Você está na página 1de 25

KAJIAN TAFSIR MODERN

TAFSIR ALMANAR
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas akhir Semester II
Mata kuliah Studi Al-Quran

Di Susun Oleh :

SUSAN SAADAH
NIM : 20121010070

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER STUDI ISLAM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2013
0
DAFTAR ISI

Hal

Daftar Isi .. i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang. 2

B. Rumusan Masalah ... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Biografi Syekh Muhammad Abduh 4

B. Latar Belakang Penulisan Tafsir .............................................................. 7

C. Fokus Pemikiran Muhammad Abduh .. 8

D. Profil dan Tujuan Pokok Tafsir al-Manar ....................................................... 9

E. Metode Dan Corak Penafsiran . 12

F. Karakteristik Penafsiran Muhammad Abduh .. 13

G. Sumber- sumber Penafsiran al-Manar ... 18

H. Pendapat Ulama . 19

BAB III PENUTUP 23

A. Kesimpulan . 22

Daftar Pustaka .... 24

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Adanya pandangan akan adanya kebutuhan akan alternatif-alternatif

baru dalam menghadapi problema kemanusiaan yang terjadi pada masyarakat,

telah memberikan dampak yang sangat besaar dalam perkembangan tafsir Al-

Quran. Akibatnya munculah keaneka ragaman metode, corak, dan hasil

penafsiran Al-Quran, yang salah satunya adalah corak dan kecenderungan

tafsir dengan melihat pola sosial kemasyarakatan (al ijtimaiyah). Muhammad

abduh misalnya, ketika berhadapan dengan masyarakat Islam yang pada

umumnya tertidur dan bersimpuh pada kekuasaan asing yang menjajah

tanah airnnya, jelas-jelas banyak mempersoalkan gaya berfikir dan gaya

hidup masyarakat, dalam tafsirnya. Sikap ijtihad dan kembali pada sumber

ajaran Islam (Al-Quran dan As-Sunah), merupakan bagian dari pandangannya

yang banyak ditemukan dalam tafsirnya. Namun begitu, Muhammad Abduh

tidak memberikan label secara resmi pada tafsirnya (Al-manar) bercorak

sosial kemasyarakatan. Akan tetapi (Al-manar) mencerminkan ke arah sana

dalam misi penafsirannya.

Tafsir al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir popular di

kalangan para peminat studi al-Quran. Majalah al-Manar, yang memulai

tafsir ini secara berkala pada awal abad ke-20 tersebar luas ke seluruh penjuru

dunia Islam dam memiliki peranan yang tidak kecil dalam pencerahan

2
pemikiran serta penyuluhan agama.Tokoh utama dalam penafsiran ini serta yang

berjasa meletakan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang

kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid

Muhammad Rasyid Ridha.

Menurut Quraish Shihab (2006 ) tafsir ini disusun dengan redaksi

yang mudah sambil berusaha menghidari istilah-istilah ilmu dan tekhnis

sehingga dapat di mengerti oleh orang awam tetapi tidak dapat diabaikan oleh

orang-orang khusus (cendekiawan). itulah cara yang ditempuh oleh filosof

Islam al Ustz al Imm Syekh Muhammad Abduh dalam pengajaran di al

Azhr.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Siapa penulis Tafsir al-Manar ?

2. Bagaimana latar belakang penulisan tafsir al-Manar ?

3. Apa saja fokus dan tujuan pokok dari tafsir al-Manar ?

4. Bagaimana metode dan corak penafsirannya ?

5. Apa saja karkteristik penafsiran Muhammad Abduh ?

6. Bagaimana pendapat ulama tentang tafsir al-Manar ?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI SYEKH MUHAMMAD ABDUH

Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266 H, bertepatan dengan 1849

M, ayahnya berasal dari desa Mahallat Nashr di daerah al Bahrah, sedangkan

ibunya berasal dari daerah desa Hashat Syabsir di al Gharibiyah, disebut-

sebut berasal dari keluarga Usman, dari Bani Adi salah satu suku Arab

terkemuka. Muhammad Rasyid Ridha (1367 : 237),

Pedidikan Muhammad Abduh dimulai dengan belajar menulis dan

membaca dirumah. Ia menghafal al-Quran dalam masa dua tahun, dibawah

bimbingan seorang guru yang hafal kitab suci. pada tahun 1279 H/1863 M

beliau dikirim orangtuanya ke Thanta untuk meluruskan bacaanya (belajar

tajwid) di masjid Ahmai.setelah berjalan dua tahun, barulah ia mengikuti

pelajaran-pelajaran yang diberikan di masjid itu.

Karena metode pengajaran (tharqat al Talm) yang tidak tepat,

setelah satu setengah tahun belajar, Muhammad Abduh belum mengerti apa-

apa. Menurut pernyataannya sendiri, guru-guru cenderung mencekoki murid-

murid dengan kebiasaan menghafal istilah-istilah tentang Nahwu (ilmu

gramatika bahasa Arab) atau fiqh yang tidak dimengerti artinya. Mereka

seakan tidak peduli apakah murid-murid mengerti atau tidak tentang istilah-

istilah itu. Karena tidak puas, ia meninggalkan Thanta dan kembali ke

4
Mahallat Nashr dengan niat tidak akan kembali belajar, tidak mau membaca

buku-buku lagi.

Dalam usia 20 tahun, yakni pada tahun 1282H/1866 M, ia menikah

dengan modal niat mau menggarap ladang pertanian seperi ayahnya. Tetapi

empat puluh hari setelah perkawinannya, Ia dipaksa orangtuanya kembali lagi

ke Thanta. Dalam perjalanan ke Thanta itu, karena panas matahari sangat

menyengat, ia lari ke Kanish Urin, tempat tinggal kaum kerabat ayahnya

salah satu dari mereka adalah Syekh Darwisy khadr seorang alim yang

banyak mengadakan pejalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam ilmu

agama Islam. Ia pernah belajar ilmu tharqat kepada Sayyid Muhammad al

Madiny. Ia juga mempunyai perhatian besar pada bidang tafsir al-Quran,

dan hafal beberapa kitab penting, seperti kitab al Muwattha dan kitab-kitab

hadis lainnya. Muhammad Rasyid Ridha (1367),

Maka pada bulan Syawal 1282 H, bertepatan dengan bulan Februari

1866 M, Muhammad Abduh pergi ke al Azhr. Keadaan al-Azhar ketika

Muhammad Abduh menjadi mahasiswa masih dalam kondisi terbelakang dan

jumud. Bahkan menurut Ahmad Amin, al-Azhar menganggap segala yang

berlawanan dengan kebiasaan sebagai kekafiran. Membaca buku-buku

geografi, ilmu alam, atau fisafat adalah haram. Memakai sepatu adalah

bidah.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh

mempelajari imu filsafat, logika, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik dari

seorang intelektual yang bernama Syekh Hasan Tawl. Tetapi pelajaran yang

5
diberikan Hasan Tawl tampaknya kurang memuaskan dirinya. Pelajaran yang

diterimanya di al-Azhar juga kurang menarik. Ia lebih suka membaca buku-

buku yang dipilihnya sendiri di perpustakaan al-Azhar. Kepuasan Muhammad

Abduh mempelajari matematika, etika, politik dan filsafat, ia peroleh dari

Jamaluddin al-Afghani yang datang ke Mesir pada akhir tahun 1286H/1870

M. bersama-sama dengan teman-temannya, Muhammad Abduh belajar dan

berdiskusi dengan tokoh pemimpin pembaruan itu. Sebagaimana dijelaskan

Muhammad Abduh sendiri, mereka mendapatkan tantangan keras dari para

ulama dan sebagian mahasiswa al-Azhar. karena mempelajari ilmu kalam dan

filsafat menurut persepsi mereka yang tersebut akhir ini, dapat

menggoncangkan iman.

B. LATAR BELAKANG PENULISAN TAFSIR

Abd Halim Mahmud, (2003 : 256) menjelaskan bahwa dalam

pandangan Muhammad Abduh, tafsir itu bertingkat-tingkat. Paling

rendahnya, ia harus menjelaskan secara global apa yang memalingkan nafsu

dan kejahatan, dan mendorongnya dalam kebajikan. Ini adalah mudah bagi

setiap orang.

Tujuan pertama dari apa yang diserukan Muhammad Abduh dalam

membaca tafsir, adalah berkumpulnya syarat-syarat agar ia dipakai untuk

tujuannya, yaitu mengupayakan memahami maksud dan tujuan dari firman,

baik dalam aqidah dan hukum, kejalan yang mendorong rohani, kemudian

menggiringnya ke perbuatan hidayah yang dijanjikan dalam al-Quran.

6
Dengan demikian, maksud sebenarnya di balik semua bidang-bidang itu

adalah mengambil hidayah dari al-Quran, menekankan fungsi kehidayahan

al-Quran untuk manusia agar dapat menjalani kehidupan dibawah bimbingan

dan petunjuk al-Quran. Faizah (2011 : 94)

Kehidupan penulisan tafsir al-Manar dilatarbelakangi oleh situasi

kondisi sosial, politik, dan budaya yang sangat memprihatinkan, tidak hanya

di Mesir tapi juga di hampir seluruh Negara Arab. Kemajuan kekuasaan

Negara Barat mendorong para penjajah untuk menguasai Negara-negara

Arab. Dan juga banyak faham-faham yang membuat kaum muslimin jauh dari

faham-faham Islam. Banyak hal-hal yang sangat merugikan rakyat pada saat

itu, sehingga para cendikiawan di Negara-negara muslim menghimbau umat

Islam kembali kepada ajaran mereka dan mengamalkannya sebagai sumber

inspirasi dalam perjuangan mereka menghadapi penjajahan dan penindasan.

Meskipun himbauan ini mendapat sambutan hangat dari umat Islam dan

munculnya gerakan-gerakan pemikiran Islam yang berlandaskan al-Quran

dalam melancarkan reformasi mereka, namun pihak para penjajah tidak

tinggal diam melihat geliat umat Islam untuk kembali kepada ajaran

agamanya.

Latar belakang sosial tersebut mempunyai pengaruh yang kuat

terhadap Muhammad Abduh dalam berpolitik dan berfikir, sebagaimana

diketahui, orientasi politiknya adalah mengubah kondisi rakyat (desa) Mesir

dan berupaya mengatasi problema masyarakat kelas bawah. Ia juga bercita-

cita untuk menumbangkan sistem politik otoriter yang menindas rakyat. Oleh

7
karena itu, tidaklah mengherankan apabila ia mengutuk pemerintahan dinasti

Muhammad Ali berikut system politiknya yang otoriter.

C. FOKUS PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH

Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Muhammad

Abduh, sebagaimana diakuinya. Kedua persoalan itu adalah:

1. Membebaskan akal fikiran dari belenggu-belenggu taqld yang

menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya

salaf al ummah (ulama sebelum abad III H). sebelum timbulnya

perpecahan, yakni memahami langsung dari sumber-sumber pokoknya

yaitu al-Quran.

2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan

resmi di kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di

media massa, penerjemahan atau korespondensi, Quraish Shihab (2006 :

16)

Namun para pengamat setelah memperhatikan karya-karya tulis dan

sikap-sikap Muhammad Abduh menyatakan bahwa dibalik kedua hal yang

disebutkannya itu terdapat sekian banyak hal yang menjadi tujuan utama

pemikiran-pemikirannya. Tujun-tujuan tersebut antara lain :

a. Menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni

b. Mengembangkan ajaran-ajaran tersebut (menyesuaikan penafsirannya

dengan kehidupan masa kini). Abdul Athi (1978 : 99)

8
Pengamat lain menilai bahwa apa yang diungkapkan oleh

Muhammad Abduh tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memperkokoh

segi-segi mental spiritual kaum muslimin dengan jalan menghilangkan

kecemasan yang meliputi pikiranmereka pada saat-saat perubahan sosial yang

dialami oleh masyarakat pada abad ke XIX.

Namun apapun tujuannya Abduh tidak pernah berfikir apalagi

berusaha untuk mengambil alih secara utuh apa yang datang dari dunia Barat.

Karena disamping hal ini hanya akan berarti mengubah taqld yang lama

kepada taqld yang baru, juga karena hal tersebut tidak dapat dipertemukan

karena adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat

masing-masing daerah Islam. Menurut Abduh hanya mampu meluruskan

kepincangan-kepincangan peradaban Barat serta membersihkannya dari segi-

segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian peradaban tersebut pada

akhirnya akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam sesaat setelah dia

mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam. (Muhammad Imarah,

1972 : 331)

D. PROFIL DAN TUJUAN POKOK TAFSIR AL-MANAR

Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Quran al-Hakim

memperkenalkan dirinya sebagai Kitab tafsir satu-satunya yang

menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas,

yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullah (hukum Allah

yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Quran sebagai

9
petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat, serta

membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslim dewasa

ini (pada masa diterbitkannya) yang telah berpaling dari petunjuk itu. tafsir

ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-

istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam, tetapi

tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan). Itulah cara

yang ditempuh oleh filosof Islam Syaikh Muhammad Abduh dalam

pengajaran di al-Azhar.

Karenanya tafsir al-Manar yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar

untuk dinisbahkan kepada Muhammad Rasyid Ridha, sebab di samping lebih

banyak yang ditulisnya (baik dari segi jumlah ayat maupun dari segi jumlah

halamannya) juga karena dalam penafsiran ayat-ayat surah al-Fatihah dan

surah al-Baqarah serta surah an-Nisa ditemui pula pendapat-pendapat Rasyid

Ridha yang ditandai olehnya dengan menulis kata ( ) aqulu sebelum

menguraikan pendapatnya.1[21]

Tujuan pokok penafsiran al-Quran dalam pandangan Muhammad

Abduh, ialah menekankan fungsi-fungsi kehidayahan al-Quran untuk

manusia, agar mereka benar-benar dapat menjalani kehidupan ini dibawah

bimbingan dan petunjuk al-Quran. Qurais Shihab, (2006 : 85). Penekanan

dari segi hidayah ini ditegaskan kembali oleh Rasyid Ridha, dalam

muqaddimah tafsir al-Manar Ridha mengatakan bahwa Allah SWT telah

1[21] M. Qurais Shihab, rasionalitas Al-Quran, (Tangerang: lentera Hati,

2006), hal.85

10
menurunkan bagi kita kitab suci-Nya sebagai hidayah (petunjuk) dan cahaya

terang untuk mengajarkan hikmah dan hukum-hukumnya untuk mensucikan

kehidupan dan menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.


Yang artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk
bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur. (Q.S. Al-Baqarah : 185)

Kitab Tafsir al-Manar, karya Rasyid Ridha, yang di bagian-bagian

awalnya (lima jilid pertama) memuat Tafsir Muhammad Abduh,

menggunakan pemikiran pembaharuan yang bisa menggugah kesadaran

pembacanya untuk mengkaji al-Quran lebih dalam.Tafsir al-Manar ini

11
merupakan satu kumpulan antara shahih matsur dan sharih maqul. al-

Khalidi ( 2002 :579)

E. METODE DAN CORAK PENAFSIRAN

Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan cara yang

ditempuh dalam menelaah, membahas dan merefleksikan kandungan al-

Quran secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga

menghasilkan suatu karya tafsir yang representif. Metodologi tafsir

merupakan alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang terkandung dalam

kitab suci umat Islam tersebut.

Selanjutnya dalam ilmu tafsir setidaknya diketahui ada empat

metode yang ditempuh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran,

yaitu:

1. Metode Tahlili, yaitu salah satu metode tafsir dengan menjelaskan

kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai aspeknya. Mufassir yang

menggunakan metode ini umumnya menafsirkan ayat secara tertib dari

al-Fatihah sampai An-Naas sesuai dengan urutan mushaf Ustmani.

2. Melalui metode ini seorang mufassir juga dituntut menjelaskan

kandungan ayat secara luas dan terperinci. Sehingga ia harus mampu

menguraikan kosakata dan lafadz, ijaz dan balaghahnya, munasabah dan

asbabul nuzul, juga aspek-aspek tafsir lainnya. Oleh karena itu penafsiran

dengan metode ini akan menghasilkan penafsiran yang luas dan

mendalam.

12
3. Metode Ijmali, yaitu metode menafsirkan kandungan ayat-ayat al-Quran

dengan meyampaikan makna globalnya saja. Dengan metode ini mufassir

hanya menyampaikan makna pokok dari ayat yang ditafsirkan dan

menghindari hal-hal yang dianggap diluar makna pokok tersebut.

Sehingga penafsiran dengan metode ini umumnya sangat singkat dalam

penjelasannya.

4. Metode Muqaran, sesuai dengan namanya, metode tafsir ini menekankan

kajian pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al-Quran.

Perbandingan dimaksud dapat berupa ayat dengan ayat, surat dengan

surat, al-Quran dengan hadits, atau perbandingan antar mufassir

sebelumnya.

5. Metode Maudhui, metode tafsir yang pembahasannya didasarkan tema-

tema tertentu dalam al-Quran. Sehingga metode ini sering disebut

metode tematis. A. Athaillah (2006 : 31)

Setelah menjelaskan macam-macam metode dan corak tafsir dan

membandingkan dengan tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, maka setelah

dianalisis dengan seksama dapat disimpulkan bahwa metode penafsiran yang

beliau gunakan dalam tafsirnya merupakan metode muqaran. Dikatakan

muqaran karena beliau membandingkan ayat dengan ayat, surat dengan surat,

al-Quran dengan hadits, dan juga beliau memasukkan pendapat sahabat.

Badri khaeruman (2004: 178-179)

F. KARAKTERISTIK PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH

13
Dalam menafsirkan al-Quran, Muhammad Abduh menjadikan

tafsir sebagai dasar (asas) bagi pembaruan masyarakat dan media untuk

membersihkan agama dari segala bentuk bidah dan kurafat, menempuh

metode (manhaj) tersendiri, berbeda dari metode tafsir yang ditempuh oleh

para ahli tafsir kalangan salaf al shalih (kaum salaf yang shaleh). Rifat (2002

: 109)

Menurut Abd al Salam perbedaan tersebut terutama dapat dilihat

dari sisi latar belakang kultural dan intelektual yang berbeda dari masing-

masing. Kaum salaf menafsirkan al-Quran justru ketika mereka menjadikan

al-Quran sebagai pedoman hidup (al dustur) mereka sedemikian rupa,

sehingga al-Quran bagi mereka adalah tujuan (ghayh). Sedangkan

Muhammad Abduh menafsirkan al-Quran justru pada waktu umat Islam

tidak secara serius lagi berhukum dengan hukum-hukum al-Quran. Dan tafsir

bagi Muhammad Abduh menurut Abd al Salam merupakan alat untuk upaya

perbaikan masyarakat Islam dan bukan sebagai tujuan (Rifat, 2002)

Muhammad Abduh dalam memahami nash-nash agama, disebut-

sebut sebagai pengikut kaum salaf sebelum timbulnya perselisihan ulama.

Akan tetapi kesalafan Muhammad Abduh kelihatan tidak muthlak seratus

persen atau sepenuhnya, melainkan terbatas pada hal-hal tertentu saja, artinya

kalaupun ia tidak mentakwilkan nash-nash agama, maka hal itu terbatas pada

nash-nash yang berhubungan dengan Tuhan, sifat-sifatnya dan alam

metafisika. Bahkan menurut penilaian Sulaiman Dunya, dengan menerapkan

metode kaum salaf pada satu atau dua masalah, seseorang belum dapat

14
dikatakan sebagai pengikut salaf.terhadap nash-nash agama yang

berhubungan dengan kemasyarakatan (mumalah) dan kealaman (kauniyat)

yang pada umumnya diungkap dalam bentuk dasar-dasar dan global,

Muhammad Abduh tidak saja menakwilkan tetapi juga melakukan

perenungan mendalam dan sungguh-sungguh.

Rifat (2002) menjelaskan Dalam penafsiran al-Quran Muhammad

Abduh dikenal sebagai mufassir yang mempelopori pengembangan tafsir

yang bercorak al Adaby al Ijtimiy, atau tafsir yang berorientasi pada satra,

budaya, dan kemasyarakatan. M. Quraish Shihab menyatakan yang dimaksud

dengan tafsir bercorak al adaby alijtimiy adalah tafsir yang

menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Quran pada segi ketelitian redaksi

al-Quran, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu

redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari diturunkannya al-Quran,

yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu menggandengkan pengertian

ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam

masyarakat dan pembangunan dunia. Rifat (2002)

Dengan demikian, corak tafsir Muhammad Abduh mengandung

ciri-ciri utama sebagai berikut:

1. Penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Quran

2. Penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang

menarik hati

3. Adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Quran dengan

hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. Rifat (2002)

15
Dalam menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Quran,

Muhammad Abduh antara lain berpendapat bahwa masing-masing kalimat

dalam al-Quran tersusun secara serasi dan harmonis.tidak ada satu

kalimatpun dalam al-Quran yang didahulukan atau diterakhirkan untuk

tujuan fasilah seperti yang terjadi dalam sajak dan syair. Adanya fasilah

dalam syair adalah karena keterpaksaan dengan maksud demi pengaturan

sajak dan qafiyah. Sedangkan al-Quran, menurut Muhammad Abduh

bukanlah kitab syair. Ia adalah kitab yang bersumber dari Tuhan yang maha

kuasa atas segala sesuatu, Dialah yang meletakkan segala sesuatu pada tempat

yang serasi. Maka tidak ada kata dalam kitab suci al-Quran yang diletakkan

hanya karena keterpaksaan.

Penafsiran al-Quran dengan rumusan redaksi yang indah dan

menarik merupakan ciri khas dari tafsir al adaby al ijtimiy. Pengungkapan

tafsir dengan redaksi yang indah dan menarik menurut Muhammad Abduh

tiada lain untuk menarik jiwa manusia dan menuntun untuk giat beramal serta

melaksanakan petunjuk al-Quran agar maksud al Quran sebgai petunjuk

dan rahmat dapat tercapai dengan baik. Sedangkan upaya Muhammad Abduh

menghubungkan ayat-ayat al-Quran dengan hukum alam yang berlaku dalam

masyarakat dimaksudkan agar tafsir dapat diterima masyarakat dengan

mudah, mengingat adanya keterkaitan antara apa yang dikandung oleh ayat-

ayat al-Quran dengan kenyataan-kenyataan atau realitas kehidupan yang

dihadapi mereka. Dengan kata lain, masyarakat akan lebih bisa memahami

dan mencerna pesan-pesan Tuhan dalam al-Quran apabila dalam

16
menafsirkan pesan-pesan itu mufassir menghubungkannya dengan kejadian-

kejadian atau peristiwa-peristiwa yang timbul dalam masyarakat. Tafsir al-

Quran dengan pendekatan serupa pada zaman sekarang disebut dengan tafsir

kontekstual.

Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila metode tafsir Muhammad

Abduh disebut sebagai metode tafsir modern yang dibandingkan dengan

metode tafsir Analisis (tahlli) lainnya. Hal yang perlu dikemukakan disini

adalah bahwa metode Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-Quran

disandarkan pada sejumlah dasar pokok, yaitu:

1. Setiap surat dalam al-Quran merupakan satu kesatuan ayat terpadu

2. Kandungan ajaran al-Quran berlaku umum untuk sepanjang zaman

3. al-Quran merupakan sumber pertama (al masdar al awwal) dan utama

bagi syariah

4. Perlunya memerangi sikap taqlid umat Islam

5. Pentingnya pendayagunaan metode akal dalam penalaran (al nazhar) dan

penggunaan metode ilmiah (al manhaj al Ilmi)

6. Bersandar pada otoritas akal dalam memahami ayat-ayat al-Quran

7. Tidak menjelaskan secara rinci persoalan-persoalan yang disinggung al-

Quran dengan mubham

8. Bersikap sangat hati-hati terhadap tafsr bi al matsur terdahulu dan

dengan apa yang disebut berita israiliyyat

9. Pentingnya tercipta keteraturan hidup masyarakat yang mengacu kepada

petunjuk-petunjuk kitab suci al-Quran

17
Dari kesembilan dasar pokok tersebut, dasar-dasar pokok yang

paling relevan dengan upaya Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-

Quran secara rasional adalah dasar penggunaan metode ilmiah dan dasar

kebebasan pendayagunaan akal dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Kedua

dasar inilah kelihatannya yang menonjol dipegang Muhammad abduh, karena

ia pada dasarnya sangat menghargai potensi akal manusia dalam kerangka

beragama, khususnya dalam upaya memahami petunjuk-petunjuk al-Quran

dan takwil.

G. SUMBER- SUMBER PENAFSIRAN AL MANAR

Ragam paradigma kajian memiliki implikasi terhadap pemilihan

pendekatan (aproach) yang relevan. Fungsinalisasi al-Quran sebagai sumber

petunjuk hidayah yang menjadi tujuan penafsiran al-Manar menurut

Muhammad Abduh tidak mudah dicapai tanpa pendekatan yang tepat dan

disertai sumber-sumber yang memadai. Model pendekatan demikian

meniscayakan seorang penafsir membekali diri dengan berbagai disiplin ilmu

yang diperlukan. Ada dua sumber pengetahuan yang digunakan dalam

penulisan al Manr, yaitu:

1. Pengetahuan Kebahasaan

Keilmuan bahasa terdiri dari dua kajian, yaitu kajian semantik dan

kajian sastera (aslib). Kajian semantik bertujuan untuk mengetahui arti

kata-kata yang berlaku dikalangan Arab. Dalam hal ini perlu dilakukan

kajian secara intensif dan tidak cukup hanya percaya kepada kata orang.

18
Kajian ini diperlukan mengingat banyak kata-kata al-Quran yang pada

masa pewahyuan digunakan dengan banyak arti tertentu, ternyata pada

perkembangan berikutnya digunakan untuk makna lain. Cara terbaik

dalam memaknai ayat adalah dengan menafsirkan ayat itu sesuai dengan

arti kata pada masa pe-wahyuannya, atau lebih baik lagi dengan

menafsirkan ayat atas dasar penggunaan kata-kata itu sendiri dalam al-

Quran yang berserakan diberbagai ayat-ayatnya.

Sedangkan kajian sastera diarahkan untuk mengetahui gaya bahasa

al-Quran yang tinggi dalam rangka menemukan maksud Allah. Meski

makna yang hakiki mungkin tidak tercapai namun melaluikajian ini fungsi

hidayah al-Quran akan bisa dipahami.

2. Keilmuan Sosio-Historis

Pendekatan ini terdiri dari tiga kajian, yaitu:

a. Kajian tentang kehidupan manusia sepanjang sejarah

b. Kajian tentang latar belakang mengapa manusia diberi petunjuk

c. Kajian tentang Nabi dan sejarahnya

H. PENDAPAT ULAMA

Meski tulisan Muhammad Husein al Zahabi tidak fokus kepada tafsir

al-Manar saja, namun pembahasannya tentang al-Manar cukup resfentatif

dan sering menjadi rujukan dalam studi-studi tafsir al-Quran. Dalam

karyanya yang berjudul al Tafsr wa al Mufassirn Muhammad Husein (tt.p,

tp, 1981), al Zahabi menyatakan bahwa Abduh dengan metodenya telah

19
melahirkan aliran atau corak baru dalam sejarah penafsiran al-Quran. aliran

baru yang diciptakannya itu menurutnya adalah al adbiy al ijtimaiy yang

diberi pengertian sebagai mengkaji al-Quran dengan pertama-tama

berusahauntuk menunjukkan kecermatan ungkapan bahasanya, dilanjutkan

dengan merajut makna-makna yang dimaksunya dengan cara menarik,

kemudian di usahakan eksplorasi penerapan nash kitab suci dalam

kenyataanya sesuai dengan hukum-hukum yangberlaku dalam kehidupan

masyrakat dan untuk membangun peradaban.

al Zahabi menilai bahwa aliran yang diprakarsai oleh Abduh

disamping memiliki kebaikan-kebaikan juga mempunyai cacat. Kebaikan-

kebaikan yang dengan terus terang ditunjukkannya adalah:

1. Tidak terpengaruh oleh mazhab

2. Bersikap kritis terhadap riwayat-riwayat israiliiyat

3. Tidak tertipu oleh hadis-hadis dhaif dan maudhu

4. Menjauhkan tafsir dari istilah tekhnis keilmuan (bahasa Arab)

Disamping itu dia menyebutkan kebaikan lain yang dimiliki aliran ini,

yaitu metode semantik sosial yang digunakannya.melaui metode ini

Muhammad Abduh dengan alirannya berusaha untuk:

1. Mengungkapkan keindahan bahasa dan kemukjizatan al-Quran

2. Menjelaskan makna dan maksud-maksudnya

3. Menunjukkan hukum-hukum yang berlaku di alam raya dan masyarakat

manusia

20
4. Menawarkan solusibagi problem-problem yang dihadapi kaummuslim

pada khususnya dan bangsa-bagsa di seluruh dunia pada umumnya

5. Mempertemukan kebaikan dunia dan akhirat

6. Memadukan al-Quran dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang valid

sedangkan kejelekannya menurut al Zahabi adalah sikapnya

memberikan kebebasan yang besar terhadap akal.

21
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tafsir al Mant merupakan tafsir paling modern yang diprakarsai oleh

seorang pembaharu yaitu Muhammad Abduh bersama muridnya Syekh

Rasyid Ridha, munculnya tafsir ini dilatar belakangi oleh keadaan sosial

pada waktu itu sangat kaku dan beku model penafsiran. Sehigga para penafsir

sangat sempit dalam menafsirkan al-Quran dan belum adanya pekembangan

intelektual yang sangat dinamis.

Dengan munculnya tafsir al-Manar yang dijadikan rujukan bagi para

penafsir selanjutnya maka al-Quran memang betul terasa membumi pada

masa tersebut dan berkenaan tentang kehidupan masyarakat. Mereka

memandang al-Quran bukan hanya teori-teori yang berkisarantara

masalahkelangitan dan berputar-putar pada masalah akhirat, surga dan

neraka. namun al-Quran juga berbicara tentang hubungan manusia dengan

manusia, agama dengan agama lain dan masalah lainnya. Namun penulis

melihat bahwa dalam tafsir al-Manar ini sangat dikedepankan akal dan sangat

kurang sekali dalam memahami pemahaman syariat Islam secara utuh tetapi

selalu melihat pertentangan syariah dengan kondisi dari segi negatif bukan

dari segi positif, sehingga terkesan menyalahkan hukum yang terdahulu.

Kitab tafsir al-Manar berusaha mengindari kelemahan-kelemahan

kitab tafsir sebelumnya, melalui metode budaya-kemasyarakatan dengan

22
menetapkan prinsip baru. Para penafsir ini walau menekankan perlunya

menghindari prakonsepsi dengan menetapkan bahwa al-Quran adalah

sumber ajaran, sedang pendapat-pendapat akidah dan mazhab harus

bersumber dari al-Quran, namun dalam kenyataan penafsiran mereka, hal

tersebut masih dirasakan

Tafsir ini pada dasarnya ingin memfokuskan tujuan utama dari

diturunkannya al-Quran, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar

bagi problem umat manusia

23
DAFTAR PUSTAKA

Athaillah, Rasyid Ridha, Konsep Teologi Rasionl dalam Tafsir al-Manar,


Jakarta : Penerbit Erlangga, 2006

Badri khaeruman, Sejarah prkembangan tafsir al-quran, cet. Pertama, Bandung


: CV Pustaka Setia, 2004

Faizah Ali Syibromalisi, MA dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern. Jakarta: LITBANG UIN. 2011

Mani Abd Halim Mahmud. Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode


Para Ahli Tafsir. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006

M. Quraish Shihab, Rasionalitas al Qurn: Studi Kritik terhadap Tafsir al


Manr, Jakarta: Lentera Hati, 2006

Muhammad Rasyid Ridha, Tarkh al Ustz al Imm Syekh Muhammad Abduh,


Mesir: Dr al Imn, 1367 H

Muhammad Husein al Zahabi, al Tafsr wa al Mufassirn,tt.p, tp, 1981

Rifat Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:Kajian Akidah dan


Ibadat, Jakarta: Paramadina, 2002

Syekh Muhammad Abduh, Fathah al Kitb, Kairo: Kitab al Thahrr, 1382

Saifullah, Pluralisme Agama: Persfektif tafsir al Manr, Disertasi SPS UIN


Jakarta,2009

Syekh Muhammad Rasyid Ridha, Tafsr al Qurn al Azm al Masyhur bi al


Tafsr al Manr, Beirut: Daral Kutub al Alamiyah, 1999

24

Você também pode gostar