Você está na página 1de 4

Belajar Menjadi Anak-Anak

Anak belajar/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Najamuddin Muhammad, Dosen Pendidikan Anak Fakultas Ilmu


Tarbiyah dan Keguruan IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Orang dewasa lebih banyak menjadikan anak-anak kuda tunggangan cita-citanya ketimbang
membantu anak-anak menggapai dunia dan impiannya. Implikasinya, banyak anak-anak stres,
frustrasi hingga bunuh diri karena dunianya terbajak oleh impian orang dewasa.

Orang dewasa perlu belajar lagi menjadi anak-anak. Distingsi antara dunia orang dewasa dan
dunia anak-anak perlu dipertegas mulai dari lingkungan keluarga, pendidikan formal, dan
masyarakat, agar tak lahir anak-anak yang terlalu cepat matang memasuki dunia orang dewasa.

Sebab, sesuatu yang matangnya instan, membusuknya juga lebih cepat. Kalau ada anak-anak
yang cepat berpikir dan bertindak dewasa, orang tua dan masyarakat menganggap sebagai
sebuah kelebihan.

Sebaliknya, kalau ada anak-anak yang menikmati dunia bermain, bernyanyi, dan menari seakan
itu fase yang ingin cepat dilalui. Padahal, perkembangan anak mencakup banyak aspek-kognitif,
emosional, spritual, bahasa, motorik, dan lainnya-yang berjalan gradual, tidak simultan.

Namun, banyak orang dewasa telanjur memuja perkembangan aspek kognitif anak. Mereka lebih
ingin anaknya pintar membaca, menulis, dan berhitung dibandingkan bisa mengantre dengan
baik, meletakkan sampah pada tempatnya, dan menghormati sesama temannya.

Tak heran ketika Madeleine Leonard mengatakan, kita lebih banyak mengetahui kehidupan
sehari-hari orang dewasa dibandingkan kehidupan sehari-hari anak-anak.

Dunia anak-anak seakan cepat-cepat ingin dilalui begitu saja untuk mamasuki kehidupan orang
dewasa. Meskipun terpaksa diperhatikan, anak-anak terlibat bukan sebagai subjek, hanya sebagai
objek untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang dewasa.

Seperti jam sekolah yang ditambah, anak-anak dikutsertakan dalam dunia iklan dan digenjot ikut
les tambahan demi ambisi orang tua tanpa berpikir apa bakat inheran dalam dirinya. Orang
dewasa yang kekanak-kanakan ini sudah merambah keluarga, sekolah, bahkan masyarakat.

Thomas A Edison (1847-1931), manusia jenius yang diusir dari sekolah ini, pernah menjadi
korban dari guru yang kekanak-kanakan. Mr Crewford sebagai guru mengklaim, Thomas
mengalami kesulitan belajar karena susah mengikuti instruksi gurunya untuk membaca dan
menulis.

Ketika masuk kelas, Thomas lebih tertarik menggambar sesuai imajinasinya yang luas ketimbang
mengerjakan tugas yang diperintahkan gurunya.

Menurut kisah versi David M Atkinson, Thomas pulang dari sekolah dengan membawa lipatan
kertas dari gurunya bertuliskan, Keep this boy at home. He is too stupid to learn. Itulah vonis
guru yang tak pernah belajar menjadi anak-anak.

Melihat kasus Thomas Edison yang lebih tertarik mengikuti alur imajinasinya dibandingkan
mengikuti instruksi guru untuk membaca dan menulis, maka tepat apa yang Rousseau dalam Neil
Postman, katakan bahwa membaca adalah sebuah hukuman bagi masa kanak-kanak.

Karena buku-buku mengajarkan kita untuk mengatakan hal-hal yang sama sekali tidak tahu. Bagi
Neil Postman, membaca akan menjadi hukuman bagi anak-anak karena dalam tataran tertentu,
membaca menciptakan masa dewasa. Membaca memungkinkan seseorang memasuki sebuah
dunia pengetahuan yang nonpengamatan dan abstrak, sementara anak-anak butuh pengalaman
dan pengamatan konkret.

Masih beruntung Thomas mempunyai Ibu Nancy Edison, sosok berpendidikan yang mampu
memahami keunikannya dengan tetap menampung imajinasi Thomas sekaligus juga dengan
sabar mengajari membaca dan menulis. Nancy Edison mampu memahami keunikan Thomas dan
merekayasa lingkungannya untuk proses tumbuh kembang Thomas. Nancy Edison mampu
memahami dunia Thomas dengan baik. Itulah yang sangat berpengaruh dalam kesuksesan
Thomas.

Tak heran dalam catatan Martin Woodside, Thomas mengenang jasa orang tuanya dengan
berkata, My mother was the making of me. She was true, so sure of me.

Membaca dan menulis tak sepenuhnya menjadi racun bagi anak-anak. Itu justru akan menjadi
madu apabila sesuai dengan rimba keunikannya. Joanne Kathleen Rowling (1965) sudah
menunjukkan keunikan perkembangan bahasa sejak kecil.

Usia lima tahun sudah bisa menulis cerita dan usia enam tahun sudah mempunyai karya berjudul
Rabbit, karya sederhana tetapi untuk anak seusianya adalah sebuah keunikan. Maka tak heran
ketika dewasa ia mampu menyihir masyarakat dengan buku Harry Potter-nya.

Você também pode gostar