Você está na página 1de 8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pupuk Organik


Pupuk organik merupakan pupuk yang dihasilkan dari sisa-sisa tanaman,
hewan dan manusia seperti pupuk hijau, kompos, pupuk kandang, dan hasil sekresi
hewan dan manusia (Soedyanto, dkk, 1984). Menurut Syekhfani (2000) pupuk
organik memiliki sifat yang alami dan tidak merusak tanah, menyediakan unsur
makro (nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan belerang) dan mikro (besi, seng,
boron, kobalt, dan molibdenium. Pupuk organik juga berfungsi untuk
meningkatkan daya tahan air, aktivitas mikrobiologi tanah, nilai kapasitas tukar
kation dan memperbaiki struktur tanah. Pemberian pupuk organik secara tidak
langsung dapat memudahkan tanah untuk menyerap air (Setiawan, 2002).
Di dalam tanah, pupuk organik akan dirombak oleh organisme menjadi
humus atau bahan organik tanah. Meskipun pupuk organik mengandung unsur hara
yang rendah, bahan organik penting dalam meningkatkan kapasitas tukar kation
(KTK) tanah, serta dapat bereaksi dengan ion logam untuk membentuk senyawa
kompleks, sehingga ion logam yang meracuni tanaman atau menghambat
penyediaan hara Al, Fe, dan Mn dapat dikurangi. Penggunaan pupuk organik dapat
mengurangi pencemaran lingkungan karena bahan-bahan organik tersebut tidak
dibuang sembarangan yang dapat mengotori lingkungan terutama pada perairan
sekitar. Penggunaan pupuk organik dinilai dapat mengurangi unsur hara yang
bersifat racun bagi tanaman (Sentana, 2010).
Pupuk organik saat ini semakin gencar-gencarnya dikembangkan karena
mengingat gaya hidup masyarakat modern yang telah berpindah pada gaya hidup
kembali ke alam. Hal tersebut dilakukan karena semakin sadarnya manusia dengan
dampak jangka pendek maupun panjang yang ditimbulkan dari penggunaan bahan-
bahan kimia. Pupuk organik dianggap mampu meningkatkan produksi pertanian
baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan
meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik
dalam jangka panjang juga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat
mencegah degradasi lahan (Sutanto, 2002). Berikut merupakan standart kualitas
pupuk dari Menpen 2009

3
4

Tabel 2.1. Syarat Mutu Pupuk Permentan Nomor 70 Tahun 2011

2.2 Pupuk Kandang Kambing


Pupuk kandang kambing mengandung bahan organik yang dapat
menyediakan zat hara bagi tanaman melalui proses penguraian. Proses ini terjadi
secara bertahap dengan melepaskan bahan organik yang sederhana untuk
5

pertumbuhan tanaman. Feses kambing mengandung bahan kering dan nitrogen


berturut turut 40 50% dan 1,2 2,1%. Kandungan tersebut bergantung pada
bahan penyusun ransum, tingkat kelarutan nitrogen pakan, nilai biologis ransum,
dan kemampuan ternak untuk mencerna ransum. Produksi urin kambing dan domba
mencapai 0,6 2,5 liter/hari dengan kandungan nitrogen 0,51 0,71%. Variasi
kandungan nitrogen tersebut bergantung pada pakan yang dikonsumsi, tingkat
kelarutan protein kasar pakan, serta kemampuan ternak untuk memanfaatkan
nitrogen asal pakan. Kotoran kambing dan domba yang tersusun dari feses, urin dan
sisa pakan mengandung nitrogen lebih tinggi daripada yang hanya berasal dari feses
(Litbang, 2014).
Jumlah nitrogen yang dapat diperoleh dari kotoran kambing dan domba
dengan total bobot badan 120 kg dan dengan periode pengumpulan kotoran
selama tiga bulan sekali mencapai 7,4 kg. Jumlah ini dapat disetarakan dengan 16,2
kg urea (46% nitrogen) (Ditjen Peternakan 1992). Tekstur dari kotoran kambing
sangatlah khas, karena berbentuk butiran-butiran yang sukar dipecah secara fisik
sehingga berpengaruh terhadap proses dekomposisi dan proses penyediaan haranya.
Kandungan hara dari pupuk kandang kambing mengandung rasio yaitu C/N 20-
50 (Hartatik dan Widowati, 2006).

2.3 Proses Pengomposan


Kompos adalah jenis pupuk yang terjadi karena proses penghancuran oleh alam
dikarenakan bahan-bahan organik, terutama daun, tumbuh-tumbuhan seperti
jerami, kacang-kacangan, sampah dan lain-lain (Sarief, 1989). Pengomposan
merupakan biodegradasi dari bahan organik menjadi suatu produk stabil (Metcalf
dan Eddy, 1991).
Pada proses pengomposan berdasarkan penggunaan oksigen dibedakan
menjadi 2 proses, yaitu: proses aerob dan anaerob. Pengomposan dengan system
aerob melibatkan oksigen dalam proses dekomposisi oleh bakteri di dalam
tumpukan kompos. Sedangkan pengomposan dengan system anaerob tidak
melibatkan oksigen pada proses dekomposisi yang kemudian akan menyebabkan
bau karena terbentuknya H2S dan CH4 (Gaur, 1983).
Mekanisme proses pengomposan secara umum berawal dari mikroorganisme
yang mengambil air, oksigen dari udara dan makanan dari bahan organik. Bahan
6

organik ini akan dikonversi menjadi produk seperti CO2, H2O, sebagian humus dan
energi. Sebagian energi digunakan untuk pertumbuhan dan dibebaskan menjadi
panas. Akibatnya tumpukan bahan kompos tersebut menurut melewati tiga tahapan
yang berkaitan dengan suhu yang diamati, yaitu tahap penghangatan (mesophilic),
suhu puncak (thermophilic), dan pendinginan (cooling) (Dalzell et al., 1987). Pada
tahap awal, suhu akan naik dengan adanya bakteri mesophilic. Selanjutnya suhu
akan semakin meningkat hingga tahap suhu puncak yang dimana bakteri pada tahap
sebelumnya akan digantikan dengan bakteri thermophilic. Tahap selanjutnya adalah
tahap pendinginan ditandai dengan turunnya aktivitas mikroorganisme. Selama
tahap pendinginan terjadi stabilisasi pH dan pembentukan humus.
Proses pengomposan secara alami relatif membutuhkan waktu yang lama.
Menurut Murbandono (2000) proses pembuatan kompos minimal memerlukan
waktu hingga 2-3 bulan. Kompos memiliki kandungan unsur hara makro N
(Nitrogen), K (Kalium) dan P (Fosfor) yang relatif rendah dan unsur hara mikro
lainnya yang lebih kaya seperti Fe (Besi), S (Sulfur), Ca (Kapur), Mg (Magnesium),
dan lain-lain. Hasil khir pengomposan yang baik akan menghasilkan produk pupuk
yang tidak berbau dan tidak bersifat patogen baik dalam aplikasi maupun
penyimpanannya.

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan


Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi
lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka
dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat
organik. Apabila kondisinya sesuai atau tidak sesuai, maka organism tersebut akan
dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang
optimum untuk proses pengomposan sangat menetukan keberhasilan proses
pengomposan itu sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhui proses pengomposan antara lain:
a. Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses v pengomposan berkisar antara 30:
1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa senyawa C sebagai sumber
energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di sntsrs
30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi N untuk sintesis
7

protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk
sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Umumnya, masalah
utama pengomposan adalah rasio C/N yang tinggi, terutama jika bahan
utamanya adalah mengandung kadar kayu tinggi (sisa gergaji kayu, ranting,
ampas tebu, dsb). Untuk menurunkan rasio C/N diperlukan khusus,
misalnya menambahkan mikrooganisme selulotik (Toharisman, 1991) atau
dengan menambahkan kotoran hewan mengandung banyak senyawa
nitrogen.
b. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup
oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi
peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang
lebih dingin masuk kedalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh
porositas dan kandungan air bahan (kelembapan). Apabila aerasi terhambat.
Maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak
sedap. Aerasi dapat di tingkatkan dengan melakukan pembalikan atau
mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos (Haga, 1990).
c. Temperatur /Suhu
Panas dihasilkan dari sktivitas mikroba. Ada hubungan langsung
antara peningkatan suhu dengan komsumsi oksigen. Semakin tinggi
temperature akan semakin banayak komsumsi oksigen dan akan semakin
cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat
pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 600C
menunjukan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari
600C akan membunuh sebagian miikroba dan hanya mikroba thermofilik
saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh
mikroba-mikroba patogen tanaman.

2.5 Bioaktivator
Menurut Hermawan (2011) bioaktivator adalah bahan yang dapat
dimanfaatkan dalam proses pembuatan pupuk organik yang memiliki kandungan
mikroorganisme tertentu. Bioaktivator merupakan bahan yang mengandung
mikroorganisme efektif yang secara aktif dapat membantu dalam mendekomposisi
8

dan memfermentasi sampah organik, menghambat pertumbuhan hama dan penyakit


tanaman dalam tanah, membantu meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman,
menyediakan nutrisi bagi tanaman serta membantu proses penyerapan dan
penyaluran unsur hara dari akar ke daun, meningkatkan kualitas bahan organik
sebagai pupuk.
2.5.1 EM4
EM4 merupakan salah satu bioaktivator yang digunakan dalam proses
mempercepat pengomposan, memperbaiki kualitas tanah, dan kesehatan tanah.
Penambahan EM4 dapat meningkatkan kadar pospor pada pembuatan pupuk cair
yang berasal dari sampah organik. Bioaktivator yang tertera pada kemasan EM4
adalah Lactobasillus, Actinomycete, E. Coli, Salmonella sp. dan bakteri pelarut
fosfat.

Gambar 2.1. Kemasan Produk EM4

2.5.2 Decoprima
Decoprima merupakan bioaktivator yang memiliki bentuk padat. Penggunaan
decoprima dalam penambahan proses pembuatan pupuk dapat membantu proses
pengomposan. Bioaktivator yang tertera pada kemasan decoprima adalah
Streptomyces sp., Trichoderma sp., dan Geobacillus sp.
9

Gambar 2.2. Kemasan Produk Decoprima

2.5.3 Moebilin
Moebillin merupakan agen biodegradasi yang dapat membantu dalam
merombak limbah sintetis serta limbah organik yang berfungsi sebagai bioaktivator
yang dapat membantu mempercepat proses dekomposisi pada proses pengomposan.
Bioaktivator yang tertera pada kemasan moebilin adalah bakteri Lignolitik,
Selulolitik, Metagonik dan Pectinovora.

Gambar 2.3. Kemasan Produk Moebilin

2.5.4 Petrofast
Petrofast merupakan dekomposer yang memiliki fungsi untuk membantu
mempercepat dekomposisi bahan-bahan pengomposan seperti limbah organik,
limbah perkotaan, sisa pertanian dan perkebunan. Bakteri yang terkandung dalam
bioaktivator petrofast adalah Actinomycetes bacterium,. Strain LD021 (Lignolitik),
Streptomycetes tumescens (Selulolitik) dan Trichoderma sp. (Selulolitik).
10

Gambar 2.4. Kemasan Produk Petrofast

2.5.5 Super Degra


Super degra merupakan salah satu jenis bioaktivator yang juga berperan
dalam membantu proses pengomposan limbah-limbah organik. Bakteri yang
terkandung dalam bioaktivator super degra dilihat dari kemasannya adalah
Lactobacilus sp., Actinomycetes, Streptomyces sp., Rhizobium, dan Acetobacter.

Gambar 2.5. Kemasan Produk Super Degra

Você também pode gostar