Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
Secara umum sistem pendinginan dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem pendinginan
secara langsung dan tidak langsung. Dikatakan sistem pendinginan secara langsung jika
hanya terdapat penggunaan satu jenis refrigeran yang digunakan untuk mendinginkan
produk yang didinginkan. Sistem pendinginan tidak langsung menggunakan fluida kerja
perantara untuk mendinginkan produk.
Sistem refrigerasi merupakan pengupayaan untuk mengubah suatu sistem atau produk
agar temperaturnya berada di bawah temperatur lingkungan. Akan tetapi masalah sering
muncul ketika temperatur yang akan dicapai berada di bawah 0C, dan juga ketika
mempertahankan temperatur tersebut. Sistem akan lebih lama menyerap kalor pada udara,
serta udara juga tidak dapat lebih lama menyimpan dingin dibandingkan dengan cairan.
Oleh karena itu, muncul suatu sistem refrigerasi dengan menggunakan refrigeran sekunder
sebagai media untuk pendinginan suatu produk yang membutuhkan temperatur di bawah
0C.
Brine Cooling merupakan salah satu sistem refrigerasi yang memanfaatkan refrigeran
sekunder sebagai media pendinginan produk yang membutuhkan temperatur di bawah 0C.
Refrigeran sekunder itu sendiri merupakan campuran air dengan suatu zat agar titik beku
larutan yang dihasilkan dapat berada di bawah 0C, sehingga tidak membeku ketika produk
yang akan dikondisikan telah membeku. Pada sistem kompresi uap biasa, evaporator
mendinginkan langsung produk dan saat mencapai settingan, thermostat akan memutuskan
arus ke kompresor. Pada saat itu sisem langsung mati, dan evaporator berhenti menyerap
kalor dan kabin lama-kelamaan temperaturnya akan naik. Beda dengan sistem brine
cooling, saat settingan temperatur tercapai kondisi temperatur kabin akan stabil hal itu
dikarenakan adanya refrigeran sekunder yang terus bersirkulasi sehingga temperaturnya
terjaga. Sistem brine cooling ini lebih hemat energi, karena bisa lebih cepat mencapai
temperatur produk yang diinginkan. Dan hanya pompa saja yang bekerja jika temperatur
refrigeran sekunder tercapai untuk mendinginkan produk. Selain itu juga brine cooling ini
menggunakan refrigeran sekunder berupa cairan, maka pendistribusian kalornya lebih
1
merata di dalam floaded evaporator. Berdasarkan itu, penulis mengambil judul Analisis
Performansi Sistem Brine Cooling Dengan R-12 Sebagai Refrigeran.
1.2 Tujuan
Adapaun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penyusunan Laporan Ilmiah ini,
dapat :
Menghitung performansi sistem brine cooling.
Mampu membandingkan performansi hasil rancangan dengan analisis data hasil
pengukuran.
Mengetahui kinerja dari sistem brine cooling.
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam tugas akhir analisis performansi sistem brine cooling dengan
R-12 sebagai refrigeran yaitu sebagai berikut.
Metoda penulisan yang digunakan dalam analisis performansi sistem brine cooling ini
adalah sebagai berikut :
1. Studi literatur
Metoda ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data atau informasi-
informasi yang berhubungan dengan analisis sistem brine cooling dari berbagai
sumber.
2
2. Melakukan diskusi dan tanya jawab dengan dosen pembimbing dan pihak-pihak
yang berkompeten dibidangnya.
3. Melakukan pengukuran dan pengambilan data.
4. Analisis sederhana mengenai performansi analisis sistem brine cooling.
5. Menyimpulkan.
3
BAB II
DASAR TEORI
4
Setelah uap bertekanan tinggi keluar dari kompresor, kemudian uap refrigeran
tersebut dialirkan ke kondensor, dan selanjutnya di kondensor refrigeran akan
melepaskan kalor ke linglungan. Uap refrigeran berubah fasa menjadi cair, namun
tekanannya tetap tinggi, tetapi tidak setinggi setelah keluar dari kompresor (Caesar,
2008).
Supaya tekanan refrigeran turun, maka refrigeran cair yang keluar dari
kondensor dilewatkan pada sebuah alat ekspansi, yang mana dalam sistem brine cooling
ini menggunakan satu alat ekspansi. Alat ekspansi yang di gunakan adalah pipa kapiler.
Maka refrigeran yang melewati alat ekspansi diharapkan bisa menyebabkan tekanan
keluaran alat ekspansi menjadi turun, dan pada saat melewati evaporator, refrigeran
mudah menguap pada temperatur yang rendah. Siklus ini terjadi selama kompresor
terus bekerja. Dan selama itu pula efek pendinginan akan terus berlangsung (Caesar,
2008).
Sistem refrigerasi kompresi uap merupakan sistem yang paling banyak
digunakan pada mesin-mesin pendingin, baik pada mesin pendingin yang digunakan
pada industri atau domestic (Caesar, 2008).
2.3 Refrigeran
Refrigeran adalah suatu zat pada sistem refrigerasi yang bertindak sebagai
penyerap dan pembuang kalor, pemakaian refrigeran dalam sistem refrigerasi haruslah
aman (Caesar, 2008) , kita mengikuti syarat-syarat berikut :
5
13. Tidak merusak lapisan ozon
14. Mudah diperoleh
6
Hillern (2001) menjelaskan bahwa refrigeran sekunder tersebut selain harus
memiliki persyaratan-persyaratan yang mendasar seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa faktor korosif haruslah menjadi bahan pertimbangan dalam
memilih jenis refrigeran sekunder. Fluida pendingin seperti air-garam merupakan
jenis brine yang sangat baik, tidak bercaun, mudah didapat namum memiliki tingkat
penyebab korosifnya sangat tinggi sehingga perlu dicari alternatif lain yang memiliki
sifat yang mendekati dan disesuaikan dengan maksud dan fungsi penggunaan
refrigeran sekunder tersebut, maka salah satu pilihannya adalam campuran propylene
glycol dengan air.
7
Alat ekspansi pada sistem refrigerasi mempunyai dua tujuan, pertama adalah
fungsi termodinamik dengan ekspansi (menurunkan tekanan) cairan refrigeran
dari tekanan kondensor ke tekanan evaporator. Kedua, adalah fungsi kontrol
terhadap aliran cairan yang masuk evaporator.
Pada saat masuk katup ekspansi refrigeran berfasa cair dengan tekanan dan
temperatur tinggi. Setelah keluar, katup ekspansi berfasa campuran (cair dengan
uap) mempunyai tekanan dan temperatur rendah.
Jenis alat ekspansi yang umum digunakan adalah jenis pipa kapiler dan katup
ekspansi (terdiri atas beberapa macam). Pipa kapiler lebih sering digunakan
untuk sistem refrigerasi dengan kapasitas kecil, dibawah 10 Kwatt, dan tidak
dapat distel lagi untuk mengatasi beban yang berbeda. Katup ekspansi
termostatik (TXV) merupakan katup ekspansi yang paling populer, yang
digunakan untuk kapasitas besar.
Komponen pendukung sistem refrigerasi terbagi lagi dalam tiga kelompok, yaitu:
Gambar 2-1 : Jenis Komponen dan Istilah pada Siklus Refrigerasi Kompresi
Uap Sederhana
Pada gambar 2-1 ditunjukan jenis komponen serta istilah-istilah yang digunakan
dalam sistem refrigerasi, beberapa yang penting adalah :
1. Liquid line : adalah saluran pipa yang menghubungkan antara
keluaran kondensor dengan alat ekspansi. Disebut saluran cair,
karena pada pipa ini mengalir refrigeran yang didominasi oleh fasa
refrigeran cair. Kadang liquid line juga diistilahkan untuk saluran
8
yang menghubungkan antara keluaran alat ekspansi dan masukan
evaporator.
2. Suction line : adalah saluran yang menghubungkan evaporator
dengan saluran hisap (suction) kompresor. Dalam saluran ini
mengalir refrigeran uap.
3. Low pressure side (sisi tekanan rendah) : adalah bagian sistem yang
bertekanan rendah, mulai dari keluaran alat ekspansi sampai dengan
masukan kompresor.
4. High pressure side (sisi tekanan tinggi) : adalah bagian sistem yang
mempunyai tekanan tinggi, yaitu dari mulai keluaran kompresor
hingga masukan alat ekspansi.
9
2.6 Teori Perhitungan Beban Pendinginan
Pada setiap perancangan sistem refrigerasi perhitungan beban merupakan
langkah yang sangat penting. Perhitungan beban akan mempengaruhi pemilihan
seluruh komponen sistem refrigerasi. Beban pendinginan yang dihitung dari beban
konduksi dinding, dan beban produk (Dossat, 1981).
dimana:
U=koefisien perpindahan kalor meyeluruh dalam W/mK
K =konduktivitas bahan (W/m K)
X=tebal lapisan bahan (m)
fi=koefisien konveksi dinding dalam, W/m K
fo=koefisien konveksi dinding luar, W/m K
Harga fi , fo , dan k dapat dilihat pada tabel 10-1 Roy J. Dossat.
Begitupun dengan perhitungan beban konduksi atap dan beban konduksi lantai,
hanya saja perlu diperhatikan perbedaan temperature serta luas permukaannya.
Udara yang masuk ke dalam ruangan refrigerasi bisa menjadi beban untuk
pendinginan ruangan tersebut.
10
Besarnya beban pertukaran udara bisa dihitung dengan persamaan :
Qpu = I.H
dengan,
I = Laju inbfiltrasi (L/s)
H = perubahan entalpi (kJ/L)
dimana :
qtotal =kalor penurunan temperatur + pembekuan, kw
n =chilling time
Cp =produk dapat dicari dengan tabel 10-8 Roy J. Dossat
RF = Rate Factor
11
2.6.5 Beban lain lain
12
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
13
3.3 Alat - alat pengukuran
3.3.1 Charging Manifold
14
Temperatur air keluar cooling tower
Temperatur dishcarge
Temperatur suction
Temperatur masuk kondenser
Temperatur keluar kondenser
Temperatur masuk evaporator
Temperatur keluar evaporator
Arus listrik
Tegangan
Volume air
3.3.2 Pemeriksaan sebelum pengujian
Cek kondisi air di cooling tower
Cek motor pompa
Cek tekanan pada preasure gauge
3.3.3 Menjalankan mesin
Putar saklar pompa ke posisi on
Putar sakar kompresor ke posisi on
Putar saklar agitator ke posisi on
3.3.4 Prosedur pengambilan data pengujian
Mencatat data awal lembar pengujian
Pengambilan data dilakukan 3 kali dengan selang waktu
15 menit
15
BAB IV
No Menit
Titik Pengukuran Satuan
0 15 30 45
1 Temperatur Brine Masuk 23 19 18 18
2 Temperatur Brine Keluar 21 18 17 17
3 Temperatur Air (produk) dicetakan 19 18 17 17
4 Temperatur Air Masuk Cooling 25 26 26 26
Tower
5 Temperatur Air Keluar Cooling 23 21 21 20
Tower
6 Temperatur Discharge 24 80 83 83
7 Temperatur Suction 22 20 18 18
8 Temperatur Masuk Kondenser 23 68 72 73
9 Temperatur Keluar Kondenser 25 28 28 28
10 Temperatur Masuk Evaporator 24 -9 -9 -9
11 Temperatur Keluar Evaporator 23 19 17 17
12 Temperatur Liquid Line 22 27 27 27
13 Tekanan Discharge 5 7,5 7,5 7,5
14 Tekanan Suction 4,5 0,8 0,8 0,8
15 Arus Listrik 0 10,9 10,9 10,9
16 Tegangan 0 208,4 209 208,7
17 Volume Air (produk) 0 0,065 0,065 0,065
18 Kecepatan Aliran Brine 4 4 4
16
4.2 Analisa Data
4.2.1 Performansi Sistem Refrigerasi
14
= 21
344,756233,597 111,159
= = = 4,05
372,176344,756 27,49
15,38+ 273
= (35,11+273)(15,38+273)
= 5,1
4,05
= = 100% = 79%
5,1
= = 1000 0,006 = 6
= 4,19
= (26 20) = 6
= = 6 4,19 6 = 150,85
2. Beban Brine
= 2,481
= (18 17) = 1
17
4.3 Analisa Keseluruhan
Berdasarkan data pengamatan bahwa antara temperatur air dan
temperatur brine memiliki sebesar 1 atau bahkan hingga 01 baik ketika
menggunakan TXV sebagai alat ekspansinya ataupun low side float valve. Yang
membedakan, ketika menggunakan low side float valve, temperatur air dan
temperatur brine yang tercapai adalah 1 lebih renda dari pada ketika
menggunakan TXV.
Setelah selama kurang lebih 1 jam melakukan praktikum, sistem brine
cooling tidak menghasilkan es balok. Hal ini karena untuk menghasilkan es
balok temperatur air (produk) harus 0 atau bahkan harus lebih rendah dari
0. Untuk mencapai temperatur air (produk) dibawah 0, maka chilling time
harus ditambah (tidak cukup selama 3 jam).
Pada dasarnya, brine menangani produk secara optimal. Namun, pada
saat praktikum ini, percapaian temperatur jauh dari temperatur yang diinginkan.
Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya konsentrasi brine yang
tidak ideal dan brine tidak merendam produk secara keseluruhan.
Dari setiap pengukuran baik menggunakan TXV atau low side float
valve, temperatur air dan brine dari waktu ke waktu tidak banyak mengalami
perubahan. Dapat dikatakan apabila semakin rendah temperatur brine maka
rendah pula temperatur air (produk) didalam cetakan.
18
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan perhitungan dari hasil plot diagram p-h, dapat dinyatakan bahwa sistem
brine cooling lebih efisien ketika menggunakan low side float valve sebagai alat
ekspansinya daripada menggunakan TXV. Kemudian pada praktikum brine cooling yang
telah dilakukan selama 45 menit sistem brine cooling tidak menghasilkan es balok.
Semakin rendah temperatur brine semakin rendah pura temperatur air (produk) di dalam
cetakan. Perbedaan temperatur air dan brine berkisar antara 1 dan temperatur air
(produk) memiliki nilai temperatur paling rendah sebesar 19.
5.2 Saran
Untuk menghasilkan es balok menggunakan sistem brine cooling maka dibutuhkan
chilling time yang lebih dari 45 menit. Temperatur brine harus dibawah 0 dan
gunakanlah refrigeran yang memiliki nilai NBP -15 agar produk dapat membeku.
19
DAFTAR PUSTAKA
Kusnadi, Rinard. (2012). Analisis Performansi Sistem Brine Cooling Dengan Variasi
Konsentrasi Propyelen Glycol Air Sebagai Refrigeran Sekunder. Bandung: Politeknik Negeri
Bandung.
20