Você está na página 1de 16

Analisis Kebijakan Politik Indonesia

MILITER SEBAGAI KEKUATAN POLITIK DI INDONESIA

Dosen Pengampu:

Dr, Drs Hilmy Mochtar Ms

Disusun oleh:

Audy Rianda Dalimunthe (155120500111047)


Aulia Novirta (155120501111030)
Athor Saragih (155120501111062)
Yustiaji Eka (155120501111073)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
Pendahuluan

Keterlibatan militer dalam politik sebenarnya sudah ada dalam gagasan filsuf di era Yunani
Kuno. Ialah seorang Socrates yang mengadaikan sebuh pemerintahan terbaik atau Best Rezim, dalam
pemikirannya tersebut dia membagi pemerintahan sebanyak lima jenis mulai dari tingkatan yang terbaik
sampai dengan yang terburuk. Berkaitan dengan militer, ternyata socrates mengkategorikan
pemerintahan yang dipegang oleh militer adalah nomer dua yang terbaik. Rezim timokrasi dikategorikan
sebagi rezim yang diperintah oleh mereka yang menyukai akan kehormatan dan kebanggaan, yakni
prajurit. Selain itu rezim ini diwarnai dengan semangat (Surbati, Ramlan 2010: 32).

Militer merupakan sebuah kekuatan politik yang mewarnai pertarungan kekuatan politik dalam
proses politik yang terjadi di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa militer mempunyai masa dimana
sebagai kekuatan politik pengaruhnya sangat besar di dalam proses politik yang terjadi. Beberapa waktu
yang lalu dapat dikatakan pengaruh militer sangatlah besar dalam menentukan arah kebijakan politik
dan juga mengatur arah kehidupan masyrakat. Militer menjelma sebagai kekuatan politik yang
mendukung dan mempertahankan kekuasaan penguasa, bertujuan untuk menjaga, menciptakan dan
mempertahankan stabilitas politik. Keterlibatan militer dalam politik di Indonesia ini nantinya
menunjukkan identitas yang berbeda antara militer di Indonesia dengan kebanyakan militer yang di
negara-negara lain.

Awalnya militer didirikan sebagai alat pertahanan negara yang tugasnya menghadapi serangan
musuh dari luar. Hal itu tampak jelas dalam pernyataan Panglima Besar Jendral Soedirman di Yogyakarta
pada Mei 1946 yang mengatakan Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan
kedaulatan negara dan menjaga keselematannya. Sudah cukup tentara teguh memegang kewajiban ini.
Lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tunduk kepada pimpinan atasannya dengan
ikhlas mengerjakan segala yang diwajibkan. Harus diingat pula, oleh karena negara Indonesia tidak
cukup dipertahankan tentara saja, maka perlu sekali mengadakan kerja sama seerat-eratnya dengan
golongan serta badan-bada diluar tentara. Tentara tidak bisa menjadi alat suatu golongan atau siapapun
juga.

Masuknya militer dalam dunia politik dapat dikatakan atas suatu dorongan dari sebuah situasi atau
keadaan. Kaum militer campur tangan dalam politik karena beberapa faktor, yaitu: keadaan yang
menuntutnya lantaran dalam situasi perang kemerdekaan; dicemooh dan dipojokkan oleh elite sipil
secara tidak wajar; kegagalan pemimpin dan elite sipil dalam melaksanakan tugasnya; dipengaruhi dan
ditarik ke arena politik; dan dijadikan alat kekuasaan politik (Fattah, Abdoel 2005: 2).

Salah satu teori yang nantinya akan membantu untuk menjelaskan bagaimana peranan militer dalam
politik adalah teori strukturasi. Pendekatan teori yang diajukan oleh Anthony Giddens bisa dikatakan
sebagai Third way atau jalan tengah, karena Giddens melihat bahwa pendekatan struktur tidak
selamanya mempengaruhi aktor ataupun sebaliknya pendekatan aktor tidak selamanya mempengaruhi
strukutur. Pendekatan ini lebih menekankan pada keberadaan struktur dan aktor di sebuah
pembabakan jaman, karena dia melihat perkambangan masyrakat itu pasti dinamis dan selalu bergerak.
Tidak seperti teori struktur ataupun aktor yang lebih mempertahankan status quo dari sebuah
masyarakat. Giddens dalam teori strukturasi akan menjelaskan bagaimana kekuatan politik dapat
dikatakan sebagai aktor dan agen. Dapat dikatakan aktor ketika struktur politik tersebut mempunyai
pengaruh yang besar serta menntukan setiap tindakan aktor. Sedangkan dikatakan sebagai agen adalah
ketika kekuatan politik tersebut dapat mempunyai pengaruh yang begitu besar terhadap struktur politik.
Peranan militer dalam dunia politik juga akan dijelaskan melalui pembabakan zaman. Mencoba melihat
bagaimana militer dalam pembagian tiga zaman pemerintahan di Indonesia yaitu sejak tahun 1945-
1966, 1967-1998, dan 1998-sekarang. Pembagian pembabakan zaman itu nantinya akan membantu
dalam memahami peranan militer kehidupan sosial dan politik dari waktu ke waktu. Nantinya
pendekatan historis akan menjelaskan alasan mengapa militer bisa masuk dalam ranah sipil di era orde
lama dan semakin menguat di era orde baru dan kemudian kembali masuk ke barak di era reformasi.

Didalam pembabakan jaman tersebut ketika di jaman orla dan orba dapat dikatakan militer sebagai
kekuatan politik yang bisa dikatakan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan
politik atau bisa dikatakan sebagai agen. Sedangkan nantinya di era reformasi militer hanya sebagai
aktor yang tindak tanduknya diatur dan dipengaruhi. Perjalanan dan perubahan sikap militer ini
tentunya ada beberapa faktor lain yang dapat membantu menjelaskan seperti faktor budaya politik dan
kelembagaan.

Militer dan Politik tahun 1945-1966

Pada awal pendiriannya Republik Indonesia wacana untuk membentuk militer atau tentara belum
diputuskan. Sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang ketiga pada tanggal 22
Agustus memutuskan untuk membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Sesuai dengan namanya fungsi
dari BKR adalah menangani masalah-masalah sipil yang berhubungan dengan keamanan dan ketertiban.
Tidak dibentuknya militer dimaksudkan agar tidak terjadi sebuah konfrontasi dengan tentara Jepang
karena tidak mungkin dalam satu negara ada dua tentara yang berbeda. Justru BKR dimaksudkan untuk
membantu tugas tentara Jepang dalam pengamanan masyarakat sipil. Seperti yang dikatakan oleh
Jendral A.H Nasution Bung Karno tak membentuk Tentara Nasional. Alasannya, karena kita belum bisa
mengandalkan militer untuk bersaing dengan sekutu yang menang perang. Di Bandung, kami orang
orang Peta sudah siap jadi tentara nasional. Di kemudian hari, saya bisa memahami alasan Bung Karno
itu. Bila waktu itu kita membentuk tentara nasional, tentu kita akan berhadapan dengan tentara sekutu.
Dan kita tak akan menang. Jadi, Bung Karno memilih perjuangan diplomasi (Stanley Adi Prasetyo &
Toriq Hadad 1998: 38).

Sejatinya ide untuk membentuk militer atau organisasi ketentaraan tersebut baru diputuskan
karena situasi negara yang dapat dikatakan darurat. Situasi tersebut dikarenakan kedatangan tentara
sekutu pada akhir bulan September, yang kedatangannya tersebut juga diboncengi oleh tentara NICA
(Netherlands Indies Civil Administration) dengan maksud ingin menguasai Indonesia. Atas dasar keadaan
tersebut maka pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat pada tanggal 5 Oktober 1945 yang isinya
mengubah status BKR menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Perubahan tersebut tidak hanya
berubah nama akan tetapi penamaan menjadi tentara juga merupakan penambahan tugas menjadi
institusi negara yang berfungsi sebagai alat pertahanan guna menghadapi serangan musuh dari luar.

Masuknya tentara dalam ranah politik karena dapat dikatakan situasi pemerintahan sipil yang
belum teorganisir dengan baik. Di samping itu, perang gerilya melawan kolonial memaksa tentra
melakukan tugas di luar bidang militer, karena sifat perang itu menyeluruh, semesta (Fattah, Abdoel
2005: 54). Sebenarnya hal itu dilakukan atas dasar pengabdian dan cinta pada tanah air. Masuknya
dalam ranah politik merupakan tanggung jawab tentara yang sejatinya terdiri dari berbagai golongan
masyrakat, elemen, dan organisasi yang ada di Indonesia. Seperti PETA, KNIL, laskar Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo), Barisan Banteng, Hizbullah, Tentara Pelajar, Tentara Republik Indonesia Pelajar
(Legge 2001: 223).
Keterlibatan tentara dalam politik merupakan hal yang wajar karena situasi negara yang
dikatakan dalam kondisi yang darurat. Menurut Nasution (1977: 122) Tentara seharusnya adalah alat
negara, akan tetapi dewasa itu, baru pada fase menuju ke arah itu. Demikian pula soal ideologi. Malah,
soal-soal politik turut dipikirkan oleh tentara, yang kebanyakan terdiri dari pemuda-pemuda yang
sebagai patriot hanya berhasarat berjuang untuk kemerdekaan dan tiada berpikir sama sekali untuk
menjadi militer sebenarnya. Politik pemerintah dan oposisi mereka ikuti dengan minat penuh. TKR hidup
dalam suasana pergolakan politik dan menjadi faktor politik pula. Akibatnya dari situasi tersebut dapat
menjadi landasan untuk membenarkan sikap tentara dalam menangani urusan sipil terutama bidang
politik, meskipun tidak terlepas dari sosial maupun ekonomi.

Selain kondisi yang tidak stabil pada awal terbentuknya Republik Indonesia, keterlibatan tentara di
politik juga dapat dikatakan pengaruh politik dan pertarungan ideologi dalam pemerintahan yang
menimbulkan perpecahan dalam tubuh TNI (Tentara Nasional Indonesia). Dimana pada waktu itu
kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin menggunakan TNI sebagai alat
perjuangannya guna mendukung paham komunis. Adanya Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang
merupakan Underbow PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam tubuh tentara tersebut yang menanamkan
paham komunis dalam TNI dan membuat perpecahan. Perpecahan itu tampak nyata ketika PKI di
Madiun pada tahun 1948 yang kemudian melakukan makar terhadap pemerintah. Mengakibatkan TNI
terbelah menjadi dua golongan yang saling mengalahkan, golongan yang pro dengan pemerintah
Republik dan golongan yang pro dengan PKI.

Profesionalisme dalam tubuh militer sebenarnya dimulai dari kebijakan dalam kabinet Mohammad
Hatta, saat itu Perdana Mentri Hatta membuat kebijakan RERA (Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara).
Kebijakan itu bertujuan untuk mengefisiensikan anggran dan juga berusaha mematangkan organisasi
ketentaraan. Karena pada dasarnya pembentukan tentara di Indonesia dengan negara lain sangatlah
berbeda. Ketentaraan pembetukannya tidak dipersiapkan dengan matang, melainkan ada karena
tuntutan dalam mempertahankan kedaulatan negara. Adanya RERA berusaha untuk menyeleksi laskar-
laskar dan komponen masyrakat agar sesuai dengan standarisasi organisasi ketentaraan yang dibentuk.
Selain itu adanya kebijakan RERA juga berusaha untuk memprofesionalkan tentara agar tidak ikut-ikut
dalam dunia politik dan setia terhadap supremasi sipil. Hal itu sesuai dengan cita-cita Panglima Besar
Jendral Soedirman, yang menginginkan ketentaraan yang netral dan tidak ikut campur dalam politik,
hanya setia terhadap ideologi negara dan bangsanya.

Pasca diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintah
Indonesia memasuki masa demokrasi parlementer. Saat itu supremasi sipil benar-benar dijalankan,
tentara dapat dikatakan dibawah kendali pemerintahan sipil yang terdiri dari berbagai partai yang ada
dalam parlemen. Akan tetapi awal masuknya ke dalam demokrasi parlementer tentara juga kehilangan
sosok yang paling berwiba yaitu Panglima Besar Jendral Soedirman, tokoh tersebut merupakan sosok
yang mendudukan adanya supremasi sipil terhadap tentara. Hal itu terbukti ketika pada perang
kemerdekaan TNI dibawah Jendral Soedirman mampu memenuhi tugasnya setia pada keputusan
pemerintah sipil.

Konflik terjadi pasca kematian Jendral Soedirman, saat itu tentara dibawah pimpinan A.H Nasution
melihat adanya ketidakstabilan dan tidak sehatnya parlemen. Setidakmya ada beberapa alasan terkait
dengan pandangan Nasution. Pertama, Demokrasi parlementer yang terdiri dari berbagai partai dengan
perbedaan ideologi membuat negara tidak dijalankan secara konsisten dan program jangka panjang
tidak berjalan dengan baik. Kedua, Hal itu semakin diperparah dengan adanya cemoohan dari anggota
parlemen yang sebagian merupakan orang-orang yang pro pemerintahan federal Belanda yang
merupakan musuh TNI dalam perang kemerdekaan tahun 1945-1949. Ketiga, adanya campur tangan
sipil terhadap urusan ketentaraan, satu hal yang jelas: tentara tidak mau diperalat oleh kekuatan politik
dan urusan internal dicampuri oleh politisi sipil, karena mereka mementingkan otonoimi dan
eksklusivitas menyangkut fungsinya (Nordlinger 1990: 70).

Adanya ketidakpuasaan dan kekecewaan tentara terhadap sistem parlementer tersebut terwujud dalam
aksi demonstrasi yang dilakukam oleh TNI pimpinan Nasution dengan dukungan rakyat pada tanggal 17
Oktober 1952. Letnan Jendral Sayidiman (1997: 161) menyatakan bahwa peristiwa 17 Oktober 1952,
pada hakikatnya mencerminkan sikap tentara yang hendak memainkan peran politik melawan parlemen
yang dianggap mengacau keadaan dalam negeri, khususnya para anggotanya yang dalam perang
kemerdekaan ikut Belanda. Peristiwa ini dianggap Nasution sebagai upaya anak mau mengutarakan isi
hati kepada bapak (Stanley Adi Prasetyo & Toriq Hadad 1998: 301). Atas aksi tersebut Presiden
Soekarno menjelaskan bahwa pembubaran parlemen bukanlah solusi, karena jika parlemen dibubarkan
maka pemerintah Indonesia menuju arah diktator. Penjelasan itu tampaknya dapat diterima oleh
seluruh jajaran perwira Angkatan Darat yang melakukan demonstrasi dan dapat membubarkan diri
dengan damai.

Pembubaran aksi demonstrasi atas seruan Presiden Soekarno sebetulnya menunjukkan sikap tentara
yang mengakui supremasi sipil. Legge (2001: 295) mengatakan Sampai pada taraf yang dapat
dipertanggungjawabkan, pimpinan militer menerima prinsip kepemimpinan sipil bagi seluruh bangsa,
tetapi ada batas-batas sejauh mana tentara menjadi alat yang netral dalam pemerintahan sipil itu ...
Pemimpin-pemimpinnya tidak berpikiran bahwa akan terus menerus ikut camur tangan dalam urusan
politik, tetapi memang mereka merasa berhak untuk menentukan batas-batas terhadap kaum politik
sipil.

Setelah aksi demonstrasi yang dilakukan tentara pada tanggal 17 Oktober 1952, setahun kemudian
Presiden Soekarno mengomentari aksi tersebut yang tertuang pada pidato kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1953. Dalam pidatonya Soekarno mengatakan Hai, tentara dan polisi dan rakyat
perlipatgandakanlah usahamu membasmi pengacau-pengacau itu. Segala jalan harus dilalui, kalo kata-
kata saja tidak dapat menyehatkan jiwa yang keblinger, apa boleh buat turunlah senjata berbicara satu
bahasa yang lebih kuat lagi. Padahal angkatan perang tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-
ambingkan oleh sesuatu politik. Angkatan perang harus berjiwa.... Ya berjiwa, berapi-api berjiwa,
berkobar-kobar berjiwa tetapi dia tidak boleh ikut-ikut politik. Pidato dimaksudkan agar tentara tetap
dijalurnya yaitu fungsi sebagai alat pertanahan negara dan urusan kenegaraan diserahkan pada para
politisi sipil. Praktis keterlibatan tentara dalam politik hanya sebagai aktor yang tunduk pada kekuatan
infrastruktur atau kebijakan politik. Tentara dapat dikatakan setelah peristiwa 17 Oktober 1952 seperti
masuk pada kandangnya kembali.

Pasca kejadian tersebut selama era demokrasi parlementer ternyata campur tangan politisi sipil dalam
tubuh ketentaraan masih berlangsung dan pembangunan nasional dapat dikatakan sangat kecil
pertumbuhannya. Adanya campur tangan politisi sipil terhadap tentara agar tentara digunakan alat
untuk mendukung partai politik tertentu. Campur tangan tersebut membuat perpecahan dalam tubuh
tentara, dapat dikatakan profesionalitas tentara menjalankan tugasnya tidak profesional dan peluang itu
kemudian dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan yang menginginkan kemerdekaan untuk melakukan
pemberontakan, seperti DI/TII Disamping itu demokrasi parlementer yang berlangsung tidak
memberikan dampak yang signifikan terhadap pembangunan nasional dan memunculkan
pemberontakan di daerah akibat kesenjangan kekayaan antara masyarakat di Pulau Jawa dengan
masyarakat diluar Jawa., seperti pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat Aceh, pemberontakan
PRRI/PERMESTA yang didukung oleh tokoh Masyumi, PSI, dan Parkindo.

Situasi negara yang darurat tersebut memaksa Presiden Soekarno kemudian memberlakukan keadaan
darurat perang (Staat van Oorlog en Beleg/ SOB) pada 14 maret 1957. SOB inilah yang memberi
legitimasi kepada tentara untuk melakukan tindakan nonmiliter, termasuk melakukan peran politik
(Fattah, Abdoel 2005: 105). Kemudian atas keadaan tersebut, peran tentara dalam politik dapat dilihat
dari kabinet Djuanda yang memasukkan tentara ke dalam jabatan politik. Menteri yang dari militer
tersebut adalah Kolonel Nazir sebagai Menteri Pelayaran Laut, Kolonel Dr. Aziz Saleh sebagai Menteri
Kesehatan, dan Kolonel Suprayogi sebagai Menteri Negara Urusan Stabilitas Khusus. Kebijakan tersebut
dilakukan Soekarno sebagai kepala negara guna mendapatkan dukungan dengan tentara.

Masa Demokrasi Parlementer tidak berlangsung lama, karena pembangunan yang lambat serta
banyaknya protes dari rakyat dan gagalnya anggota konstituante membuat UUD yang baru membuat
Soekarno sebagai mengambil inisiatif. Ide tersebut juga didasarkan atas saran tentara karena terbukti
Demokrasi Parlementer tidak memberikan perubahan yang cukup baik dan tidak adanya visi bersatu dari
partai politik yang ada. Bahkan orang-orang partai Masyumi, PSI, dan Parkindo ikut dalam
pemberontakan terhadap pemerintah. kemudian ide tersebut direalisasikan dengan dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya mengenai pembubaran Konstittuante, digunakannya UUD 45
sebagai konstitusi Republik Indonesia dan masuknya Indonesia ke dalam Demokrasi Terpimpin.
Masuknya ke dalam Demokrasi Terpimpin membuat tentara kembali masuk dalam panggung politik
nasional dengan dibentuknya Dewan Nasional yang isinya juga ada dari kalangan tentara dan militer
dianggap golongan fungsional.

Masuknya tentara dalam politik tersebut dilegitimasikan oleh konsep yang dibuat A.H Nasution yaitu
jalan tengah tentara. Konsep yang dimaksudkan tersebut adalah memberi tempat kepada anggota
tentara untuk ikut serta dalam pembinaan negara, tapi tanpa mendominasi. Dengan model itu, tentara
tidak akan mengambil alih kekuasaan, tapi akan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk
menentukan nasib bangsa (Fattah, Abdoel 2005: 106). Nasution mengibaratkan tidak ikut sertanya
tentara dalam pembinaan negara adalah seperti menyumbat gunung berapi, yang pasti suatu waktu
akan meledak (Salim Said 2002: 21). Kemudian masuknya tentara dalam politik ternyata menurut
Nasution juga dilandasi oleh de jure, seperti perkatannya yang mengatakan Dengan kembali ke UUD
45, terbukalah jalan guna membina kemantapan cita-cita kemerdekaan semula, guna mempersatukan
kembali satuan-satun perjuangan, dan guna mendasari politik pemulihan keamanan yang amat
mendesak dewasa itu. Kembali ke UUD 45 ini memungkinkan kemantapan ideologi dan kepemimpinan
dan memungkinkan pemberiaan posisi formal bagi TNI sebagai golongan (pasal 2 UUD).

Dalam masa Demokrasi Terpimpin ini peran Presiden Soekarno sangatlah menonjol begitu juga tentara
terutama Angkatan Darat. Seperti yang dikatakan oleh (Feith 1995: 27) Demokrasi terpimpin
diandaikan sebagai suatu sistem politik yang dipengaruhi secara kritis, terutama sekali oleh suatu
hubungan antara Presiden Soekarno dan Angkatan Darat, suatu hubungan konflik yang mantap yang
ditandai oleh upaya bersama dan berlangsungnya terus kompetisi dan ketegangan antara dua mitra
yang bertanding kurang lebih setaraf. Selain itu masuknya tentara dalam politik juga merupakan usaha
Soekarno guna memperoleh dukungan tentara untuk kebijakan yang dibuat.

Dalam masa demokrasi terpimpin kekuatan politik lain yang mempunyai bargaining position yang cukup
kuat selain Soekarno dan Angkatan Darat adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Perkembangan PKI
yang menjadi kekuatan yang cukup menonjol ini dikarenakan tidak ada tekanan dari lawan politiknya
terutama sesama parpol. Pasca kegagalan pemberontakan PRRI/Permesta yang disokong oleh Masyumi
dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), pemerintah Indonesia pada waktu itu mengeluarkan kebijakan untuk
membekukan dua partai politik tersebut yang merupakan lawan ideologis PKI. Selain itu prinsip yang
diusung PKI mengenai gotong royong dan kekeluargaan dalam kebijakannya membuat partai tersebut
meraih dukungan dan basis massa yang cukup kuat dari kalangan menengah ke bawah, khususnya para
petani dan buruh. Maka, terjadilah persaingan antara tiga kekuatan: TNI, PKI, dan Presiden Soekarno
yang menjaga keseimbangan antara TNI dengan PKI. Kewibawaan dan kedudukan Presiden sebagai
penentu kebijakan menjadi perebutan dua kekuatan politik TNI dan PKI untuk saling mendakati dan
mempengaruhi Presiden (Cholisin 2002: 37).

Pertarungan kekuatan politik ini menempatkan tentara sebagai Agen yang dapat mempengaruhi iklim
politik yang ada di Indonesia pada waktu itu. Keterlimbatan tentara menjadi tiga kekuatan tersebut dan
usahanya mendekati serta mempengaruhi presiden Soekarno tidak semata-mata tanpa tujuan. Tentara
pada waktu itu mengininginkan dukungan Soekarno untuk mencegah geraknya PKI, karena dalam
pemikiran tentara pada waktu itu PKI akan kembali untuk melakukan kudeta dan mengkomuniskan
Indonesia dan menusuk dari belakang seperti pada tahun 1948.

Semakin berjalannya waktu ternyata Soekarno lebih terpengaruh dengan PKI karena dianggap kekuatan
tentara pada waktu itu dianggap terlalu dominan, selain itu PKI juga memerlukan Soekarno guna
menghadapi tekanan tentara yang anti-PKI. Sikap Soekarno yang lebih meng-anak emaskan PKI
dengan konsep NASAKOM (Nasionalisasi Agama Komunis) yang memiliki tujuan untuk memasukkan
kaum-kaum komunis ke dalam pemerintahan, ditentang oleh para tentara karena ideologi PKI tidak
sesuai dengan ideologi negara yaitu Pancasila. Akan tetapi waktu itu Soekarno menganggap tentara
sebagai komunisto-fabio, karena tidak mendukungnya paham komunis yang revolusioner dan sesuai
dengan kebijakan politik Soekarno yang dapat dikatakan saat itui memiliki kebijkan Politik Konfrontasi
dengan negara-negara barat yang dianggap kapitalis.

Untuk menyaingi kekuatan PKI yang semakin besar di awal tahun 1964, akhirnya tentara pada tanggal 20
Oktober 1964 mengkonsolidasikan organisasi golongan fungsional dan membentuk Sekertariat Bersama
Golongan Karya (Sekber Golkar). Dengan organisasi itu, peran TNI dalam sosial politik yang sudah besar
pada masa demokrasi terpimpin mendapat dukungan organisasi politik yang kuat pula (Fattah, Abdoel
2005: 121). Hal ini semakin membuat tentara lebih dominan dalam menentukan arah politik, selain
sudah masuknya tentara dalam ranah politik seperti menjadi Anggota DPR-GR, parlemen, dan kabinet
juga membuat kerja sama dengan rakyat yang anti-PKI. Hal ini semakin membuat permusuhan dengan
Soekarno dan PKI semakin lebih meruncing. Akan tetapi pembentukan Sekber Golkar tidak didasarkan
keinginan militer merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Militer dalam hal ini mengakui
supremasi sipil dan jabatan Soekarno sebagai Presiden Mandataris/Panglima Teringgi Angkatan
Bersenjata/Pemimpin Besar Revolusi. Sekber Golkar ditujukan agar Indonesia tidak masuk dalam
pengaruh Komunis dan mejadi negara Komunis.

Persaingan tiga kekuatan tersebut berakhir ketika terjadi tragedi yang memilukan. Tragedi itu adalah
sebuah Kudeta yang diduga dilakukan oleh PKI yang mempengaruhi tentara untuk melakukan
penculikan dan pembunuhan enam Jendral dan satu perwira berpangkat letnan, kemudian
mengeluarkan pernyataan bahwa ada sebuah usaha pemberontakan terhadap Presiden Soekarno yang
saat itu dalam kondisi sakit yang dilakukan oleh Dewan Jendral. Aksi yang dilakukan pada tanggl 30
September 1965 itu tersebut kemudian mendapat tanggapan dari Angkatan Darat, dibawah pimpinan
Mayor Jendral Soeharto selaku Pangkostrad (Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat)
kemudian melakukan penumpasan gerakan tersebut yang ternyata pusatnya berada di daerah lubang
buaya dekat Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma.

Aksi kudeta yang dilakukan PKI tersebut kemudian mendapat ancaman dari para mahasiswa yang
didukung oleh rakyat serta tentara. menurut Abdoel Fattah (2005) ada tiga alasan yang menjadikan
perlawanan rakyat terhadap PKI: Pertama, PKI pernah melakukan pengkhiantan terhadap bangsa
Indonesia dengan pemberontakannya di Madiun. Pada masa itu, PKI juga melakukan pembunuhan
besar-besaran, terutama terhadap orang-orang Islam. Kedua, ideologi PKI bertentangan dengan
Pancasila, dasar negara republik Indonesia. Ketiga, sebelum Gerakan 30 September (G30S), PKI telah
melakukan aksi-aksi sepihak, seperti perebutan tanah orang-orang Islam, pembunuhan anggota tentara
di Bandar Betsi, Sumatra, perusakan tempat pelatihan kader pemuda islam di Kanigoro Kediri dan
lainnya. Rakyat berkeyakinan, apabila PKI tidak dibubarkan, maka akan melakukan tindakan yang lebih
kejam lagi, dan mereka akan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis.

Aksi protes dan demonstrasi tersebut kemudian diwujudkan dalam aksi demonstrasi yang dilakukan
gabungan mahasiswa yang mengatasnamakan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) pada tanggal
10 Januari 1966. Tuntutan para mahasiswa terhadap pemerintah tersebut kemudian dituangkan dalam
Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang isinya membubarkan PKI, merombak kabinet Dwikora yang isinya
terdapat orang-orang PKI, dan menurunkan harga. Tuntutan itu didasarkan ata keadaan sosial politik
yang timbul atas kekacaun yang disebabkan oleh PKI dan juga keadaan perekonomian karena inflasi
yang tinggi disebabkan atas kebijakan ekonomi pemerintah tidak fokus pada kesejahteraan masyarakat
dan hanya membangun gedung-gedung besar guna pencitraan bangsa Indonesia dikenal di dunia.

Protes itu kemudian juga mendapat dukungan dari tentara, kemudian para tentara itu pada tanggal 11
Maret 1966 melakukan kepungan terhadap istana presiden seperti kejadian pada tanggal 17 Oktober
1952 dan aksi tersebut menandakan kembali peran tentara dalam ranah sosial politik dengan menekan
Presiden yang mengeluarkan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966. Yang intinya
memberikan kekuasaan pada Jendral Soeharto untuk menangani kekacaun dan berusaha mengamankan
situasi negara yang sedang darurat. Kemudian atas pemberian mandat tersebut Soeharto mengambil
tindakan dengan mengadakan konsolidasi untuk membubarkan PKI, yang kemudian diperkuat dengan
Ketetapan MPRS No. XXV / MPRS / 1966 pada juli 1966 yang menentapkan tentang pembubaran PKI,
dan larangan tentang setiap kegiatannya untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran Marxisme-
Leninisme.

Adanya SUPERSEMAR dengan pemberian mandat kepada Jendral Soeharto seperti kata Nasution (1976)
menyebutkan sebagai pangkal proses penggatian Kepala Negara untuk pertama kalinya dalam sejarah
Republik. Mandat tersebut memberikan kesempatan kepada Jendral Soeharto seperti layaknya Presiden
dan apa yang dilakukannya memang seperti Presiden karena pada tanggal 27 maret 1966, ia
membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), yang memiliki dua
tugas utama, yaitu stabilitas politik dan stabilitas ekonomi. Serta membubarkan kabinet Dwikora yang
dibentuk oleh Soekarno karena didalamnya terdapat 15 menteri yang ikut dalam keterlibatan Gerakan
30 September seperti wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Kemudian pengangkatan Soeharto sebagai Presiden resminya baru dilakukan oleh MPRS pada tanggal
21 Maret 1968. Setelah Presiden Soekarno segala bentuk pertanggung jawabnya ditolak oleh MPRS dan
benar-benar diberhentikan pada tanggal 12 Maret 1967. Saat sidang itu MPRS menarik kembali mandat
MPRS kepada Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam UUD
1945 (Fattah, Abdoel 2005: 132). Atas pemindahan kekuasaan secara Institusional itu kemudian
mengakiri masa kekuasaan pemerintahan Soekarno yang disebut Soeharto sebagai Orde Lama dan
masuk dalam pemerintahan presiden Soeharto yang menyebutnya sebagai Orde Baru. Yang cirinya
semakin membenarkan masuknya militer dalam politik, dengan dikembangkannya dwifungsi ABRI.

Militer dan Politik tahun 1967-1998

Rezim Orde Baru dibawah Presiden Soeharto dalam melaksanakan pemerintahannya


mendasarkan pada konsep dwifungsi ABRI. Dwifungsi ini menjadikan militer sebagai agen yang
menentukan struktur politik pada waktu itu, karena memungkin kinerja tidak hanya dalam bidang
militer tapi bisa beroperasi diluar itu. Konsep ini nerupakan penjelasan gagasan Nasution mengenai
konsep Jalan Tengah Tentara, tentara dalam hal ini libatkan dalam kehidupan sosial politik dan juga
dapat menentukan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Untuk menjalankan peran politiknya, militer
didukung oleh organisasi teritorial (Crouch 1998: 100). Dengan adanya organisasi teritorial tersebut
maka tentara khususnya angkatan darat dapat ikut-ikut politik sampai masyarakat lapisan bawa
sekalipun dan tidak hanya terfokus menangani politik di pemerintah pusat saja.

Adapun menurut (Fattah, Abdoel 2005: 141) konsep mengenai Jalan Tengah Tentara mempunyai lima
makna. Pertama, militer Indonesia tidak akan melakukan kudeta dan mendominasi kekuasaan. Kedua,
militer Indonesia tidak bersikap pasif atau hanya sebagai penonton di pinggir arena politik, tetapi akan
ikut terlibat dalam menentukan kebijakan negara. Ketiga, militer Indonesia adalah sebagai kekuatan
sosial, di samping sebagai kekuatan pertahanan. Keempat, militer Indonesia hanya merupakan salah
satu kekuatan sosial di antara kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Kelima, keikutsertaan perwira TNI
dalam politk adalah secara individual, bukan institusi TNI.

Selain itu keterlibatan libatan tentara dalam urusan sipil juga terkait pengalaman buruk di masa lalu
yang menyebabkan militer diombang-ambingkan oleh pertarungan politik di elite sipil. Adanya
keterlibatan militer dalam hal politik juga memberikan kesempatan yang sama terhadap militer sebagai
golongan fungsional untuk menentukan pembangunan negara. Hal tersebut juga didasarkan pada
pengalaman masa lalu bahwa instabilitas politik tidak membawa dampak pada pembangunan secara
signifikan. Militer menganggap dirinya mampu untuk melaksanakan urusan-urusan sipil tersebut karena
pada dsarnya militer juga hal dari rakyat, disamping tugasnya sebagai alat pertahanan negara.

Kemudian dengan memperluas peran militer dalam politik, pada Maret 1962, Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung merumuskan Doktrin Perang Wilayah, yang membuat tentara bisa
menjangkau langsung ke masyarakat (Singh 1995: 79-80). Dalam doktrin tersebut kemudian dibentuklah
organisasi teritorial Angkatan Darat yang mempunyai struktur komando Up to Down, tujuannya agar
mempermudah tentara untuk mengurusi masalah di luar bidang pertahanan. Kemudian dibentuklah
organisasi teritorial meliputi Komando Daerah Militer (Kodam) di tingkat provinsi; Komando Resort
Militer (Korem) yang tingkat sama dengan beberapa kota; Komando Distrik Militer (Kodim) yang sejajar
dengan satu kota; Komando Rayon Militer (Koramil) setara dengan kecamatan; dan Bintara Pembina
Desa (Babinsa). Dasar dari pembentukan sebenarnya karena konsep pertahanan yang dipakai Republik
Indonesia yaitu SISHANKAMRATA (Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta) konsep itu
memadukan pertahanan yang digabungkan antara kekuatan tentara dan rakyat guna mengahadapi
serangan musuh dari luar maupun dalam. Adanya organisasi teritorial tersebut dimaksudkan agar dapat
melatih masyrakat guna persiapan bela negara.

Pada awal masa Orde Baru organisasi teritorial tersebut memang digunakan sebagai alat pertahanan
untuk membasmi simpatisan PKI di daerah-daerah. Pengorganisasian tersebut dilakukan dengan
gabungan komponen rakyat lainnya, untuk tujuan operasi tersebut maka organisasi teritorial angkatan
darat mempunyai peran untuk melatih rakyat dalam hal pertahanan dan keamanan. Selain itu tentara
disamping melatih rakyat guna membasmi simpatisan PKI, juga mempunyai peranan menjadi carteker
di dalam pemerintahan daerah yang hal tersebut menunjukkan campur tangan terhadap politik. Selain
itu tujuannya guna mewujudkan operasi gabungan TNI bersama rakyat tersebut berhasil dengan
melakukan mobilisasi terhadap masyrakat.

Seiring dengan berjalannya waktu ternyata penggunaan komando teritorial oleh angkatan darat
tersebut melenceng dari fungsinya sebagai untuk pertahanan dan keamanan di daerah. Keluarnya
komando teritorial dari fungsinya ternyata digunakan oleh rezim Orde Baru digunakan sebagai alat
untuk memobilisasi rakyat, alih-alih untuk melatih rakyat justru komando teritorial memobilisasi rakyat
guna menyokong pemerintah orde baru. Fungsi komando teritorial tersebut lebih berfungsi
mendekatkan masyrakat kepada Golkar. Hal ini terlihat pada fungsi komando teritorial di tingkatan
Babinsa yang menggiring pilihan politik masyrakat kepada Golkar, sedangkan di tingkat kecamatan ada
Musyawarah Pimpinan Kecamatan yang terdiri dari Camat, Komando Rayon Militer, dan Kepala Sektor
Kepolisian hal ini berdampak ketidakmandirian politik terhadap masyrakat. Terutama masyrakat desa
yang pada waktu sebagaian masyrakat Indonesia hidup di desa.

Selain itu fungsi komando teritorial juga berfungsi untuk mengawasi pergerakan masyrakat yang
dianggap rawan. Hal ini dimaksudkan agar tidak adanya aksi-aksi yang ada dimasyrakat, seperti aksi
demonstrasi-demonstrasi. Fungsi kemudian menggunakan intelejen dalam melaksanakan untuk
melakukan operasinya, hal tersebut menentukan intelejen kedalam komponen dan lapisan masyrakat
tidak terkecuali para mahasiswa dan lingkungan kampus. Karena terkadang pergerakan masyrakat ini
diawali dari kampus, ini yang membuat komando teritorial melalui Kodim dan Korem mengawasi
kegiatan di kampus.

Perkembangan civil society yang dapat dikatakan seperti dikebiri tersebut sangat terasa berdampak
pada kalangan mahasiswa. Mahasiswa yang dapat dikatakan sebagai kelas yang menengah yang
mengontrol pemerintah juga mendapat imbasnya terhadap penyelewengan kosnep dwifungsi ABRI
tersebut. Dengan dikuasiainya ABRI sebagai alat kekuasaan sebuah rezim yang berkuasa bukan sebagai
alat negara ternyata membuat ABRI memberikan tekanan terhadap mahasiswa. Orde Baru dalam hal
ini Presiden Soeharto melihat bahwa kekuatan mahasiswa sebagai kelas menengah sangatlah
berbahaya, orde baru tahu betul dengan persoalan tersebut karena mahasiswa merupakan sebuah
unsur kekuatan politik yang dapat mengancam stabilitas keamanan negara dan bahkan juga berdampak
pada jatuhnya pemerintahan seperti yang terjadi pada pemerintahan di era Soekarno. Yang pada masa
kejatuhan pemerintahan Soekarno, ABRI dan mahasiswa bahu-membahu untuk menggulingkan
pemerintahan Soekarno.

Pemerintah Orde Baru kala mengeluarkan sebuah kebijakan yang dimaksudkan guna meredam
pergerakan mahasiswa. Kebijakan yang dikeluarkan pada waktu itu adalah kebijakan NKK (Normalisasi
Kehidupan Kampus), dimana mahasiswa beserta civitas academica lainnya diawasi oleh intel-intel
tentara. Hal ini dimaksudkan untuk menetralisir mahasiswa supaya tidak menggoyang kekuasaan
negara dan menciptkan instabilitas keamanan. Militer dalam hal ini sangat berperan penting agar
mahasiswa tidak melakukan aksi-aksi demonstrasi, adanya kebijakan tersebut membuat dampak pada
adanya militerisasi kampus dengan memanfaatkan Menwa (Resimen Mahasiswa) sebagai alat militer
guna melakukan operasi intelejen di kampus. Disamping adanya penggunaan intelejen tentara dalam
mengawasi pergerakan yang ada di kampus.
Adapun penyelewengan konsep dwifungsi ABRI juga membuat civil society tidak dapat berkembang
karena adanya tekanan. Tekanan tersebut dilakukan oleh organisasi teritorial angkatan darat yang pada
berlangsungnya masa orde baru sangat mengawasi perilaku masyrakat. Hal itu dilakukan guna
menciptkan stabilitas keamanan dan politik guna mendukung kebijakan orde baru untuk pembangunan
ekonomi. Yang menurut orde baru hal itu tidak akan terwujud tanpa adanya stabilitas politik dan
keamanan. Karena alasan tersebut masyrakat tidak boleh melakukan aksi untuk mengkritik pemerintah
atau dapat dikatakan civil society yang merupakan tonggak demokrasi tersebut tidak diberi kesempatan
yang luas dalam politik. Menurut pemerintah orde baru masyrakat sebaiknya tidak usah berikut campur
luas dalam hal politik yang penting kebutuhan pokok dan hidupnya dapat dipenuhi, urusan politik
merupakan urusan pemerintah.

Hal tersebut mempunyai dampak dalam perkembangan demokrasi menurut Abdoel Fattah (2005, 165)
setidaknya memberikan dampak pada kehidupan politik masyrakat Indonesia pada waktu itu. Pertama,
menyebabkan hilangnya daya inisiatif dan dinamika masyarakat, karena mereka merasakan tidak ada
manfaatnya berusaha ikut berpartisipasi dalam politik. Kedua, terpusatnya kekuasaan di tangan
eksekutif, khususnya di tangan Presiden Soeharto, dan melemahnya lembaga lain seperti legislatif, dan
pengadilan, dan partai politik, diikuti dengan melemahnya civil society dan pembangunan demokrasi.
Ketiga, politik antikritik yang diikuti tumbuhnya otoritarianisme. Keempat, sebagai dampak lanjut,
muncullah kebijakan depolitisasi, korporatisasi, demobilisasi, dan deparpolisasi, yang mengakibatkan
tersumbatnya aspirasi masyrakat secara luas.

Dominasi militer di ranah ekonomi ini juga membuat adanya pertumbuhan kapital yang sangat besar.
Pertumbuhan itu dilakukan dengan adanya eksploitasi besar-besaran kekayaan alam dengan
mengandalkan adanya investor asing. Hal ini dilakukan karena orde baru pada waktu itu dibangun
melalui instabilitas ekonomi yang parah, dengan tingginya angka inflasi. Akibatnya pertumbuhan
ekonomi digunakan sebagai landasan utama dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh orde baru,
disamping juga adanya pembentukan stabilitas keamanan guna menjamin pertumbuhan ekonomi.
Militer dalam hal ini hadir untuk mengurusi masalah pembangunan ekonomi serta menjaga stabiltas
pertahanan dan keamanan

Keterlibatan militer di ranah ekonomi itu menyebabkan adanya penyelewengan konsep dwifungsi ABRI
tersebut juga berdampak pada masuknya militer mengurus hal-hal bisnis. Pada awalnya keterlibatan
ABRI dalam dunia ekonomi semata-mata hanya untuk berusaha memenuhi kebutuhan semata yang saat
itu dapat dikatakan kesejahteraan tentara dibawah kata cukup. Selain itu keterlibatan tentara dalam
ekonomi pada tahun 1960an dimaksudkan agar tempat-tempat strategis ekonomi tidak dikuasai oleh
PKI. Akan tetapi setelah berkuasanya orde baru dan adanya pertumbuhan ekonomi ternyata membuat
para tentara cukup tergiur. Akibatnya kecenderungan tentara yang awalnya berbinis hanya untuk
memenuhi kebutuhan, kemudian berubah menjadi ingin mendominasi dan menumpuk kekayaan.
Kecenderungan militer dalam aktivitas ekonomi yang makin merebak itu, pada masa orde baru
memunculkan istilah yang disebut jendral-jendral bisnis dan jendral-jendral kapitalis(A.H. Nasution
1989:119).

Kemudian pada perkembangan selanjutnya dalam perkembangan masa Orde Baru, ternyata dwifungsi
ABRI yang pada awalnya dapat diterima alasan masuknya tentara ranah politik lama-kelamaan terjadi
penolakan. Hal ini dikarenakan tentara yang pada awalnya tidak mendominasi ranah politik, ternyata
realitasnya malah sangat mendominasi bahkan mengesampingkan pegawai sipil yang juga termasuk
golongan fungsional. Kritik terhadap yang dapat dikatakan kebablasen dari ide awalnya ini kemudian
diutarakan oleh Abdurrahman Wahid atau lebih akrab di sapa Gus Dur (1999: 192) yang mengatakan ...
begitu banyaknya pidato dan makalah mengenai dwifungsi ABRI yang tidak mencantumkan pembedaan
antara hal itu sebagai konsep dan kenyataan. Seolah-olah kenyataan sejarah sesuai dengan konsep,
padahal ada kesenjangan antara keduanya. Dalam konsepnya, dwifungsi adalah baik, namun dalam
kenyatannya selalu buruk. Pimpinan ABRI dan pimpinan pemerintahan selalu menjajakan dwifungsi
sebagai konsep, dan masyrakat senantiasa mempertanyakan: apa gerangan yang membuat konsep itu
menjadi buruk ketika diterjemahkan dalam masyrakat. Hal serupa juga dikatakan oleh pegagas awal
mengenai konsep dwifungsi ABRI yaitu Jendral A.H Nasution bahwa idenya mengenai konsep dwifungsi
itu ternyata diimplementasikan salah oleh penguasa orde baru kala itu.

Ketika di jaman Orde Baru ABRI memang dapat dikatakan tidak sejalan dengan konsep dwifungsi ABRI
yang di gagas oleh Nasution. Hal itu kemudian berdampak pada ketidaksukaan masyrakat terhadap
tentara, justru bertolak belakang dengan konsep dwifungsi ABRI yang mengingkan persatuan dan
kesatuan antara masyarakat terhadap ABRI. Adapun penguasa orde baru menggunakan ABRI sebagai
alat gunan mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi, dengan menciptakan format politik Orde Baru.
Beberapa karakteristik format politik orde baru yang menonjol adalah sebagai berikut: politik
sentralisasi di tangan eksekutif; pendekatan keamanan menjadi ciri yang menonjol; dominasi militer
dengan pendayagunaan dan perluasan dwifungsi ABRI; rendahnya apresiasi terhadap supremasi hukum
dan hak asasi manusia; dan otoritas birokrasi yang berlebihan (Fattah, Abdoel 2005: 155).

Dominasi ABRI yang begitu besar ini kemudian menciptakan kebencian rakyat dan menjauhkan ABRI dari
rakyat, yang sejatinya ABRI dibentuk dan dilahirkan melalui rakyat. Menurut (Fattah, Abdoel 2005: 188)
ada tiga hal yang disoroti dari perkembangan ABRI di masa orede baru Pertama, dengan adanya
dwifungsinya, ABRI mencampuri urusan yang semestinya bukan urusannya; sehingga masyrakat sipil
merasa ruang geraknya menjadi sempit. Kedua, dwi fungsi digunakan sebagai alat rezim Soeharto yang
mendominasi kekuasaan. Ketiga, dominasi ABRI dalam segala bidang kehidupan mengakibatkan
melemahnya daya inisiatif rakyat bawah. Keadaan tersebut kemudian membuat adanya gelombang
protes dari masyrakat yang mengaggap ABRI terlalu berlebihan.

Protes masyarakat atas dominasi militer yang begitu luas tersebut, kemudian memunculkan
gelombang protes yang begitu besar. Terutama protes itu semakin besar ketika memasuki pertengahan
tahun 1990an, dimana masyarakat menilai pemerintah Soeharto semakin bobrok dengan semakin
banyaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme di lemabaga pemerintahan. Selain itu militer dianggap sebagai
pihak yang mengekang kebebasan di masyarakat. Hal itu didasari juga atas sikap represif orba yang
menggunakan tentara sebagai alat kekuasaan untuk menekan rakyat dan pelanggaran HAM semakin
menjadi ketika orde baru melalui tentara melakukam penculikan terhadap aktivis demokrasi. Tugas itu
diwenangkan kepada angkatan darat guna meredam gelombang protes tersebut, akan tetapi ternyata
kebijakan tersebut justru semakin membuat gelombang protes semakin menjadi-jadi. Puncaknya terjadi
pada desakan massa terhadap turunnya Soeharto di bulan Mei 1998. Runtuhnya pemerintah orde baru
tersebut juga memaksa tentara terkena imbasnya, tentara juga dituntut untuk melakukan reformasi
terhadap fungsi dan kedudukannya guna proses demokratisasi yang sesuai dengan tuntutan reformasi.

Militer dan Politik tahun 1998-Sekarang

Reformasi di TNI yang terjadi pasca tahun 1998 atau dikatakan pasca orde baru tersebut terjadi
karena adanya tututan masyrakat maupun tuntutan dalam internal TNI sendiri, agar TNI bisa bekerja
sesuai dengan profesionalitasnya sebagai militer. Peran militer dan dominasinya di luar bidang militer
justru dianggap sebagai penghambatan dari proses demokratisasi. Campur tangan militer tidak hanya di
ranah sosial dan politik saja, akan tetapi di bidang ekonomi juga dipermasalahkan, seperti yang
dikatakan Widoyoko Mengenai bisnis militer, terutama dalam bentuk yayasan, selama ini tidak dikelola
dengan baik. Banyak bisnis militer yang justru lebih menguntungkan para mitra dan kantong pribadi
para jenderal ketimbang kesejahteraan prajurit secara umum. Apalagi banyak bisnis militer yang
menikmati fasilitas khusus sehingga menyebabkan persaingan tidak sehat. Pada gilirannya, bisnis militer
menyebabkan distorsi dalam ekonomi. Di sisi lain, keterlibatan tentara dalam bisnis berakibat pada
menurunnya profesionalisme prajurit (Widiyoko et al., 2003: 102). Selain itu adanya beberapa kasus
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI di masa pemerintahan orba juga merupakan latar belakang
dari adanya reformasi TNI.

Reformasi di tubuh TNI, dimulai ketika TNI dituntut untuk merevisi konsep dwifungsi ABRI.
Konsep dwifungsi ABRI yang dijadikan legitimasi ABRI masuk ke ranah sipil, dianggap tidak sesuai dengan
proses demokratisasi yang berjalan. Dalam negara yang demokratis peran militer hanyalah sebagai alat
pertahanan yang tunduk pada supremasi sipil. TNI dituntut profesional dalam menjalankan tugasnya
sebagai militer yang berfungsi menjaga pertahanan dan kedaultan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) dan tidak ikut campur di ranah sosial, ekonomi, maupun politik atau bisa disebut wilayah
non-pertahanan.

Untuk membenahi ABRI ada sebuah upaya untuk memisahkan kedudukan TNI dan POLRI
(Kepolisian Republik Indonesia). Sebagai bagian penting untuk membangun ABRI yang terkonsentrasi
pada masalah-masalah pertahanan, pada 1 April 1999, secara resmi ABRI melepaskan Polisi dari
tubuhnya (Marijan, Kacung 2012: 252). Dari pemisahan tersebut kemudia menjelaskan bahwa fungsi TNI
adalah sebagai alat pertahanan dan meninggalkan urusan keamanan serta ketertiban, karena fungsi
keamanan dan ketertiban diserahkan pada POLRI selaku sipil yang dipersenjatai. Disisi lain, TNI dan
POLRI sepakat untuk bersikap netral dalam politik praktis dengan tidak menempatkan wakilnya pada
keanggotan DPR/D atau memberikan pilihan bagi perwira aktif TNI dan POLRI yang menjabat di lembaga
pemerintahan untuk mundur dari jabatannya atau pensiun dini dari kedinasan TNI dan POLRI.

Kemudian untuk menjelaskan posisinya tersebut, Panglima ABRI Jendral Wiranto memamaparkan empat
paradigma baru ABRI. Paradigma itu kemudian disampaikan di hari jadi ABRI tanggal 5 Oktober 1999,
terdampat empat paradigma yang isinya sebagai berikut Pertama, militer akan mengubah posisi dan
metode untuk tidak selalu harus di depan dan mendominasi. Posisi yang mereka nikmati saat orde baru
diserahkan kepada institusi fungsional yang lebih kompeten. Kedua, mengubah konsep menduduki
menjadi mempengaruhi. Artinya posisi militer yang dahulu menguasai posisi strategis, saat ini harus
dibatasi. Mempengaruhi bukan mengintervensi, tetapi lebih pada kontribusi TNI terhadap
pembangunan. Ketiga, mengubah cara mempengaruhi secara langsung (direct influence) menjadi tidak
langsung (indirect influence). Hal ini penting dilakukan untuk untuk menghindari keterlibatan TNI yang
berlebihan dalam berbagai kegiatan yang tidak berkaitan dengan tugas utamanya. Keempat, kesediaan
untuk secara bersama-sama melakukan pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan
(political and role sharing) dengan komponen bangsa lainnya (Haramain, 2004:125-126).

Tuntutan terhadap profesional TNI, juga dilakukan di dalam TNI dengan merevisi lagi kurikulum
pendidikan kemiliteran yang diajarkan pada prajurit. Adanya dugaan-dugaan tentang pelanggaran HAM
kemudian membuat TNI juga memberikan arahan kepada prajuritnya mengenai dasar-dara mengenai
HAM, seperti dalam pernyataan Santosa dan Natanegara (2009: 194) Reformasi TNI yang
dikumandangkan mulai dari tahun 1998 melahirkan beberapa tindakan konkrit, antara lain TNI tidak
berpolitik dan tidak berbinis serta tidak ketinggalah adalalah pembekalan Prajurit TNI dengan
pengetahuan hukum humaniter dan HAM melalui buku saku hukum dan buku saku HAM. Hal tersebut
dilakukan untuk memberi panduan militer dalam melakukan aksinya selalu berpdoman pada hukum
yang berlaku, tidak semerta-merta melaksanakan tugas dari operasi militer tersebut. salah satu
kesatuan dalam tentara yang meningkatkan kemampuannya dalam pengetahuan hukum tersebut
adalah Kopassus (Komando Pasukan Khusus), korps elite Angkatan Dara yang disinyalir melakukan
bentuk pelanggaran HAM juga diberikan pembekalan hukum humaniter dan HAM.

Adanya konsep dwifungsi ABRI juga melahirkan lembaga Komando Teritorial (Koter). Selain itu lembaga
koter juga lahir dari doktrin perang semesta atau Sishankamrata, yang dalam doktrin tersebut juga
melibatkan kekuatan rakyat sipil guna bersama ABRI bahu-membahu dalam hal pertahanan dan
keamanan. Lembaga ini pada awalnya tugas untuk melakukan pelatihan pertahanan karena adanya UU
Darurat Perang /SOB pada masa Demokrasi Terpimpin, akan tetapi pada perkembangan waktu Koter
digunakan oleh Orde Baru digunakan sebagai pembinaan politik. Adanya Koter justru memungkinkan
ABRI untuk masuk ke ranah sosial politik hingga tingkatan paling bawah atau desa, dengan struktur
komando yang terperinci mulai dari ata yaitu Kodam hingga paling bawah Babinsa.

Tuntutan reformasi ABRI, juga sejalan dengan adanya tuntutan terhadap kedudukan Koter. Koter
dianggap tidak diperlukan dan kalo perlu dihapuskan, guna memaksimalkan kebebasan berdemokrasi
bagi rakyat, karena keberadaan koter serta pengalaman di masa lalu menyebabkan justru koter
dianggap sebagai penghambat proses demokratisasi. Setidaknya ada beberapa alasan mengenai
penghapusan Koter, seperti pendapat dari Kacung Marijan (2012: 257) Pertama, penghapusan itu
merupakan keniscayaan sejarah sebagai perwujudan dari kemaun TNI untuk merespons perkembangan
yang ada di dalam masyrakat. Kedua, penghapusan Koter dapat mendorong percepatan demokrasi.
Ketiga, penghapusan Koter sejalan dengan kebijakan mengenai otonomi daerah. Terakhir, keberadaan
Koter di beberapa daerah selama ini justru dianggap sebagai parasit.

Menurut TNI penghapusan dwifungsi ABRI tidak semerta-merta juga menghapus adanya Koter. Dalam
pandangan TNI, yang terpenting bukan pada dibubarkan tidaknya Koter, melainkan perlunya
refungsionalisasi lembaga itu (Mabes TNI, 2001: 15). Menurut TNI masih ada fungsi teritorial yang harus
dilaksanakan oleh koter yang berkaitan dengan masalah-masalah pertahanan. Paling tidak, ada empat
fungsi yang bisa dilakukan oleh Koter saat ini: (1) mengelola satuan-satuan di bawah komandonya, (2)
melatih rakyat sebagai komponen pertahanan, (3) menyiapkan dan melaksanakan kampanye militer
untuk mempertahankan daerah dalam menghadapi ancaman dari luar, dan (4) membantu pemerintah
daerah atas permintaan, khususnya yang berkaitan dengan masalah pertahanan (Asfar, 2003: 45).

Peranan TNI sebagai kekuatan politik pasca Orde Baru sebenarnya sudah berkurang secara drastis sejak
penghapusan dwifungsi ABRI. Hal ini merupakan tanggung jawab TNI menghadapi tuntutan, serta
bentuk penghormatan terhadap supremasi sipil, yang sejatinya TNI juga merupakan bagian dari rakyat.
Peranan TNI dalam ranah sipil seperti sosial, politik, dan ekonomi juga sudah jauh berkurang dan mereka
benar-benar komitmen untuk profesional mengurusi bidang militer saja yaitu sebagai alat pertahanan
negara. TNI dalam posisi ini jika kita lihat hanyalah sebagai aktor yang menurut teori strukturasi yang
diajukan oleh Giddens, TNI hanya tunduk pada struktur fungsionalnya dan perannya dalam proses politik
negara sangat dibatasi.

Namun jika kita amati, penghapusan dwifungsi ABRI tidak semerta-merta menghapus pengaruh TNI
sebagai kekuatan politik dan keterlibatannya dalam ranah sipil. TNI masih memilik Bargaining Position
yang kuat sebagai kekuatan politik, meskipun pengaruh itu tidak secara langsung. Adanya Koter masih
mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat, meskipun fungsi adalah untuk pertahanan saja.
Peranan TNI dalam ranah sipil masih bisa memungkinkan dengan adanya civic mission artinya TNI masuk
ke dalam ranah sipil, apabila sipil yang meminta TNI ikut terlibat. Civic mission ini seperti
penanggulangan bencana alam maupun penanggulangan aksi teror yang tidak dimungkinkan sipil untuk
mengurusnya.

Kesimpulan

Adanya peranan militer dalam politik di dalam pertarungan kekuatan Politik di Indonesia tidak
dapat dipungkiri. Hal itu dikarenakan memang adanya pengalaman sejarah serta situasi yang
memungkinkan militer untuk masuk ke dalam ranah politik. situasi yang terjadi di tahun 1945-1967
dimana terdapat instabilitas politik yang begitu hebat serta adanya ancaman disintegrasi di daerah
memungkinkan adanya perana militer dalam politik praktis. Selain itu peranan militer jauh lebih besar
lagi ketika pada tahun 1967-1998 tepatnya ketika masa Orde Baru, militer digunakan sebagai suatu alat
kekuasaan guna mempertahankan kekuasaan Orde Baru tersebut. Tuntutan terhadap peran militer
dalam politik, juga sejalan dengan adanya tuntutan terhadap Orde Baru, konsep dwifungsi ABRI yang
melegtimasikan tentara masuk ke ranah sosial politik pada masa reformasi tepatnya pada awal tahun
1998 dihapuskan. Sejalan dengan hal itu militer dituntut dalam pembenahan fungsi dan tugasnya agar
sejalan dan mendukung adanya proses demokratisasi, militer dituntut profesional dan kembali pada
tugasnya yaitu sebagai alat pertahanan negara.
DAFTAR PUSTAKA

Marijan, Kacung. 2012. Sistem Politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Abdoel, Fattah. 2005. Demiliterisasi Tentara; Pasang Surut Politik 1945-2004. Yogjakarta: PT Lkis Pelangi
Aksara.

Iswandi. 1998. Bisnis Militer Orde Baru; Keterlibatan ABRI Dalam Bidang Ekonomi dan Pengaruhnya
Terhadap Pembentukan Rezim Otoriter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Santosa, Iwan dan E.A Natanegara. 2009. Kopassus Untuk Indonesia. Jakarta: Red & White Publishing
House.

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo

http://mohammad-darry-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-100285-
Agensi,%20Kuasa%20dan%20Politik%20di%20Indonesia-
Militer%20sebagai%20Kekuatan%20Politik%20di%20Indonesia.html

Você também pode gostar