Você está na página 1de 36

AKTIVITAS ANTIDIABETES EKSTRAK AIR DAN EKSTRAK

n-HEKSAN SARANG SEMUT TERHADAP TIKUS PUTIH


(Rattus novergicus) JANTAN

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh
MUHAMMAD NURUL HUDA
NIM: 12010051

PROGRAM STUDI STRATA 1 (S1) FARMASI


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI
BOGOR
2016
AKTIVITAS Antidiabetes EKSTRAK AIR DAN EKSTRAK
n-HEKSAN SARANG SEMUT TERHADAP TIKUS PUTIH
(Rattus novergicus) JANTAN

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan sebagai pertimbangan untuk melaksanakan penelitian


sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
Program studi Farmasi Sekolah Tinggi Teknologi Industri
dan Farmasi Bogor

Oleh
MUHAMMAD NURUL HUDA
NIM: 12010051

PROGRAM STUDI STRATA 1 (S1) FARMASI


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI
BOGOR
2016
AKTIVITAS Antidiabetes EKSTRAK AIR DAN EKSTRAK
n-HEKSAN SARANG SEMUT TERHADAP TIKUS PUTIH
(Rattus novergicus) JANTAN

Oleh
MUHAMMAD NURUL HUDA
NIM: 12010051

Proposal ini telah diperiksa dan disetujui,


Bogor,

Menyetujui,
Tim Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Siti Mariam, M.Farm, Apt Dr. Achmad Fauzi Isa

Mengetahui
Puket I STTIF Bogor

Drs. Herson Cahaya Himawan, M.Si


KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil alamin, Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT
karena atas Rahmat,Nikmat dan KaruniaNya-lah saya dapat menyelesaikan tugas
akhir ini dengan judul Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Air dan Ekstrak n-Heksan
Sarang Semut Terhadap Tikus Putih (Rattus novergicus) Jantan
Sholawat serta salam semoga tatap tercurahkan kepada beliau Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya juga para pengikutnya termasuk kita
semua.

Saya ucapkan banyak terima kasih karena selama ini dalam mengikuti
pendidikan Sarjana Farmasi sampai dengan proses penyelesaian Tugas Akhir,
berbagai pihak telah memberikan fasilitas, membantu, membina dan membimbing
saya. Untuk itu khususnya kepada :

1. Ibu Siti Maryam M.Farm, Apt., selaku Ketua Sekolah Tinggi Teknologi
Industri Dan Farmasi Bogor (STTIF) Bogor dan selaku pembimbing yang
telah menyediakan waktu, bantuan, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan
penulis dalam penyusunan proposal penelitian ini.
2. Bapak Sofyan Ramani, S.Far., Apt, selaku ketua laboratorium Sekolah Tinggi
Teknologi Industri dan Farmasi Bogor.
3. Bapak Dr. Achmad Fauzi Isa selaku pembimbing yang telah menyediakan
waktu, bantuan, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam
penyusunan proposal penelitian ini.
4. Para dosen Sekolah Tinggi Teknologi Industri Dan Farmasi Bogor (STTIF)
yang telah sabar mengajari saya dalam menempuh pendidikan sarjana
farmasi.
5. Para staf Sekolah Tinggi Teknologi Industri Dan Farmasi Bogor (STTIF)
yang telah banyak membantu dalam urusan administrasi dan menjaga
ketertiban dikampus.
6. Ibu dan bapak tercinta, yang telah mendukung saya baik moril dan materil.
Tanpa ibu dan bapak, saya tidak akan bisa meneruskan mencari ilmu sampai
sekarang. Terima kasih atas perjuanganmu yang tak akan pernah bisa saya
ganti dengan materil.

1
7. Kakak Rofiq Masudi dan teteh Raudhoh Nasyiah yang telah menyemangati
dan membantu saya baik moril dan materil, serta selalu memberikan saya
nasihat dan arahan.
8. Teman teman satu angkatan 15 yang telah memberi motivasi dan
persaudaraan yang luar biasa, kalian yang menjadi saudara saya khususnya
saat di kampus dan di mana saja kalian tetap saudara saya.
9. Saudara dari kampak squad, Sugiatno, Nur Haidir, whisnu Eka Darmawan,
M. wildan terima ksih atas semua bantuannya, saya tidak bisa membalas budi
kebaikan kalian.

Saya menyadari, tugas akhir ini masih banyak kelemahan dan kekurangan
nya. Karena itu kritik dan saran yang membangun saya harapkan dan diterima
dengan senang hati.

Demikian tugas akhir ini saya tulis, mudah mudahan keberadaan Tugas
Akhir ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita, dan masyarakat pada
umumnya.

Bogor, April 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................1

1.2 Identifikasi Masalah....................................................................................3

1.3 Batasan Masalah.........................................................................................3

1.4 Kerangka Pemikiran...................................................................................3

1.5 Hipotesis.....................................................................................................4

1.6 Tujuan Penelitian........................................................................................4

1.7 Manfaat Penelitian......................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................5

2.1 Sarang Semut..............................................................................................5

2.2 Simplisia.....................................................................................................7

2.3 Ekstraksi ....................................................................................................8

2.4 Diabetes Melitus (DM)...............................................................................9

2.4.1 Definisi.............................................................................................9

2.4.2 Patofisiologi Diabetes Melitus..........................................................10

2.4.2.1 Diabetes Melitus Tipe I........................................................10

2.4.2.2 Diabetes Melitus Tipe II.......................................................10

2.4.3 Klasifikasi Diabetes Melitus.............................................................10

3
2.4.3.1 Diabetes Melitus Tipe I........................................................10

2.4.3.2 Diabetes Melitus Tipe II.......................................................11

2.4.4 Diagnosis Diabetes Melitus..............................................................12

2.5 Metformin...................................................................................................13

2.6 Aloksan.......................................................................................................13

2.7 Tikus Putih (Rattus novergicus) jantan Galur Sparague dawley..............14

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.....................................................15

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.....................................................................15

3.2 Alat dan Bahan............................................................................................15

3.2.1 Alat....................................................................................................15

3.2.1 Bahan................................................................................................15

3.3 Hewan Uji...................................................................................................15

3.4 Prosedur Kerja............................................................................................15

3.4.1 Pengambilan Sampel........................................................................15

3.4.2 Preparasi Sarang Semut....................................................................16

3.4.3 Penentuan Kadar Air.........................................................................16

3.4.4 Pembuatan Ekstrak n-Heksan dan Air Sarang Semut.......................16

3.4.4.1 Cara Pembuatan Ekstrak dengan Metode Maserasi

Bertingkat.........................................................................................16

3.4.5 Uji Fitokimia.....................................................................................17

3.4.6 Penyiapan Hewan Uji.......................................................................18

3.4.7 Pembuatan Suspensi Na-CMC 1%...................................................18

3.4.8 Pembuatan Sediaan Suspensi Metformin.........................................18

4
3.4.9 Pembuatan Sediaan Suspensi Estrak n-Heksan Sarang Semut.........18

3.4.10 Perlakuan Pada Hewan Uji Percobaan...........................................19

3.5 Rancangan Penelitian Analisis Data...........................................................20

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................21

5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
Dewasa ini diabetes melitus menjadi salah satu masalah kesehatan yang
besar. International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan bahwa sebanyak
183 juta orang tidak menyadari bahwa mereka mengidap DM. Data dari studi
global menunjukan bahwa jumlah penderita DM pada tahun 2011 telah mencapai
366 juta orang, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun
2030. Pada tahun 2006, terdapat lebih dari 50 juta orang yang menderita DM di
Asia Tenggara.. Sebesar 80% orang dengan DM tinggal di negara berpenghasilan
rendah dan menengah. Sebagian besar penderita DM berusia antara 40-59 tahun
(Trisnawati, 2013).
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu gangguan metabolisme yang ditandai
oleh hiperglikemia maupun abnormalitas dalam metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein. Hal tersebut dapat terjadi karena penurunan sekresi insulin,
penurunan sensitivitas insulin atau keduanya. Komplikasi kronis mikrovaskular,
makrovaskular dan neuropati dapat terjadi akibat Diabetes Melitus (Dipiro et al,
2009)
Hiperglikemia merupakan keadaan dimana jumlah glukosa dalam darah
melebihi batas normal (> 200 mg/dl atau 11,1mmol/L). Peningkatan glukosa
dalam darah terjadi ketika pankreas memiliki sedikit insulin atau ketika sel tidak
dapat menerima respon insulin untuk menangkap glukosa dalam darah.
Hiperglikemia merupakan tanda dari penyakit diabetes millitus. Ketika
hiperglikemia semakin kronis, hal ini bisa memicu timbulnya diabetes. (American
Assosiation Diabetes, 2000).

Dalam penanggulangan diabetes, obat hanya merupakan pelengkap dari diet.


Obat hanya perlu diberikan bila pengaturan diet secara maksimal tidak berkhasiat
mengendalikan kadar gula darah. Obat antidiabetes oral mungkin berguna untuk
penderita yang alergi terhadap insulin atau yang tidak menggunakan suntikan
insulin. Sementara penggunaannya harus dipahami, agar ada kesesuaian dosis
dengan indikasinya, tanpa menimbulkan hipoglikemia. Karena obat antidiabetes
oral kebanyakan memberikan efek samping yang tidak diinginkan, maka para ahli

1
2

mengembangkan sistem pengobatan tradisional untuk diabetes melitus yang relatif


aman (Agoes, 1991).

Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak ribuan


tahun yang lalu, sebelum obat modern ditemukan dan dipasarkan. Hal itu
tercermin antara lain pada lukisan di relief Candi Borobudur dan resep tanaman
obat yang ditulis dari tahun 991 sampai 1016 pada daun lontar di Bali.
Pemanfaatan bahan alam sebagai obat tradisional akhir-akhir ini sangat meningkat
di Indonesia, bahkan beberapa bahan alam telah diproduksi dalam skala besar.
Penggunaan obat tradisional dinilai memiliki efek samping yang lebih kecil
dibandingkan dengan obat yang berasal dari bahan kimia (Pringgoutomo, 2007).

Pemanfaatan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia akhir-akhir


ini meningkat, bahkan beberapa bahan alam telah diproduksi secara pabrikasi
dalam skala besar. Penggunaan obat tradisional dinilai memiliki efek samping
yang lebih kecil dibandingkan dengan obat yang berasal dari bahan kimia,
disamping itu harganya lebih terjangkau. Selain itu keuntungan lain penggunaan
obat tradisional adalah bahan bakunya mudah diperoleh dan harganya yang relatif
murah (Putri, 2010).

Salah satu tumbuhan berkhasiat yang digunakan sebagai obat adalah


tumbuhan sarang semut (Myrmecodia tuberosa), dari suku Rubiaceae yang
dewasa ini banyak beredar di pasaran. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan epifit
yang di pohon-pohon besar dan dapat ditemukan di daerah Sumatera, Kalimantan
dan Papua. Tumbuhan sarang semut banyak ditemukan di hutan tropis dataran
rendah dan daerah pertanian terbuka dengan ketinggian 600 m (Florentinus,
2012).

Lingkungan tempat tumbuh, keadaan tanah, dan cuaca yang berbeda


mempengaruhi pertumbuhan sehingga mengakibatkan perbedaan kadar
kandungan senyawa aktif. Perbedaan jenis tumbuhan juga memberikan perbedaan
pada kandungan senyawa aktif, sehingga mutu simplisia yang dihasilkan akan
berbeda (Depkes RI, 1985).
3

Dalam penelitian ini sampel sarang semut yang bukan merupakan umbi
sarang semut pada umumnya atau tumbuhan sarang semut, tetapi sarang semut
yang akan diuji merupakan sarang semut yang bukan dari bagian tumbuhan
namun berada pada tumbuhan tersebut dan ditemukan di daerah Jambi yang
sudah turun temurun digunakan masyarakat jambi sebagai obat tradisional untuk
diabetes.

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai sarang semut tersebut
untuk menguji aktivitas antidiabetes yang dimilikinya, serta mengidentifikasi
senyawa kimia yang terkandung di dalam sarang semut secara kualitatif, sehingga
nantinya bisa dibuat dasar pemakaian alternatif obat tradisional atas paparan dari
masyarakat jambi tersebut.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dilakukan penelitian ini untuk
mengetahui adanya aktivitas antidiabetes serta mengetahui senyawa kimia yang
terkandung didalam sarang semut tersebut. Dalam paparan masyarakat jambi,
mereka menggunakan rebusan air sarang semut sebagai obat tradisional untuk
antidiabetes, namun hal ini belum terbukti secara ilmiah, sehingga peneliti tertarik
untuk melakukan pengujian aktivitas antidiabetes dan senyawa yang terkandung
dalam sarang semut tersebut secara in vivo ekstrak air dan n-heksan sarang semut
terhadap tikus putih (Rattus novergicus) jantan.

1.3 Batasan Masalah


Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui ekstrak n-Heksan dan ekstrak
air sarang semut dapat memberikan aktifitas terhadap penurunan kadar glukosa
darah dengan melakukan pengujian secara in vivo terhadap tikus putih (Rattus
novergicus) jantan dan mengidentifikasi senyawa kimia dengan melakukan uji
fitokimia secara kualitatif.

1.4 Kerangka Pemikiran


Sarang semut yang diambil dari pohon Karet di perkebunan karet, di
Kampung Nyiur Gading Simpang Babeko, Kecamatan Muaro Bungo, Jambi
dibersihkan terlebih dahulu dengan cara dipotong menjadi beberapa bagian, lalu
4

dibersihkan dari semut yang ada di dalamnya, kemudian dikeringkan dengan


cara di jemur pada tempat yang terkena sinar matahari langsung, setelah kering
sarang sarang semut dihaluskan dengan cara ditumbuk karena sifatnya yang keras
dari sarang semut tersebut, kemudian sarang semut diekstraksi dengan metode
ekstraksi maserasi bertingkat antara pelarut n-heksan dan air, selanjutnya
dilakukan uji kandungan senyawa kimia dengan melakukan uji fitokimia secara
kualitatif, selanjutnya dilakukan uji aktivitas penurunan kadar glukosa darah tikus
putih (Rattus novergicus) jantan yang telah diinduksi dengan aloksan dengan
menggunakan alat glukometer.

1.5 Hipotesis
Ekstrak maserasi bertingkat dari pelarut n-heksan dan air sarang semut
memiliki aktivitas penurunan kadar glukosa darah terhadap tikus putih (Rattus
novergicus) jantan yang telah diinduksi dengan aloksan.

1.6 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas penurunan kadar
glukosa darah dan mengetahui senyawa yang terkandung dalam sarang semut
dengan uji fitokimia kualitatif.

1.7 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dasar informasi secara
ilmiah ekstraksi pelarut n-heksan dan air sarang semut dalam menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan. Serta memberikan
informasi mengenai kandungan kimia melalui uji fitokimia kuaitatif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sarang Semut
Sarang semut dapat ditemukan di daerah Myanmar dan Indocina, lebih
tepatnya Filipina, Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, kemudian lebih ke selatan
yakni Queensland, New Zealand, dan Negara Kepulauan Fiji. Sedangkan
mayoritas, baik genus Myrmecodia (42 spesies) maupun Hydnophytum (94
spesies), ditemukan tumbuh di Pulau Irian (Papua dan Papua Nugini). Di Papua,
tumbuhan sarang semut paling banyak ditemukan tumbuh di sekitar gunung
Jayawijaya, Tolikara, Puncak Jaya, Gunung Bintang, dan Paniai. Tumbuhan
sarang semut mempunyai sejumlah penamaan di masyarakat, antara lain: rumah
semut (Sumatra), ulek-ulek polo (Jawa), lokon (Papua), periok hantu (Malaysia),
ki nan/ ki nam gai/ ki nam kin (Vietnam) (Hamsar & Mizaton, 2012).
Ada beberapa sarang semut yang umum diketahui dalam masyarakat salah
satunya adalah tumbuhan epifit dari bangsa Rubiaceae yang dapat berasosiasi
dengan semut. Penyebaran tumbuhan sarang semut banyak ditemukan, mulai dari
Semenanjung Malaysia hingga Filipina, Kamboja, Kalimantan, Jawa, Papua
Nugini, hingga Kepulauan Solomon. Di Propinsi Papua, tumbuhan sarang semut
dapat dijumpai, terutama didaerah Pegunungan Tengah, yaitu di hutan belantara
Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten
Pegunungan Bintang dan Kabupaten Panniai. Keaneragaman terbesar dari
tumbuhan sarang semut ditemukan di Pulau Papua (Subroto dan Saputro, 2008).

Secara empiris, tumbuhan sarang semut tersebut dapat menyembuhkan


beragam penyakit berat seperti tumor, kanker, jantung, wasir, TBC, rematik,
gangguan asam urat, stroke, maag, gangguan fungsi ginjal, dan prostat. Selain itu,
ekstrak rebusan air tumbuhan sarang semut juga terbukti dapat memperlancar air
susu ibu (ASI), meningkatkan gairah seksual bagi pria maupun wanita dan
berguna untuk memperlancar haid, serta mengatasi keputihan (Subroto dan
Saputro, 2008).

Berdasarkan analisis fitokimia, selain mengandung zat-zat nutrisi yang


penting bagi tubuh, tumbuhan sarang semut juga mengandung senyawa-senyawa
kimia dari golongan flavonoid dan tanin. Dalam banyak kasus, flavonoid dapat

5
6

berperan secara langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi dari


mikroorganisme bakteri atau virus (Subroto dan Saputro, 2008). Flavonoid juga
bertindak sebagai antioksidan yang dapat membentuk mekanisme pertahanan sel
terhadap kerusakan radikal bebas (Manna et al., 2009).

Flavonoid digolongkan dalam beberapa golongan: flavones, flavonols,


flavonones, katekin, dan isoflavon. Contoh senyawa flavonols yaitu kamferol,
kuersetin dan myricetin. Senyawa dari flavonols yang diduga memilki aktifitas
dalam penurunan kadar glukosa darah adalah kuersetin. Kandungan flavonoid
inilah yang diduga memilikki aktivitas antidiabetes. Aksi flavonoid sebagai
antidiabetes diduga dengan meregenerasi kerusakan sel beta pankreas (Dheer &
Bhatnagar, 2010) Dimana mekanisme kerja kuersetin dalam menurunkan kadar
glukosa darah yakni menjaga sel pankreas tetap bekerja secara normal (Gregory,
2011). dan merangsang sel beta pankreas untuk memproduksi insulin (Dheer &
Bhatnagar, 2010

Sarang semut memberikan ekstraksi zat aktif yang optimal ketika berusia 4
tahun. Pengolahannya secara tradisional cukup mudah, hanya dengan merebus
daging umbi yang sudah dikeringkan sampai mendidih. Kemudian disaring dan
diminum airnya. Dengan cara merebus, zat aktif yang bisa diambil hanya 5%.
Menurut penelitian di Australia, lebih baik jika tanaman ini diekstraksi dengan
larutan campuran alkohol-air (Alam dan Waluyo, 2006).

(Gambar tumbuhan epifit sarang semut dari bangsa Rubiaceae yang dapat
berasosiasi dengan semut (Subroto dan Saputro, 2008).
7

Sarang semut yang akan diuji merupakan sarang semut yang bukan dari
bagian tumbuhan yang seperti halnya tumbuhan epifit sarang semut yang dewasa
ini banyak beredar.

(gambar sampel sarang semut, doc. Pribadi)

2.2 Simplisia
Pengertian simplisia menurut Departemen Kesehatan RI adalah bahan alami
yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apa pun, dan
kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan.
Menurut Gunawan dan Sri, (2004) simplisia merupakan istilah yang dipakai
untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang berada dalam wujud aslinya atau
belum mengalami perubahan bentuk.
Menurut Gunawan dan Sri, (2004) Simplisia dibagi menjadi tiga golongan,
yaitu:

1. Simplisia Nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian
tanaman, eksudat tanaman, Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan
keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari selnya.
2. Simplisia Hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang dapat berupa hewan utuh atau zat-zat
berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni.

3. Simplisia Mineral
8

Simplisia mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang
belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa bahan
kimia murni, contoh serbuk seng dan serbuk tembaga.

2.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia
yang disaring mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang
tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein. Senyawa aktif yang terdapat
dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri,
alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang
dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi
yang tepat (Ditjen POM, 2000).
Dalam buku Farmakope Indonesia Edisi 4 disebutkan bahwa ekstrak adalah
sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia
nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Kemenkes RI.
2000).
Macam-macam ekstraksi adalah maserasi, perkolasi, refluks, sokletasi,
digesti, infus, dan dekok. Hasil yang diperoleh dari penyarian simplisia nabati
atau simplisia hewani menurut cara yang cocok disebut ekstrak. Ekstrak bisa
dalam bentuk sediaan kering, kental dan cair. Ekstrak kering harus mudah digerus
menjadi serbuk (Ditjen POM, 2000).
Maserasi istilah aslinya adalah macerare (bahasa Latin, artinya merendam)
adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan nabati yaitu
direndam menggunakan pelarut bukan air (pelarut nonpolar) atau setengah air,
misalnya etanol encer, selama periode waktu tertentu sesuai dengan aturan dalam
buku resmi kefarmasian (Depkes, 1995).
Menurut Harborne (1987), metode maserasi digunakan untuk mengekstrak
jaringan tanaman yang belum diketahui kandungan senyawanya yang
kemungkinan bersifat tidak tahan panas sehingga kerusakan komponen tersebut
dapat dihindari. Keuntungan dari metode ini adalah unit alat yang dipakai
sederhana karena hanya dibutuhkan bejana perendam, biaya operasionalnya relatif
9

rendah, prosesnya relatif hemat penyari, dan tanpa pemanasan. Kekurangan dari
metode ini adalah waktu yang relatif lama dan membutuhkan banyak pelarut.
Ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan prinsip kelarutan. Prinsip
kelarutan adalah like dissolve like, yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa
polar, demikian juga sebaliknya pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa
nonpolar, pelarut organik akan melarutkan senyawa organik. Ekstraksi senyawa
aktif dari suatu jaringan tanaman dengan berbagai jenis pelarut pada tingkat
kepolaran yang berbeda bertujuan untuk memperoleh hasil yang optimum, baik
jumlah ekstrak maupun senyawa aktif yang terkandung dalam sampel uji.
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.
Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka
larutan yang terpekat akan didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga
terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.

2.4 Diabetes Melitus (DM)


2.4.1 Definisi
Diabetes Melitus adalah salah satu gangguan metabolisme karbohidrat yang
ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah yang terus menerus, glukosuria,
dan kadang kadang disertai gejala haus, sering kencing, penurunan berat badan,
akan menyebabkan komplikasi dan meninggal bila tidak diobati (Sacher dan
Pherson, 2008).

Diabetes Melitus (DM) merupakan keadaan hiperglikemia kronik yang


disertai dengan berbagai kelainan metabolik yang diakibatkan oleh gangguan
hormonal yang menimbulkan berbagai macam komplikasi kronik pada organ
mata, ginjal, saraf, pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis dalam
dengan menggunakan pemeriksaan dalam mikroskop (Arief Mansjoer dkk, 2005).

Terjadi peristiwa resistensi insulin,yaitu dimana sel-sel menjadi kurang peka


bagi insulin dengan efek berkurangnya penyerapan glukosa dari darah. Akibatnya
kadar glukosa darah naik dan lambat laun terjadilah diabetes tipe 2. Penyebab
10

lain adalah berkurangnya reseptor insulin atau tidak bekerja dengan semestinya
(Tjay dan Rahardja, 2007).

2.4.2 Patofisiologi Diabetes Melitus


Menurut Brunner & Sudddart (2002) patofisiologi terjadinya penyakit
diabetes mellitus tergantung kepada tipe diabetes yaitu :

2.4.2.1 Diabetes Melitus Tipe I


Hampir 90-95% islet sel pankreas hancur sebelum terjadi hiperglikemia
akibat dari antibodi islet sel. Kondisi tersebut menyebabkan insufisiensi insulin
dan meningkatkan glukosa. Glukosa menumpuk dalam serum sehingga
menyebabkan hiperglikemia, kemudian glukosa dikeluarkan melalui ginjal
(glukosuria) dan terjadi osmotik diuresis. Osmotik diuresis menyebabkan
terjadinya kehilangan cairan dan terjadi polidipsi. Penurunan insulin
menyebabkan tubuh tidak bisa menggunakan energi dari karbohidrat sehingga
tubuh menggunakan energi dari lemak dan protein sehingga mengakibatkan
ketosis dan penurunan BB. Poliphagi dan kelemahan tubuh akibat pemecahan
makanan cadangan.
2.4.2.2 Diabetes Melitus Tipe II
Besar dan jumlah sel beta pankreas menurun tidak diketahui sebabnya. Pada
obesitas, kemampuan insulin untuk mengambil dan memetabolisir glukosa ke
dalam hati, muskuloskeletal dan jaringan berkurang. Gejala hampir sama dengan
DM Tipe I dengan gejala non spesifik lain (pruritus, mudah infeksi)

2.4.3 Klasifikasi Diabetes Melitus


Diabetes Melitus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya
kadar glukosa darah. Secara etiologi DM dapat di bagi menjadi DM tipe 1, DM
tipe 2 (Adam, 2006).

2.4.3.1 Diabetes Melitus Tipe I


DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel pankreas (reaksi autoimun). Sel
pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin yang
berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan sel
pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel
11

ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita
DM tipe 1 sebagian besar oleh karena proses autoimun dan sebagian kecil non
autoimun. DM tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya juga disebut sebagai type
1 idiopathic. DM tipe 1 sebagian besar (75% kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun
Dan DM Tipe ini diperkirakan terjadi sekitar 5-10 % dari seluruh kasus DM yang
ada (Adam, 2006).
Dalam perawatan diabetes tipe 1 dimana disebabkan oleh pankreas yang
kesulitan menghasilkan insulin, maka insulin harus ditambahkan setiap hari,
umumnya dengan cara suntikan insulin. Cara lain adalah dengan memperbaiki
fungsi kerja pankreas. Jika pankreas bisa kembali berfungsi dengan normal, maka
pankreas bisa meemnuhi kebutuhan insulin yang dibutuhkan tubuh (Munden,
2007).
2.4.3.2 Diabetes Melitus Tipe II
DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non
insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi mulai
yang dominan Resistensi insulin defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi
insulin. Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di
jaringan perifer (Insulin resistance) dan disfungsi sel . Akibatnya, pankreas tidak
mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin
resistance . Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif.
Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini (Adam, 2006).
DM tipe 2 umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi
gangguan pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih
dalam batas normal sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.
Walaupun demikian pada kelompok diabetes melitus tipe 2 sering ditemukan
komplikasi Mikrovaskuler dan makrovaskuler. Diabetes tipe 2 lebih banyak
prevalensinya daripada tipe 1, sekitar 90%-95% pengidap diabetes mellitus tipe 2
dari semua penderita diabetes. Diabetes tipe 2 pada tahap awal diobati dengan
cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan
karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Langkah yang berikutnya jika
perlu perawatan dengan obat antidiabetes oral (Lanywati, 2011).
12

2.4.4 Diagnosis Diabetes Melitus


Tindakan diagnosis dilakukan untuk menentukan apakah seseorang telah
menderita penyakit diabetes melitus. Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan
keluhan penderita yang khas dan adanya peninggian kadar glukosa darah yang
ditentukan berdasarkan pemeriksaan laboratorium (Pranadji,dkk.,2002). Kriteria
diabetes melitus ditegakkan berdasarkan :
1) Glukosa darah waktu atau glukosa plasma vena sewaktu
Penderita diabetes melitus sering datang dengan keluhan klinis yang jelas
seperti haus, banyak kencing, berat badan menurun, glukosuri, bahkan
kesadaran menurun sampai koma. Dengan keluhan klinis yang jela,
peneriksaan glukosa darah sewaktu sudah dapat menegakkan diagnosis
diabetes melitus. Apabila penderita tersebut sudah dapat disebut diabetes
melitus (Pranadji,dkk.,2002).
2) Glukosa darah puasa atau plasma vena puasa
Glukosa plasma dalam keadaan berpuasa dibagi atas tiga nilai, yaitua:
kurang dari 110 mg/dl, antara 110 mg/dl sampai 126 mg/dl, dan lebih besar
dari 126 mg/dl. Pada keadaan normal kadar glukosa plasma puasa kurang dari
110 mg/dl. Bila kadar glukosa plasma puasa lebih besar dari 126 mg/dl adalah
diabetes melitus, sedangkan bila terletak antara 110 mg/dl sampai dengan 126
mg/dl disebut glukosa plasma puasa terganggu (GPPT). Dengan demikian pada
penderita dengan kadar glukosa plasma vena berpuasa sedikitnya 10 jam lebih
besar dari 126 mg/dl sudah cukup untuk mendiagnosa diabetes melitus
(Pranadji,dkk.,2002).
3) Penggunaan tes toleransi glukosa oral.
Apabila pada pemeriksaan glukosa darah sewaktu kadar glukosa plasma
tidak normal, yaitu terletak antara lebih besar dari 140 mg/dl tetapi kurang dari
200 mg/dl maka pada mereka ini harus dilakukan pemeriksaan tes toleransi
glukosa oral untuk meyakinkan apakag diabetes melitus atau bukan. Sesuai
dengan kesepakatan WHO maka tes toleransi glukosa oral harus dilakukan
dengan beban 75 gram setelah berpuasa minimal 10 jam. Penilaian adalah
sebagai berikut:
13

a. Toleransi glukosa normal apabila kurang dari 140 mg/dl


b. Toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa terukur adalah
lebih dari 140 mg/dl tetapi kurang dari 200 mg/dl.
c. Toleransi glukosa lebih dari 200 mg/dl disebut diabetes melitus
(Perkeni,2006)

2.5 Metformin
Metformin adalah obat antihiperglikemik oral dari golongan biguanida
untuk penderita diabetes militus tanpa ketergantungan terhadap insulin.
Mekanisme kerja metformin yang tepat tidak jelas, walaupun demikian metformin
dapat memperbaiki sensitivitas hepatik dan periferal terhadap insulin tanpa
menstimulasi sekresi insulin serta menurunkan absorpsi glukosa dari saluran
lambung-usus. Metformin hanya mengurangi kadar glukosa darah dalam keadaan
hiperglikemia serta tidak menyebabkan hipoglikemia bila diberikan sebagai obat
tunggal. Metformin tidak menyebabkan pertambahan berat badan bahkan
cendrung dapat menyebabkan kehilangan berat badan. (Tjay dan Rahardja, 2007)

2.6 Aloksan
Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi
diabetes pada binatang percobaan. Mekanisme aksi dalam menimbulkan perusakan
yang selektif belum diketahui dengan jelas. Penelitian terhadap mekanisme kerja aloksan
secara invitro menunjukkan bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion kalsium
dari mitokondria yang mengakibatkan proses oksidasi sel terganggu. Keluarnya
ion kalsium dari mitokondria ini mengakibatkan gangguan homeostasis yang merupakan
awal dari kematian sel. Pemberian aloksan adalah suatu cara yang cepat untuk
menghasilkan kondisi diabetik eksperimental (hiperglikemik) pada hewan
percobaan. Aloksan dapat digunakan secara intravena, intraperitoneal,
intramuscular dan subkutan. (yuriska, 2009).
Aloksan lazim digunakan karena zat kimia ini menimbulkan hiperglikemik yang
permanen dalam 2-3 hari (Suharmiati, 2003). Menurut Mumuh (2000), dosis aloksan
14

yang dipakai untuk hewan percobaan adalah 125 mg/kg BB. Induksi aloksan
dilakukan dibawah kulit (subcutan) dengan catatan 1 gram aloksan dilarutkan
kedalam NaCl 0,9% sebanyak 10 ml. Tikus yang telah diinduksi aloksan ditunggu
selama 3 hari untuk melihat hiperglikemik pada tikus.

2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley


Tikus putih merupakan strain albino dari Rattus norvegicus. Tikus memiliki
beberapa galur yang merupakan hasil pembiakkan sesama jenis atau persilangan.
Selain Wistar, galur tikus yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur
Sprague dawley (Sirois, 2005).
Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley termasuk ke
dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini yaitu
bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan pendek
dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling terlihat
adalah ekornya yang panjang (lebih panjang dibandingkan tubuh). Bobot badan
tikus jantan pada umur dua belas minggu mencapai 240 gram. Tikus memiliki
lama hidup berkisar antara 4 5 tahun dengan berat badan umum tikus jantan
berkisar antara 267 500 gram (Sirois, 2005).
Menurut Natawidjaya (1983), taksonomi tikus laboratorium adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animal
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata (Craniata)
Kelas : Mamalia
Subkelas : Theria
Infrakelas : Eutharia
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Superfamili : Muroidea
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus sp.
Galur/Strain : Sprague dawley
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2016 sampai dengan Mei
2016, bertempat di Laboratorium Kampus Sekolah Tinggi Teknologi Industri dan
Farmasi Bogor, Jln. Parung Aleng, RT/RW 04/07 Desa Cikeas, Kab. Bogor 16111,
Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain: Rotary evaporator,


alat pemanas stirer, glukometer, strip glukosa, jarum suntik subcutan, spuit 1cc
dan 2cc, sonde oral tempat, pipet tetes, pipet ukur 5 ml, gelas ukur, corong, kertas
saring, tabung reaksi, beaker glass, erlenmeyer, timbangan analitik, lumpang dan
alu, batang pengaduk, kertas saring, sarung tangan, masker, nampan, dan kandang
khusus tikus untuk pengamatan uji antidiabetes.

3.2.2 Bahan

n-Heksan, Aquades, Natrium CMC, CHCl3, H2SO4, Pereaksi Mayer, HCl,


logam Mg, klororoform, FeCl3, asam asetat anhidrat, etil asetat, amil alkohol,
sarang semut, aloksan monohidrat, tablet metformin (tablet @ 500 mg).

3.3 Hewan Uji

Hewan uji yang akan digunakan adalah tikus putih (Rattus novergicus)
jantan galur Sprague-Dawley.

15
3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Pengambilan sampel

Sampel yang digunakan adalah Sampel sarang semut dipohon Karet di


perkebunan karet, Pengambilan dilakukan pada jam 10.00 11.00 WIB dan Jam

16
17

15.00 16.00 WIB di Kampung Nyiur Gading Simpang Babeko, Kecamatan


Muaro Bungo, Jambi.

3.4.2 Preparasi Sarang Semut

Sarang semut dipotong menjadi beberapa bagian dan dibersihkan dari


semut yang ada di dalamnya, kemudian dikeringkan dengan cara di jemur pada
tempat yang terkena sinar matahari langsung, dan kemudian sarang semut
dihaluskan denga cara menumbuknya didalam karung.

3.4.3 Penentuan Kadar Air

kadar air ditentukan dengan penetapan susut pengeringan dengan cara:


cawan porselin dikeringkan pada suhu 105 selama 3 jam, kemudian
didinginkan dalam eksikator selama 30 menit dan ditimbang. Sebanyak 2 gram
sarang semut dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dimasukkan ke dalam
oven pada suhu 105 selama kurang lebih 3 jam sampai diperoleh bobot yang
konstan, kemudian didinginkan dan ditimbang kembali. Perbedaan antara berat
sebelum dan sesudah dipanaskan adalah kadar air (Astuti, 2007). Penetapan
persentase kadar air dilakukan berdasarkan penetuan jumlah bobot kering sampel
dengan rumus perhitungan kadar air, sebagai berikut :

AB
% Kadar Air : 100
A

Keterangan :
A : bobot sampel sebelum pemanasan (g)
B : bobot sampel setelah pemanasan (g)
3.4.4 Pembuatan Ekstrak n-Heksan Dan Air Sarang Semut
3.4.4.1 Cara Pembuatan Ekstrak Dengan Metode Maserasi Bertingkat.
Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara masrasi beringkat, sarang semut
yang sudah dihaluskan dan ditambahkan dengan pelarut heksana dan air, secara
bertahap dari pelarut yang paling nonpolar, hingga polar, yaitu heksana terlebih
dahulu kemudian baru air.
Proses maserasi dilakukan selama 3x24 jam dengan beberapa kali
pengadukan, dibuat dengan cara 150 gr sarang semut ditambahkan dengan
18

pelarut n-heksan sebanyak 300 ml selama 24 jam kemudian diperas dan disaring,
ampas sarang semut ditambahkan pelarut n-heksan kembali sebanyak 300ml,
kemudian diperas dan disaring kembali, proses ini dilakukan 3x24 jam dan filtrat
n-heksan ditampung untuk dilakukan pemekatan. Kemudian ampas sarang semut
dari ekstrak n-heksan tersebut di maserasi kembali dengan air sebanyak 300 ml
selama 3x24 jam kemudian diperas dan disaring, proses ini sama, filtrat air
ditampung untuk dilakukan pemekatan.

3.4.5 Uji Fitokimia (Harborne, 1987)

a. Uji Alkaloid

Sebanyak 5 ml ekstrak air dan n-heksan di larutkan dengan beberapa


tetes asam sulfat 2 N lalu diuji dengan pereaksi alkaloid yaitu peraksi
Dragendroff. Hasil uji positif ditandai dengan terbentuknya endapan berturut-
turut putih, coklat dan merah jingga.

b. Uji Flavonoid

Sebanyak 5 ml ekstrak air dan n-heksan ditambahkan 0,5 mg serbuk Mg,


1 ml HCl pekat dan 1 ml amil alkohol. Campuran dikocok kuat, munculnya
warna merah dan kuning positif menunjukkan adanya flavonoid.

c. Uji Saponin

Dikocok 10 ml ekstrak air dan n-heksan selama 10 detik. Jika terbentuk


busa 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan
penambahan 1 tetes HCl 2 N maka sampel positif mengandung saponin.

d. Uji Tanin

Sebanyak 5 ml ekstrak air dan n-heksan ditambahkan dengan air hingga


tidak berwarna. Kemudian diambil 2 ml dan ditetesi 1 2 tetes pereaksi FeCl 3.
Hasil uji positif ditandai dengan munculnya warna hijau, biru atau kehitaman.

e. Uji Steroid dan Triterpenoid

Sebanyak 5 ml larutan ekstrak air dan n-heksan dtambahkan 2 ml


kloroform, lalu ditambahkan 10 tetes asetat anhidrat dan 3 tetes asam sulfat
19

pekat. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna merah


untuk pertama kali lalu berubah menjadi warna biru atau hijau untuk steroid
serta merah atau ungu untuk triterpenoid.

3.4.6 Penyiapan Hewan Uji

Penelitian ini menggunakan hewan uji tikus putih (Rattus novergicus) jantan
galur Sprague-Dawley dengan bobot 200 - 250 gram sebanyak 30 ekor, tikus
terlebih dahulu diadaptasi dengan lingkungan selama kurang lebih 1 minggu,
dengan pemberian makan kosentrat jenis 512 satu kali dalam sehari sebanyak
kurang lebih 360 gr dari jumlah tikus (30 ekor), dan dengan minum yang tidak
ditakar. Tikus yang telah diadaptasi selama 1 minggu, kemudian pada hari ke-7
tikus dipuasakan selama 16 jam. Setelah dipuasakan tikus dicek kadar glukosa
darahnya, kemudian tikus diinduksi dengan aloksan 0,31 ml dengan konsentrasi
125 mg/kg BB. Tikus yang telah diinduksi dengan aloksan ditunggu selama 3 hari
atau 72 jam untuk melihat efek Hiperglikemi pada tikus. Jika penginduksian yang
dilakukan tidak mendapatkan hasil positif maka dilakukan pengulangan dengan
dosis yang lebih tinggi (Mumuh, 2000).

3.4.7 Pembuatan Suspensi Na-CMC 1%

Untuk membuat larutan Na-CMC 1%, ditimbang ditimbang Na-CMC


sebesar 0,5 gram yang kemudian dimasukkan sdikit-demi sedikit kedalm 50 ml
aquades hangat (suhu 50-60oC) ditunggu hingga mengembang, setelah itu
digerus hingga homogen dan ditambahkan aquades hingga volume 50 ml.

3.4.8 Pembuatan Sediaan Suspensi Metformin

Natrium CMC sebanyak 0,5 gram dimasukkan kedalam lumpang dan


ditambahkan aquades hangat sebanyak 15 ml sambil diaduk hingga homogen.
Setelah itu, 1 Tablet metformin 500 mg di gerus hingga halus di dalam lumpang
lainnya. Metformin yang telah digerus, dicampurkan pada lumpang yang berisi
Na-CMC hingga homogen. Setelah homogen ditambahkan aquades sampai 50 ml.
Didapatkan konsentrasi suspensi metformin sebesar 500 mg dalam 50 ml.
20

3.4.9 Pembuatan Sediaan Suspensi Ekstrak n-Heksan Sarang Semut

Na-CMC sebanyak 1.5 gram yang kemudian dimasukkan sedikit-demi


sedikit kedalam lumpang dan ditambahkan 50 ml aquades hangat (suhu 50-
60oC). Ditunggu hingga mengembang setelah itu digerus hingga homogen,
kemudian ditambahkan hasil ekstrak kering n-heksan sambil diaduk hingga
homogen dan ditambahkan aquades hingga volume 150 ml.

3.4.10 Perlakuan Pada Hewan Percobaan

a. Tikus putih jantan ditimbang dan dikelompokkan menjadi 6


kelompok tiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus putih jantan.

b. Tikus dibiarkan beradaptasi dengan kondisi kandang yang


disediakan.
c. Masing-masing tikus jantan putih ditempatkan dalam kandang
khusus yang tersedia, semua tikus diperlakukan dengan kondisi yang sama,
pemberian makan yang sama dan tempat yang sama.
d. Setelah tikus beradaptasi , tikus dipuasakan selama 16 jam ,
tetapi minum masih diberikan.

e. Setelah dipuasakan selama 16 jam, darah tikus diambil dari


bagian ekor kemudian dicek kadar glukosa darah dengan menggunakan
glukometer, tikus dalam keadaan normal.

f. Setelah itu semua kelompok dan tiap-tiap tikus diinduksi dengan


aloksan sebanyak 0,31 ml melalui subcutan atau dibawah kulit. Setelah
diinduksi dengan aloksan tikus dipuasakan 1 jam setelah itu tikus diberi makan

g. Setelah 3 hari atau sekitar 72 jam darah tikus diambil dan dicek
kadar glukosa darah dengan menggunakan alat glukometer.

h. Jika kadar gula tikus belum menunjukkan angka melebihi 140


g/dl, maka tikus sudah dinyatakan terinduksi diabetes. Jika kadar glukosa
darah tikus masih dikisaran 50-135 g/dl tikus dinyatakan belum terinduksi
21

diabetes, maka tikus diberikan aloksan sebanyak 0,31 ml kembali. Sampai


semua tikus putih jantan dinyatakan terinduksi diabetes.

i. Kemudian tikus diberi perlakuan yang telah ditentukan. Setiap


tikus putih jantan diberikan sediaan uji secara peroral dengan ketentuan sebagai
berikut:

1. Kelompok Perlakuan I sebagai kontrol negatif (-) diberi Na CMC 1% 2 kali


sehari.

2. Kelompok Perlakuan II sebagai kontrol positif (+) diberi metformin 9 mg


sebanyak 0,9 ml . dengan pemberian 2 kali sehari.

3. Kelompok Perlakuan III diberi ekstrak air sarang semut dengan konsentrasi
1gr/ml dengan dengan pemberian 2 kali sehari.

4. Kelompok Perlakuan IV pada tikus putih jantan diberi ekstrak air sarang
semut dengan konsentrasi 0,5gr/ml dengan pemberian 2 kali sehari.

5. Kelompok Perlakuan V diberi ekstrak n-heksan sarang semut dengan


konsentrasi 1gr/ml dengan pemberian 2 kali sehari.

6. Kelompok Perlakuan V pada tikus putih jantan diberi ekstrak n-heksan


sarang semut dengan konsentrasi 0,5gr/ml dengan pemberian 2 kali sehari.

j. Pengecekan kadar glukosa darah dilakukan setiap 3 hari sekali


selama 14 hari dengan perlakuan yang sama tiap-tiap kelompok.

3.5 Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Data aktivitas penurunan kadar glukosa darah yang diperoleh dalam


penelitian ini dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA yaitu RAL
(Rancangan Acak Lengkap). Satu faktor dengan tiga kali ulangan pada tingkat
kepercayaan 95% dan taraf 0,05 dan kemudian dilanjutkan dengan uji
DUNCAN (steel dan torrie,1989). Model rancangan tersebut adalah :

Y ij =+ i + ij
22

Yij= nilai pengamatan faktor perlakuan ekstrak taraf ke-i dan ulangan ke-j
= rataan umum
i = pengaruh perlakuan ekstrak ke-i. i= 1, 2, 3, 4,5,6.
i = 1 adalah kontrol (-) dengan Na CMC 1%
i = 2 adalah control (+) dengan metformin 500 mg
i = 3 adalah ekstrak air sarang semut dengan konsentrasi 1 gr/ml
i = 4 adalah ekstrak air sarang semut dengan konsentrasi 0.5 gr/ml
i = 5 adalah ekstrak n-heksan sarang semut dengan konsentrasi 1 gr/ml
i = 6 adalah ekstrak n-heksan sarang semut dengan konsentrasi 0.5 gr/ml

ij = pengaruh acak yang menyebar normal pada perlakuan ke-i dan ulangan
ke-j. j=1,2,3,4,5,6.
DAFTAR PUSTAKA

Adam J.M.F., Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru.
Cermin Dunia Kedokteran. 2006; 127:37-40 .
Agoes A., 1991, Pengobatan Tradisional di Indonesia, Medika No. 8, Thn 17,
hal.632.
Alam, S. dan S. Waluyo. 2006. Sarang Semut Primadona Baru di Papua. Majalah
Nirmala. Edisi Juli 2006, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

American Diabetes Association. 2000. Diagnosis and classification of diabetes


mellitus. Diabetes care Volume 27 Supplement 1 : 5-10. American Diabetes
Associationa.

Arief Mansjoer dkk, 2005. Diabetes Melitus Kapita Selekta Kedokteran, edisi
3,jilid I, Media Aesculapius FK UI, pp:580-588.

Brunner and Suddarth. 2002. Patofisiologi Diabetes Melitus. Dalam: Cyber


Nurse. 2009. Konsep Diabetes Melitus.

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta:


Diktorat Jendral POM- Departemen Kesehatan RI

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1995.Farmakope Indonesia, Edisi IV,


Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak


Tumbuhan Obat. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan,
Direktorat Pengawasan Obat Tradisional.

Dheer, R. dan P. Bhatnagar, 2010. Sebuah studi tentang aktivitas antidiabetes dari
Barleria prionitis Linn. Ind J. Pharm, 42:.. 70-73.

Dipiro, J.T., Wells., B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V., 2009,


Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition, The McGraw-Hill
Companies, USA.

Florentinus, J. (2013). Sarang Semut Berantas Penyakit Maut.Yogyakarta: Gapura


Publishing. Halaman 24-25.

23
24

Gregory S. Kelly ND., 2011. Quercetin. Alternative Medicine Review (AMR)


Volume 16, Number 2 ; 16: 2: 172-94.

Gunawan, D., Sri, M. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Jakarta:
Penebar Swadaya.

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Bandung : penerbit ITB.

Hamsar, M. N.; Mizaton, H. H. June 2012. Potential of Ant-Nest Plants As An


Alternative Cancer Treatment Journal of Pharmacy Research;2012, Vol.
5 Issue 6.

Kementrian Kesehatan RI 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan


Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. pp: 5; 9.

Lanywati, E. 2011. Diabetes Mellitus Penyakit Kencing Manis. Ed. 11.


Yogyakarta: Kanisius. pp. 13-15; 22.

Manna, P., M. Sinha, and P.C. 2009. Protective Role of Arjunolic Acid in
Response to Streptozotocin Induced Type-I Diabetes via
Mitochondrial Dependent and Independent Pathways. Toxicology
257:53-56.

Mumuh. 2000. Efektivitas penggunaan Aloksan terhadap hewan uji Tikus dan
cara penyuntikan aloksan yang efektif. Bandung : UNPAD.

Munden, J. 2007. Diabetes Mellitus a Guide Patient Care. Ambler Lipincott


William. Hal. 31-33.

Natawidjaya P., Suparman. 1983. Mengenal Beberapa Binatang Di Alam


Sekitarnya. Jakarta: Pustaka Dian.

[PERKENIN] Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006. Konsensus


Pengelolaan dan Pemecahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia,
Perkumpulan Endokrinolog Indonesia. http://www.perkeni.net /index.php?
page=jurnal_tinjauan_protokol. [20 Februari 2010].
25

Pranadji, D.K., Martianto, D.H., Uripi, V. 2002. Pencernaan Menu Untuk


Penderita Diabetes Melitus. Jakarta: Penebar Swadaya.

Putri, Z.F. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Sirih (Piper betle
L.) terhadap Propionibacterium acne dan Staphylococcus aureus
multiresisten. Surakarta: Skripsi Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah,.

Pringgoutomo S. Riwayat perkembangan pengobatan dengan tanaman obat di


dunia timur dan barat. Buku ajar Kursus Herbal Dasar untuk Dokter.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.1-5.

Sacher, R.A., Mc. Pherson, R.A. 2008. Wildmanns Clinical Interpretation of


Laboratory Test. 10th ed. FA. Davis Company. pp.1

Sirois. 2005. Laboratory Animal Medicine: Principles and Procedures, Elsevier,


USA.

Subroto M.A., Saputro H. 2008. Gempur Penyakit Dengan Sarang Semut. Jakarta:
Penebar Swadaya: 2016: 15-16.

Suharmiati, 2003. Pengujian Bioaktivitas Anti Diabetes Melitus Tumbuhan Obat.


Cermin Dunia Kedokteran. Vol 9: 140

Tjay, T.H., Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan,


danEfek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo: hal.193.

Trisnawati SK, Setyorogo S. 2012. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe
II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat: Jurnal Ilmiah
Kesehatan. 2013;5(1):6-11.

Yuriska F, A. 2009. Efek Aloksan Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar.
Semarang: Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

.
26

Lampiran : Alur Kerja Penelitian.

Pengumpulan Bahan Baku


Sarang Semut

Preparasi Sarang Semut

Penetapan Kadar Air dan


Sekrining Fitokimia

Pembuatan Ekstrak Sarang


Semut

Ekstraksi air Sarang Ekstraksi n-Heksan


Smut Sarang Semut

Ekstrak Kental Air Sarang Ekstrak Kental Heksana


Semut Sarang Semut

Uji Aktivitas Antidiabetes


Terhadap Tikus Putih (Rattus novergicus )jantan

Pengukuran Kadar Glukosa Darah Analisis Data


27

Lampiran : Perlakuan

Pengelompokan Tikus

Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok VI Kelompok VI


Kontrol (-) Kontrol (+)

Adaptasi

Semua kelompok di
induksi aloksan

Tikus hiperglikemia

Perlakuan I Perlakuan II Perlakuan III Perlakuan IV Perlakuan V Perlakuan VI


Kontrol negatif Kontrol posotif
Dengan Ekstrak Air Dengan Ekstrak Air Dengan Ekstrak Dengan Ekstrak
Dengan Na- Dengan Sarang Semut Sarang Semut n-Heksan Sarang n-Heksan Sarang
CMC 1% Metformin 500mg Konsentrasi 1gr/ml Konsentrasi 0.5gr/ml Semut Konsentrasi Semut Konsentrasi
1gr/ml 0.5gr/ml

Pengukuran Kadar Glukosa Darah Analisis Data


28

RENCANA JADWAL PENELITIAN

Maret April Mei Juni


No
Keterangan Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke- Minggu ke-
.
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Studi Literatur
Pengumpulan Sampel Sarang
2
Semut
3 Preparasi Sarang Semut
4 Ekstraksi Sarang Semut
5 Uji Fitokimia
Pengujian Antidiabetes Secara
6
In Vivo
7 Analisis Data

Você também pode gostar