Atas persekongkolan jahat inilah Irman kemudian divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Hak politiknya juga dicabut selama tiga tahun.

Sebenarnya, bukan kali ini saja Setnov tersandung perkara hukum. Namanya pernah disebut
terlibat kasus piutang Bank Bali ke BDNI pada tahun 1999. Empat tahun kemudian, dia juga
disebut tidak membayar pajak ketika menjadi importir beras sehingga merugikan negara lebih dari
Rp 23 miliar.

Tidak berhenti di situ. Nama Setnov lagi-lagi tersangkut dalam kasus korupsi. Kali ini untuk proyek
penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau. Namun keterlibatannya seakan
menguap sampai akhirnya dia dikabarkan meminta saham PT Freeport.

Namun, sekali lagi, tidak satu pun kasus yang bisa membuktikan Setnov terbukti bersalah secara
hukum. Tapi, kali ini KPK mempunyai pertimbangan berbeda.

Kesaksian terdakwa Irman dan Sugiharto, dua mantan pejabat di Kemendagri, di persidangan
menjadi fakta sekaligus pintu masuk KPK untuk membuktikan keterlibatan Setnov dalam kasus
proyek E-KTP.

Mantan ketua fraksi Partai Golkar itu disebut menerima uang suap Rp 574 miliar. Hal itu pula yang
membuat Setnov harus mondar-mandir diperiksa KPK.

Bolak balik diperiksa, berulang kali pula Setnov membantah. Bahkan, dia berani bersumpah tidak
pernah menerima aliran dana proyek E-KTP seperti yang disangkakan.

Bantahan bukan hanya disampaikan Setnov. Sejumlah anggota DPR tiba-tiba juga membentuk
Pansus Hak Angket KPK. Mereka seperti terusik ketika sejumlah nama anggota dewan juga
disebut kebagian suap proyek E-KTP.
Kinerja KPK langsung dipertanyakan, dikritisi, dan dianggap melampaui wewenang. Bukan hanya
itu, mereka juga mendatangi LP Sukamiskin Bandung untuk menemui sejumlah tahanan kasus
korupsi yang pernah ditangani KPK.

Bagi mereka, pasti ada yang keliru dalam penanganan kasus korupsi E-KTP. Untuk itu, Setnov
tidak perlu mundur dari jabatannya karena dianggap belum tentu bersalah dan belum juga
berstatus terdakwa. Sikap inilah yang kemudian dikomentari banyak orang di minggu ini.

Sumber : http://news.liputan6.com diakses pada hari Rabu, 20 September 2017


KRONOLOGI KASUS MEGA KORUPSI E-KTP
Kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP dinilai sebagai kasus yang masif dan sangat
terstruktur. Diduga, proyek itu direncanakan untuk dapat dikorupsi.

Bea Cukai rilis KTP dan NPWP dari Kamboja. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)

Babak baru kasus e-KTP dimulai di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3). Eks Dirjen Dukcapil
Kemendagri Irman dan anak buahnya yang bernama Sugiharto didakwa terlibat kasus yang diduga
merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun itu.
Dari surat dakwaan, terungkap ada sejumlah pertemuan yang dilakukan untuk membahas proyek
e-KTP. Berikut rangkuman beberapa pertemuan itu.

Februari 2010
Gedung DPR, Jakarta.
Irman dan Burhanudin Napitupulu (anggota DPR) bertemu di ruang kerja Ketua Komisi II DPR
membahas pemberian uang oleh Andi Narogong (pengusaha) kepada sejumlah anggota Komisi II.
Pemberian itu bertujuan agar DPR menyetujui usulan Kemendagri perihal anggaran proyek e-KTP.

Februari 2010
Hotel Gran Melia, Jakarta.
Irman, Sugiharto, Andi Narogong, dan Diah Anggriani (Sekjen Kemendagri) melakukan pertemuan
dengan Setya Novanto (Ketua Fraksi Golkar DPR). Pada pertemuan itu, Setya menyatakan
dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek e-KTP di DPR.
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Juni-Desember 2010
Ruko Fatmawati
Beberapa kali pertemuan digelar di Ruko milik Andi Narogong. Pertemuan Tim Fatmawati ini
membahas pembentukan beberapa konsorsium untuk ikut dalam tender proyek e-KTP. Bahkan
pada sejumlah pertemuan juga membahas pengaturan untuk memenangkan tender hingga
mendaftar penggelembungan harga sejumlah barang yang akan dibeli terkait proyek. Pengaturan
ini juga melibatkan pihak panitia lelang yang berasal dari Kemendagri.

Juli-Agustus 2010
Gedung DPR, Jakarta.
DPR mulai melakukan pembahasan R-APBN Tahun Anggaran 2011 yang di antaranya termasuk
anggaran untuk proyek e-KTP. Terkait hal tersebut, Andi Narogong beberapa kali bertemu Setya
Novanto, Anas Urbaningrum (Ketua Fraksi Demokrat DPR), dan Muhammad Nazaruddin (Bendum
Demokrat), yang dinilai sebagai representasi Partai Golkar dan Partai Demokrat untuk mendorong
Komisi II menyetujui anggaran.

Anas memberikan keterangan seusai diperiksa KPK. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)


Akhirnya dicapai kesepakatan anggaran proyek sebesar Rp 5,9 triliun dengan 49 persen di
antaranya atau sebesar Rp 2,5 triliun (setelah dipotong pajak) akan dibagi-bagi ke sejumlah orang,
termasuk DPR.

September-Oktober 2010
Gedung DPR, Jakarta.
Andi Narogong memberikan uang kepada sejumlah anggota DPR di ruang kerja Mustoko Weni
(Golkar). Total uang yang diberikan Andi sebesar 3.450.000 dolar AS kepada sembilan orang
anggota DPR, di antaranya Anas Urbaningrum, Ganjar Pranowo (PDIP), Teguh Juwarno (PAN),
hingga Agun Gunandjar Sudarsa (Golkar).

Mereka disebut dalam kasus e-KTP. (Foto: Berbagai sumber)

September-Oktober 2010
Gedung DPR, Jakarta.
Bagi-bagi uang kembali dilakukan Andi, namun kali ini di ruangan Setya Novanto dan Mustoko
Weni. Uang sebesar 3.300.000 dolar AS kepada para pimpinan Banggar, yakni Melchias Marcus
Mekeng (Golkar), Mirwan Amir (Demokrat), Olly Dondokambey (PDIP), dan Tamsil Linrung (PKS).
Andi pun memberikan uang sebesar 500.000 dolar AS kepada Arif Wibowo untuk dibagikan
kepada seluruh anggota Komisi II. Rinciannya, Ketua mendapat 30.000 dolar AS, tiga Wakil Ketua
masing-masing mendapat 20.000 dolar AS, sembilan Ketua Kelompok Fraksi masing-masing
mendapat 15.000 dolar AS, serta 37 anggota masing-masing mendapat 10.000 dolar AS.

Oktober 2010
Restoran Peacock, Hotel Sultan, Jakarta.
Pertemuan dilakukan antara Irman, Sugiharto, Diah Anggriani, Andi Narogong, Husni Fahmi
(pegawai Kemendagri), Chairuman Harahap (Golkar), dan Johannes Marliem (swasta). Pada
pertemuan itu, Chairuman sebagai Ketua Komisi II diminta segera menyetujui anggaran proyek
sebesar Rp 5.952.083.009.000 secara multiyears.

22 November 2010
Gedung DPR.
Rapat Kerja antara Komisi II dan Kemendagri akhirnya menyepakati anggaran proyek e-KTP untuk
tahun 2011 sebesar Rp 2.468.020.000 yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2011.

Desember 2010
Rumah Dinas Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri.
Andi Narogong memberikan uang sejumlah 1.000.000 dolar AS kepada Diah Anggraini sebagai
kompensasi telah membantu pembahasan anggaran hingga akhirnya disetujui DPR.
Mantan Sekjen Kemendagri, Diah Anggraeni, diperiksa oleh KPK. (Foto: Fanny
Kusumawardhani/kumparan)

Februari 2011
Kementerian Dalam Negeri.
Andi Narogong menemui Sugiharto di ruang kerjanya. Andi mengatakan akan memberikan uang
sebesar Rp 520.000.000.000 untuk memperlancar urusan penganggaran proyek. Uang akan
diberikan kepada Partai Golkar Rp 150 miliar, Partai Demokrat Rp 150 miliar, PDI Perjuangan Rp
80 miliar, Marzuki Alie (Demokrat) Rp 20 miliar, Chairuman Harahap Rp 20 miliar, serta pada
sejumlah partai lain sejumlah Rp 80 miliar. Rincian uang tersebut atas persetujuan Irman.

21 Juni 2011
Gamawan Fauzi (Mendagri) menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang tender proyek e-
KTP. Pemenangan tender sudah diatur sejak awal. Konsorsium PNRI tetap dimenangkan
meskipun sejumlah syarat belum dipenuhi.

Gamawan Fauzi diperiksa di KPK. (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)


Juni 2011
Penetapan pemenang lelang digugat, namun Sugiharto tetap menunjuk konsorsium PNRI sebagai
pemenang lelang.

Maret 2012
Konsorsium PNRI belum dapat menyelesaikan pengadaan blangko e-KTP sebanyak 65.340.367
keping dengan nilai Rp 1.045.445.868.749. Namun tidak diberikan teguran maupun sanksi kepada
konsorsium, bahkan dibuat laporan seolah-olah pekerjaan sudah sesuai target sebagaimana
kontrak. Sehingga pembayaran kepada pihak PNRI tetap bisa dilakukan.

Gamawan meminta penambahan anggaran dalam APBN-P tahun 2012. Anggota DPR Markus Nari
(Golkar) lantas meminta uang Rp 5 miliar kepada Irman guna memperlancar pembahasan
anggaran itu. Namun usai diberikan uang Rp 4 miliar, DPR tidak memasukan penambahan
anggaran itu.

Agustus 2013
Anggaran kemudian masuk ke dalam APBN Tahun Anggaran 2013. Atas hal tersebut, Miryam
Haryani (Hanura) meminta uang Rp 5 miliar untuk diberikan kepada pimpinan dan anggota Komisi
II, di antaranya Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, dan Teguh Jurwano.

November-Desember 2012
Bagi bagi uang juga dilakukan Andi Narogong kepada staf Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretariat Komisi II DPR, dan Bappenas
terkait pengusulan dan pembahasan anggaran proyek e-KTP.

Desember 2012
DPR menyetujui APBN tahun 2013 yang di dalamnya turut memuat anggaran untuk proyek e-KTP
sebesar 1.492.624.798.000.

2013
KPK membuka penyelidikan kasus e-KTP.
22 April 2014
KPK menetapkan kasus ini naik ke tahap penyidikan dengan menetapkan Sugiharto sebagai
tersangka.

Sugiharto usai diperiksa terkait kasus E-KTP (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)

11 Mei 2016
BPKP mengeluarkan hasil laporan bahwa kerugian keuangan negara akibat kasus ini sebesar Rp
2.314.904.234.275,39.

30 September 2016
KPK menetapkan Irman sebagai tersangka.

Irman dalam sidang e-KTP (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)


9 Maret 2017
Irman dan Sugiharto mulai menjalani proses persidangan.

Irman dan Sugiharto sidang e-KTP (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)


Sumber : http://kumparan.com diakses pada tanggal 20 September 2017
ANALISIS KASUS MEGA KORUPSI E-KTP DENGAN TERSANGKA SETYA NOVANTO

Kasus korupsi e-KTP yang sampai saat ini masih berjalan merupakan salah satu kasus
korupsi terbesar di Indonesia. Negara menanggung kerugian 2,3 triliyun rupiah akibat adanya
korupsi berjamaah yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat yang tidak bertanggungjawab.
Sebelumnya KPK telah menetapkan Irman dan Sugiharto sebagai tersangka. Seperti ditayangkan
Liputan6 Pagi SCTV, Minggu (23/7/2017), Setnov dan sejumlah anggota DPR periode 2009-2014
dianggap menyalahgunakan wewenang, memainkan pengaruhnya, sehingga proyek E-KTP
menjadi berantakan. Dananya menguap ke mana-mana.
Setyo Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20
tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.
Pasal 2 ayat 1
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling
sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Pasal 3 memiliki ancaman maksimal penjara seumur hidup dan denda paling banyak Rp 1
miliar. Sedangkan Pasal 2 ayat 1 ancaman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak
Rp 1 miliar.
Menurut jaksa, berdasarkan fakta dan teori hukum dapat disimpulkan bahwa pertemuan
antara para terdakwa dengan Setya Novanto, Sekretaris Jenderal Kemendagri, Diah Anggraini,
dan Andi Narogong di Hotel Gran Melia Jakarta, menunjukan telah terjadi pertemuan kepentingan.
Andi selaku pengusaha menginginkan mengerjakan proyek. Diah dan para terdakwa selaku
birokrat yang melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Setya Novanto saat itu
menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar.
Setya Novanto telah menerima uang dari Anang Sugiana Sudiharjo, Direktur PT Quadra
Solution. Uang itu diserahkan melalui Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha yang
berafiliasi dengan konsorsium pemenang tender e-KTP. Keterlibatan Setya Novanto tercium saat
Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha yang berafiliasi dengan konsorsium pemenang
tender e-KTP, menemui mantan Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri Irman. Di kalangan
anggota Dewan, Andi Narogong dikenal dekat dengan Novanto.
Saat bertemu Irman, Andi mengatakan bahwa kunci dari pembahasan anggaran proyek e-
KTP di DPR bukan pada anggota Komisi II, melainkan ada pada Novanto. Untuk itu, Andi
merancang pertemuan dengan Novanto di Hotel Gran Melia.
Beberapa hari kemudian, Andi bersama Irman kembali menemui Novanto di ruang kerja
Novanto di lantai 12 Gedung DPR untuk memastikan dukungan terhadap penganggaran proyek
penerapan e-KTP. Dalam pertemuan itu, Novanto mengatakan, "Ini sedang kami koordinasikan,
perkembangannya nanti hubungi Andi."
Selanjutnya, saat proyek sudah berjalan, Andi menyerahkan sebagian uang pembayaran
e-KTP kepada Novanto. Setidaknya ada empat tahap pembayaran yang sebagian uangnya
diserahkan kepada Novanto, yakni pembayaran tahap I, tahap II, dan tahap III tahun 2011, serta
pembayaran tahan I tahun 2012. Uang itu diberikan secara langsung kepada Novanto melalui
Anang dan Andi.
Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Setya Novanto memiliki pola yaitu penyalahgunaan wewenang (Abuse of Discretion). Ada sebuah
pendapat yang mengemukakan bahwa Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penguasa atau
para pejabat negara terjadi dengan adanya kesalahan kebijakan dan kekuasaan terhadap
rakyatnya. John E.E Dalberg alias Lord Acton (18341902), sejarahwan Inggris mengatakan,
kekuasaan cenderung korup (jahat) dan kekuasaan mutlak paling jahat. (power tends to corrupt
and absolute power corrupts absolutely). Menurut saya itu bisa dibenerkan karena biasanya
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) seperti korupsi ini dilakukan oleh para penguasa
atau orang yang memiliki kekuasaan diamana dia cenderung menggunakan kesempatan untuk
menyalahgunakan jabatan atau kekuasaan manakala berada pada posisi yang memungkinkan
untuk memperkaya diri sendiri, orang lain & bersifat merugikan perekonomian negara atau
keuangan negara.
Prinsip anti korupsi yang tidak dijalankan dalam kasus korupsi ini adalah Transparasi dan
Kewajaran. Transparasi merupakan prinsip yang mengharuskan semua proses dilakukan secara
terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Dalam kasus ini tidak
menggunkan prinsip transparasi, dimana dalam proyek lelang tender pengadaan e-KTP stelah
dilakukan kecurangan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang mengakibatkan
kerugian negara. Selain itu prinsip kewajaran juga tidak diterapkan dalam kasus korupsi ini.
Dimana dalam pengaggaran ada ketidakwajaran. Pada saat proses lelang tender sebenarnya ada
perusahaan yang menawarkan dengan harga yang lebih rendah dari perusahaan terpilih, namun
perusahaan tersebut tidak terpilih.
Solusi agar tidak terjadi kasus serupa adalah dengan memberikan hukuman yang berat
kepada para pelaku korupsi sehingga memberikan efek jera bagi pelakuknya dan sebagai
peringatan kepada yang belum terlibat kasus korupsi untuk tidak melakukan tindakan korupsi.
Hukuman yang berat seperti penjara seumur hidup, hukuman mati, denda, menyita seluruh aset
keluarga yang dimiliki tersangka, dan lain-lain.
Daftar Pustaka
https://news.detik.com/ diakses pada tanggal 20 September 2017
http://kumparan.com diakses pada tanggal 20 September 2017
http://news.liputan6.com diakses pada hari Rabu, 20 September 2017

Você também pode gostar