Você está na página 1de 9

MODIFIKASI PATI UMBI TALAS DENGAN HIDROLISIS ASAM SEBAGAI BAHAN PEREKAT

Yuniar, Martha Aznury, Sofiah, Meilianti


Staf Pengajar, Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya
Jalan Srijaya Negara Bukit Besar, Palembang 30139
email : yuniar@polsri.ac.id; martha_aznury@polsri.ac.id; sofiah@polsri.ac.id; meilianti@polsri.ac.id

ABSTRAK
Pemanfaatan Pati Umbi Talas sebagai bahan baku pembuatan perekat dilakukan dengan
menghidrolisis tepung Umbi Talas menjadi dekstrin menggunakan katalisator asam klorida (HCl).
Variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian ini adalah temperatur dan waktu hidrolisis, variasi
temperatur 800C, 1000C, 1200C dan 1400C serta waktu 10, 20 dan 30 menit. sehingga dengan
adanya variasi suhu dan waktu maka dapat mempengaruhi sifat dekstrin yang dihasilkan. Parameter
analisis yaitu swelling power, kelarutan, dextrose equivalnt (DE) dan kadar airnya. Pati talas hidrolisis
tersebut selanjutnya ditambahkan dengan natrium bikarbonat (NaHCO3), dan larutan formaldehid
(CH2O). Campuran tersebut kemudian ditambahkan dengan air dan dipanaskan pada temperatur
600C hingga membentuk campuran yang homogen. Setelah Perekat Dekstrin terbentuk dilanjutkan
dengan menganalisis daya rekat dari Perekat Dekstrin yang dihasilkan. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa kondisi optimum perekat berada pada suhu 800C dan waktu hidrolisis 30 menit
dan hasil analisa mempunyai nilai swelling power 2,27, kelarutan 1,7%, dextrose equivalent 3,523%,
kadar air 14% dan daya rekat 283,84 N/cm2.

Kata kunci: Umbi Talas, Hidrolisis Asam, perekat, dekstrin, Daya Rekat.

PENDAHULUAN
Talas merupakan salah satu tanaman yang mengandung kadar pati yang tinggi pada bagian umbinya. Kadar
pati dalam 100 gram umbi talas sebesar 67,42 % terdiri atas amilosa sebesar 2,25% dan amilopektin sebesar
65,17% (Syamsir, 2012). Kandungan amilopektin yang tinggi pada pati talas merupakan salah satu alasan
mengapa pati talas dijadikan sebagai bahan baku pembuatan perekat. Dibandingkan dengan pati lain pati talas
mempunyai kelebihan diantaranya ketersediaannya berlimpah dan harganya lebih murah di banding dengan pati
lain yang mempunyai kadar amilopektin yang tinggi seperti ketan yang mempunyai kadar amilosa 0,56% dan
amilopektin 62,75% ataupun tepung tapioka yang mempunyai kadar amilosa 5,26% dan amilopektin 60%
(Imanningsih, 2012). Selain itu, tepung talas memiliki ukuran granula yang kecil, yaitu sekitar 0,5-5 m
sedangkan tepung ketan 5 m dan tepung tapioka 20 m (Swinkles, 1985). Ukuran granula yang kecil dapat
membantu efektifitas pada proses homogenisasi pembuatan perekat. Penelitian ini akan membahas proses
modifikasi pati umbi talas dengan proses hidrolisis meggunakan Asam Klorida (HCl) dimana produk yang
dihasilkan akan digunakan sebagai bahan perekat dektrin, sehingga meningkatkan nilai guna bagi umbi talas.
Hidrolisis pati terjadi antara suatu reaktan pati dengan reaktan air. Reaksi hidrolisis pati bertujuan untuk
memotong suatu ikatan polimer sakarida dalam pati dengan bantuan suatu senyawa tertentu sebagai katalis, pada
penelitian ini menggunakan HCl sebagai katalis. Perbedaan waktu hidrolisis akan menyebabkan jumlah pati
yang termodifikasi juga berbeda. Makin lama waktu hidrolisis makin besar persentase pati yang berubah menjadi
gula pereduksi. Hal ini dapat dilihat dari harga DE yang semakin tinggi (Griffin dan Brooks, 1989).
Perekat yang terbuat dari tepung kebanyakan berasal tumbuh-tumbuhan seperti: jagung, kentang,
singkong, sagu, gandum, beras, kedelai. Pada umumnya pengolahan tepung secara kimiawi memiliki unsur yang
sama yaitu selulosa (C6H10O5)n. Bila tepung diproses secara hidrolisa, amilase mengubah sifat dirinya menjadi
koloidal dan kemudian terbentuk pasta. Sifat ini disebut gelatinisasi, yang terbentuk karena kenaikan suhu
sehingga memberikan sifat lengket pada permukaan bahan. Dekstrin dari pati dapat digunakan sebagai perekat
kayu, perekat tersebut dibuat dari hidrolisis tepung talas dengan HCl, kemudian ditambahkan NaHCO 3 dan
penambahan formalin sebagai bahan pengeras (Lubis, 2012). Memperbesar temperatur akan mengakibatkan
reaksi berlangsung lebih cepat, namun pada batas tertentu dapat menyebabkan perekat dapat berkurang
kekuatannya. Menurut Hartomo dkk. (1984), batas wajar untuk kebanyakan perekat adalah sekitar 70oC.
Di lndonesia sampai saat ini masih menggunakan perekat sintetik seperti urea formaldehida, fenol
formaldehida dan melamin formaldelhida yang diperoleh dari minyak bumi, sehingga dengan adanya perekat
berbahan baku alami diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pembuatan perekat pada minyak bumi
yang jumlahnya semakin berkurang.
Dekstrin merupakan senyawa glukosa yang dihasilkan dari hidrolisisis pati dan tergantung pada
pemecahan rantai polisakarida (Agra dkk. 1979). Menurut (Kerr, 1970) bahwa untuk memperoleh dekstrin dari
pati dengan menggunakan katalis pada tekanan 1 atmosfer, suhu pemanasan berkisar antara 70-130 oC dan waktu
pemanasan antara 3-15 menit. Pembuatan perekat dari bahan baku Umbi Talas sangat prospektif untuk
dikembangkan, selain dari sisi harga yang murah juga pemanfaatannya dalam pembuatan produk masih sangat
minim. Selain itu ada beberapa alasan mengapa perekat alami atau perekat berbahan dasar dekstrin lebih baik
dibanding perekat sintetis atau perekat komersil yaitu: bahan baku yang melimpah dan murah harganya,
kualitasnya stabil, Adhesi ke selulosa dan substrat lain sangat baik, tidak larut dalam lemak dan minyak, tidak
beracun dan biodegradable, serta tahan panas . Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan Umbi Talas. Dekstrin yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang berbeda yang dipengaruhi
suhu dan waktu hidrolisis, dengan adanya variasi suhu dan waktu akan didapati kondisi optimum produk
dekstrin yang digunakan sebagai bahan perekat (Yunida dkk, 2006)

METODOLOGI
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan umbi talas, Asam klorida (HCl), Natrium bikarbonat (NaHCO 3), Formaldehid
(CHO), larutan Fehling A dan Fehling B, glukosa standar, Metilen blue air distilata. Alat yang digunakan yaitu
gelas kimia, erlenmeyer, buret, water batch, spatula, pengaduk, labu leher tiga, labu ukur, gelas ukur, pipet
ukur,bola karet, kaca arloji, tabung reaksi, neraca analitik, oven, desikator, Shear stress testing machine, ayakan
200 mesh dan centrifuge
Persiapan Bahan Baku Pati Talas
Umbi Talas dikupas dari kulitnya, dan dicuci sampai bersih. Merendam umbi talas dengan air garam
selama 24 jam untuk menghilangkan rasa gatal pada umbi talas. Umbi talas yang sudah direndam dipotong
kecil-kecil kemudian ditiriskan. Umbi talas kemudian diparut sehingga terbentuk bubur halus dan ditambahkan
air distilata 1/3 bobot nya kemudian disaring dengan kain flanel diperas sampai air nya habis, diulangi sampai
didapat perasan yang jernih. Campuran diendapkan selama 24 jam, setelah mengendap cairan di atasnya yang
jernih dibuang sehingga diperoleh endapan pati. Kemudian endapan dikeringkan di dalam oven pada suhu 40 0C
selama 24 jam. Pati kering yang didapat dihaluskan dan diayak dengan ukuran 80 mesh.
Proses Modifikasi Pati Talas dengan Hidrolisis Asam
Sebanyak 40 gram pati talas di hidrolisis dengan cara dimasukkan kedalam cawan poreselin dan
menambahkan katalis asam klorida 0,6 N sebanyak 20 ml, tepung dipanaskan pada suhu yang di variasikan
(800C, 1000C, 1200C, 1400C) sedangkan waktu reaksi divariasikan selama 0, 10, 20, 30 menit. Setelah
mengalami proses hidrolisis tepung akan berubah warna menjadi abu-abu atau kecoklatan, hasil hidrolisis di
cuci dengan air setelah itu di keringkan pada suhu kamar dan di haluskan. Selanjutnya Natrium Bikarbonat
sebanyak 0,025 gram dan larutan formaldehid sebanyak 2 ml ditambahkan dengan 20 gram dekstrin hasil
hidrolisis, dan air dingin, kemudian diaduk hingga membentuk pasta. Campuran tersebut ditambahkan kembali
dengan air dan dipanaskan pada suhu 60 0C kemudian diaduk hingga campuran homogen. Parameter analisis
kadar air, uji kelarutan, swelling power dan kadar dekstrin, sedangkan untuk perekat yaitu uji kekuatan geser
perekat
Prosedur Analisis
1. Analisis Swelling Power
Sebanyak 0,1 gr pati hidrolisis dilarutkan dalam 10 ml aquadest. Larutan dipanaskan dalam water batch
60oC selama 30 menit dengan pengadukan kontinyu. Centrifuge larutan dengan kecepatan 2500 rpm selama 15
menit. Pasta dipisahkan dari supernatantnya dan menimbang berat pastanya. Perhitungan
Swelling Power = Error: Reference source not found
2. Analisis Kelarutan
Sebanyak 1 gr pati hidrolisis dilarutkan dalam 20 ml aquadest. Larutan dipanasakan dalam water batch
60oC selama 30 menit dengan pengadukan kontinyu. Centrifuge larutan dengan kecepatan 3000 rpm selama 20
menit. Supernatant diambil 10 ml lalu dikeringkan di oven 105 oC. Supernatannya yang telah kering ditimbang.
Perhitungan :
% Solubility = Error: Reference source not found
3. Analisis Kadar Glukosa
Sampel hasil hidrolisis sebanyak 2,5 gram dilarutkan dalam 25 ml aquadest. Larutan diaduk kemudian
disaring, filtrat hasil penyaringan ditambahkan 5 ml fehling A dan 5 ml fehling B kemudian ditrasi dengan
glukosa standar dalam keadaan mendidih. Menambahkan indikator metilen blue sebanyak 2-4 tetes. Titrasi
dihentikan ketika telah terjadi perubahan warna dari biru ke merah. Perhitungan :
Glukosa bebas (A) = M x 50 / (m x 5) x (v1-v2) x C
Glukosa Total (B)= M x 50 / (m x 5) x (v1-v2) x C
Dimana : M = berat hasil proses setelah dipanaskan
m = berat hasil yang di analisa
v1 = volume glukosa std. Untuk menitrasi fehling
v2 = volume glukosa std. Utk menitrasi fehling &hasil
C = konsentrasi glukosa std.
% Dekstrin = Error: Reference source not found
4. Analisis Kadar Air
Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan dinginkan dalam desikator
selama 10 menit kemudian ditimbang. Menimbang 5 gram sampel pati yang telah terhidrolisis. Memasukkan
sampel yang berada pada cawan ke dalam oven selama 15 menit, hindarkan cawan kontak dengan dinding
oven. Mendinginkan cawan dan sampel kedalam desikator, setelah dingin menimbang berat sampel dan cawan
setelah mengalami proses pemanasan. Mengulangi prosedur hingga mencapai berat konstan, selisih antara
berat sampel sebelum dan sesudah dipanaskan merupakan jumlah kandungan uap air yang teruapkan.
Perhitungan :
% Air = Error: Reference source not found
5. Penentuan Daya Rekat Lem Dekstrin
Mengoleskan perekat dekstrin pada kayu dengan luas olesan 2,5 x 2,5 cm 2. Merekatkan ujung-uung
kayu pada alat shear stress testing machine. Mencatat gaya yang bekerja pada saat pengujian daya rekat lem
dekstrin. Perhitungan :
Kekuatan geser perekat (S) = Error: Reference source not found

PEMBAHASAN
Pengaruh Temperatur dan Waktu Hidrolisis terhadap Swelling Power
Swelling Power atau daya kembang pati didefinisikan sebagai pertambahan volume dan berat maksimum
pati dalam air, bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak
(Armiati, 2015). Swelling power adalah kekuatan tepung untuk mengembang. Faktor-faktor yang mempengaruhi
antara lain: perbandingan amilosa dan amilopektin, panjang rantai dan distribusi berat molekul (Haryani, 2015).
Semakin tinggi swelling power maka kemampuan pati untuk menyerap air akan semakin tinggi. Peningkatan
suhu dan lamanya waktu pemanasan akan berpengaruh terhadap nilai swelling power pati yang dihasilkan.
Berdasarkan analisa yang dilakukan terhadap beberapa variasi temperatur dan waktu hidrolisis dapat
dilihat pengaruhnya terhadap nilai swelling power pada gambar 1.

Gambar 1. Pengaruh Temperatur dan Waktu terhadap Swelling Power

Gambar 1 menunjukkan bahwa pati kontrol yang mempunyai nilai swelling power 1,23 akan mengalami
peningkatan nilai swelling power setelah dimodifikasi. Gambar 1 memberikan informasi bahwa ketika suhu naik
dari suhu 800C ke 1000C swelling power akan meningkat, dan akan semakin meningkat ketika suhu dinaikkan
dari suhu 1000C menjadi 1200C, tetapi ketika suhu dinaikkan dari 1200C ke suhu 1400C akan terjadi penurunan
swelling power. Hal ini juga terjadi pada waktu hidrolisis 20 dan 30 menit. Ini disebabkan oleh adanya pengaruh
suhu, Haryanti (2014) menyatakan bahwa semakin tinggi temperatur mengakibatkan nilai swelling power
bertambah. Kenaikan suhu dari 800C ke 1000C akan meningkatkan kereaktifan HCl sebagai katalis, peningkatan
suhu pemanasan pati mengakibatkan kadar amilopektin meningkat, amilopektin berada pada daerah amorf
granula pati. Rahman (2007) menyatakan daerah amorf merupakan daerah yang renggang sehingga mudah
dimasuki air, semakin banyak amilopektin pada pati maka daerah renggang akan semakin luas sehingga
penyerapan air akan semakin besar. Begitu juga pada kenaikan suhu dari 100 0C ke 1200C, ketika kenaikan suhu
dari 1200 C ke 1400C akan terjadi penurunan, hal ini desebabkan karena ketika pemanasan dilakukan pada suhu
diatas 1200C maka HCl sebagai katalis akan menguap, dimana titik didih dari HCl adalah 120 0C Mastuti (2010),
sehingga kemampuan pati untuk memproduksi amilopektin akan berkurang, berkurang nya kadar amilopektin
mengakibatkan nilai swelling power akan berkurang. Selain terjadi penguapan pada katalis, suhu yang terlalu
tinggi juga akan dapat merusak struktur dari pati itu sendiri. Menurut persamaan Arhenius, semakin tinggi suhu
reaksi makin cepat pula jalannya reaksi, yang berarti semakin tinggi pula kecepatan produk terbentuk. Reaksi
Hidrolisis pati :
(C6H10O5)n + nH2O nC6H12O6
Menurut Mastuti (2010) jika hidrolisis berlangsung pada suhu yang terlalu tinggi konversi akan menurun.
Hal ini disebabkan adanya amilopektin yang pecah menjadi arang (warna larutan hasil semakin tua). Gambar 1
memberikan informasi bahwa selain suhu, waktu juga berpengaruh terhadap nilai swelling power. Hal ini dapat
dilihat bahwa nilai swelling power pada suhu 800C ke 1000C dan suhu 1000C ke 1200C akan mengalami
peningkatan seiring bertambahnya waktu, sedangkan pada 120 0C dan 1400C akan menurun ketika waktu
hidrolisis bertambah. Menurut Mastuti (2010) Semakin lama waktu hidrolisis, konversi yang dicapai semakin
besar sampai pada batas waktu tertentu akan diperoleh konversi yang relatif baik dan apabila waktu tersebut
diperpanjang, pertambahan konversi kecil. Dari pengaruh suhu dan waktu ini didapati kondisi optimum untuk
nilai swelling power tertinggi adalah pada suhu 1200C dan waktu 10 menit yaitu 2,99. Berdasarkan hasil
penelitian nilai swelling power untuk dekstrin adalah 3,629 5,966. Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai
swelling power yang dihasilkan lebih rendah dari penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan karena proses
hidrolisis pada penelitian Pangesti dkk (2014) menggunakan panas lembab (Heat Moisture Treatment) yang
lebih terjaga suhunya, sedangkan penelitian ini proses hidrolisis hanya menggunakan hotplate.
.
Pengaruh Temperatur dan Waktu Hidrolisis terhadap Kelarutan
Kelarutan adalah kemampuan suatu zat tertentu (solute), untuk larut dalam suatu pelarut. Kelarutan
suatu zat merupakan jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut. Dalam hal ini zat terlarut
berupa pati akan dilarutkan dalam sejumlah volume tertentu air. Zat-zat tertentu dapat larut dengan perbandingan
apapun terhadap suatu pelarut, contohnya adalah etanol di dalam air. Semakin banyak jumlah padatan yang dapat
dilarutkan oleh air maka nilai kelarutan nya akan semakin tinggi. Peningkatan suhu dan waktu selama proses
hidrolisis akan berpengaruh terhadap produk pati termodifikasi. Gambar 2 dibawah ini dapat dilihat pengaruh
temperatur dan lamanya waktu hidrolisis terhadap nilai kelarutan pada produk dekstrin .
Dekstrin merupakan hasil hidrolisis pati menjadi gula oleh panas, asam atau enzim. Hidrolisis bertujuan
untuk mengurangi panjang struktur rantai pada pati, pengurangan panjang rantai tersebut akan menyebabkan
perubahan sifat dimana pati yang tidak mudah larut dalam air diubah menjadi dekstrin yang mudah larut.
Dekstrin bersifat sangat larut dalam air panas atau dingin, dengan viskositas yang relatif rendah (Tyanjani dan
Yunianta, 2015).

Gambar 2. Pengaruh Temperatur dan Waktu terhadap Kelarutan

Gambar 2 menunjukkan bahwa pati kontrol mempunyai kelarutan 0,72% akan mengalami peningkatan
nilai kelarutan, pati awal mempunyai kelarutan 0,72%. Gambar 2 memberikan informasi bahwa kelarutan pati
berbanding lurus terhadap suhu, semakin tinggi suhu maka nilai kelarutan akan bertambah. Jika temperatur
dinaikkan, maka sesuai dengan azas Le Chatelier, jika proses pelarutan bersifat endoterm, maka kelarutannya
bertambah pada temperatur yang lebih tinggi. Jadi akibat proses hidrolisis yang membutuhkan panas ditambah
dengan kenaikkan suhu maka kelarutan pati akan bertambah, Sesuai dengan pernyataan Koswara (2006) bahwa
dibandingkan dengan pati aslinya pati termodifikasi mempunyai sifat yang berbeda salah satunya kenaikan
kelarutan dalam air panas. Menurut Cairns dkk (1990), hal ini disebabkan proses hidrolisis telah merusak granula
dan memecah rantai pati menjadi lebih pendek. Sehingga terjadi penurunan bobot jenis yang menyebabkan
proses melarut akan semakin cepat dan meningkatkan nilai kelarutan. Selain adanya pengaruh suhu terhadap
nilai kelarutan.
Gambar 2 juga menunjukkan adanya pengaruh waktu terhadap nilai kelarutan, semakin lama waktu
hidrolisis maka nilai kelarutan akan semakin tinggi, hal ini sesuai dengan pernyataan Utumphorn dkk (2010)
Hidrolisis pati menyebabkan ukuran molekul menurun sehingga kelarutan meningkat, semakin lama waktu
hidrolisis maka ukuran molekul semakin kecil sehingga kelarutan meningkat . Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Haryani (2015) pati termodifikasi asam mempunyai kelarutan antara 0,5-4 %, hal ini
menunjukkan bahwa nilai kelarutan pada penelitian ini lebih rendah dibanding penelitian yang dilakukan oleh
Haryani (2015). Dari penelitian ini nilai kelarutan tertinggi adalah 1,86% pada kondisi suhu 140 0C dengan waktu
30 menit. Berdasarkan SNI 01-2593-1992, kelarutan dekstrin minimal 97%. Penelitian ini menunjukkan bahwa
kelarutan dekstrin jauh dibawah standar. Hal ini disebabkan suhu pemanasan yang kurang tinggi, sehingga panas
yang dihasilkan tidak mampu untuk merusak struktur granula pati lebih banyak lagi dan untuk menaikkan
kelarutannya.

Pengaruh Temperatur dan Waktu Hidrolisis terhadap Nilai DE


Dextrose Equivalent (DE) adalah besaran yang menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk
modifikasi pati dalam satuan persen. Semakin besar DE berarti semakin besar juga persentase pati yang
berubah menjadi gula pereduksi. Dextrose Equivalent (DE) berbanding terbalik dengan berat molekul rerata.
Banyaknya dekstrin yang dihasilkan meningkatkan Dextrose Equivalent (DE) produk. Dekstrin merupakan
produk dari hidrolisis tak sempurna pati menggunakan asam atau enzim. Menurut Dziedzic dan Kearsley
(1995) Dextrose Equivalent dapat dinyatakan dalam persentase 1-100%, dekstrin mempunyai nilai DE 1 13 %
dengan menggunakan asam atau enzim amilase. Faktor yang mempengaruh nilai Dextrose Equivalent (DE)
adalah lamanya hidrolisis, temperatur, jenis dan konsentrasi asam yang digunakan. Untuk mengetahui harga
DE, produk dekstrin yang dihasilkan di analisa dengan metode volumetrik (Woodman, 1941). Gambar 3
dibawah ini didapati pengaruh temperatur dan waktu hidrolisis terhadap nilai Dextrose quivalent yang
dihasilkan.
Gambar 3 didapati pada waktu hidrolisis 10 menit ketika suhu dinaikkan dari 80 0C ke 1000C akan terjadi
peningkatan nilai DE, ketika suhu naik dari 100 0C ke 1200C akan terjadi penurunan nilai DE, dan akan semakin
menurun ketika suhu naik dari 1200C ke 1400C, ini juga terjadi pada waktu hidrolisis 20 menit dan 30 menit. Hal
ini membenarkan pada pembuatan dekstrin, Tiap kenaikan suhu 10 0C, reaksi mengalami peningkatan aktivitas
50-100%, semakin tinggi suhu, reaksi mengalami peningkatan sehingga kecepatan pembentukan dekstrin
lebih besar dan Dextrose Equivalent (DE) meningkat tetapi ketika proses hidrolisis pada kondisi suhu yang
terlalu tinggi maka mengakibatka dekstrin yang terbentuk akan terurai menjadi glukosa sehingga nilai DE nya
menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kerr (1970) bahwa untuk memperoleh dekstrin dari pati dengan
menggunakan katalis asam pada tekanan 1 atmosfer, suhu pemanasan berkisar antara 70-130oC.
Pada waktu hidrolisis 20 menit didapati kadar DE pada suhu 80 0C adalah 3,523%, pada suhu 100 0C
adalah 3,750%, pada suhu 1200C adalah 3,577% dan pada suhu 1400C adalah 3,550%. Pada waktu hidrolisis 30
menit didapati nilai kelarutan pada suhu 800C adalah 3,523%, pada suhu 1000C adalah 4,599%, pada suhu 1200C
adalah 3,908% dan pada suhu 1400C adalah 3,875%. Dari gambar 3 selain adanya pengaruh suhu terhadap kadar
Dextrose Equivalnt waktu hidrolisis juga akan berpengaruh terhadap nilai DE.
Gambar 3 menunjukkan bahwa kenaikan waktu hidrolisis mengakibatkan nilai DE akan semakin
meningkat, hal ini disebabkan karena semakin lama waktu hidrolisis maka pati yang akan terkonversi menjadi
Dekstrin akan semakin banyak sehingga nilai Dextroese Equivalent nya pun akan semakin tinggi. hal ini sesuai
dengan pernyataan McPherson dan Seib (1997) bahwa selain kenaikan suhu, lama nya waktu hidrolisis juga
akan meningkatkan nilai DE nya. Menurut Kerr (1970) waktu optimal untuk proses hidrolisis pati dengan
menggunakan katalis asam pada tekanan 1 atmosfer, suhu pemanasan berkisar antara 70-130 oC dan waktu
pemanasan antara 3-30 menit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chafid (2010) dekstrin yang
dihasilkan dari proses hidrolisis mempunyai nilai Dextrose Equivalent berkisar antara 4-10 %. Dari penelitian
nilai DE tertinggi yang didapatkan adalah 4,599% pada kondisi suhu 1000C dengan waktu 30 menit.

0
Gambar 3. Pengaruh Temperatur dan Waktu terhadap Dextrose Equivalent

Berdasarkan penelitian Chafid (2010) nilai DE untuk dekstrin berkisar antara 4,69-10,23%, penlitian ini
menunjukkan bahwa nilai DE lebih rendah dibandingkan penelitian oleh Chafid (2010), hal ini di sebabkan
karena pada penelitian Chafid (2010) dilakukan penambahan enzim sebagai katalis pada proses hidrolisis
sedangkan pada penelitian ini hanya menggunakan katalis asam. Menurut SNI 01-2593-1992 nilai DE maksimal
untuk dekstrin adalah 5%, hal ini menunjukkan bahwa hasil dari penelitian ini termasuk kedalam standar karena
produk dekstrin yang dihasilkan mempunyai nilai DE 3,321-4,559 %.

Pengaruh Temperatur dan Waktu Hidrolisis terhadap Kadar Air


Air merupakan komponen penting dari dektrin, karena air dapat mempengaruhi sifat dari dektrin
tersebut. Pada penelitian ini analisis kadar air menggunakan metode oven kering. Prinsip dari metode oven
kering adalah mengeringkan sampel dalam oven 100 105 0C sampai bobot konstan dan selisih bobot awal
dengan bobot akhir merupakan jumlah dari kadar air yang terkandung dalam bahan tersebut. Tinggi nya suhu dan
lama nya proses hidrolisis akan mempengaruhi kadar air yang terkandung dalam produk dekstrin yang
dihasilkan. Dibawah ini dapat dilihat pengaruh suhu dan waktu terhadap kadar air yang terkandung dalam
dekstrin yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Pengaruh Temperatur dan Waktu terhadap Kadar Air

Gambar 4 memberikan informasi bahwa terjadi penurunan kadar air akibat pengaruh suhu, pati kontrol
mempunyai kadar air 16,5. Pada waktu 10 menit, ketika pati dimodifikasi pada suhu 80 0C kadar air nya adalah
14,85%, pada suhu 1000C kadar air 14,64%, pada suhu 1200C kadar air 14,64% dan pada suhu 1400C adalah
14,29%. Gambar 4.6 memberikan informasi bahwa semakin tinggi suhu hidrolisis maka kadar airnya akan
semakin menurun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Lubis (2012) bahwa
Pengukuran terhadap kadar air menunjukkan bahwa persentase air menurun dengan bertambahnya temperatur
hidrolisis. Hal ini dapat terjadi antara lain karena air lebih mudah menguap jika temperaturnya dinaikkan. Pada
waktu 20 menit dan 30 menit apabila suhu dinaikkan maka kadar air juga semakin menurun.
Berdasarkan SNI 01-2593-1992 tentang syarat mutu dekstrin kadar air yang terkandung didalam dekstrin
maksimal 11%. Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar air yang terkandung didalam dekstrin berkisar antara
10,78%-14,85%, berarti tidak memenuhi standar karena melebihi 11%, hal ini dapat disebabkan proses
pengeringan dektrin yang kurang lama sehingga kadar air yang terkandung didalam dekstrin masih terlalu tinggi.
Gambar 4 menunjukkan bahwa adanya pengaruh waktu terhadap kadar air, semakin lama waktu
pemanasan maka air akan semakin banyak teruapkan sehingga air yang dikandung menjadi lebih sedikit (Lubis,
2012). Kadar air merupakan salah satu indikator dalam memilih perekat yang baik. Sehubungan dengan perekat
yang bersifat termoplastis, jika terlalu kering dapat dijadikan basah, dengan menggunakan pelarut, atau
memanaskan sampai ke titik lelehnya. Spesimen perekat dapat terputus jika diberi stress mekanik apabila ada air
atau zat pembasah lainnya, karena itu kadar air perlu diperhitungkan dalam pemakaian perekat. Kekuatan
perekat akan berkurang bila kadar air terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Dari penelitian ini didapati nilai kadar
air terendah pada suhu 1400C dengan waktu 30 menit.

Pengaruh Temperatur dan Waktu Hidrolisis terhadap Daya Rekat


Daya rekat atau kuat tarik adalah tegangan maksimum yang bisa ditahan oleh sebuah bahan ketika
diregangkan atau ditarik, sebelum bahan tersebut patah, dalam hal ini adalah kemampuan perekat untuk mampu
menahan gaya yang diberikan terhadap luas permukaan perekat yang dioleskan pada permukaan kayu, dimana
kedua buah kayu direkatkan antar permukaan nya seluas 25 cm 2 sampai kedua permukaan kayu tersebut terlepas.
Kekuatan tarik umumnya dapat dicari dengan melakukan uji tarik dan mencatat perubahan regangan dan
tegangan. Dimensi dari kekuatan tarik adalah gaya per satuan luas. Pada penelitian ini perekat dibuat dengan
menggunakan bahan baku dekstrin yaitu produk yang dihasilkan dari modifikasi pati, pati dimodifikasi dengan
variasi suhu dan waktu sehingga sifat produk dekstrin berbeda satu sama lain. Sifat bahan baku dekstrin yang
berbeda mengakibatkan daya rekat lem dekstrin juga berbeda, yang berarti suhu dan waktu dapat mempengaruhi
daya rekat lem yang dihasilkan.
Gambar 5 menunjukkan pengaruh suhu dan waktu terhadap daya rekat lem dektrin Dibandingkan
dengan pati asli pati termodifikasi mempunyai daya rekat yang baik. Gambar 5 didapati informasi bahwa waktu
hidrolisis memiliki peran dalam pembuatan perekat, semakin lama waktu maka daya rekat akan semakin
bertambah. Hal ini dapat disebabkan semakin tinggi temperatur, maka makin besar pula energi kinetik molekul-
molekul perekat. Molekul-molekul yang bereaksi menjadi lebih aktif mengadakan tabrakan-tabrakan.
Memperbesar temperatur akan mengakibatkan reaksi berlangsung lebih cepat, namun pada batas tertentu dapat
menyebabkan perekat dapat berkurang kekuatannya.

Gambar 5. Pengaruh Temperatur dan Waktu terhadap Daya Rekat

Menurut Hartomo (1984). Semakin tinggi suhu dan waktu maka produk dekstrin yang dihasilkan akan
semakin tinggi sampai pada batas tertentu setelah itu terjadi penurunan nilai dekstrin karena pada suhu dan
waktu yang terlalu tinggi mengakibatkan produk dekstrin yang terbentuk terurai menjadi glukosa yang
mempunyai sifat lengket yang tidak begitu baik dibanding dekstrin. Dari penelitian ini daya rekat tertinggi
adalah 283,84 N/cm2 (28,94 kg/cm2) yaitu pada kondisi suhu 80 0C dengan waktu 30 menit. Lem fox digunakan
sebagai pembanding, untuk mengetahui kualitas dari perekat yang dihasilkan dari penelitian. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Lem fox mempunyai nilai daya rekat sebesar 275,44 N/cm 2 (28,09 kg/cm2) sedangkan
perekat dengan daya rekat yang optimum dari hasil penelitian sebesar 283,84 N/cm 2 (28,94 kg/cm2) yang berarti
perekat pada kondisi optimum dari hasil penelitian mempunyai daya rekat yang lebih baik dibanding lem fox.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2012) perekat dkstrin yang dihasilkan mempunyai daya rekat
7-14 kg/cm2. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa perekat dekstrin yang dihasilkan sesuai dengan SNI 06-
4567-1998 yang menyatakan bahwa perekat kayu yang baik mempunyai daya rekat >10 kg/cm 2 dan mempunyai
daya rekat yang lebih baik dibandingkan penelitian sebelumnya oleh Lubis (2012).
Penelitian ini menunjukkan pengaruh Swelling power, kelarutan, Dextrose Equivalent dan kadar air
terhadap daya rekat lem dekstrin. Perekat berada pada kondisi optimum yaitu suhu 80 0C dengan waktu hidrolisis
selama 30 menit. Dari penelitian nilai DE pada kondisi optimum adalah 3,523 termasuk nilai DE tertinggi,
semakin tinggi Nilai DE maka jumlah produk dekstrin yang dihasilkan akan semakin tinggi, tinggi nya nilai DE
mengakibatkan daya rekat semakin meningkat, hal ini sesuai dengan penelitian Warnijati dkk (2013) bahwa
konversi pati menjadi dektrin berbanding lurus terhadap daya rekat pasta lem yang dihasilkan, karena dekstrin
mempunyai daya rekat yang lebih tinggi dibanding pati aslinya. Selain itu nilai swelling power dan kelarutan
pada kondisi ini termasuk yang tertinggi, berarti semakin tinggi nilai swelling power maka daya rekat akan
semakin meningkat hal ini dikarenakan semakin besar kemampuan dekstrin untuk dapat mengembang maka
semakin besar luas permukaan kontak antara perekat dekstrin dan permukaan kayu, sedangkan untuk kelarutan
menunjukkan bahwa daya rekat berbanding lurus terhadap nilai kelarutan, hal ini dikarenakan semakin
meningkatnya kadar dekstrin, sesuai dengan pernyataan Koswara (2006) bahwa dibandingkan dengan pati
aslinya pati termodifikasi/dekstrin mempunyai sifat yang berbeda salah satunya kenaikan kelarutan. Sedangkan
untuk pengaruh kadar air terhadap daya rekat menunjukkan bahwa kadar air untuk daya rekat optimum adalah
kadar air dengan jumlah sedang, hal ini sesuai dengan pernyataan Lubis (2012) bahwa spesimen perekat dapat
terputus jika diberi stress mekanik apabila ada air atau zat pembasah lainnya. Pada kondisi optimum yang
mempunyai kadar air 14% dengan daya rekat 283,84 Jadi Swelling power, kelarutan dan nilai DE akan
berbanding lurus terhadap daya rekat dengan lem dekstrin yang dihasilkan.

KESIMPULAN
Pengaruh temperatur hidrolisis terhadap sifat-sifat produk yang dihasilkan yaitu : semakin tinggi temperatur
maka nilai swelling power, kelarutan dan dextrose equivalent akan semakin tinggi, sedangkan kadar air akan
semakin menurun. Pengaruh waktu hidrolisis terhadap produk yang dihasilkan yaitu : semakin lama waktu maka
swelling power, kelarutan dan dextrose equivalent akan semakin tinggi, sedangkan kadar air akan semakin
menurun. Semakin tinggi swelling power, kelarutan dan dextrose equivalent maka daya rekat lem dekstrin
semakin tinggi. Kondisi optimum untuk daya rekat lem dekstrin berada pada kondisi 80 0C dengan waktu 30
menit, dan hasil analisa mempunyai nilai swelling power 2,27, kelarutan 1,7%, dextrose equivalent 3,523%,
kadar air 14% dan daya rekat 283,84 N/cm2.

DAFTAR PUSTAKA

Agra, I. B., Warnijati dan S., Riyadi, R. S. (1979) Hydrolisis of Sweet Potato Starch at Atmosphere pressure,
Research Journal, Volume 2 (3), 34.
Armiati, Mila. 2015. Proses Perubahan Pada Pati. Universitas Brawijaya. Malang
Badan Standarisasi Nasional, SNI 01-2593-1992 Tentang Syarat Mutu Dekstrin, Jakarta: BSN, 1992
Cairns, P., Leloup, V. M., Miles, M. J., Ring, S. G., Morris,V. J. (1990). Resistant starch: An X-ray diffraction study
into the effect of enzymatic hydrolysis on amylose gels in vitro. J Cereal Sci.
Chafid, Ahmad. 2010. Modifikasi Tepung Sagu menjadi Maltodekstrin Menggunakan Enzim -amylase.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Dziedzic, S. Z. dan Kearsley, M. W. (1995). Handbook of starch hydrolysis products and their derivatives.
London: Blackie Academic & Professional. p. 230
Griffin, V. K. dan J. R. Brooks. 1989. Production and Size Distribution of Rice Maltodextrins Hydrolyzed from
Milled Rice Flour using Heat-Stable Alpha- Amylase. Journal Food Science vol 54, 190-191
Hartomo, A.J. 1984, Memahami Polimer dan Perekat, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Haryani, Kristinah. 2015. Pembuatan Dekstrin dari Pati Sorgum secara Hidrolisis menggunakan Enzim -
amilase. Politeknik Negeri Semarang
Haryanti, Pepita. 2014. Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan Suspensi Pati Serta Konsentrasi Butanol terhadap
Karakteristik Fisikokimia Pati tinggi Amilosa. AGRITECH. Vol. 34 (3): 308-315.
Kerr, R. W., 1970, Chemistry and Industry of Starch, 2nd ed., Academic Press Inc., New York.
Koswara, 2006, Teknologi Modifikasi Pati. Ebook Pangan.
Lubis, Mirna Rahma. 2012. Hidrolisis Pati Sukun Dengan Katalisator H2SO4 Untuk Pembuatan Perekat.
Jurnal Rekayasa Kimia Dan Lingkungan. Vol.9 (2) : 62-67.
Mastuti, endang. 2010. Pengaruh variasi temperatur dan konsentrasi katalis pada Kinetika reaksi Hidrolisis
Tepung Kulit ketela pohon. Ekuilibrium. Vol.9 (1) :23-27.
Pangesti, Y.D., Parnanto, N.R dan Achmad , A.R. 2014. Kajian Sifat Fisikokimia Tepung Bengkuang
(pachyrhizus erosus) dimodifikasi secara Heat Moisture Treatment (hmt) dengan Variasi Suhu.
Rahman, A.M. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan Mocal Sebagai Penyalut
Kacang Pada Produk Kacang Salut. Boor. IPB.
Syamsir. E. 2012. Talas, Andalan Bogor . Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia, 2012.
http://ilmupangan.blogspot.com/2012/06/talas-andalan-bogor_427.html. Diunduh 27
Februari 2014.
Swinkels, J.J.M. 1985.Source of starch, its chemistry and physics. Di dalam :G.M.A.V. Beynum dan J.A Roels
(eds.). Starch Conversion Technology.Marcel Dekker, Inc. New York.
Tyanjani, E.F dan Yunianta. 2015. Pembuatan dekstrin dari pati sagu (Metroxylon sagus Rottb) dengan enzim
amilase terhadap sifat fisiko kimia. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.1119-1127,
Uthumporn, U., Zaidul, I. S. M., & Karim, A. A. (2010). Hydrolysis of granularstarchat sub-gelatinization
temperature using a mixture of amylolytic enzymes. Foodand Bioproducts Processing, 88(C1), 4754.
Warnijati, Sri., Agra, I.B dan Sofiyah (2013). Dekstrinisasi Pati Bengkoang dengan Katalisator Asam Khlorid.
Jurusan Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
th
Woodman, (1941), A. Food Analysis, 4 edition, Mc Graw-Hill Book Company Inc. New York.
Yunida, Yandraini., Sukatik dan Hidayati, Rahmi. 2006. Pembuatan Destro-fosfat dari Pati Sagu sebagai
Ekstender Perekat Kayu. Politeknik Negeri Padang. Vol 1 (2)

Você também pode gostar