Você está na página 1de 13

George Wilhelm Friedrich Hegel, demikian nama aslinya, lahir di Stuttgart pada 27 Agustus

1770. Belajar teologi di Universitas Tubingen hingga meraih doktor pada 1791. Ketika itu,
karya tulisnya masih bertaut dengan agama Kristen, misalnya The Life of Jesus dan The Spirit
of Chiristiany (Tafsir, 2004: 152). Hegel mulai menekuni filsafat ketika pada 1801 bertemu
dengan Schelling di Universitas Jena, dan turut mengajar mata kuliah Filsafat di sana, hingga
jerih payahnya membuahkan karya filsafat pertama berjudul The Difference Between Fichtes
and Schellings Systems of Philosophy (http://plato.stanford.edu, 2008).

Perjumpaan dengan karya-karya Friedrich Hlderlin (1770-1843) dan Friedrich von Schelling
(1775-1854), diakui Hegel, cukup mempengaruhi pergulatan intelektual dan tradisi
filsafatnya. Tidak begitu mengejutkan bila Hegel sempat menyebut keduanya sebagai pemikir
besar Filsafat Jerman abad 19. Berkat hubungan erat tersebut, pada 1803, bersama Schelling,
Hegel mengedit Critical Journal of Philosophy. Tahun 1906 Hegel berhasil menyelesaikan
karya utamanya, Phenomenology of Spirit, dan dipublikasikan pada tahun berikutnya. Dalam
karya ini, pemikirannya nampak amat berbeda dengan pendekatan Schellingian. Schelling
sendiri menganggap kritik tajam Hegel dalam pengantar Phenomenology ditujukan padanya.
Dan sejak saat itu persahabatan mereka kandas di tengah jalan (http://plato.stanford.edu,
2008).

Tahun 1808-1815 Hegel dipercaya sebagai kepala sekolah dan guru Filsafat di Gymnasium,
Nuremberg. Selama di sana ia menikah, memulai hidup berkeluarga, dan menerbitkan
Science of Logic. Pada tahun 1816 ia kembali ke universitas dengan menjadi Guru Besar
Filsafat di Universitas Heidelberg. Dua tahun berikutnya menjadi Guru Besar di Universitas
Berlin. Sejak saat itu, nama Hegel semakin tersohor di dunia Filsafat Jerman. Dan ketika
berada di Heidelberg itulah, Hegel mempublikasikan Encyclopaedia of the Philosophical
Sciences, sebuah karya sistematik versi ringkasan dari Science of Logic (Encyclopaedia Logic
atau Lesser Logic). Berikutnya, Hegel menerbitkan Philosophy of Nature dan Philosophy of
Spirit, sebagai aplikasi dari prinsip-prinsip yang tertuang dalam Science of Logic
(http://plato.stanford.edu, 2008).

Di tahun 1821, ketika berada Berlin, Hegel mempublikasikan karya utamanya dalam bidang
filsafat politik, Elements of the Philosophy of Right, berdasarkan materi kuliah yang ia
berikan di Heidelberg. Namun akhirnya nampak begitu jelas, dasar argumentasi dalam karya
ini berasal dari objective spirit karya Encyclopaedia Philosophy of Spirit. Selepas 10 tahun
menetap di Berlin, hingga meninggal pada 14 November 1831, manuskrip berikutnya dari
karya Encyclopaedia, diterbitkan. Selepas kematiannya, kumpulan materi kuliah Hegel
tentang philosophy of history, philosophy of religion, aesthetics, dan history of philosophy,
juga turut dipublikasikan (http://plato.stanford.edu, 2008).

The Philosophy of History atau(kah) Philosophical History

Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real

Pernyataan Hegel ini, cukup beralasan karena ia memulai pandangan metafisiknya dari rasio.
Ide yang bisa dimengerti itu setali tiga uang dengan kenyataan. Selalu mengalami proses
dialektika (Hamersma, 1983: 42). Tentu karena ia seorang idealis, pandangan akan urgensitas
rasio ini begitu mendominasi dalam setiap jejak filsafatnya. Namun, perlu diuraikan, bahwa
rasio disini bukan bermakna rasio manusia perseorangan, sebagaimana mengemuka dalam
pandangan kita selama ini, melainkan rasio subyek absolute yang menerima kesetaraan ideal
seluruh realitas dengan subyek. Kesetaraan antara rasio atau ide dengan realitas atau
ada. Dan realitas utuh, sebagaimana dikehendaki Hegel, adalah proses pemikiran (idea)
yang terus menerus memikirkan, dan sadar akan dirinya sendiri. (Tafsir, 2004: 152).

Apa yang benar, bagi Hegel, adalah perubahan itu sendiri. Oleh karenanya, konsep
filsafatnya menjadi amat relatif dan bersifat historis. Mulai dari sinilah, lalu istilah sejarah
begitu populer dalam filsafat Hegel (Tafsir, 2004: 153). Hegel percaya bahwa sejarah adalah
kepastian absolute yang akan diperoleh dengan mengkompromikan perbedaan-perbedaan ke
dalam satu sistem integral yang dapat mewadahi segala-galanya. Hegel ingin meleburkan
berbagai perbedaan dalam sistem metafisiknya ke dalam satu sintesis universal, yakni
Aufhebung. Aufhebung ini dapat berupa apa saja: Negara, Masyarakat, Pasar, atau institusi
apa pun yang merupakan kompromi dari perbedaan-perbedaan. Hegel membayangkan adanya
suatu sistem yang secara metafisik dapat memayungi segala anasir yang berbeda dan
merangkulnya menjadi satu. Penalaran dialektis Hegel ini melihat perbedaan sebagai
ancaman yang harus ditanggulangi dengan mengintegrasikannya ke dalam suatu pola yang
koheren dan stabil. Dalam pandangan Hegel, kemungkinan-kemungkinan direpresi
sedemikian rupa dengan menyajikan gambaran yang sepenuhnya pasti tentang masa depan.
Hegel sendiri memandang filsafat dan metafisika haruslah memberi kepastian kepada
manusia modern. Kepastian ini diperlukan agar mereka dapat melangkah menuju masa depan
dengan langkah yang tepat dan terukur (Fayyadl, 2005: 209).

Untuk menjelaskan pandangan Hegel tentang uraian di atas, berikut akan kita bagi model
pemikiran Filsafat Sejarah Hegel menjadi dua karaktermengikuti keterangan perkuliahan
Filsafat Sejarah oleh Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin:

Filsafat Sejarah FormalHegels Philosophy of Historypen.

a. Budi (Vernunft)
Pusat filsafat Hegel ialah konsep Geist, bermakna roh atau spirit. Roh dalam
pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, konkret, kekuatan yang obyektif, menjelma
dalam berbagai bentuk sebagai world of spirit (dunia roh), dan yang terdapat pada
obyek-obyek khusus. Dalam kesadaran diri, roh itu merupakan esensi manusia dan
esensi sejarah manusia (Tafsir, 2004: 152). Dengan demikian, kita bisa mengerti
bahwa seluruh proses dunia merupakan suatu perkembangan Roh. Konsisten dengan
hukum dialektikaakan dijelaskan nanti, perkembangan Roh senantiasa menuju
kepada Yang Mutlak, tahap demi tahap (Hadiwijono, 2005: 101).
Lebih tegasnya, perkembangan Roh bisa dipetakan menjadi tiga tahap (Hadiwijono,
2005: 101-5). Pertama, roh subyektif, menjelaskan bahwa setiap orang masih bertaut
erat dengan alam. Pada masa ini, roh mulai bergeser dari berada-di-luar-dirinya
menuju berada-bagi-dirinya. Namun, karena ia belum benar-benar berpindah bagi-
dirinya, karenanya ia tidak dapat ditukar dengan yang lain. Maksudnya, manusia
masih sebagai bagian dari alam karena ia hanya menampakkan drinya sebagian, belum
sepenuhnya.
Kedua, roh obyektif, menjelaskan bahwa bentuk-bentuk alamiah yang terkandung
dalam roh subyektif diperluas, atau lebih tepatnya direalisasikan, ke dalam wilayah
yang lebih konkret. Kehendak rasional yang tadinya besifat individual dibahasakan
secara obyektif ke dalam bentuk yang lebih universal. Karena sebab inilah, roh
obyektif lebih dominan mengandung unsur-unsur etika, misalnya kesusilaan, moralitas,
dan hukum. Unsur-unsur etika dari roh obyektif tadi semakin menemukan tempatnya
ketika terjadi pertemuan roh subyektif menuju tingkat yang lebih dewasa dalam
keluarga, masyarakat, dan Negara, serta tentu saja sejarah; tempat ketiganya
berkembang sebagai proses pertemuan antara idealitas dan realitas.
Begitu proses pertemuan antara idealitas dan realitas, yang terbahasakan dalam
Negara, mengalami titik klimaksnya, maka Roh akan tiba di tahap paling puncak,
Roh Mutlak, yaitu masa dimana Roh telah sungguh-sungguh berada dalam dirinya dan
bagi dirinya secara utuh dan penuh. Kulminasi ketegangan antara roh subyektif
(individu) dan roh obyektif (kekuasaan Negara) seketika lenyap melebur dalam Roh
Mutlak. Bermuara dari asumsi ini, lalu Hegel menyebut filsafatnya dengan idealisme
mutlak, sebagai peretas kulminasi ketegangan antara idealisme subyektif Fichte dan
idealisme obyektif Schelling.
b. Dialektika
Dalam menjelaskan sistem filsafat Hegel, kurang begitu lengkap jika tidak
menyinggung triadik Hegel: tesa, antitesa, dan sintesa. Namun, sebelum menjelaskan
lebih jauh tentang ketiga hal ini, ada baiknya kita pahami walau selintas, istilah ide
dan dialektika sebagai dasar pemahaman awal kita menuju pengertian tiga istilah di
atas.
Sebagaimana tersirat dalam uraian sebelumnya, dialektika merupakan suatu irama
yang memerintahkan seluruh filsafat Hegel. Menurut Llyod Spencer dan Andrzej
Krauze, dialektika bukan merupakan metode atau suatu sistem yang prinsip, sebab
yang menyebabkan ia begitu rumit untuk dijelaskan karena proses dialektika hanya
mudah dimengerti dalam hal yang bersifat konkret (http://marxists.org, 2008).
Barangkali karena alasan demikian , Hegel tetap bersikukuh pada keyakinannya bahwa
antara idealitas dan realitas tidak ada perbedaan. Pengertian ini, oleh Hadiwijono,
justru dipahami sebagai pengertian ontologis dialektika itu sendiri. Bahwa pengertian-
pengertian dan kategori-kategori sebenarnya bukan hanya yang menyusun pemikiran
kita, melainkan suatu kenyataan sebagai kerangka dan hakikat dunia dalam pikiran
(Hadiwijono, 2005: 101). Dengan demikian, dialektika dapat kita pahami sebagai
usaha mendamaikan dan mengompromikan hal-hal yang berlawanan (Tafsir, 2004:
153). Kendatipun lalu akan kita ketahui, bahwa sistem inilah yang akhirnya menjadi
kelemahan Hegel karena terlalu memaksakan dialektika terhadap segala sesuatu. Dan
dari sini, semakin nampak bahwa suatu perbedaan, pada hakikatnya akan menjadi
ancaman serius dalam filsafat Hegel.
Hal yang membedakan dialektika Hegel dengan logika Klasik adalah pada logika
klasik tidak dipercayainya prinsip kontradiksi, sedangkan dalam konsep dialektika
Hegel dimungkinkan. Hegel percaya bahwa kontradiksi dialektik adalah titik sentral
dalam pemahaman alam. Dan kontradiksi itu ia simbolkan melalui triadik dealektik:
tesis, antitesis, dan sintesis.
Simak kerangka dialektika Hegel dalam dalam rantai tesis, sintesis dan antitesis
sebagaimana telihat dalam gambar berikut:
Tesis X Antitesis
Sintesis Tesis X Antitesis

Sintesis.
Ilustrasi gambar di atas daapat kita jelaskan dengan menyimak masing-masing
pengertian tiga istilah triade tersebut. Pertama, tesis, merupakan yang ada. Sebagai
pengertian umum, maka ia lepas dari segala isi yang konkret. Tidak memuat apa-apa dan
tidak dapat dijelaskan bagaimanana. Ketiadaan pengertian yang jelas dari tesis ini melahirkan
triade kedua, sintesis, atau yang tidak ada. Triade terakhir ini mengandung pengertian yang
sama dengan tesis, artinya perngertian yang tidak dapat dimengerti bagaimana. Begitu
kebuntuan erjadi di masing-masing triade, maka muncullah sintesis atau yang menjadi
sebagai titik sentuh dari tesis dan sintesis. Namun ternyata proses dialektika itu tidak berhenti
sampai titik ini. Pengertian menjadi ini mengandung pengertian yang menjadikan.
Karenanya, yang ada, karena menjadi, berada sebagai yang terbatas. Adanya sesuatu
yang terbatas ini bisa menjadi tesis baru, dan karenanya mengandaikan suatu yang tidak
terbatas, atau antitesis baru. Dengan demikian, keduanya akan mengahasilkan sistesis baru
sebagai aufhebung (Hadiwijono, 2005: 102).

Kata aufhebung atau aufheben dari Hegel berkaitan dengan fase ketiga dari dialektika yang
dikenal dengan fase sintesis itu. Di dalam fase ini, terjadi aufheben yang berarti terjadinya
negasi dan pengangkatan. Terjadinya negasi berarti bahwa tesis dan antitesis sudah lewat dan
tidak ada lagi, sedangkan pengangkatan memiliki arti bahwa walaupun tesis dan antitesis
dinegasikan, tetapi kebenaran daripada tesis dan antitesis tetap dipertahankan dan disimpan di
dalam sintesis dengan bentuk yang lebih sempurna. (Cyril Smith, http://marxists.org, 1999)

2. Filsafat Sejarah MaterialHegels Philosophical Historypen.


The history of philosophy is the history of free, concrete thought which is to say, of
reason. Free concrete thought is concerned only with itself. Nothing can be called reason
which is not the result of thinking not, however, of abstract thinking, for that is the
thinking proper to understanding, but of concrete thinking, which is reason.

On the whole, then, we have two philosophies: (1) Greek and (2) Germanic. With regard to
the second of these we must distinguish between the period in which it makes its appearance
as philosophy and the period of preparation. We can begin to deal with Germanic philosophy
only at the point where it makes its appearance in a form peculiar to itself. Between the two
great periods, then, lies a middle period, one of fermentation.

The point at which we now stand is the result of all the work that has been done over a period
Of 2300 years; it is what the World-Spirit has brought before itself in its thinking
consciousness. We should not wonder at the slowness of this. Universal, knowing Spirit has
time, it is not in a hurry; it has at its disposal masses of peoples and nations whose
development is precisely a means to the emergence of its consciousness. Nor should we
become impatient because particular insights are not brought out at this time but only later, or
that this or that is not yet there in world-history advances are slow. Thus, insight into the
necessity of such a long time is a remedy for our impatience.

We have, then, to consider three periods in the history of philosophy: (1) Greek philosophy
from Thales, about 600 B.C. (Thales was born in either 640 or 629 B.C. and died in either the
58th or 59th Olympiad, i.e., about 550 B.C.), to the Neoplatonists, among whom was Plotinus
who lived in the third century after Christ. It can be said, however, that this period stretched
into the fifth century, at which time on the one hand all pagan philosophy is at an end a fact
which is connected with the great migration and the downfall of the Roman Empire (the
death of Proclus, last of the great Neoplatonists, is put in A.D. 485 and the sack of Rome
under Odoacer in 476) whereas on the other hand Neoplatonism continues without
interruption in the work of the Church Fathers many philosophies within Christendom have
as their only foundation Neoplatonism. The time-span, then, takes in about 1000 years. (2)
The second period is that of the Middle Ages, the period of fermentation and of preparation
for modern philosophy. Here belong the Scholastics. There are also Arab and Jewish
philosophies to be mentioned, but the most important ones were those of the Christian
Church. This period, too, lasts about 1000 years. (3) The third period, when modem
philosophy makes its formal appearance, does not begin until the time of the Thirty Years
War, with Bacon (d. 1626), Jakob Boehme (cL.1624), or Descartes (d. 1650). With Descartes
thinking began to enter into itself. Cogito ergo sum are the first words of his system; and it
is precisely these words which express the difference between modem philosophy and all that
preceded it.

Source: Hegels Idea of Philosophy, by Quentin Lauer, S.J. with a new translation of Hegels
Introduction to the History of Philosophy;
Translated: from Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Einleitung in die Geschichte der
Philosophie, Hamburg, 1940.

Bagi Hegel, sejarah dunia filsafat, sebagaimana tertulis dalam The Philosophy of History,
dibagi menjadi 4 periode. Pertama, The Oriental World, meliputi antara lain bagian
China, India , India Buddhism, Persia. Kedua, The Greek World, meliputi: The Elements
of the Greek Spirit, Phases of Individuality sthetically Conditioned (The Subjective
Work of Art, The Objective Work of Art, The Political Work of Art: The Wars with the
Persians, Athens, Sparta, The Peloponnesian War, The Macedonian Empire, The Fall of
the Greek Spirit). Ketiga, The Roman World : Rome to the Time of the Second Punic
War (The Elements of the Roman Spirit, The History of Rome to the Second Punic War),
Rome from the Second Punic War to the Emperors, Rome Under the Emperors,
Christianity, The Byzantine Empire. Keempat, The German World: The Elements of the
Christian German World (Hegel, 2001: 3-4)

Hegel adalah termasuk ''catatan kaki'' Plato. Dia memaksakan harus


nalarlah yang membentuk sejarah. Dia mengemukakan kekecewaannya
pada Anaxagoras yang mengatakan alamlah yang membentuk sejarah
(Hegel, 'Nalar Dalam Sejarah', Jakarta: Teraju, 20' h. 20). kita tahu bahwa
pemahaman manusia sebelum Plato tidak berpusat pada manusia, bahkan
jauh sebelum filsuf alam Yunani, manusia mengaku takluk pada alam. Ini
tidak sepenuhnya sebab di beberapa bagian di Timur, senyatanya manusia
tidak dikendalikan oleh alam tapi bersahabat dengannya. Tetapi sebelum
Thales atau beberapa filsuf sebelumnya, terutama di Barat, mengaku alam
punya kekuatan yang luar biasa sehingga manusia harus tunduk penuh
dan bahkan ada yang menyembah alam. Barulah seelah Thales atau
beberapa filsuf sebelumnya mencoba mengenal alam dengan baik dan
sampai pada kesimpulan bahwa alam ini adalah benda mati. Berdasarkan
kesimpulan ini, oleh Plato dan fisuf setelahnya mendeklarasikan manusia
lebih unggul daripada alam. Dengan itu manusiapun menjadikan dirinya
sendiri sebagai sentral.

Kesimpulan filsuf alam tidak sepenuhnya benar, alam tidaklah benar-


benar mati. Dia hidup seperti manusia juga. Hegel yang termasuk filsuf
yang menganut paham manusia sebagai pusat tapi dengan mengaku
pengendali sejarah adalah seseatu di atas manusia yaitu ruh sebagian
mengingkari pernyataannya sendiri ketika menolak alam punya kendali
terhadap sejarah. Hegel benar ketika mengaku ruh yang mengendalikan
sejarah, tetapi dia keliru ketika menafikan peran alam. Sebab ruh itu tidak
hanya melampaui manusia tapi juga melampaui alam. Mungkin tepatnya
adalah, ruh itu adalah kumpulan yang melampaui manusia sekaligus alam.
Apatis terhadap alam di zaman ini semakin besar ketika kita meyakini
bahwa alam ini cuma persepsi akal kita saja. Ini menghantarkan pada
kesimpulan bahwa alam ini mutlak di bawah kendali (akal)
manusia. Ketika mendeklarasakin superioritasnya atas apaun, maka
manusia, melalui akalnya, terntunya diklaim mengatur alam ini. Bila
dilihat, ini memang benar adanya, nalar, atau akal menaklukkan sehingga
mengendalikan apapun yang perentangannya adalah mengendalikan
sejarah. Tapi, sepenuhnyakah demikian? Mari kita lihat. Akal sendiri
adalah konstelasi dari pengaruh-pengaruh. Yang paling mempengaruhi
manusia adalah alam. Maka di sini, ternyata akal hanya alat atau
perantara saja, yang sebenarnya mengendalikan sejarah adalah alam.
Tetapi bila benar alam ini cuma persepsi akal semata, maka alam adalah
cermin saja bagi akal untuk melihat dirinya sendiri. Berarti benar yang
mengendalikan sejarah adalah akal. Apakah ada hal lain di luar akal yang
ikut menentukan sejarah, atau, kalau alam cuma persepsi akal, maka
benarkah akal, sesuatu yang asing, kesepian, tunggal sendiri ini yang
menetukan bagian kecil dari dirinya sendiri yang disebut 'sejarah'. Hegel
mengatakan ada sesuatu dari luar nalar yang menentukan sejarah yakni
Tuhan (Hegel: 2005: 21). Dia mengakui agama sebagai instrumen di luar
nalar yang ikut menentukan sejarah. Tetapi benarkah agama adalah
sesuatu di luar akal? Untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu sedikit
menelisik tentang agama. Agama adalah dibawa oleh seorang manusia
utusan yang katanya pesan dari Tuhan melalui malaikatnya bernama
Jibril (as). Dapat saja kita menerima Tuhan sebagai sesuatu yang
melampaui nalar, tapi Jibril sendiri tampaknya adalah Nalar itu sendiri
meskipun dalam kapasitas dan kondisi yang agak berbeda. Di samping itu,
pengikut nabi pilihan telah menerima pesan dari transnalar tidak bisa
tidak menurut nalarnya, tidak lebih. Dengan itulah sejarah dibentuk.
Maka di sini kemungkinan sejarah dibentuk oleh nalar adalah benar. Dan
kemungkinan dianya adalah turut dipengaruhi oleh sesuatu transnalar
adalah benar juga. Nalar adalam ambigu. Dianya tidak bunya batas,
Tuhan itu sendiri kadang dapat disebut nalar pula. Tingkat nalar manusia
tidak terbatas dan tidak berbatas.Hegel adalah pemikir yang sangat
rejilius, itu kata dosen saya. Dia ingin supaya pesan agama yang di atas
nalar itu mampu diterapkan secara objektif. Tampaknya hal ini adalah
masalah bagi lingkungan agama Kristen yang pemahaman serta
penafsirannya sangat beraneka ragam dan sulit disatukan. Objektivitas
agama diperlukan supaya dapat dipahami secara bersama supaya menjadi
bagian nalar sehingga dapat diterapkan supaya menjadi bagian dari
sejarah. Dalam alam roh, Hegel mengatakan manusia bisa menemukan
kebebasannya. Kebebasan yang ia maksudkan di sini sangatlah abstrak,
karena memang alam ruh nya itu sendiri rancu, tidak jelas. Alam ini
tampak hampir sama dengan Ada-nya Heidegger. Alam ini adalah
kegelapan dan ketidakjelasan. Kebebasan manusia, atau free will hanya
ada dalam pikirannya atau ruang ide yang universal itu. Pada alam materi,
tidak ada yang namanya kehendak bebas. Setiap tindakan yang ingin
dilakukan harus mengukuti pada keterbatasan dan ketentuan hukum alam
materi. Boleh jadi yang dihayalkan dalam benak kecil tapi justru yang
tejadi besar, atau sebaliknya. Yang jelas Kebebasan itu hanya ada dalam
ide, individu sifatnya. Bahkan tampaknya kebebasan yang ada dalam ide
itu sendiri dipengaruhi atau paling kurang diinspirasi oleh alam
materi. Lihatlah segala produk manusia, diambil dari gejala-gelala dan
realitas alam. Pesawat diinspirasi burung, kapal selam diinspirasi ikan.
Perlu ada segolongan manusia yang punya otoritas mewujudkan ide-ide.
Selayaknya mereka adalah yang punya ide-ide paling baik yang berguna
dan paling bermanfaat bagi semua tanpa merugikan apapun dan siapapun.
Tapi sayangnya, Hegel (h. 66) membiarkan individu subjek sejarah ini
sama dengan melakukan keburukan-keburukan dan dia tahan melakukan
itu dengan alasan kuatnya tujuan dan cita-citanya. Pernyataan Hegel itu
tidak sepenuhnya keliru. Masalahnya adalah apakah seseorang yang
mengaku menerima pesan dari Roh Absolut adalah memang benar dari
Roh Absolut itu. Semua mengaku yang ia perjuangkan adalah murni dari
Roh Absolut, tetapi apakah memang cara penerapan saja yang
bertentangan, atau memang salah satu atau beberapa dari itu sebenarnya
hanya mengira saja bertemu dengan Roh Absolut.Roh Absolut punya
kekuatan supaya IdeNya dapat direalisasikan dalam dunia partikular.
Realisasi ini adalah melalui pewujudan semua partikular olehNya.
Khususnya bagi manusia, mereka punya tingkatan tertentu dalam hal ini:
Manusia yang lebih dekat dengan roh absolut adalah mereka yang
memiliki hasrat dan keinginan mewujudkan Ide Absolut ke dalam realitas
partikular. Mereka yang dekat itu boleh jadi gagal mewujudkan
keinginannya itu karena banyak halangan dari mereka yang jauh dari Ide
Roh Absolut. Berhasil atau tidaknya mereka tidaklah menjadi soal, yang
penting mereka berusaha dan konsisten sebab Roh Absolut bisa
menerapkan sendiri Ide Absolutnya. Yang tidak absolud seperti jasad
punya keterbatasan-keterbatasan dalam memperjuangkan tercapainya Ide
Absolut. Karena itu jasad berganti jasad terus menerus, melanjutkan ide-
ide sebelumnya untuk mencapai Ide Absolut. Setiap jasad malah sengajad
memperbaharui dirinya dengan dirinya yang baru supaya produktivitas
memperjuangkan yang Absolut menjadi semakin efisien.Hasrat
mewujudkan Ide Absolut adalah potensi bawaan sebab manusia itu
sejatinya adalah manifestasi dari Ide itu. Hegel mengatakan pewujudan itu
melalui etika yang tampaknya ini untuk mewujudkan Ide Absolut dalam
sejarah. Konsep ini tampaknya diinspirasikan dari ide Kant. Kant
mengatakan hal-hal metafisik didak dapat dijelaskan melalui filsafat tetapi
diapresiasi melalui etika. Karena merupakan manivestasi Ide Absolut,
manusia punya beban tanggung jawab dalam mewujudkan Ide Absolut.
Pengingkaran terhadap tujuan ini menyebabkan manusia mengingkasi
fitrah Ide yang mewujudkannya. Tapi fitrah ini untuk diterapkan punya
banyak penghalang dalam realisasinya. Oleh karena itu, negosiasi antar
ide adalah niscaya. Hegel mengatakan orang yang lebih tua usianya
cenderung lebih setuju untuk bernegosiasi dibandingkan yang muda yang
lebih idealis. Tampaknya ini karena yang tua sudah banyak mengalami
kegagalan idenya direalisasi sehingga mereka memilih bernegosiasi
daripada tidak sedikitpun ideanya terealisasi.Kalau memang hanya
segelintir person saja yang membonceng Ide Absolut untuk direalisasikan,
maka kita cenderung menganggap Ide Absolut tidak terealisasi di realitas
eksternal, tapi sebenarnya segala yang terjadi di alam, segalanya bahkan
setitik hujan dan sedesir angin adalah Idea Absolut jua. Dalam pandangan
Hegel, negara adalah sarana atau wadah untuk merealisasikan Ide
Absolud. Tetapi saat berhimpun dalam negara, yang terealisasi bukanlah
Idea milik satu individu, dalam negara, masing-masing Idea bertemu dan
tidak satupun mulik indovidu yang menyeluruh, semuanya adalah sintesis
dari masing-masing Idea. Kelihatan konstitusi negara adalah abstraksi
dari ide segenap warga negara: Diharapkan seluruh warga menjadi patuh
dan taap terhadap aturan itu karena secara konsep adalah buatan si
penurut hukum itu. Menurut Hegel, hukum yang objektif itu adalah hal
rasional yang layak diamalkan segenap warga.Tapi bagaimana mungkin
warga yang puluhan juta jumlahnya bisa berkontribusi atau dapat
dianggap idenya telah tercover dalam konstitusi itu? Ini tampak musykil.
Karena itu pemikir-pemikir setelah Hegel tertarik membahas masalah ini.
Seperti Foucoult misalnya, dia beriktikat supaya pengetahuan itu sekaligus
menjadi kekuatan supaya pengetahuan itu dapat diterapkan. Dalam hal
ini, Imam Khomaini menerapkan sebuah strategi cemerlang. Beliau
menjadikan beberapa orang yang paling punya pengetahuan yang
dihimpun dalam Wilayatul Faqih utuk membuat konstitusi
negara.Parahnya di mayoritas negara, hukum itu dibuat untuk menurut
kepentingan beberapa orang saja. Hukum wajib dipatuhi milyaran orang,
mereka harus tunduk demi kepentingan beberapa orang yang berorientasi
materi, harta kekayaan. Milyaran manusia digiring untuk menyokong
tercapainya kepentingan beberapa orang korporat, mereka tidak bisa
mengelak: menghondarinya dianggap melanggar hukum.Ketika
mengatakan negara adalah realisasi kebebasan, Hegel tidak bersalah. Dia
memang menghayalkan sebuah organisasi di mana masing-masing
anggotanya saling melindungi dan masing-masing dapat merealisasikan
kebebasannya. Masyarakat masa itu adalah masyarakat yang bekerja
untuk tuan, baik itu untuk tuan tanah maupun raja. Di sini Hegel
menegaskan kekesalannya pada institusi agama yang dimanfaatkan untuk
kepentingan tuan tanah dan raja. Masyarakat dibius dengan teks-teks
agama yang ditafsirkan sedemikian rupa untuk mengibuli masyarakat.
Masyarakat yang tertindas yang memang tidak punya pilihan lain memang
suka dengan obat bius itu dan malah dengan sengaja membius diri mereka
sendiri. Berangkat dari trauma pengalaman ini, banyak pemikir
menganjurkan supaya dalam negara tidak dibawa konsep-konsep agama.
Negara harus murni merupakan kebijakan rasional. Dalam negara
diharapkan semua keputusan dan kebijakan diambil secara objektif.
Sebuah negara memiliki tujuan supaya segenap masyarakat terbebas dari
segala bentuk penindasan sekalipun berdalih pada alasan apapun. Negara
memang demikian tujuannya. Tapi pada masa sekarang kelas itu justru
berdasarkan tingkatan kolektif yakni negara. Rakyat dari negara-negara
kuat menindas rakyat dari negara yang lemah, negara kuat berhasi
berhimpun untuk mensejahterakan rakyatnya. Tetapi yang berlaku bagi
masyarakat negara lemah, organisasi bernama negara ini menghimpun
masyarakat untuk ditindas secara konstitusional, penindasan yang legal.
Konstitusi dan hukum disusun oleh segolongan orang dari negara kuat
melalui agennya dari negara lemah yang juga warga negara lemah itu.
Segala produk konstitusi dan hukum dibangun berdasarkan keinginan
demi kepentingan korporat dan rakyat negara kuat. Inilah model
penjajahan, kolonialisme gaya baru.Sekalipun banyak pemikir yang putus
asa dengan kehadiran agama dalam negara, Hegel tidak demikian. Dia
menolak sekularisme dan meyakinbah bahwa agama dan negara punya
hubungan yang sangat mendalam. Agama memang jantung dari nurani
manusia, Bagaimana bisa negara dipisahkan dari manusia, demikian pula
bagaimana bisa manusia dipisahkan dari agama. Maka sekularisme adalah
ide yang paling tidak masuk akal. Tetapi tampaknya agama yang
dimaksudkan Hegel bukan semacan Kristen maupun Protestan yang
terkonstitusi itu, tetapi agama dalam pandangan Hegel lebih mirip dengan
apa yang dikatakan gurunya, Immanuel Kant, yakni suatu kondisi fitrah
alami manusia yang mengada bersama manusia itu sendiri. Menurut Hegel
(2005: 98), negara yang baik adalah yang belandaskan agama. Manusia
tidak punya loyalitas dan kepatuhan murni pada hal-hal yang partikular.
Segolongan orang mungkin akan setia pada hal-hal yang bersifat rasional
karena beberapa alasan, tetapi rasionalitas ini sifatnya temporal dan dan
relatif. Penginkaran terhadap sesuatu yang bersifat rasional sangat
mungkin terjadi. Manusia hanya akan setia pada Tuhan, terhadap
lembaga keagamaan tidak. Karena itu makna religius tidak boleh dikait-
kaitkan dengan aliran-aliran agama atau mazhab tertenti yang sudah
dikukuhkan. Mazhab dan aliran adalah agama yang telah dimodifikasi
oleh rasionalisasi-rasionalisasi. Negara yang tidak berlandas pada Tuhan
semata akan terlaksana dengan baik karena manusia hanya punya
loyalitas dan kesetiaan sejati yakni pada Tuahan saja. Negara-negara yang
berlandaskan pada selain Tuhan akan runtuh dengan mudah. Keruntuhan
sebuah agama adalah kerugian yang tak terkira besarnya. Dalam menuju
keruntuhannya, sebuah negara pastinya telah mengorbankan nyawa dan
rasa aman jutaan orang. Dalam membangun sebuah sistem baru negara
butuh waktu yang tidak sedikit. Darah, lagi-lagi dapat tumpah. Hegel
rupanya menjadikan agama sebagai fondasi dan esensi negara. Dia (h.102
mengatakan hanya dengan agama negara dapat terbentuk dan tanpa
negara, katanya, seni dan filsafat tidak dapat terbentuk. Dia megakini Roh
Dunia itu senantiasa beergerak. Efek pergerakan ini membentuk pribadi-
pribadi yang memiliki kesadaran bahwa mereka tidak boleh melanggar
prinsi Roh Absolut. Setiap gerak langkahnya harus mengikuti Gerak
Absolut yang substansi ini.Friedrick Nietzsche mengatakan alam ini
merupakan ruang yang tetap, diam, kaku, statis(Graham Higgin, 'Antologi
Filsafat', Yogyakarta: Bentang, 2004:166). Iqbal 2002: 190) menyebut
waktu milik Nietzsche adalah serial pengulangan. Ternyata pemikiran
Nietzsce ini adalah semangat yang dieariskan Hegel. ''Tidak ada yang baru
dibawah terik matahari'' kata Hegel (h.105). Dunia memang bergerak,
tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya menuju kesempurnaan yang
mustahil. Dunian ini ''...tanpa tujuan, kecuali jika lingakaran kegembiraan
itu sendiri sebagai tujuannya; tanpa kehendak, kecuali lingkaran yang
merasakan kehendak baik terhadap dirinya sendiri'' Kata Nietzsce. Iqbal
langsung memvonis konsep waktu Nietzsche itu keliru yang dengan itu
sekaligus menolak Hegel. Tapi kedua filosof Barat ini memaksudkan waktu
serial yang diproduk oleh akal kita, bukan ''Waktu'' yang melampaui akal
(kalau itu memang ada). Hegel dan Nietzsche sepakat bahwa
kesempurnaan memang takkan terjangkau, dan energi waktu memang
berbatas. Tetakopi doktrin yang ingin dibela Iqbal itu tidak juga tertolak,
alam ini memang berbatas, akal tak mampu menjangkau hal diluar alam
dimensi ini. Tapi gerak substansilah yang terus menglhami akal untu
membentuk dimensi baru yang lebih baik, yang tampaknya memang tidak
dipersepsikan dengan akal kita sekarang sekalipun mungkin saja disebut
pengembangan akal ini (badingkan dengan bagian 'Gerak
Substansi'). Hegel mengatakan roh itu merasuk ke dalam materi. Tapi bagi
saya materi itu adalah semacam himpunan roh yang membentuk energi,
lalu energi membentuk sub atom, sub atom membentuk atom dan atom
membentuk benda-benda. Konstelasi ini terjadi karena gerak ruh yang
terus menerus. Ini tampaknya dapat disebut gerak substamsi.Karakteristik
geraksubstansi menjelma dalam realitas. Realitas tertinggi itu ada pada
intelektualitas manusia. Manusia-manusia yang mempunya ras unggu
adalah puncak tertinggi dari realitas. Kita tahu bahwa negosiasi antar
individu tidak bisa dielakkan. Karena itu, dalam interaksi antar manusia,
antar budaya dan atar peradaban akan dimenangkan oleh individu dan
masyarakat yang lebih unggul, yang lebih baik penjelmaan ruh pada
dirinya. Abdul Hadi WM dalam 'Falsafah India' mengatakan bahwa
bangsa India telah ditaklukkan oleh bangsa Persia sehingga agama api dari
Persia lestari di sana. Selanjutnya orang Persia lagi yang mewariskan
Hindu sehingga sekarang Hindu identik dengan India sekalipun agama tua
itu sendiri telah ditinggalkan orang Persia sendiri. Dengan itu, ajaran-
ajaran yang berlaku di Cina dan Nusantara juga berarti adalah warisan
Persia sekalipun orang-orang mengetahuinya dari India. Karakter mistik
diwariskan Persia untuk Timur. Untuk Barat, Persia membawa sisten
intelektualitas yang kencang. Melalui berbagai penaklukannya ke Romawi
Timur, orang Persia selanjutnya mampu mengkader para filosof alam
yang daftar nama-nama mereka resmi lestari hingga kini. Para folosof
alam itu boleh saja dikenal sebagai orang Yunani. Tetapi sejatinya mereka
berasal dari Turki yang memperoleh kebebasan menyampaikan gagasan di
tempat yang relatif jauh dari perang fisik yakni Yunani. Selanjutnya para
filosof kemanusiaan dari Plato juga adalah metamarfosisis filsafat
alam.Setelah Islam datang, bangsa Arab hanya bisa menerapkan konsep
secara parsial. Penerapan agama dengan cara seperti ini hampir mirip
dengan alat perekam yang mampu menampilkan dengan baik tapi tidak
memahami. Setelah Islam sampai kepada orang Persia, barulah agama ini
memperoleh kesadaran yang baik. Islam melalui orang Persia menemukan
keselarasannya antara kitab alam dengan kitab Jibril. Pertemuan ini
melahirkan puncak kejayaan gemilang yang sulit ditandingi sampai
kapanpun. Nama-nama ilmuan besar muslim juga hampir semuanya
adalah orang persia. Kaum Ahlul Bayt seperti Al-Ghazali dan banyak
ilmuan lainnya boleh saja berhasil dalam menyebarkan ajarannya, tetapi
sekalipun mereka keturunan Arab, tanpa percampuran dengan darah
Persia, maka merekaakan tetap seperti unta di lembah-lembah gurun
jazirah. Para penyebar Islam hingga Nusantara sekalipun Ahlul Bayt
tetapi pasti mereka menempuh jalur Perisia yang itu artinya mereka telah
bercampur dengan darah Persia yang kaya intelektualitas. Konon menurut
warga Aceh, Islam pertama dibawa oleh Salma Al-Farisi ke Nusantara.
Syarif Hidayatullah, seorang keturunan Nabi Saw. Juga berdarah Persia
sebelum beroleh darah Pasai (Muhammad Said, 'Aceh Sepanjang Abad'
Vol. I). Para Rasul selalu muncul dari kalangan Israil, tetapi orang Persia
semuanya adalah ''nabi''. Kalau para Rasul yang dari Israil itu didatangi
tamu Jibril melalui otaknya, maka Jibril itu sendiri mengalir di setiap
darah orang Persia. Persia campuran tidak terlalu baik, tapi perpaduan
antara Jibril di langit dengan Jibril di bumi dalam diri seorang Ahlul Bayt
adalah luar biasa untuk beberapa sisi.Orang Jerman yang terkenal paling
cerdas di Barat itu adalah orang Persia yang berhijrah, sama seperti
dilakukan orang Persia lainnya ke Romawi, Nusantara dan lainnya.
Jerman dan Iran adalah sama-sama bangsa paling unggul, bangsa Arya.
Ini bukan masalah doktrin Hitler. Si hina dari Nusantara ini melihatnya
sendiri, bukan cuma dengan mata, tapi semua saya, baik yang terlihat
maupun tidak. Maka disini saya katakan: Bila orang Jerman membabat
habis Israil, maka Israil pasti akan melirik Iran untuk balas dendam pada
Arya. Bila seorang anak yang masih tangguh perkasa Jerman masih
mengaku sebagai Arya, maka bila Iran bertegang dengan Israil dan
anaknya Amerika, Jerman wajib membela Iran. Dalam sejarah, hanya
orang Persia saja si Timur yang menguasai Barat. Semua kekuatan dan
intelektualitas Barat hari ini adalah mulik Timur. Orang Barat sejatinya
berbapak pada orang Timur. Penjajahan Barat Atas Timur beberapa
Millenia belakangan adalah adalah sebuah kisah pembunuhan seorang
anak terhadap ayahnya. Atau bisa dilihat juga sebagai pengkhianatan akal
pada hati.Sayangnya Hegel memberi kriteria aneh terhadap sesuatu yang
disebut 'sejarah'. Dalam kriterianya, sejarah harus sebuah sintesis dari
tesis dan antitesis yang berimbangan. Naginya, India tidak memiliki
sejarah sekalipun punya aksara yang luar biasa, alasannya India adalah
suatu sistem kasta yang baku. Di sana kekuasaan hanya milik kasta
Brahmana, merekalah yang mengatur seluruh sendi. Tidak ada kompetisi
disana, kekastaan itu statis, begitu terus menerus. Padahal Naquib Al-
Attas lebih mengutamakan aksara sebagai indikator tertinggi yang
menandakan tingginya sebuah peradaban. Mungkin dengan indikatornya,
Hegel dapat menyanggahnya dengan mengatakan itu bukan sejarah.
Sejarah bagi Hegel haruslah suatu gerak aktif yang merupakan
penjelmaan dari gerak substansi. TKalau demikian, maka sejarah itu tidak
akan pernah ada. Sebab, tidak akan ada pergesekan seimbang. Setiap
peradaban atau kebudayaan yang seimbang tidak akan pernah
ada. Hukum alam membuat konfluk dan pertentangan selalu muncul.
Pertentangan ini berhenti ketika ada sesatu yang memenangi. Maka ada
satu yang mengungguli yang lain adalah sebauh sejarah karena telah
melewati satu pertikaian. Karena itu, kita harus mampu membedakan
antara 'sejarah' dan 'gerak sejarah'. Gerak sejarah adalah proses,
sementara sejarah adalah hasil petikaian itu. Suatu kasta adalah sejarah.
Tapi dianya tidak benar-benar 'sejarah' sebab yang kalah terus bergerak
untuk mengalahkan dan yang menang juga tetap bergerak untuk
mempertahankan. Hingga hari ini, sampai kapanpun sejarah tetap
bergerak. Hari ini beberapa korporasi besar yang mapan adalah penguasa.
Tidak ada yang mampu mengusik. Bila mengikut konsep Hegel, maka
sejarah terus berhentI. Hegel benar ketika mengetakan Ruh itu bergerak,
tetapi tidak musti dengan sistem tesis-atitesis. Sistem itu hanya
memudahkan pengatahuan untuk mengatahui gerak, tetapi sejatinya tidak
demikian pergerakan Ruh. Apalagi dianalogikan pada realitas eksternal,
pasti keliru.Anehnya, Hegel mengaku bahwa aksara adalah ciri peradaban
bermutu, padahal aksara yang mapan dalam satu masyarakat adalah bukti
sebuah komunitas itu stabil dalam waktu yang lama, tesis-antitesis Hegel
tidak ada di sana, yang berarti tidak ada Sejarah dalam kacamata
Hegel. Apakah Hegel tidak tahu bahwa sebuah karya besar hanya bisa
lahir dalam kondisi politik yang stabil. Dalam kondisi ini penguasa tidak
akan terusik dengan karya apapun, sebesar apapun karena kekuasaannya
sudah sangat mapan. Di samping itu, kesempatan untuk menciptakan
karya-karya agung hanya mungkin bila pengarangnya diberi kondisi,
lingkungan dan referensi yang mumpuni. Namun Hegel mengakui
intelektualitas adalah Ruh yang paling murni yang bisa diindikasi pada
realitas eksternal. Akhirnya Hegel memperjelas bahwa realiras-realitas
partikular adalah penjelmaan ruh ''...maka dia hanya bisa direngkuh
secara spiritual, melalui pikiran.'' Hegel (2005:135). Maka dengan ini
filsafat adalah tokoh utama dalam masalah demikian. Menurut Hegel,
filsafat adalah pemikiran tentang pikiran. Di samping itu, sastra dan sains
adalah tidak boleh dilupa (mengenai bahasan dan hubungan sastra, filsafat
dan sains telah saya kemukakan dalam 'Garudaku Tangguh' dalam
bahasan 'The Ultilmate Creations').''Secara umum, sejarah dunia adalah
perkembangan Roh dalam Waktu, sebagaimana alam adalah
perkembangan Ide dalam Ruang'' (h. 139). Tapi saya melihat, kalau
melalui tesis-antitesis barulah adanya sejarah, maka sesuatu yang telah
mapan sepeti contoh kasta di India, bukanlah sejarah; tapi itu adalah
waktu. Inilah yang hendak saya kemukakan. Melihat kutipan milik Hegel
di atas, maka benarlah dugaan saya. Yang tampak dalah realitas
partikular ini adalah waktu, sekalipun kejadian-kejadian adalah
penjelmaan dari perkembangan ruh atau gerak substansial. Pada level
substansi, adalah perkembangan ruh; pada level aksiden, adalah waktu.
Ini sejalan dengan perkembangan ide pada level substansi dan gerak
dalam ruang dalam level aksiden. Karena waktu adalah buatan akal, maka
secara pasti kausalitas yang sering menjadi bagian perdebatan filsafat itu
juga adalah produksi akal. Kausalitas itu berada di dalam kategori
aksiden. Kausalitas hanya ada dalam pikiran. Lalu pikiran
mangabstraksikan tangan yang mendorong dan pintu terbuka dan
menyematkan hukum kausalitas pada realitas tersebut.

Você também pode gostar