Você está na página 1de 20

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Distribusi pendapatan nasional merupakan unsur penting untuk mengetahui tinggi


atau rendahnya kesejahteraan atau kemakmuran suatu negara. Distribusi pendapatan
nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara
umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi
golongan tertentu saja. Cara distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana
pandapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan
perbaikanperbaikan dalam masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, penganguran dan
kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat.

Perbedaan pandapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan


sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak
akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak juga.

BAPPENAS (1993) mendefisnisikan kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan


yang terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak
dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Levitan (1980) mengemukakan
kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan
untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah analisa mengenai indeks dan perkembangan distribusi pendapatan?


2. Bagaimanakah analisa mengenai distribusi fungsional?
3. Bagaimanakah analisa mengenai kebijakan distribusi pendapatan?
4. Bagaimanakah analisa mengenai kemiskinan dalam aspek data dan kebijakan?

I.3Tujuan dan Manfaat

1. Mengetahui analisa mengenai indeks dan perkembangan distribusi pendapatan


2. Mengetahui analisa mengenai distribusi fungsional
3. Mengetahui analisa mengenai kebijakan distribusi pendapatan
4. Mengetahui analisa mengenai kemiskinan dalam aspek data dan kebijakan

1
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 ANALISA MENGENAI INDEKS DAN PERKEMBANGAN DISTRIBUSI


PENDAPATAN
Distribusi Pendapatan
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan,
yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi
pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni besar atau kecilnya bagian
pendapatan yang diterima masing masing orang: dan distribusi fungsional atau distribusi
kepemilikanfaktor factor produksi. Dari kedua jenis distribusi pendapatan ini kemudian
dihitung indicator untuk menunjukan distribusi pendapatan masyarakat.
I. Distribusi Pendapatan Ukuran

Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) atau distribusi


ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering
digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secvara langsung menghitung jumlah
pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Cara mendapatkan
pendapatan itu tidak dimasalahkan. Apa yang diperhatikan disini adalah seberapa banyak
pendapatan yang diterima seseorang, tidak pedulu dari mana sumbernya, entah itu hanya
berasal dari gajinya karena bekerja, atau berasal dari sumber yang lain seperti bunga,
tabungan, laba, hasil sewa, hadiah, ataupun warisan. Selain itu lokasi sumber pendapatan
(desa atau kota) maupun sector atau bidang kegiatan yang menjadi sumber pendapatan
(pertanian, manufaktur, perdagangan, jasa) juga diabaikan. Jika X dan Y masing masing
mendapatkan pendapatan yang sama, maka kedua orang tersebut langsung dimasukan ke
dalam satu kelompok yang sama atau satu kategori pendapatan yang sama, tanpa
mempersoalkan apakah X memperoleh uangnya dari bekerja seharian selama 15 jam
sehari sebagai seorang dokter, sementara Y hanya ongkang ongkong kaki tetapi terus
mendapatkan bunga dan harta warisan yang didepositokan.

Oleh karena itu, para ekonom dan ahli statistic cenderung mengurutkan semua
individu tersebut semata mata berdasarkan pendapatan yang diterimanya, lantas membagi
total populasi menjadi sejumlah kelompok atau ukuran. Biasanya, populasi dibagi
menjadi lima kelompok atau kuintil (quinttiles), atau sepuluh kelompok yang disebut
desil (decile) sesuai dengan tingkat pendapatan mereka, kemudian menetapkan berapa

2
proporsi yang diterima oleh masing masing kelompok dari pendapatan nasional total.
Sebagai contoh simaklah Tabel 2.1 dibawah ini yang memperlihatkan distribusi
pendapatan yang walaupun datanya hipotesis, namun biasa ditemui di suatu Negara
berkembang.

Tabel 2.1

Individu Pendapatan/orang Pangsa (%) Pangsa (%)


(unit uang) Kuinitil Desil
1 0,8
2 1,0 1,8
3 1,4
4 1,8 5 3,2
5 1,9
6 2,0 3,9
7 2,4
8 2,7 9 5,1
9 2,8
10 3,0 5,8
11 3,4
12 3,8 13 7,2
13 4,2
14 4,8 9,0
15 5,9
16 7,1 22 13,0
17 10,5
18 12,0 22,5
19 13,5
20 15,0 51 28,5

Total (pendapatan 100 100 100


nasional)

Dalam table diatas, semua penduduk Negara tersebut diwakili oleh 20 individu (atau
lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian diurutkan
berdasarkan jumlah pendapatannyaper tahun dari yang terendah (0.8 unit) sampai yang
tertinggi (15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional yang merupakan
penjumlahan dari pendapatan semua individu adalah 100 unit, seperti tampak pada kolom 2
pada table diatas. Dalam kolom 3, segenap rumah tangga digolongkan menjadi 5 kelompok
yang masing masing terdiri dari 4 individu atau rumah tangga. Kuintil pertama menunjukan
20 persen populasi terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya menerima 5 persen
(dalam hal ini adalah 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok kedua (individu
5-8) menerima 9 persen dari pendapatan total. Dengan kata lain 40 persen populasi terendah

3
(kuintil 1 dan 2) hanya menerima 14 persen dari pendapatan total, sedangkan 20 persen
teratas (kuintil ke lima) dari populasi menerima 51 persen dari pendapatan total.

Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bant8uan distribusi ukuran, yakni
:

1. Rasio Kutnezs
Ukuran umum yang memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan dapat
ditemukan dalam kolom 3, yaitu perbandingan antara pendapatan yang diterima oleh
20 persen anggota kelompok teratas dan 40 persen anggota kelompok terbawah. Rasio
yang sering disebut sebagai rasio Kutnezs inilah (dinamai berdasarkan nama
pemenang Nobel Simon Kutnezs), yang seriong dipakain sebagai ukuran tingkat
ketimpangan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan
kelompok yang sangat kaya di suatu Negara. Rasio keuntungan dalam contoh ini
adalah 14 dibagi dengan 51, atau sekitar 0,28.

2. Kurva Lorenz
Metode lainnya yang lazim dipakai untuk menganalisis statistic pendapatan
perorangan adalah dengan menggunakan kurva Lorenz (Lorenz Curve). Kurva ini
menunjukan bahwa hubungan kuantitatif actual antara presentase penerima
pendapatan dengan presentase pendapatan total yang benar benar mereka terima
selama, misalnya, satu tahun. Pada peraga 1, garis horizontal menunjukan presentase
kumulatif penerima pendapatan, sedangkan sumbu vertical menyatakan bahwa bagian
dari pendapatan total yang diterima oleh masing masing persentase kelompok
penduduk tersebut. Masing masing sumbu berakhir pada titik 100 persen, sehingga
dia berbentuk bujur sangkar. Satu garis diagonal ditarik dari titik nol pada sudut kiri
bawah menuju ke sudut kanan atas. Pada setiap titik yang terdapat pada garis diagonal
itu, persentase pendapatan yang diterima persis semua dengan persentase jumlah
penerimanya, misalnya titik tengah garis diagonal menunjukan bahwa 50 persen
pendapatan yang diterima oleh 50 persen penduduk, begitu seterusnya pada setiap
titik digaris diagonal. Dengan kata lain, garis diagonal tersebut menunjukan
pemerataan sempurna (perfect equality) dalam distribusi ukuran pendapatan.
Kurva Lorenz pada peraga 1 dibawah memakai data dari table sebelumnya, yakni
sumbu vertical dan horiziontal dibagi menjadi sepuluh bagian yang sama, sesuai
dengan sepuluh kelompok desil. Pada titik D, 40 persen penduduk termiskin

4
menerima hanya 14 persen dari jumlah pendapatan, pada titik E, 50 persen penduduk
menerima 19,2 persen dari jumlah pendapatan dan pada titik H, 80 persen penerima
pendapatan hanya menerima 49 persen dari total pendapatan. Menghubungkan titik
D,E,H, dan titik lainnya akan memebentuk kurva Lorenz seperti pada peraga 1.

Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (yang merupakan garis
pemerataan sempurna), maka semakin timpang atau tidak merata distribusi
pendapatannya. Kasus ekstrem dari ketidak merataan sempurna (yaitu, apabila hanya
seorang saja yang menerima seluruh pendapatan nasional, sementara orang orang
lainnya sama sekali tidak menerima pendapatan), akan diperlihatkan oleh Kurva
Lorenz yang berhimpit dengan sumbu horizontal setelah bawah dan sumbu vertical
sebelah kanan. Oleh karena tidak ada satu Negara pun yang memperlihatkan
pemerataan sempurna atau ketidak merataan sempurna di dalam distribusi
pendapatannya, semua kurva Lorenz Dari setiap Negara akan berada disebelah kanan
garis diagonal. Semakin parah ketidak merataannya atau ketimpangan distribusi
pendapatan di satu Negara, maka bentuk kurva Lorenz pun akan semakin melengkung
mendekati sumbu horizontal bagian bawah.

3. Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat


Perangkat yang terakhir dan sangat mudah digunakan untuk mengukur derajat
ketimpangan pendapat relative di satu Negara, adalah dengan menghitung rasio

5
bidang yang terletak di antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas
separuh segi empat di mana kurva Lorenz tersebut berada. Pada peraga 2, rasio ini
adalah rasio daerah A yang diberi warna agak gelap dengan luas segi tiga BCD. Rasio
ini dikenal dengan nama rasio konsentrasi Gini (Gini Concentration Ratio) atau
sederhananya disebut koefisien Gini (Gini Coefficient), mengambil nama dari ahli
statistic Italia yang merumuskannya pertama kali pada tahun 1912
Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol
(pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Pada prakteknya,
Koefisien Gini untuk Negara Negara yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar
antara 0,50 0,70 sedangkan untuk Negara Negara yang distribusi pendapatannya
relatif merata, angkanya berkisar antara 0,20 0,35. Koefisien Gini untuk distribusi
pendapatan hipotesis kita pada Tabel 10.2 diatas mendekati 0,61 (menunjukan
distribusi pendapatan yang sangat timpang).

II.2 ANALISA MENGENAI DISTRIBUSI FUNGSIONAL

Distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor


produksi (functional or factor share distribution of income) berfokus pada bagian dari
pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga
kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan
persentase pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau
faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase

6
pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing
merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik). Walaupun individu-individu
tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari segenap sumber daya tersebut, tetapi hal
itu bukanlah merupakan perhatian dari analisis pendekatan fungsional ini.

Sudah cukup banyak kepustakaan teoritis yang dibangun atas dasar konsep distribusi
pendapatan fungsional (functional income distribution) tersebut. Masing-masing mencoba
menjelaskan besar atau kecilnya pendapatan dari satu faktor produksi dengan
memperhitungkan kontribusi faktor tersebut dalam keseluruhan kegiatan produksi. Kurva
permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai sesuatu yang menentukan harga per satuan
(unit) dari masing-masing faktor produksi. Apabila harga-harga unit faktor produksi tersebut
dikalikan dengan kuantitas faktor produksi yang digunakan bersumber dari asumsi utilitas
(pendayagunaan) faktor produksi secara efisien (sehingga biayanya berada pada taraf
minimum), maka kita bisa menghitung total pembayaran atau pendapatan yang diterima oleh
setiap faktor produksi tersebut. Sebagai contoh, penawaran dan permintaan terhadap tenaga
kerja diasumsikan akan menentukan tingkat upah. Lalu, bila upah ini dikalikan dengan
seluruh tenaga kerja yang tersedia di pasar, maka akan didapat jumlah keseluruhan
pembayaran upah, yang terkadang disebut dengan istilah tersendiri, yakni total pengeluaran
upah (total wage bill).

Peraga 3 memberikan ilustrasi sederhana tentang teori distribusi tradisional mengenai


pendapatan fungsional. Dalam peraga tersebut, diasumsikan bahwa hanya terdapat 2 faktor
produksi saja, yaitu modal dan persediaanya dianggap tetap atau buku, dan tenaga kerja, yang
merupakan satu-satunya faktor produksi variabel (kuantitasnya biasa mengalami peruahan
setiap saat). Berdasarkan asumsi pasar yang kompetitif, permintaan terhadap tenaga kerja
akan ditentukan oleh produksi marjinal tenaga kerja yang bersangkutan (yang artinya
tambahan tenaga kerja akan terus direkrut sampai suatu titik dimana nilai produksi
marjinalnya sama dengan upah riil mereka). Namun, sesuai dengan prinsip produk marjinal
yang semakin menurun(diminishing marginal produk), permintaan terhadap tenaga kerja
merupakan suatu fungsi yang negatif terhadap jumlah tenaga kerja. Artinya semakin lama
jumlah tenaga kerja yang diminta akan semakin sedikit.

Kurva permintaan terhadap tenaga kerja dengan kemiringan yang negatif itu
diperlihatkan oleh garis DL pada peraga 3. Kemudian jika dipadukan dengan kurva
penawaran tenaga kerja tradisional neoklasik yang mempunyai kemiringan positif , yakni SL,
maka akan diperoleh tingkat upah ekuilibrium sebesar WE dan tingkat ekuilibrium tenaga

7
kerja sebesar LE. Output nasional total (yang sama dengan pendapatan nasional total) diwakili
oleh luas bidang ORELE, Pendapatan nasional tersebut akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu
OWEELE untuk tenaga kerja dalam bentuk upah, dan sisanya WERE, yang merupaka laba si
pemilik (imbalan yang diperoleh oleh pemilik modal). Karena itu dalam perekonomian pasar
kompetitif yang memiliki fungsi produksi dengan skala pengembalian yang tetap (constan
return to scale), dimana jika semua input digandakan, maka output pun akan berlipat dua,
harga masing-masing faktor produksi akan ditentukan oleh kurva penawaran dan permintaan
terhadap faktor yang bersangkutan, dan himpunan segenap faktor produksi itulah yang akan
membentuk total produksi nasional.

Peraga 3: Distribusi Pendapatan Fungsional dalam Sebuah Perekonomian Pasar, satu ilustrasi.

Pendapatan didistribusikan menurut fungsinya, sehingga tenaga kerja menerima


upah, pemilik tanah menerima sewa, dan pemilik modal menerima laba. Ini merupakan
sebuah teori yang rapi dan logis, karena setiap faktor menerima pembayaran atau pendapatan
sesuai dengan kontribusi mereka pada output nasional, tidak lebih dan tidak kurang.

Sayangnya, relevansi teori fungsional menjadi kurang tajam karena tidak


memperhitungkan pentingnya peranan dan pengaruh kekuatan-kekuatan di luar pasar yang
menentukan harga faktor-faktor produksi ini . Misalnya, peran kekuatan tawar menawar
secara kolektif antara pihak pengusaha dan serikat-serikat buruh dalam menentukan upah di
sektor modern, dan kekuatan para monopolis serta para pemilik tanah yang kaya yang mampu
memanipulasi harga modal, tanah dan outputnya demi keuntungan pribadi.

8
II.3 ANALISA MENGENAI KEBIJAKAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Distribusi pendapatan adalah suatu keadaan yang mencerminkan merata atau


timpangnya pembagian hasil suatu negara di kalangan penduduknya. Para ekonom pada
umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan. Keduanya digunakan untuk
tujuan analisis dan kuantitatif tentang keadilan distribusi pendapatan. Kedua ukuran tersebut
adalah distribusi pendapatan ukuran dan fungsional. Distribusi fungsional merupakan pangsa
distribusi pendapatan per faktor produksi (functional or factor share distribution of income)
berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing
faktor produksi Distribusi pendapatan ukuran adalah besar atau kecilnya bagian pendapatan
yang diterima masing masing orang. Ukuran ini menghitung jumlah pendapatan yang
diterima oleh setiap individu tanpa melihat sumbernya.

Pilihan kebijaksanaan berikut ini berlaku untuk mengubah/memperbaiki distribusi


pendapatan dan sekaligus memerangi kemiskinan. Ada beberapa pilihan, yakni:

1. Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang


khusus dirancang untuk mengubah harga-harga relatif faktor produksi. Kebijaksanaan
ini dapat berupa:
a. Upah buruh, dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional
dan regional, seperti yang dilaksanakan di Indonesia. Pemerintah menentukan
tingkat upah minimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah yang
ditentukan di pasar bebas atas permintaan dan penawaran. Dengan kebijaksanaan
ini para investor menganggap buruh menjadi terlalu mahal dan mereka memilih
teknologi produksi yang hemat tenaga kerja. Bagian upah pada perekonomian
nasional menjadi lebih kecil, dan kemungkinan jumlah orang miskin menjadi
lebih besar.
b. Bunga modal, dilaksanakan dengan menentukan harga modal terlalu murah
dibandingkan dengan harga modal yang ditetapkan atas permintaan dan
penawaran. Ini bisa dikerjakan dengan, misalnya, pemberian kemudahan prosedur
investasi, keringanan pajak bagi pengusaha, subsidi tingkat bunga (tingkat bunga
yang lebih rendah untuk investasi), penetapan kurs valuta asing yang terlalu
tinggi, dan penurunan bea masuk bagi impor barang-barang modal seperti traktor
dan mesin-mesin otomatis relatif terhadap barang konsumsi.

9
Kiranya kita bisa simpulkan bahwa penghapusan distorsi harga faktor
produksi sangat bermanfaat dan penyesuaian harga memungkinkan satu negara
meraih pemerataan pendapatan dan sekaligus memperbaiki taraf hidup kaum
miskin, namun apa yang telah dikerjakan oleh Indonesia selama ini bertentangan,
sehingga distribusi pendapatan tetap dan malah makin timpang dan jumlah orang
miskin tetap dalam jumlah yang besar.

2. Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal ini
akan sangat tergantung pada distribusi kepemilikan aset (sumber daya atau faktor
produksi) di antara berbagai kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah,
modal finansial seperti saham dan obligasi, serta sumber daya manusia dalam bentuk
pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
Hal ini dilaksanakan melalui UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) 1960,
yang membatasi jumlah pemilikan tanah pertanian. Pajak dividen obligasi dan pajak
terhadap hasil (bagian laba) saham, berbagai jenis bea siswa dan bantuan sekolah
sampai perguruan tinggi, wajib belajar, dan asuransi kesehatan bagi rakyat
miskin. Cara lain dapat dilakukan melalui pemberian kredit komersial dengan bunga
pasar yang wajar (bukannya dengan bunga rentenir yang sangat tinggi) bagi para
wirausaha kecil (kredit ini bisa disebut pinjaman mikro seperti kredit usaha rakyat,
kredit usaha tani,dan sebagainya.
Akantetapi kebijakan-kebijakan pemerataan dan pengentasan kemiskinan ini
sering memerlukan kebijaksanaan pelengkap, tanpa kebijakan pelengkap tersebut
kebijaksanaan pemerataan dan pengentasan kemiskinan tidak bisa berjalan seperti apa
yang diharapkaan.

3. Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif. Satu
contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan perorangan dan badan
yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan, (akumulasi aset dan penghasilan)
merupakan pajak properti perorangan dan perusahaan yang bersifat progresif, yang
biasanya dikenakan kepada mereka yang kaya raya.

4. Pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa
publik. Transfer langsung dilaksanakan melalui BLT (bantuan langsung tunai)
kepada orang miskin yang berhak menerima. Penyediaan barang dan jasa publik
dilaksanakan melalui beras murah untuk orang miskin (raskin), penyediaan asuransi
kesehatan bagi golongan miskin (jamkesmas).

10
Meskipun pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai program pemerataan
distribusi dan program pengentasan kemiskinan seperti disajikan di atas, ternyata
ketimpangan distribusi masih belum memuaskan dan masih banyak jumlah orang miskin
yang luput dari program, di samping dalam jumlah yang tidak sedikit, sangat sulit untuk
menyaring orang-orang yang benar-benar tidak mampu dengan orang-orang yang sebenarnya
tidak berhak atas bantuan yang disediakan.

II.4 ANALISA MENGENAI KEMISKINAN DALAM ASPEK DATA DAN KEBIJAKAN

Kemiskinan

Yang dimaksud dengan kemiskinan di sini adalah penduduk miskin, yakni penduduk
yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Mereka hidup dibawah tingkat pendapatan rill minimum tertentu atau di bawah garis
kemiskinan international. Dimana garis tersebut tidak mengenal tapal batas atas negara, tidak
tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di satu negara, dan juga memperhitungkan
perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang
hidup kurang dari US$1 per hari dalam dolar paritas daya beli (ppp). Kemiskinan absolut
dapat dan memang terjadi di mana-mana, di Jakarta, di Bali, di Nusa Penida, di Medan,
walaupun kadarnya (dilihat dalam presentase terhadap jumlah penduduk) berbeda-beda dari
satu tempat ke tempat lainnya.

I. Mengukur Kemiskinan Absolut


Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau hitungan per kepala
(headcount), untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya berada di
bawah garis kemiskinan absolut (Yp). Ketika hubungan per kepala tersebut dianggap
sebagai bagian dari populasi total (N), kita akan memperoleh indeks per kepala
(headcount index), H/N. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu
konstan secara rill, sehingga kita dapat menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam
menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu.
Beberapa ekonom mencoba mengalkulasikan indikator jurang kemiskinan
(poverty gap) yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat
mereka yang masih dibawah garis kemiskinan ke atas garis itu. Pada peraga dibawah
ini, meskipun di negara A dan B, 50 persen penduduknya sama-sama masih berada di
bawah garis kemiskinan, namun jurang kemiskinan di A ternyata lebih besar daripada

11
yang ada di negara B. Dengan demikian negara A harus berusaha lebih keras guna
memerangi kemiskinan absolut penduduknya. Untuk mengetahui seberapa jauh
pendapatan kekompok miskin berada dibawah garis kemiskinan. Kekurangan
Pendapatan Total atau jurang kemiskinan (Total Poverty Gap = TPG) dari kaum
miskin didefinisikan sebagai berikut :

TPG = =
= (p Yi)

Kita juga dapat mempelajari ukuran keuangan pendapatan dalam hubungannya


dengan garis kemiskinan, sehingga kita dapat menggunakan jurang kemiskinan yang
dinormalisasi (normalized poverty gap = NPG) = APG/Y, sebagai ukuran kekurangan
pendapatan; ukuran ini berkisar antara nol dan satu, sehingga ukuran ini bermanfaat
jika kita menginginkan ukuran jurang tanpa unit, agar perbandingan antar negara atau
antar waktu bisa lebih baik.

Ada beberapa kriteria ukuran kemiskinan yang diinginkan, yang diterima secara luas
oleh para ekonom, yaitu prinsip-prinsip anonimitas, independensi populasi, monotonisitas,
dan sensitivitas distribusional.

1. Prinsip Anonimitas dan Indepedensi Populasi : Sangat mirip karakteristik yang


digunakan untuk membahas indeks ketimpangan. Ukuran cakupan kemiskinan tidak
boleh tergantung pada siapa yang miskin atau apakah negara tersebut mempunyai
jumlah penduduk yang banyak atau sedikit.
2. Prinsip Monotonisitas : Jika anda memberi sejumlah uang kepada seseorang yang
berada dibawah garis kemiskinan, jika semua pendapatan yang lain tetap, maka
kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Jika ukuran
kemiskinan selalu lebih rendah setelah pemberian transfer tersebut, sifat ini disebut
mempuyai monotonisitas yang kuat (strong monotonicity).
3. Prinsip Senstitivitas distribusional : Menyatakan bahwa, dengan semua hal lain
konstan, jika anda mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka
akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin.

Ukuran rasio headcount memenuhi syarat anonimitas, independensi populasi, dan


monotonisitas, namun gagal memenuhi syarat sensitivitas distribusional. Indeks kemiskinan
yang terkenal yang memenuhi ke empat kriteria di atas adalah indeks Send dan bentuk

12
tertentu dari Indeks Poster Greer-Thornbeck (FGT) yang sering disebut sebagai kelas P
dari ukuran kemiskinan. P dapat ditulis sbb :


=()
P = 1/N

Yi adalah pendapatan dari orang miskin yang ke i, Yp adalah garis kemiskinan dan N adalah
jumlah penduduk. Indeks Pa mempunyai bentuk yang berbeda-beda tergantung pada nilai .
Jika =0, maka pembilangnya sama dengan H dan ia menjadi sama rasio headcount H/N. jika
= 1 maka akan diperoleh jurang kemiskinan yang dinormalisasi. Jika =2 ukuran yang
dihasilkannya adalah
+ ( ) ( )
P2 = (H/N) { }

NPG= Normalized poverty gap = APG/Yp, CVp= koefisien variasi pendapatan antar kaum
miskin. Rumus P2 ini berisi ukuran CVp dan memenuhi keempat kriteria kemiskinan di atas.
Jelasnya P2 meningkat jika H/N, NPG, dan CVp meningkat. Ukuran kemiskinan P2 ini makin
banyak digunakan oleh Bank Dunia, bank pembangunan regional, sebagian besar lembaga
PBB, dan dalam penelitian empiris mengenai kemiskinan. Ukuran kemiskinan lain
diperkenalkan oleh UNDP yang dikenal dengan human Poverty index = HPI (indeks
kemiskinan manusia = IKM). UNDP yakin bahwa kemiskinan manusia harus diukur dalam
satuan hilangnya tiga hal utama (three key deprivations), yaitu:

Kehidupan (lebih dari 30 persen penduduk negara-negara yang paling miskin


cenderung bertahan hidup kurang dari 40 tahun)
Pendidikan Dasar (diukur oleh persentase penduduk dewasa yang buta huruf)
Keseluruhan ketetapan ekonomi ( yang diukur oleh presentase penduduk yang tidak
memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah dengan
presentase anak-anak di bawah usia 5 tahun yang kekurangan berat badan).

II. Cakupan Kemiskinan Absolut


Jumlah dan presentase penduduk miskin untuk 2009-2015, dan garis kemiskinan di
Indonesia untuk tahun 2011 sampai dengan 2012 disajikan dalam dua tabel berikut. Tabel
2.2

13
Tabel 2.3 Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin, 2011-2012

Beberapa faktor terkait penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin selama periode
Maret 2011Maret 2012 adalah:

1. Upah harian (nominal) buruh tani dan buruh bangunan meningkat selama periode
triwulan I-2011 dan triwulan I-2012, yaitu masing-masing sebesar 2,96 persen dan
4,81 persen.
2. Penerima beras murah/raskin (dalam 3 bulan terakhir) pada kelompok 20 persen
penduduk dengan pendapatan terendah meningkat dari 13,3 persen (tahun 2011)
menjadi 17,2 persen (tahun 2012) di perkotaan. Begitu juga di daerah perdesaan
terjadi peningkatan dari 13,3 persen menjadi 17,2 persen (berdasarkan data Susenas
2011 dan Susenas 2012).

14
3. Penerima pelayanan kesehatan gratis selama 6 bulan terakhir (pada 20 persen
penduduk dengan pendapatan terendah) meningkat dari tahun 2011 ke tahun 2012
(4,6 persen menjadi 5,6 persen) di perkotaan. Hal yang sama juga terjadi di daerah
perdesaan, penerima pelayanan kesehatan gratis di kelompok tersebut meningkat dari
3,9 persen pada tahun 2011 menjadi 4,7 persen pada tahun 2012 (berdasarkan Susenas
2011 dan Susenas 2012).
4. Selama periode Maret 2011Maret 2012 inflasi umum relatif rendah, yaitu sebesar
3,97 persen.
5. Perbaikan penghasilan petani yang ditunjukkan oleh kenaikan NTP (Nilai Tukar
Petani) sebesar 1,32 persen dari 103,32 pada Maret 2011 menjadi 104,68 pada Maret
2012.
6. Perekonomian Indonesia triwulan I-2012 tumbuh sebesar 6,3 persen terhadap triwulan
I-2011, sedangkan pengeluaran konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,9 persen
pada periode yang sama (pertumbuhan pada tahun 2011 hanya mencapai 3,6 persen).
7. Dari sisi ukuran subyektif (subjective measurement), persentase rumah tangga di
kuantil terbawah (20 persen penduduk dengan pendapatan terendah) yang menyatakan
bahwa penghasilannya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari dalam sebulan
terakhir meningkat dari 8,1 persen (tahun 2011) menjadi 12,4 persen (tahun 2012) di
daerah perkotaan. Di daerah perdesaan meningkat dari 8,5 persen (tahun 2011)
menjadi 11,0 persen (tahun 2012).

Sumber : Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi BPS, Edisi 27, Agustus 2012

III. Karakteristik Ekonomi Kelompok Masyarakat Miskin


Perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang
sangat tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah. Pada tingkat
distribusi pendapatan tertentu, semakin tinggi pendapatan per kapita yang ada, maka akan
semakin rendah jumlah kemiskinan absolut. Akan tetapi sebagaimana telah diungkapkan,
tingginya tingkat pendapatan per kapita tidak menjamin lebih rendahnya tingkat
kemiskinan absolut. Namun gambaran kemiskinan absolut secara garis besar saja tidaklah
cukup. Diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai siapa yang termasuk
dalam kelompok miskin, dan apa saja karakteristik mereka.
Kemiskinan di Pedesaan dan daerah pantai. Mereka pada umumnya bertempat
tinggal di daerah-daerah pedesaan dan pantai, dengan mata pencaharian pokok di bidang-
bidang pertanian, perikanan, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat hubungannya

15
dengan sektor ekonomi tradisional (biasanya dilakukan secara bersama-sama), mereka
kebanyakan wanita dan anak-anak daripada laki-laki dewasa, dan mereka sering
berkonsentrasi di antara kelompok etnis minoritas dan penduduk pribumi. Walaupun
sebagian besar kelompok penduduk miskin bertempat tinggal di daerah-daerah pedesaan,
khususnya desa tertinggal, dan pantai, sebagian besar dari pengeluaran pemerintah justru
lebih tercurah ke daerah-daerah perkotaan dan berbagai sektor ekonominya yakni sektor-
sektor manufaktur modern dan sektor komersial.
Di Indonesia, nelayan ikan sangat miskin dibandingkan dengan petani. Hal ini
disebabkan karena nelayan tidak punya tanah dan proses produksinya tidak bersifat
cultivation, seperti halnya di pertanian. Pendapatan nelayan setiap hari sangat tergantung
pada berapa jumlah ikan yang ia bisa tangkap di laut dan jual di pasar pada hari itu.
Ditambah lagi, industry ikan di Indonesia tidak berkembang seperti industri-industri
pengolahan komoditas-komoditas pertanian. Dengan demikian, di Indonesia nilai tambah
produk pertanian jauh lebih tinggi daripada nilai tambah dari produk-produk ikan. Dilihat
pada status pekerjaan kepala rumah tangga miskin sebagai buruh, di pedesaan buruh di
sektor pertanian paling dominan. pada umumnya buruh-buruh pertanian tidak memiliki
tanah sendiri. Mereka disebut sebagai petani gurem, yang merupakan golongan termiskin
dari kelompok tani. Mereka mengerjakan tanah milik petani golongan sedang atau besar
berdasarkan upah harian, atau profit sharing. Sedangkan di perkotaan, sebagian besar dari
rumah tangga buruh miskin mempunyai sumber penghasilan utama di sektor industry,
bangunan, dan jasa.
Kenapa sektor pertanian merupakan pusat kemiskinan di Indonesia. Ada 3 faktor
penyebab utama:
1. Tingkat produktivitas yang rendah disebabkan karena jumlah pekerja di sektor
tersebut terlalu banya, sedangkan tanah, kapital, dan teknologi terbatas dan tingkat
pendidikan petani yang rata-ratanya sangat rendah.
2. Daya saing petani atau dasar tukar domestik (terms of trade) antar komoditas
pertanian terhadap komoditas industry semakin lemah. Perbedaan harga ini
disebabkan antara lain oleh perbedaan nilai tambah antara hasil pertanian dan hasil
industri serta tata niaga yang lebih menguntungkan produsen di sektor industry.
3. Tingkat diversifikasi usaha di sektor pertanian ke jenis-jenis komoditas bukan bahan
makanan yang memiliki prospek pasar (terutama ekspor) dan harga yang lebih baik
masih sangat terbatas.

16
Kaum Wanita dan Kemiskinan. Mayoritas penduduk miskin di dunia dan di
Indonesia adalah kaum wanita. Bahwa di hampir semua tempat dalam standar hidup
penduduk miskin adalah kaum wanita beserta anak-anak. Merekalah yang paling
menderita kemiskinan serta kekurangan gizi, dan mereka pula yang paling sedikit
menerima pelayanan kesehatan, air bersih, dan berbagai bentuk jasa sosial yang lainnya.
Penyebab terjadinya fenomena yang amat memprihatinkan tersebut antara lain: Banyak
wanita yang menjadi kepala rumah tangga, rendahnya kesempatan dan kapasitas mereka
dalam memiliki pendapatan sendiri, serta terbatasnya kontrol mereka terhadap penghasila
suami, akses kaum wanita ternyata juga sangat terbatas untuk memperoleh kesempatan
menikmati pendidikan, pekerjaan yang layak di sektor formal, berbagai tunjangan sosial,
dan program-program penciptaan lapangan kerja yang dilancarkan oleh pemerintah.
Kenyataan ini mempersempit sumber-sumber keuangan bagi mereka, sehingga posisi
mereka secara finansial kurang stabil apabila dibandingkan dengan kaum pria.

Etnik Minoritas, Penduduk Pribumi dan Kemiskinan. Hampir semua negara


berkembang, tidak terkecuali di Indonesia, Kemiskinan banyak diderita oleh etnik
minoritas dan penduduk pribumi. Mereka seringkali mengalami berbagai bentuk
diskriminasi sosial, politik, maupun ekonomi yang serius. Konflik-konflik domestik dan
bahkan perang saudara bersumber dari persepsi berbagai kelompok etnik yang
menganggap bahwa mereka tersisih dalam persaingan memperebutkan sumber daya dan
lapangan kerja yang terbatas. Penduduk pribumi bahkan menderita kemiskinan yang lebih
parah lagi dibandingkan etnik minoritas.

IV. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan


Tidak sulit mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi sangat sulit
menentukan mana yang merupakan penyebab sebenarnya serta mana yang berpengaruh
langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan. Sebagai contoh : sering
dikatakan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang rendah.
Sekarang ini, seseorang hanya dengan pendidikan SD akan sangat sulit mendapatkan
pekerjaan, terutama di sektor modern (formal) dengan pendapatn yang baik. Akan tetapi,
pertanyaannya adalah: apakah tingkat pendidikan yang rendah itu adalah penyebab
utama/sebenarnya? Apabila banyak orang di Indonesia hanya berpendidikan SD karena
orang tua mereka tidak sanggup membiayai pendidikan lanjutan, maka jelas penyebab

17
sebenarnya adalah masalah biaya atau lebih tepatnya lagi disebabkan oleh kemiskinan
(orang tua mereka). Kalau ditelusuri lebih lanjut lagi : kenapa orang tua mereka miskin
dan jawabannya juga Karena pendidikannya rendah? Jadi terdapat semacam lingkaran
setan (vicious circle) dalam masalah timbulnya kemiskinan.
Apabila dipertanyakan apakah memang karena pendidikannya rendah maka seseorang
jadi miskin? Coba kita bandingkan dengan di negara-negara industry maju, misalnya
Eropa Barat atau Amerika Serika, seorang montir mobil dengan pendidikan kejuruan
yang setingkat dengan tamatan SMA atau Diploma jauh lebih makmur dibandingkan
dengan rekannya dengan keahlian yang sama di Indonesia. Ini berarti, penyebabnya
bukan hanya karena pendidikan yang rendah, melainkan karena upah yang rendah. Dan
selanjutnya juga disebabkan oleh sejumlah faktor lainnya, termasuk sistem penghargaan
(rewarding) yang kurang baik, dan kinerja yang buruk. Di Eropa Barat atau Amerika
Serikat, setiap jenis pendidikan atau keahlian sudah mempunyai bidang kegiatan (sektor
atau subsektor) sendiri dan mendapat penghargaan yang baik sesuai dengan jenis
pekerjaan. Sedangkan di Indonesia, banyak bengkel mobil atau motor berupa kegiatan
informal dengan upah yang rendah.
V. Pertumbuhan dan Kemiskinan
Banyak yang berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat berakibat buruk kepada
kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perusahaan struktural
pertumbuhan modern. Disamping itu terdapat pendapatan yang santer terdengar di
kalangan pembuat kebijakan bahwa pengeluaran publik yang digunakan untuk
menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk
mempercepat pertumbuhan. Terdapat 5 alasan mengapa kebijaksanaan yang ditunjukan
untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan.
1. Kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak
mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan
anaknya, dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter, mempunyai
banyak anak sebagai sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti
2. Akal sehat yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru, menyaksikan
fakta bahwa, tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh negara-negara yang
sekarang sudah maju, kaum kaya di negara-negara miskin sekarang tidak dikenal
karena hematnya atau hasrat mereka untuk menabung atau menginvestasikan bagian
yang besar dari pendapatan mereka di dalam perekonomian negara mereka sendiri.

18
3. Pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh golongan
miskin, yang tercemin dari kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah, dapat
menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya secara langsung maupun
tidak langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat. Strategi yang ditujukan
untuk meningkatkan pendapatan dan standar hidup golongan miskin tidak saja akan
memperbaiki kesejahteraan mereka. Akan tetapi juga akan meningkatkan
produktivitas dan pendapatan seluruh perekonomian.
4. Peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan
permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanna dan
pakaian, secara menyeluruh. Sementara golongan kaya cenderung membelanjakan
sebagian besar pendapatannya untuk barang-barang mewah impor. Meningkatkan
permintaan untuk barang-barang buatan lokal memberikan rangsangan yang lebih
besar kepada produksi lokal, memperbesar kesempatan kerja lokal, dan
menumbuhkan investasi lokal. Permintaan seperti ini akan menciptakan kondisi bagi
pertumbuhan ekonomi yang cepat dan partisipasi rakyat banyak di dalam
partumbuhan itu.
5. Penurunan kemiskinan secara massal dapat menstimulasi ekspansi ekonomi yang
lebih sehat karena merupakan insentif materi dan psikologi yang kuat bagi meluasnya
partisipasi publik dalam proses pembangunan. Sebaliknya, lebarnya kesenjangan
pendapatan dan besarnya kemiskinan absolut dapat menjadi pendorong negatif materi
dan psikologi yang sama kuatnya terhadap kemajuan ekonomi. Kondisi yang terakhir
bahkan dapat menciptakan penolakan masyarakat luas terhadap kemajuan dan
ketidaksabaran terhadap laju pembangunan atau terhadap kegagalan untuk mengubah
kondisi material mereka.

Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan penanggulangan


kemiskinan bukanlah tujuan yang saling bertentangan. Dengan kebijakan yang tepat,
golongan miskin dapat berpartisipai dan berkontribusi terhadap pertumbuhan, dan jika
mereka dapat melaksanakan hal tersebut, penurunan tingkat kemiskinan yang cepat akan
konsisten dengan pertumbuhan yang berkelanjutan.

19
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Distribusi pendapatan dapat digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang
keadilan distribusi pendapatan. Ada 2 jenis distribusi pendapatan, yakni distribusi ukuran dan
distribusi fungsional. Dari distribusi ukuran dapat dihitung koefisien kutnezs dan koefisien
Gini yang biasa dipakai di Indonesia, serta kurva Lorens juga dipakai untuk mengukur
keadilan pembagian pendapatan nasional, tetapi tidak digunakan di Indonesia. Distribusi
pendapatan fungsional adalah suatu ukuran yang berfokus pada bagian dari pendapatan
nasional total yang diterima masing-masing faktor produksi.

Penduduk miskin adalah mereka yang hidup dibawah tingkat pendapatan riil
minimum tertentu, atau dibawah garis kemiskinan internasional. Ada beberapa cara ntuk
mengukur kemiskinan di suatu negara, yakni menghitung jumlah penduduk miskin atau
hitungan per kepala(headcount), indeks per kepala , jurang kemiskinan total atau rata-rata ,
dan Indeks-Poster-Greer-Thornbeck(FGT).

20

Você também pode gostar