Você está na página 1de 9

5 Parameter Kesuburan Kimia Tanah Hutan

1. Kapasitas Tukar Kation

Pertukaran kation merupakan kejadian di alam yang penting setelah fotosintesis


karena berpengaruh terhadap penyediaan unsur hara bagi tanaman.

Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kapasitas lempung untuk menjerap dan menukar
kation. KTK dipengaruhi oleh: (1) kandungan liat, (2) tipe liat, (3) kandungan bahan
organik. Dengan kata lain, KTK bervariasi tergantung pada jumlah humus, liat dan
macam liat yang dijumpai dalam tanah hutan. KTK penting untuk diketahui, karena
bertalian dengan kesuburan tanah dan aplikasi pupuk.

Meskipun bukan satu-satunya parameter, semakin tinggi KTK, maka status kesuburan
tanah semakin tinggi dan sebaliknya semakin rendah KTK, maka status kesuburan
tanah juga makin rendah. Dengan kata lain, KTK yang tinggi mencerminkan tanah
subur, sebaliknya KTK yang rendah mencerminkan tanah tidak subur.

Ukuran diameter fraksi liat adalah 2 mikron (m) atau 0,002 mm, sedangkan koloid
berukuran terbesar tidak lebih dari 1 mikron. Berarti tidak semua fraksi liat dikatakan
koloid. Sebagian fraksi liat mengalami pelapukan melalui aktivitasnya menjerap dan
mempertukarkan kation hingga menghasilkan koloid.

Koloid terdiri dari koloid humus (organik) dan koloid liat (mineral, anorganik). Kedua
koloid ini mempunyai sifat dan ciri yang berbeda. Perbedaan utamanya adalah unit
(misel) koloid humus tersusun dari karbon, oksigen dan hidrogen, sedangkan koloid
liat tersusun dari silikon (Si), aluminium (Al) dan oksigen. Daya jerap koloid humus
jauh melebihi liat koloid. KTK koloid humus dapat mencapai 200 300 me/100 gr
liat. Sedangkan KTK koloid liat montmorillonit/smektit (tipe liat 2:1) sebesar 80
150 me/100 gr liat dan koloid liat kaolonit (tipe liat 1 : 1) sebesar 3 15 me/100 gr
liat. Campuran koloid humus dan koloid liat dalam tanah akan saling menunjang
peranannya dalam menjerap dan mempertukarkan kation.

Nilai KTK Kaolinit lebih rendah daripada montmorillonit, karena kaolinit mempunyai
daya adsorbsi (jerapan) yang lebih rendah daripada montmorillonit. Maka potensi
kesuburan kaolinit lebih rendah dibanding montmorillonit, sehingga respon
pemupukan pada tanah hutan yang bertipe koloid liat kaolinit juga lebih rendah
dibanding koloid liat montmorillonit.

Pada mineral liat terdapat ion-ion yang melekat di kisi-kisi kristalnya. Apabila mineral
liat tipe 1:1 (1 lembar Si : 1 lembar Al), antar lembar terikat kuat sehingga tidak bisa
lagi disisipi ion. Sementara pada mineral tipe lembar 2:1, dan tipe 2:2 memiliki
muatan ion yang lebih besar. Bentuk pengikat tipe-tipe mineral berbeda. Oleh karena
itu, untuk meningkatkan kesuburan kimia tanah hutan, maka seorang silvikulturis
dapat merubah KTK tanah hutan dengan fokus bagaimana merubah tipe liatnya agar
jumlah lembar Si dan Al makin besar. Cara yang dikenal untuk meningkatkan KTK
adalah dengan menambah bahan organik dalam tanah.

Mineral liat terdiri dari lembaran-lembaran Al dan Si. Di daerah kompleks pertukaran
tanah (permukaan koloid tanah), lembaran Al berada di bagian luar, Si di bagian
dalam. Apabila KTK < 24 me/100 gr liat menunjukkan tanah tua mengandung mineral
tipe kaolinit. Apabila Jumlah lembar Si dan Al makin kecil, maka KTK makin rendah,
sehingga makin rendah tingkat kesuburannya. Produk akhir dari pelapukan disebut
laterit. Laterit diikat oleh mineral liat tipe kaolinit. Makin tua umur tanah, seperti
Oxisol, maka makin kaya laterit.

KTK terdiri atas KTK Potensial dan KTK efektif. KTK efektif merupakan faktor yang
perlu diperhatikan dalam mengamati data kimia tanah, karena KTK efektif
mempunyai peran sentral yang berkaitan dengan tindakan silvikultur khususnya
pemupukan. Apabila KTK efektif bertambah besar maka respon tanah terhadap pupuk
makin tinggi, sebaliknya apabila KTK efektif kecil maka respon tanah terhadap
pemupukan makin rendah.

Untuk tujuan penentuan status kesuburan tanah, digunakan satuan KTK me/100 gram
tanah. Di mana 1 me (baca: miliekuivalen)/100 gram tanah = 1 c mol (+)/kg tanah.
Sedangkan untuk tujuan klasifikasi tanah dan penentuan tipe mineral liat digunakan
satuan KTK me/100 gram liat. Satuan KTK untuk tujuan klasifikasi adalah me/100
gr liat, bukan me/100 gr debu atau pasir karena reaksi fisiko-kimia hanya ada pada
koloid, di mana koloid terdapat pada liat. Koloid adalah ukuran massa tanah paling
kecil. Koloid merupakan produk pelapukan berupa material yang semakin kecil. Liat
paling besar memiliki koloid, selalu menghasilkan material paling besar dibanding
debu dan pasir.

Sebagai contoh, jika diketahui:

KTK = 24 me/100 gram tanah

liat = 40 %, maka:
KTK Efektif = (24/40) x 100 = 60 me/100 gram liat.

Satuan KTK 24 me/100 gram tanah merupakan hasil analisis laboratorium untuk
mengetahui kesuburan tanah, sedangkan KTK efektif 60 me/100 gram liat digunakan
oleh sivikuturis untuk mengetahui klasifikasi (jenis) tanah. KTK efektif yang semakin
menurun menunjukkan sebagai tanah-tanah tua atau tanah-tanah yang mengalami
pertambahan pelapukan.

Hubungan antara kesuburan tanah dan penggolongan tanah:

anjuran penggunaan pupuk adalah khas-tempat


perbedaan sifat tanah merupakan salah satu penyebab utama untuk kekhasan
menurut tempat
program penilaian kesuburan tanah harus berhubungan erat dengan program
penyigian dan penggolongan tanah

2. Kejenuhan Basa (KB)

Selain kapasitas tukar kation, Kejenuhan basa juga menentukan kesuburan tanah.
Kejenuhan basa merupakan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan
jumlah semua kation yang terdapat pada kompeks jerapan tanah yang terdiri dari
kation asam dan kation basa.

Tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan kandungan basa/kation basa yang
umumnya merupakan unsur hara tanaman yang tinggi pula dan sebagai pertanda
belum banyak mengalami pencucian. Tanah demikian dinilai termasuk yang subur
bagi pertanian dan kehutanan.

Selain mempertimbangkan parameter KTK, semakin tinggi juga KB, maka status
kesuburan tanah semakin tinggi. Dan sebaliknya semakin rendah KB, maka status
kesuburan tanah juga makin rendah.

Upaya silvikulturis tidak hanya memperhatikan KTK tanah, melainkan perlu


memperhatikan pula persentase kejenuhan basa. KTK Efektif dan KB bagaikan mata
uang logam yang kedua sisinya tidak bisa dipisahkan. Makin tinggi KTK, maka makin
kuat menjerap kation. Makin kuat menjerap kation, maka potensi kesuburan tanah
makin tinggi, tetapi KB harus juga tinggi. Mengapa KB harus juga diperhatikan?
Sebab bisa saja KTK Efektif yang tinggi mungkin kation asam saja yang tinggi, belum
tentu kation basa yang tinggi sehingga kesuburan tidak tinggi. Oleh karena itu, selain
ditentukan oleh KTK, kesuburan tanah juga ditentukan oleh KB (Kejenuhan Basa).
Apabila hasil analisis tanah diperoleh KB 40 %, berarti pada koloid tanah terdapat 40
% kation basa dan sisanya 60 % kation asam.

Makin rendah KB maka sebaiknya makin banyak pemberian kapur, tetapi waktu
pemberiannya tergantung pula KTK. KTK perlu diketahui, menyangkut berapa
muatan ion maksimum yang dimiliki tanah sebagai gudang hara. KTK diilustrasikan
sebagai ukuran gudang hara. Tanah yang memiliki KTK lebih kecil, berarti kapasitas
gudang haranya lebih kecil untuk menyimpan kation. Misalnya tanah dengan KTK
10-15 me/100 gr liat maka pemberian kapur (misalnya superdolomit yang
mengandung Ca) makin sedikit karena daya tampungnya lebih kecil dibandingkan
tanah dengan KTK 30 me/100 gr liat.

Nilai kejenuhan basa suatu tanah dipengaruhi oleh pH. Makin rendah pH tanah maka
makin masam, akibatnya KB makin rendah. Begitu sebaliknya, kalau pH tanah tinggi
maka KB-nya akan tinggi.

3. P Total (P2O5)

Setelah KTK dan KB, semakin tinggi kandungan P total, maka status kesuburan tanah
semakin tinggi dan sebaliknya semakin rendah, maka status kesuburan tanah juga
makin rendah.

P terdapat dalam 2 status, yaitu P total dan P tersedia. Beberapa peneliti tanah hutan
melaporkan bahwa nilai P tersedia paling tinggi 10 % dari nilai P total. Misalnya jika
diketahui P total tanah = 136 ppm, maka kandungan P tersedia tidak lebih tinggi dari
13,6 ppm.

Menurut PPT (Anonim, 1983),

1 ppm P = 1 mg/100 gram P2O5 x 10/2,29

1 ppm P = 1 mg/100 gram P2O5 x 4,37

1 ppm P = 4,37 mg/100 gram P2O5

1 ppm P 5 mg/100 gram P2O5.

Fosfor merupakan unsur hara yang sering membatasi pertumbuhan tanaman di daerah
tropis. Khusus pada tanah tropis basah, ordo Alisol, Acrisol dan Feralsol sangat
sedikit mengandung P tersedia. Apabila P tersebut jumlahnya kurang di dalam tanah,
maka pertumbuhan tanaman akan terhambat.
Di dalam tanah sumber utama P adalah mineral apatit dan pupuk buatan. P dari
mineral apatit pada tahap awal perkembangannya terikat dalam bentuk Ca-P,
sedangkan P dari bahan organik berasal dari sisa-sisa tanaman dan penghidupan
hewan serta organisme dalam tanah. Dengan demikian, P dalam tanah digolongkan ke
dalam dua bentuk, yaitu P organik dan P anorganik.

P diserap oleh akar tanaman dalam bentuk ion H2PO4- dan H2PO42-. Ketersediaan P
dalam tanah antara lain dipengaruhi oleh pH dan kandungan bahan organik.

Pada pH 5,0 - 7,2, umumnya banyak dijumpai ion H2PO4- dan di atas pH tersebut
dominan HPO42. Saat kation basa (K+, Mg2+, Ca2+, Na+) tercuci, kation-kation
asam (Al3+) mendominasi kompleks koloid sehingga pada suasana Al3+ dominan
bersenyawa dengan PO42- yang bereaksi menjadi senyawa yang relatif stabil
sehingga P tidak bisa digunakan oleh tanaman. Pada pH 6,5 P mengalami pengikatan
dengan Ca membentuk Ca-Posfat dapat menurunkan P tersedia.

4. K Total (K2O)

Semakin tinggi K total, maka status kesuburan tanah semakin tinggi dan sebaliknya
semakin rendah K total, maka status kesuburan tanah juga makin rendah.

Berdasarkan ketersediaannya bagi tanaman, Kalium total dalam tanah digolongkan


kedalam 3 bentuk :

1. K relatif tidak tersedia. Umumnya bentuk yang demikian ini masih berada
dalam mineral tanah seperti felsfat dan mika, mencakup 80-90 % dari K total.
2. K lambat tersedia. Bentuk ini tidak dapat dipertukarkan namun merupakan
cadangan ketersediaan K yang lambat tersedia. Bentuk ini mencapai 1 10 %
dari K total.
3. K segera tersedia.

Bentuk ini dapat dipertukarkan, dan dapat diserap tanaman, mencakup 1 2 % saja
dari K total.

Sumber Kalium adalah mineral-mineral silikat seperti ortoklas, muskovit, biotit,


felsfat, mika dan leusit. Kalium tidak memiliki ikatan kovalen dengan persenyawaan
organik, tetapi tanaman menyerap unsur ini dalam bentuk K+.

Penambahan K dalam tanah sebagian besar dari pemberian pupuk buatan, sisa
tanaman dan pupuk alam serta mineral. Kalium dari tanah yang lambat tersedia,
sedangkan kehilangan K sebagian besar karena diangkut oleh tanaman yang dipanen,
berikutnya hilang karena erosi, pelindian (pencucian) dan terfiksasi (tertambat)
menjadi mineral yang lambat tersedia. K+ mudah tercuci karena K+ bukan lagi dalam
bentuk senyawa (yang terikat) melainkan sudah dalam bentuk unsur (yang bebas). K+
dengan adanya air hujan sudah dapat melarut, berbeda dengan Al3+ yang hanya dapat
larut pada kondisi pH rendah.

K tersedia bagi tanaman dalam bentuk ion yang dapat dipertukarkan pada koloid
tanah. Walaupun K sangat banyak dalam tanah-tanah mineral, kelarutan yang rendah
dari mineral primer mengakibatkan rendahnya ketersediaan unsur K. Namun
demikian, selalu terdapat pembaharuan yang terus-menerus dari mineral primer ke
dalam bentuk yang dapat dipertukarkan. Laju pencucian K bervariasi tergantung pada
tipe liat dan jumlah bahan organik dalam tanah.

5. C - Organik

Karbon berkaitan dengan kandungan bahan organik. Kandungan bahan organik =


1,724 x C Organik. Dilihat dari distribusi vertikal dalam tanah, unsur C dan N
umumnya mempunyai pola yang sama. Konsentrasi tertinggi ada di lapisan atas dan
kemudian menurun secara berangsur di lapisan yang lebih dalam.

Proses perombakan bahan organik menjadi bahan anorganik terjadi melalui dua proses
yaitu humifikasi dan mineralisasi.

Proses humifikasi adalah proses perubahan bahan organik menjadi humus.


Humus sebagai produk humifikasi merupakan bahan organik yang bersifat seperti
koloid atau bersifat koloidal. Humus tidak pernah tebal karena selalu diurai oleh
mikroorganisme. Di hutan dataran rendah misalnya, humus tidak setebal daripada di
hutan pegunungan, karena setelah humus terbentuk maka mineralisasi terkendala.

Karena humus bersifat koloidal, maka belum tergolong dalam bentuk unsur hara.
Kalau humus sudah termineralisasi, barulah kemudian berbentuk unsur hara. Koloid
(misel) adalah massa tanah yang terlibat aktif dari reaksi fisiko-kimia. Permukaan
koloid bermuatan listrik negatif (anion) dan positif (kation). Permukaan koloid yang
bermuatan negatif inilah yang mempunyai daya menarik kation- kation tanah.

Fungsi humus:

1. Berfungsi sebagai granulator, yaitu pengelompokan butiran-butiran tanah yang


bercerai-berai atau terlepas-lepas, kemudian direkatkan oleh bahan organik dan
selanjutnya tergabung menjadi granular. Tanah yang berstruktur granular
menjadi resisten terhadap gaya-gaya erosi agar dapat meningkatkan
ketahanannya terhadap tumbukan air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan
meningkatkan porositas tanah.
2. Akibat makin kecilnya butiran atau luas permukaan humus yang makin besar
dalam satuan volume tertentu, maka kemampuan menyimpan air makin besar,
sehingga makin dipertahankan kelembapan tanah.
3. Meningkatkan kapasitas tukar kation. Tidak ada bahan lain yang dapat
meningkatkan kapasitas tukar kation selain bahan organik. Apakah memang
KTK perlu ditingkatkan? Justru persoalan tanah di daerah tropika,umumnya
KTK sangat kecil, dan KTK menjadi lebih kecil lagi apabila tidak memiliki
bahan organik seperti humus.

Di samping humus, maka terbentuk produk samping dari pelapukan bahan organik
adalah asam humin. Asam humin adalah suatu cairan yang terkandung dalam bahan
organik tanah.

Kualitas bahan organik diukur dengan C/N. Data C/N Berkaitan dengan laju
humifikasi dan mineralisasi yang dilakukan oleh mikroorganisme tanah. C/N
menunjukkan baik atau tidaknya penguraian bahan organik.

a. C/N < 25.

Jika C/N < 25 maka kondisi lingkungan yang sesuai, baik untuk perkembangan
populasi mikroorganisme maupun untuk humifikasi dan mineralisasi bahan
organik. Bila nitrifikasi baik, maka C/N akan rendah, dengan demikian bahan organik
cepat habis. Untuk mempertahankan bahan organik dalam tanah, harus disediakan N
yang cukup. C/N yang rendah menunjukkan dekomposisi bahan organik yang lanjut.

b. C/N = 25

Jika C/N = 25, merupakan pelapukan bahan organik yang ideal. Ideal dalam arti
berkaitan dengan adanya perkembangan populasi mikroorganisme disatu sisi dan
disisi lain menunjukkan bahwa kegiatan mikroorganisme melapukkan bahan organik
masih berlangsung secara optimal.

c. C/N > 25

Jika C/N > 25, maka humifikasi dan mineralisasi terhambat. C/N > 25 artinya
komponen kaya akan bahan organik. Karbon berkaitan dengan air dan udara, yang
bertalian dengan struktur tanah dan porositas. Jika C/N >25 maka pasti ada kendala,
dimana populasi mikroorganisme tidak memiliki lingkungan yang baik untuk
berkembang dan pengurai bahan organik terhambat. Hal ini berkaitan dengan pH,
drainase buruk. Misalnya pada tanah gambut (histosol/organosol) sering terendam air
sehingga mempunyai drainase yang buruk, maka organisme akan kesulitan
menggunakan oksigen untuk berespirasi, akibatnya bahan organik tidak bisa melapuk.
Dengan kata lain, bila C/N > 25 memberi indikasi terdapatnya kondisi yang
menghalangi kerja mikroorganisme, mungkin karena drainase tanah yang buruk, atau
penyebab lain seperti elevasi tanah terlalu rendah sehingga sering terjadi banjir
kiriman. C/N > 25 - 50 dikatakan buruk, artinya C dominan, sebaliknya N sedikit.
Bila C/N bahan organik tinggi maka akan terjadi persaingan N antara tanaman dan
mikroorganisme, dalam hal ini N diinmobilisasi. C/N yang tinggi menunjukkan
dekomposisi belum lanjut atau baru mulai.

Cara untuk mengatasi masalah rendahnya C organik lazimnya dilakukan melalui


penambahan bahan organik. Penambahan bahan organik juga akan memperbaiki
struktur tanah melalui pengelompokan butiran-butiran tanah yang bercerai-berai atau
terlepas-lepas, kemudian direkatkan oleh bahan organik dan selanjutnya tergabung
menjadi granular. Tanah yang berstruktur granular menjadi resisten terhadap gaya-
gaya erosi sehingga dapat meningkatkan ketahanannya terhadap tumbukan air hujan
yang jatuh ke permukaan tanah. Granulasi dapat meningkatkan porositas tanah,
meningkatkan daya simpan air serta memperbaiki drainase dan aerase.

Pengaruh humus (bahan organik) terhadap sifat-sifat tanah:

1. Pengaruh secara fisik:

1. warna tanah menjadi lebih kelam. Coklat-hitam: menaikkan suhu.


2. Meningkatkan agregasi (granulasi tanah) dan stabilitas agregat, aerasi
(penghawaan) lebih baik, drainase perembihan, pelulusan) lebih baik, lebih
tahan terhadap erosi
3. Mengurangi plastisitas pada tanah lempung (liat-clay), tanah lebih mudah
diolah (lebih gembur)
4. Menaikkan kemampuan mengikat/menyimpan air

2. Pengaruh secara kimia:

1. Menaikkan KTK (humus mempunyai KTK>200 me/100 gr).


2. Merupakan salah satu sumber unsur hara (penting dalam daur/siklus unsur
hara)
3. Merupakan cadangan unsur hara utama N,P, S dalam bentuk organik dan unsur
hara mikro (Fe, Cu, Mn, Zn, B, Mo, Ca) dalam bentuk khelat (chelate) dan
akan dilepaskan secara perlahan-lahan.
4. Meningkatkan aktivitas, jumlah dan populasi mikro dan makro organisme tanah
(bakteri, fungi, actinomycetes, cacing, serangga dan lain-lain)

Bahan organik dapat di amati pada profil tanah lapisan teratas yang berwarna coklat
tua atau kehitaman. Kandungan bahan organik tergantung dari jumlah bahan organik
yang dikembalikan ke tanah, laju dekomposisi yang terjadi sepanjang tahun dan
kedalaman tanah.

Proses perombakan bahan organik menjadi bahan anorganik terjadi melalui dua proses
yaitu humifikasi dan mineralisasi.

Proses humifikasi adalah proses perubahan bahan organik menjadi humus.


Humus yang merupakan produk humifikasi merupakan bahan organik yang bersifat
seperti koloid atau bersifat koloidal. Humus tidak pernah tebal karena selalu diurai
oleh mikroorganisme. Di hutan dataran rendah misalnya, humus tidak setebal daripada
di hutan pegunungan, karena setelah humus terbentuk maka mineralisasi terkendala.

Karena humus bersifat koloidal, maka belum tergolong dalam bentuk unsur hara.
Kalau humus sudah termineralisasi, barulah kemudian berbentuk unsur hara. Koloid
(misel) adalah massa tanah yang terlibat aktif dari reaksi fisiko-kimia. Permukaan
koloid bermuatan listrik negatif (anion) dan positif (kation). Permukaan koloid yang
bermuatan negatif inilah yang mempunyai daya menarik kation- kation tanah.

Di samping terbentuk humus, maka terbentuk produk samping dari pelapukan bahan
organik adalah asam humin. Asam humin adalah suatu cairan yang terkandung dalam
bahan organik tanah.

Você também pode gostar