Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
1770. Belajar teologi di Universitas Tubingen hingga meraih doktor pada 1791. Ketika itu,
karya tulisnya masih bertaut dengan agama Kristen, misalnya The Life of Jesus dan The Spirit
of Chiristiany (Tafsir, 2004: 152). Hegel mulai menekuni filsafat ketika pada 1801 bertemu
dengan Schelling di Universitas Jena, dan turut mengajar mata kuliah Filsafat di sana, hingga
jerih payahnya membuahkan karya filsafat pertama berjudul The Difference Between Fichtes
and Schellings Systems of Philosophy (http://plato.stanford.edu, 2008).
Perjumpaan dengan karya-karya Friedrich Hlderlin (1770-1843) dan Friedrich von Schelling
(1775-1854), diakui Hegel, cukup mempengaruhi pergulatan intelektual dan tradisi
filsafatnya. Tidak begitu mengejutkan bila Hegel sempat menyebut keduanya sebagai pemikir
besar Filsafat Jerman abad 19. Berkat hubungan erat tersebut, pada 1803, bersama Schelling,
Hegel mengedit Critical Journal of Philosophy. Tahun 1906 Hegel berhasil menyelesaikan
karya utamanya, Phenomenology of Spirit, dan dipublikasikan pada tahun berikutnya. Dalam
karya ini, pemikirannya nampak amat berbeda dengan pendekatan Schellingian. Schelling
sendiri menganggap kritik tajam Hegel dalam pengantar Phenomenology ditujukan padanya.
Dan sejak saat itu persahabatan mereka kandas di tengah jalan (http://plato.stanford.edu,
2008).
Tahun 1808-1815 Hegel dipercaya sebagai kepala sekolah dan guru Filsafat di Gymnasium,
Nuremberg. Selama di sana ia menikah, memulai hidup berkeluarga, dan menerbitkan
Science of Logic. Pada tahun 1816 ia kembali ke universitas dengan menjadi Guru Besar
Filsafat di Universitas Heidelberg. Dua tahun berikutnya menjadi Guru Besar di Universitas
Berlin. Sejak saat itu, nama Hegel semakin tersohor di dunia Filsafat Jerman. Dan ketika
berada di Heidelberg itulah, Hegel mempublikasikan Encyclopaedia of the Philosophical
Sciences, sebuah karya sistematik versi ringkasan dari Science of Logic (Encyclopaedia Logic
atau Lesser Logic). Berikutnya, Hegel menerbitkan Philosophy of Nature dan Philosophy of
Spirit, sebagai aplikasi dari prinsip-prinsip yang tertuang dalam Science of Logic
(http://plato.stanford.edu, 2008).
Di tahun 1821, ketika berada Berlin, Hegel mempublikasikan karya utamanya dalam bidang
filsafat politik, Elements of the Philosophy of Right, berdasarkan materi kuliah yang ia
berikan di Heidelberg. Namun akhirnya nampak begitu jelas, dasar argumentasi dalam karya
ini berasal dari objective spirit karya Encyclopaedia Philosophy of Spirit. Selepas 10 tahun
menetap di Berlin, hingga meninggal pada 14 November 1831, manuskrip berikutnya dari
karya Encyclopaedia, diterbitkan. Selepas kematiannya, kumpulan materi kuliah Hegel
tentang philosophy of history, philosophy of religion, aesthetics, dan history of philosophy,
juga turut dipublikasikan (http://plato.stanford.edu, 2008).
Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real
Pernyataan Hegel ini, cukup beralasan karena ia memulai pandangan metafisiknya dari rasio.
Ide yang bisa dimengerti itu setali tiga uang dengan kenyataan. Selalu mengalami proses
dialektika (Hamersma, 1983: 42). Tentu karena ia seorang idealis, pandangan akan urgensitas
rasio ini begitu mendominasi dalam setiap jejak filsafatnya. Namun, perlu diuraikan, bahwa
rasio disini bukan bermakna rasio manusia perseorangan, sebagaimana mengemuka dalam
pandangan kita selama ini, melainkan rasio subyek absolute yang menerima kesetaraan ideal
seluruh realitas dengan subyek. Kesetaraan antara rasio atau ide dengan realitas atau
ada. Dan realitas utuh, sebagaimana dikehendaki Hegel, adalah proses pemikiran (idea)
yang terus menerus memikirkan, dan sadar akan dirinya sendiri. (Tafsir, 2004: 152).
Apa yang benar, bagi Hegel, adalah perubahan itu sendiri. Oleh karenanya, konsep
filsafatnya menjadi amat relatif dan bersifat historis. Mulai dari sinilah, lalu istilah sejarah
begitu populer dalam filsafat Hegel (Tafsir, 2004: 153). Hegel percaya bahwa sejarah adalah
kepastian absolute yang akan diperoleh dengan mengkompromikan perbedaan-perbedaan ke
dalam satu sistem integral yang dapat mewadahi segala-galanya. Hegel ingin meleburkan
berbagai perbedaan dalam sistem metafisiknya ke dalam satu sintesis universal, yakni
Aufhebung. Aufhebung ini dapat berupa apa saja: Negara, Masyarakat, Pasar, atau institusi
apa pun yang merupakan kompromi dari perbedaan-perbedaan. Hegel membayangkan adanya
suatu sistem yang secara metafisik dapat memayungi segala anasir yang berbeda dan
merangkulnya menjadi satu. Penalaran dialektis Hegel ini melihat perbedaan sebagai
ancaman yang harus ditanggulangi dengan mengintegrasikannya ke dalam suatu pola yang
koheren dan stabil. Dalam pandangan Hegel, kemungkinan-kemungkinan direpresi
sedemikian rupa dengan menyajikan gambaran yang sepenuhnya pasti tentang masa depan.
Hegel sendiri memandang filsafat dan metafisika haruslah memberi kepastian kepada
manusia modern. Kepastian ini diperlukan agar mereka dapat melangkah menuju masa depan
dengan langkah yang tepat dan terukur (Fayyadl, 2005: 209).
Untuk menjelaskan pandangan Hegel tentang uraian di atas, berikut akan kita bagi model
pemikiran Filsafat Sejarah Hegel menjadi dua karaktermengikuti keterangan perkuliahan
Filsafat Sejarah oleh Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin:
a. Budi (Vernunft)
Pusat filsafat Hegel ialah konsep Geist, bermakna roh atau spirit. Roh dalam
pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, konkret, kekuatan yang obyektif, menjelma
dalam berbagai bentuk sebagai world of spirit (dunia roh), dan yang terdapat pada
obyek-obyek khusus. Dalam kesadaran diri, roh itu merupakan esensi manusia dan
esensi sejarah manusia (Tafsir, 2004: 152). Dengan demikian, kita bisa mengerti
bahwa seluruh proses dunia merupakan suatu perkembangan Roh. Konsisten dengan
hukum dialektikaakan dijelaskan nanti, perkembangan Roh senantiasa menuju
kepada Yang Mutlak, tahap demi tahap (Hadiwijono, 2005: 101).
Lebih tegasnya, perkembangan Roh bisa dipetakan menjadi tiga tahap (Hadiwijono,
2005: 101-5). Pertama, roh subyektif, menjelaskan bahwa setiap orang masih bertaut
erat dengan alam. Pada masa ini, roh mulai bergeser dari berada-di-luar-dirinya
menuju berada-bagi-dirinya. Namun, karena ia belum benar-benar berpindah bagi-
dirinya, karenanya ia tidak dapat ditukar dengan yang lain. Maksudnya, manusia
masih sebagai bagian dari alam karena ia hanya menampakkan drinya sebagian, belum
sepenuhnya.
Kedua, roh obyektif, menjelaskan bahwa bentuk-bentuk alamiah yang terkandung
dalam roh subyektif diperluas, atau lebih tepatnya direalisasikan, ke dalam wilayah
yang lebih konkret. Kehendak rasional yang tadinya besifat individual dibahasakan
secara obyektif ke dalam bentuk yang lebih universal. Karena sebab inilah, roh
obyektif lebih dominan mengandung unsur-unsur etika, misalnya kesusilaan, moralitas,
dan hukum. Unsur-unsur etika dari roh obyektif tadi semakin menemukan tempatnya
ketika terjadi pertemuan roh subyektif menuju tingkat yang lebih dewasa dalam
keluarga, masyarakat, dan Negara, serta tentu saja sejarah; tempat ketiganya
berkembang sebagai proses pertemuan antara idealitas dan realitas.
Begitu proses pertemuan antara idealitas dan realitas, yang terbahasakan dalam
Negara, mengalami titik klimaksnya, maka Roh akan tiba di tahap paling puncak,
Roh Mutlak, yaitu masa dimana Roh telah sungguh-sungguh berada dalam dirinya dan
bagi dirinya secara utuh dan penuh. Kulminasi ketegangan antara roh subyektif
(individu) dan roh obyektif (kekuasaan Negara) seketika lenyap melebur dalam Roh
Mutlak. Bermuara dari asumsi ini, lalu Hegel menyebut filsafatnya dengan idealisme
mutlak, sebagai peretas kulminasi ketegangan antara idealisme subyektif Fichte dan
idealisme obyektif Schelling.
b. Dialektika
Dalam menjelaskan sistem filsafat Hegel, kurang begitu lengkap jika tidak
menyinggung triadik Hegel: tesa, antitesa, dan sintesa. Namun, sebelum menjelaskan
lebih jauh tentang ketiga hal ini, ada baiknya kita pahami walau selintas, istilah ide
dan dialektika sebagai dasar pemahaman awal kita menuju pengertian tiga istilah di
atas.
Sebagaimana tersirat dalam uraian sebelumnya, dialektika merupakan suatu irama
yang memerintahkan seluruh filsafat Hegel. Menurut Llyod Spencer dan Andrzej
Krauze, dialektika bukan merupakan metode atau suatu sistem yang prinsip, sebab
yang menyebabkan ia begitu rumit untuk dijelaskan karena proses dialektika hanya
mudah dimengerti dalam hal yang bersifat konkret (http://marxists.org, 2008).
Barangkali karena alasan demikian , Hegel tetap bersikukuh pada keyakinannya bahwa
antara idealitas dan realitas tidak ada perbedaan. Pengertian ini, oleh Hadiwijono,
justru dipahami sebagai pengertian ontologis dialektika itu sendiri. Bahwa pengertian-
pengertian dan kategori-kategori sebenarnya bukan hanya yang menyusun pemikiran
kita, melainkan suatu kenyataan sebagai kerangka dan hakikat dunia dalam pikiran
(Hadiwijono, 2005: 101). Dengan demikian, dialektika dapat kita pahami sebagai
usaha mendamaikan dan mengompromikan hal-hal yang berlawanan (Tafsir, 2004:
153). Kendatipun lalu akan kita ketahui, bahwa sistem inilah yang akhirnya menjadi
kelemahan Hegel karena terlalu memaksakan dialektika terhadap segala sesuatu. Dan
dari sini, semakin nampak bahwa suatu perbedaan, pada hakikatnya akan menjadi
ancaman serius dalam filsafat Hegel.
Hal yang membedakan dialektika Hegel dengan logika Klasik adalah pada logika
klasik tidak dipercayainya prinsip kontradiksi, sedangkan dalam konsep dialektika
Hegel dimungkinkan. Hegel percaya bahwa kontradiksi dialektik adalah titik sentral
dalam pemahaman alam. Dan kontradiksi itu ia simbolkan melalui triadik dealektik:
tesis, antitesis, dan sintesis.
Simak kerangka dialektika Hegel dalam dalam rantai tesis, sintesis dan antitesis
sebagaimana telihat dalam gambar berikut:
Tesis X Antitesis
Sintesis Tesis X Antitesis
Sintesis.
Ilustrasi gambar di atas daapat kita jelaskan dengan menyimak masing-masing
pengertian tiga istilah triade tersebut. Pertama, tesis, merupakan yang ada. Sebagai
pengertian umum, maka ia lepas dari segala isi yang konkret. Tidak memuat apa-apa dan
tidak dapat dijelaskan bagaimanana. Ketiadaan pengertian yang jelas dari tesis ini melahirkan
triade kedua, sintesis, atau yang tidak ada. Triade terakhir ini mengandung pengertian yang
sama dengan tesis, artinya perngertian yang tidak dapat dimengerti bagaimana. Begitu
kebuntuan erjadi di masing-masing triade, maka muncullah sintesis atau yang menjadi
sebagai titik sentuh dari tesis dan sintesis. Namun ternyata proses dialektika itu tidak berhenti
sampai titik ini. Pengertian menjadi ini mengandung pengertian yang menjadikan.
Karenanya, yang ada, karena menjadi, berada sebagai yang terbatas. Adanya sesuatu
yang terbatas ini bisa menjadi tesis baru, dan karenanya mengandaikan suatu yang tidak
terbatas, atau antitesis baru. Dengan demikian, keduanya akan mengahasilkan sistesis baru
sebagai aufhebung (Hadiwijono, 2005: 102).
Kata aufhebung atau aufheben dari Hegel berkaitan dengan fase ketiga dari dialektika yang
dikenal dengan fase sintesis itu. Di dalam fase ini, terjadi aufheben yang berarti terjadinya
negasi dan pengangkatan. Terjadinya negasi berarti bahwa tesis dan antitesis sudah lewat dan
tidak ada lagi, sedangkan pengangkatan memiliki arti bahwa walaupun tesis dan antitesis
dinegasikan, tetapi kebenaran daripada tesis dan antitesis tetap dipertahankan dan disimpan di
dalam sintesis dengan bentuk yang lebih sempurna. (Cyril Smith, http://marxists.org, 1999)
On the whole, then, we have two philosophies: (1) Greek and (2) Germanic. With regard to
the second of these we must distinguish between the period in which it makes its appearance
as philosophy and the period of preparation. We can begin to deal with Germanic philosophy
only at the point where it makes its appearance in a form peculiar to itself. Between the two
great periods, then, lies a middle period, one of fermentation.
The point at which we now stand is the result of all the work that has been done over a period
Of 2300 years; it is what the World-Spirit has brought before itself in its thinking
consciousness. We should not wonder at the slowness of this. Universal, knowing Spirit has
time, it is not in a hurry; it has at its disposal masses of peoples and nations whose
development is precisely a means to the emergence of its consciousness. Nor should we
become impatient because particular insights are not brought out at this time but only later, or
that this or that is not yet there in world-history advances are slow. Thus, insight into the
necessity of such a long time is a remedy for our impatience.
We have, then, to consider three periods in the history of philosophy: (1) Greek philosophy
from Thales, about 600 B.C. (Thales was born in either 640 or 629 B.C. and died in either the
58th or 59th Olympiad, i.e., about 550 B.C.), to the Neoplatonists, among whom was Plotinus
who lived in the third century after Christ. It can be said, however, that this period stretched
into the fifth century, at which time on the one hand all pagan philosophy is at an end a fact
which is connected with the great migration and the downfall of the Roman Empire (the
death of Proclus, last of the great Neoplatonists, is put in A.D. 485 and the sack of Rome
under Odoacer in 476) whereas on the other hand Neoplatonism continues without
interruption in the work of the Church Fathers many philosophies within Christendom have
as their only foundation Neoplatonism. The time-span, then, takes in about 1000 years. (2)
The second period is that of the Middle Ages, the period of fermentation and of preparation
for modern philosophy. Here belong the Scholastics. There are also Arab and Jewish
philosophies to be mentioned, but the most important ones were those of the Christian
Church. This period, too, lasts about 1000 years. (3) The third period, when modem
philosophy makes its formal appearance, does not begin until the time of the Thirty Years
War, with Bacon (d. 1626), Jakob Boehme (cL.1624), or Descartes (d. 1650). With Descartes
thinking began to enter into itself. Cogito ergo sum are the first words of his system; and it
is precisely these words which express the difference between modem philosophy and all that
preceded it.
Source: Hegels Idea of Philosophy, by Quentin Lauer, S.J. with a new translation of Hegels
Introduction to the History of Philosophy;
Translated: from Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Einleitung in die Geschichte der
Philosophie, Hamburg, 1940.
Bagi Hegel, sejarah dunia filsafat, sebagaimana tertulis dalam The Philosophy of History,
dibagi menjadi 4 periode. Pertama, The Oriental World, meliputi antara lain bagian
China, India , India Buddhism, Persia. Kedua, The Greek World, meliputi: The Elements
of the Greek Spirit, Phases of Individuality sthetically Conditioned (The Subjective
Work of Art, The Objective Work of Art, The Political Work of Art: The Wars with the
Persians, Athens, Sparta, The Peloponnesian War, The Macedonian Empire, The Fall of
the Greek Spirit). Ketiga, The Roman World : Rome to the Time of the Second Punic
War (The Elements of the Roman Spirit, The History of Rome to the Second Punic War),
Rome from the Second Punic War to the Emperors, Rome Under the Emperors,
Christianity, The Byzantine Empire. Keempat, The German World: The Elements of the
Christian German World (Hegel, 2001: 3-4)