Você está na página 1de 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum sistem pendinginan dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem pendinginan
secara langsung dan tidak langsung. Dikatakan sistem pendinginan secara langsung jika
hanya terdapat penggunaan satu jenis refrigeran yang digunakan untuk mendinginkan
produk yang didinginkan. Sistem pendinginan tidak langsung menggunakan fluida kerja
perantara untuk mendinginkan produk.
Sistem refrigerasi merupakan pengupayaan untuk mengubah suatu sistem atau produk
agar temperaturnya berada di bawah temperatur lingkungan. Akan tetapi masalah sering
muncul ketika temperatur yang akan dicapai berada di bawah 0C, dan juga ketika
mempertahankan temperatur tersebut. Sistem akan lebih lama menyerap kalor pada udara,
serta udara juga tidak dapat lebih lama menyimpan dingin dibandingkan dengan cairan.
Oleh karena itu, muncul suatu sistem refrigerasi dengan menggunakan refrigeran sekunder
sebagai media untuk pendinginan suatu produk yang membutuhkan temperatur di bawah
0C.
Brine Cooling merupakan salah satu sistem refrigerasi yang memanfaatkan refrigeran
sekunder sebagai media pendinginan produk yang membutuhkan temperatur di bawah 0C.
Refrigeran sekunder itu sendiri merupakan campuran air dengan suatu zat agar titik beku
larutan yang dihasilkan dapat berada di bawah 0C, sehingga tidak membeku ketika produk
yang akan dikondisikan telah membeku. Pada sistem kompresi uap biasa, evaporator
mendinginkan langsung produk dan saat mencapai settingan, thermostat akan memutuskan
arus ke kompresor. Pada saat itu sisem langsung mati, dan evaporator berhenti menyerap
kalor dan kabin lama-kelamaan temperaturnya akan naik. Beda dengan sistem brine
cooling, saat settingan temperatur tercapai kondisi temperatur kabin akan stabil hal itu
dikarenakan adanya refrigeran sekunder yang terus bersirkulasi sehingga temperaturnya
terjaga. Sistem brine cooling ini lebih hemat energi, karena bisa lebih cepat mencapai
temperatur produk yang diinginkan. Dan hanya pompa saja yang bekerja jika temperatur
refrigeran sekunder tercapai untuk mendinginkan produk. Selain itu juga brine cooling ini
menggunakan refrigeran sekunder berupa cairan, maka pendistribusian kalornya lebih

1
merata di dalam floaded evaporator. Berdasarkan itu, penulis mengambil judul Analisis
Performansi Sistem Brine Cooling Dengan R-12 Sebagai Refrigeran.

1.2 Tujuan

Adapaun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penyusunan Laporan Ilmiah ini,
dapat :
Menghitung performansi sistem brine cooling.
Mampu membandingkan performansi hasil rancangan dengan analisis data hasil
pengukuran.
Mengetahui kinerja dari sistem brine cooling.
1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam tugas akhir analisis performansi sistem brine cooling dengan
R-12 sebagai refrigeran yaitu sebagai berikut.

1. Sistem yang diamati menggunakan sistem refrigerasi kompresi uap, serta


menggunakan kondensor berupa plate heat exchanger, dengan penambahan pompa
untuk mengalirkan refrigerant sekunder.
2. Refrigerant primer yang digunakan pada sistem adalah R-12, dan refrigeran
sekundernya adalah propylene glycol dicampur dengan air, dengan basis massa
50%.
3. Pembahasan dititikberatkan pada masalah performa brine cooling.

1.4 Metoda Penulisan

Metoda penulisan yang digunakan dalam analisis performansi sistem brine cooling ini
adalah sebagai berikut :

1. Studi literatur
Metoda ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data atau informasi-
informasi yang berhubungan dengan analisis sistem brine cooling dari berbagai
sumber.

2
2. Melakukan diskusi dan tanya jawab dengan dosen pembimbing dan pihak-pihak
yang berkompeten dibidangnya.
3. Melakukan pengukuran dan pengambilan data.
4. Analisis sederhana mengenai performansi analisis sistem brine cooling.
5. Menyimpulkan.

1.5 Sistematika Penyusunan Laporan


Sistematika Penyusunan Laporan Ilmiah ini terdiri dari atas. Bab I Pendahuluan, dalam
bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum dari laporan ini sendiri yang berisi latar
belakang, tujuan, batasan masalah, metoda perancangan da sistematika penulisan. Bab II
Dasar Teori, dalam bab ini berisi tentang teori dasar dari mesin brine cooling, dan hal-hal
yang berhubungan dengan sistem refrigerasi kompresi uap. Serta macam macam
evaporator berikut dengan tipe refrigerant yang dipakai. Bab III Metodologi Penelitian,
berisi menjelaskan dan menggambarkan tentang kerangka pengujian, persiapan penelitian,
instalasi alat uji, validasi alat ukur, persiapan penelitian, instalasi alat uji, validasi alat ukur,
persiapan pengujian, peralatan untuk pengujian, serta langkah-langkah pengujian, dan
pengambilan data. Bab IV Data dan Analisis, berisi tentang data hasil pengujian dana
analisis dari data tersebut. Bab VI Penutup, berisi tentang kesimpulan dari hasil yang
didapat. Pada bab ini juga berisi saran yang dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
kepada pembaca tentang kekurang dari isi laporan ini agar dapat dikembangkan dan
dilengkapi kekurangannya.

3
BAB II

DASAR TEORI

2.1 Brine Cooling


Brine Cooling adalah sebuah alat pendinginan yang digunakan untuk
mendinginkan produk dengan menggunakan refrigeran sekunder sebagai media
penyerap kalor (Rinard, 2012).
Proses pendinginan pada sistem brine cooling, menggunakan sistem
pendinginan tidak langsung, dengan media penyerapan kalornya menggunakan
refrigeran perantara atau bisa disebut refrigeran sekunder. Rinard (2012) menjelaskan
perihal refrigeran sekunder yaitu suatu fluida yang menyerap kalor dari bahan yang
akan didinginkan .
Refrigeran sekunder mengalami perubahan temperatur bila menyerap kalor dari
produk, kemudian membuang kalor tersebut di evaporator. Namun Brine tidak
mengalami perubahan fasa. Hadianto (2014) menjelaskan perihal refrigeran sekunder
secara umum berupa air biasa, air garam, propylene glycol, glikol ethilen, glikon
profilen, kalsium khlorida, dan lain-lainnya. Refrigeran sekunder yang didinginkan di
evaporator,kemudian disirkulasikan dan akan menyerap kalor dari sekitarnya terurama
cetakan termasuk produk.
Secara umum sistem brine cooling ini mempunyai dua siklus sistem
pendinginan. Sistem pertama menggunakan sistem sistem pendinginan kompresi uap
sederhana dengan refrigeran priemer. Yang kedua adalah pendinginan dengan
refirgeran sekunder (propylene glycol) yang menyerap kalor terutama dari produk.
Setelah melewati cetakan temperaturnya naik tetapi tidak mengalami perubahan fasa.
Saat melalui evaporator, brine akan membuang kalor ke refrigeran primer pada
evaporator. Brine yang di sirkulasikan ini kembali ke cetakan sampai suatu waktu
mencapai temperatur yang diinginkan.
2.2 Siklus Refrigerasi Kompresi Uap
Siklus refrigerasi kompresi uap, merupakan sistem yang mempergunakan
kompresor sebagai alat pengkompresi refrigeran. Uap refrigeran yang masuk pada sisi
tekanan rendah (suction) ditekan didalam kompresor sehingga menjadi uap bertekanan
tinggi dan bertemperatur tinggi yang dikeluarkan pada sisi tekanan tinggi (discharge).
Sehingga dari proses tersebut dapat ditentukan sisi tekanan tinggi dan sisi tekanan
rendah. (Caesar, 2008)

4
Setelah uap bertekanan tinggi keluar dari kompresor, kemudian uap refrigeran
tersebut dialirkan ke kondensor, dan selanjutnya di kondensor refrigeran akan
melepaskan kalor ke linglungan. Uap refrigeran berubah fasa menjadi cair, namun
tekanannya tetap tinggi, tetapi tidak setinggi setelah keluar dari kompresor (Caesar,
2008).
Supaya tekanan refrigeran turun, maka refrigeran cair yang keluar dari
kondensor dilewatkan pada sebuah alat ekspansi, yang mana dalam sistem brine cooling
ini menggunakan satu alat ekspansi. Alat ekspansi yang di gunakan adalah pipa kapiler.
Maka refrigeran yang melewati alat ekspansi diharapkan bisa menyebabkan tekanan
keluaran alat ekspansi menjadi turun, dan pada saat melewati evaporator, refrigeran
mudah menguap pada temperatur yang rendah. Siklus ini terjadi selama kompresor
terus bekerja. Dan selama itu pula efek pendinginan akan terus berlangsung (Caesar,
2008).
Sistem refrigerasi kompresi uap merupakan sistem yang paling banyak
digunakan pada mesin-mesin pendingin, baik pada mesin pendingin yang digunakan
pada industri atau domestic (Caesar, 2008).

2.3 Refrigeran
Refrigeran adalah suatu zat pada sistem refrigerasi yang bertindak sebagai
penyerap dan pembuang kalor, pemakaian refrigeran dalam sistem refrigerasi haruslah
aman (Caesar, 2008) , kita mengikuti syarat-syarat berikut :

1. Tidak beracun dan tidak berbau dalam semua keadaan.


2. Tidak berwarna
3. Tidak terbakar
4. Tidak mempunyai daya korosi terhadap logam
5. Dapat bercampur oli atau pelumas
6. Mempunyai struktur kimia yang stabil dan tidak mudah terurai
7. Mempunyai titik penguapan atau titik didih yang rendah
8. Mempunyai tekanan kondensasi yang tidak terlalu tinggi
9. Mempunyai tekanan evaporasi yang sedikit lebih tinggi dari tekanan atmosfer
10. Mempunyai kalor laten penguapan yang besar
11. Mudah dideteksi apabila sistem mengalami kebocoran
12. Mempunyai volume spesifik uap yang kecil

5
13. Tidak merusak lapisan ozon
14. Mudah diperoleh

2.3.1 Refrigeran primer R404a


Pada mesin berine cooling ini digunakan refrigeran R404a sebagai refrigeran
primer. Refrigeran R404a aman untuk digunakan, tidak korosif, tidak bercaun, tidak
berbau dan tidak berwarna, juga tidak mudah terbakar atau meledak jika tercampur
dengan zat lain. Refrigeran R404a memiliki titik didih normal yang sangat rendah
yaitu -60C. Sehingga sangat cocok digunakan untuk sistem yang membutuhkan
temperatur yang sangat rendah (http://en.wikipedia.org).
2.3.2 Refrigeran Sekunder
Refrigeran sekunder yang digunakan pada sistem ini adalay propylene glycol
yang dicampur dengan air dengan perbandingan 50% dari massa total. Adapun sifat-
sofat refrigeran sekunder diantaranya adalah :
Zafer (2003) menjelaskan perihal penipisan lapisan ozone dan peningkatan
panas bumi akibat jenis refrigeran tertentu sehingga perlu dicari refrigeran alternatif
yang dapat mengurangi pemakaian refrigeran primer yang dapat merusak lingkungan.
Air adalah refrigeran primer yang sangat baik namun aplikasinya hanya cocok untuk
temperatur sekitar 3C. Sehingga untuk mengatasi masalah pada sistem pendinginan
dan sistem pembekuan memerlukan fluida pendingin yang cocok dan memiliki
temperatur pembekuan di bawah 0C diperlukan beberapa persyaratan yang mendasar
sebagai refrigeran sekunder yang baik, diantaranya:
1. Freezing point dapat dikatakan sebagai titik pembekuan kristal yang perubahan
bentuk fluida dari fasa cair menjadi fasa padat. Pada pelaksanaan di lapangan
biasanya dipilih temperatur pembekuan berkisar 5C hingga 10C lebih rendah dari
temperatur pengoperasiannya .
2. Density adalah sifat yang dapat menentukan tingkat konsentrasi yang harus
dipertimbangkan sebagai fluida campuran sehingga kondisi fluida akan dapat
dengan mudah untuk dilihat.
3. Viskositas adalah sifat yang sangat penting apabila refrigeran sekunder tersebut
akan diperlukan sebagai media pendingin yang dialirkan dengan pompa, dengan
mengetahui viskositas fluida pendingin akan sangat membantu dalam penentuan
ukuran pipa dan pompa.

6
Hillern (2001) menjelaskan bahwa refrigeran sekunder tersebut selain harus
memiliki persyaratan-persyaratan yang mendasar seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa faktor korosif haruslah menjadi bahan pertimbangan dalam
memilih jenis refrigeran sekunder. Fluida pendingin seperti air-garam merupakan
jenis brine yang sangat baik, tidak bercaun, mudah didapat namum memiliki tingkat
penyebab korosifnya sangat tinggi sehingga perlu dicari alternatif lain yang memiliki
sifat yang mendekati dan disesuaikan dengan maksud dan fungsi penggunaan
refrigeran sekunder tersebut, maka salah satu pilihannya adalam campuran propylene
glycol dengan air.

2.4 Komponen Utama Sistem Refrigerasi Kompresi Uap


Sistem refrigerasi dibuat dengan menggunakan komponen-komponen
refrigerasi. Komponen sistem refrigerasi tersebut dapat dibagi menjadi dua macam
komponen yaitu komponen utama dan komponen pendukung.
Komponen utama sistem refrigerasi terdiri dari :
a) Kompresor
Kompresor adalah alat untuk menghisap uap refrigera yang berasal dari
evaporator dan menekan uap refrigeran tersebut ke kondensor sehingga tekana
dan temperaturnya meningkat. Kompresor yang biasa digunakan umumnya
bersatu dengan kondensor menjadi satu unit dan biasa disebut dengan
kondensing unit.
b) Kondensor
Kondensor berfungsi sebagai alat perpindahan panas yang dilepaskan dari uap
refrigeran ke udara luar (media pengembun) sehingga uap refrigeran akan
mengembun, dan berubah fasa dari uap ke cair. Sebelum masuk ke kondensor
refrigeran berfasa uap yang bertemperatur dan bertekanan tinggi, sedangkan
setelah ke luar dari kondensor, refrigeran berfasa cair jenuh yang bertemperatur
dan bertekanan tinggi.
c) Evaporator
Evaporator merupakan komponen sistem refrigerasi yang berfungsi untuk
memindahkan panas dari udara, air, atau obyek lainnya dengan cara mengambil
kalor untuk proses penguapan refrigeran.
d) Alat Ekspansi

7
Alat ekspansi pada sistem refrigerasi mempunyai dua tujuan, pertama adalah
fungsi termodinamik dengan ekspansi (menurunkan tekanan) cairan refrigeran
dari tekanan kondensor ke tekanan evaporator. Kedua, adalah fungsi kontrol
terhadap aliran cairan yang masuk evaporator.
Pada saat masuk katup ekspansi refrigeran berfasa cair dengan tekanan dan
temperatur tinggi. Setelah keluar, katup ekspansi berfasa campuran (cair dengan
uap) mempunyai tekanan dan temperatur rendah.
Jenis alat ekspansi yang umum digunakan adalah jenis pipa kapiler dan katup
ekspansi (terdiri atas beberapa macam). Pipa kapiler lebih sering digunakan
untuk sistem refrigerasi dengan kapasitas kecil, dibawah 10 Kwatt, dan tidak
dapat distel lagi untuk mengatasi beban yang berbeda. Katup ekspansi
termostatik (TXV) merupakan katup ekspansi yang paling populer, yang
digunakan untuk kapasitas besar.

Komponen pendukung sistem refrigerasi terbagi lagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Komponen pendukung mekanik


2. Komponen pendukung listrik
3. Komponen pendukung mekanik dan listrik

Gambar 2-1 : Jenis Komponen dan Istilah pada Siklus Refrigerasi Kompresi
Uap Sederhana
Pada gambar 2-1 ditunjukan jenis komponen serta istilah-istilah yang digunakan
dalam sistem refrigerasi, beberapa yang penting adalah :
1. Liquid line : adalah saluran pipa yang menghubungkan antara
keluaran kondensor dengan alat ekspansi. Disebut saluran cair,
karena pada pipa ini mengalir refrigeran yang didominasi oleh fasa
refrigeran cair. Kadang liquid line juga diistilahkan untuk saluran

8
yang menghubungkan antara keluaran alat ekspansi dan masukan
evaporator.
2. Suction line : adalah saluran yang menghubungkan evaporator
dengan saluran hisap (suction) kompresor. Dalam saluran ini
mengalir refrigeran uap.
3. Low pressure side (sisi tekanan rendah) : adalah bagian sistem yang
bertekanan rendah, mulai dari keluaran alat ekspansi sampai dengan
masukan kompresor.
4. High pressure side (sisi tekanan tinggi) : adalah bagian sistem yang
mempunyai tekanan tinggi, yaitu dari mulai keluaran kompresor
hingga masukan alat ekspansi.

2.5 Kinerja dari Sistem Pendingin


Performansi dari sebuah mesin pendingin sering dinyatakan dengan Coefficient Of
Performance (COP). Hal ini merupakan kemampuan dari sistem untuk mengambil
kalor dari ruangan per satuan daya di kompresor.
1. COPcarnot
Ialah COP maksimum yang dapat dicapai sistem, hal ini dapat dicari dengan
menggunakan persamaan:

=

2. COPaktual
Merupakan COP sebenarnya yang dimiliki oleh sistem. Hal ini dapat dicari
dengan menggunakan persamaan:
1 4
=
2 1
3. Efisiensi

=

4. Rasio kompresi

Adalah perbandingan antara tekanan discharge dan tekana suction

9
2.6 Teori Perhitungan Beban Pendinginan
Pada setiap perancangan sistem refrigerasi perhitungan beban merupakan
langkah yang sangat penting. Perhitungan beban akan mempengaruhi pemilihan
seluruh komponen sistem refrigerasi. Beban pendinginan yang dihitung dari beban
konduksi dinding, dan beban produk (Dossat, 1981).

2.6.1 Beban Konduksi


Besarnya kalor yang masuk ruangan melalui dinding dapat dihitung dengan
persamaan: = . . = . .
dimana,

Q=kalor yang masuk ke ruangan melalui dinding, Watt


U=koefisien perpindahan panas meyeluruh, W/m K
T=beda temperatur melalui dinding, 0C
A=luas penampang, m

Nilai U didapatkan dengan cara :


1 1 x x x x 1
= f + k1 + k2 + k3 + + kn + f
U i 1 2 3 n 0

dimana:
U=koefisien perpindahan kalor meyeluruh dalam W/mK
K =konduktivitas bahan (W/m K)
X=tebal lapisan bahan (m)
fi=koefisien konveksi dinding dalam, W/m K
fo=koefisien konveksi dinding luar, W/m K
Harga fi , fo , dan k dapat dilihat pada tabel 10-1 Roy J. Dossat.

Begitupun dengan perhitungan beban konduksi atap dan beban konduksi lantai,
hanya saja perlu diperhatikan perbedaan temperature serta luas permukaannya.

2.6.2 Beban Infiltrasi

Udara yang masuk ke dalam ruangan refrigerasi bisa menjadi beban untuk
pendinginan ruangan tersebut.

10
Besarnya beban pertukaran udara bisa dihitung dengan persamaan :
Qpu = I.H
dengan,
I = Laju inbfiltrasi (L/s)
H = perubahan entalpi (kJ/L)

2.6.3 Beban Produk

Beban produk dapat dibagi menjadi:


Beban pendinginan produk
Beban wadah (box penyimpanan)
Beban rak

2.6.4 Beban Pendinginan Produk

Beban pendinginan produk ini dapat dihitung dengan persamaan:


= . .
dimana :
Q =kalor spesifik, kJ/kg K
m =massa produk, kg
Cp =kalor spesifik produk, kJ/kg K
T =selisih temperatur produk sebelum dan sesudah didinginkan, 0C

Kalor per satuan waktu :



= . .RF

dimana :
qtotal =kalor penurunan temperatur + pembekuan, kw
n =chilling time
Cp =produk dapat dicari dengan tabel 10-8 Roy J. Dossat
RF = Rate Factor

11
2.6.5 Beban lain lain

Beban lain-lain diantaranya adalah :


Manusia
Lampu
Peralatan
Lain-lain

12
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode penelitian


Data data yang diperoleh dari penulisan laporan ilmiah ini :
1. Data dari hasil pengujian
Data diperoleh dari hasil pengujain alat praktikum mesin pendingin
brine cooling dengan refrigeran primer dan refrigeran sekunder
2. Studi literatur
Mempelajari literatur literatur yang ada kaitannya dengan masalah
yang akan di bahas.
3. Variabel penelitian
Refrigeran hidrokarbon guna melengkapi data data yang dibutuhkan
3.2 Prinsip kerja peralatan
Unit mesin pendingin yang digunakan merupakan pendingin produk es batu.
Peralatan pengujian dapat dilihat pada gambar 3.1

Gambar 3.1 Instalasi Brine Cooling


Pada mesin ini produk didinginkan ketika refrigeran sekunder telah
melewati floaded evaporator dan terjadi perpindahan kalor dari refrigeran
primer ke refrigeran sekunder, sehingga temperatur refrigeran sekunder rendah.
Refrigeran sekunder dari evaporator akan disirkulasikan menuju brine tank
menggunakan pompa. Di dalam brine tank produk akan menyerap kalor dari
refrigeran sekunder .

13
3.3 Alat - alat pengukuran
3.3.1 Charging Manifold

Gambar 3.2 Charging Manifold


Digunakan untuk mengisi dan membuang refrigerant.
3.3.2 Tang Ampere Gambar

Gambar 3.3 Tang Ampere


Tang Amper Digunakan untuk mengukur arus listrik pada saat
melakukan perawatan atau perbaikan AC
3.3.3 Termocouple
Digunakan untuk mengecek temperature pada indikator-indikator yang
telah ditentukan.

3.4 Prosedur pengujian


Untuk mengoperasikan alat pengujian ini diperlukan tahapan yang
sesuai agar tidak terjadi kesalahan yang dapat mengakibatkan komponen dan
peralatan menjadi rusak atau tidak bisa dipakai kembali serta untuk
mendapatkan data yang diharapkan. Tahapan tahapan yang perlu dilakukan
adalah sebagai berikut.
3.4.1 Penentuan titik titik pengukuran
Temperatur brine masuk
Temperatur btine keluar
Temperatur Air (produk)
Temperatur air masuk cooling tower

14
Temperatur air keluar cooling tower
Temperatur dishcarge
Temperatur suction
Temperatur masuk kondenser
Temperatur keluar kondenser
Temperatur masuk evaporator
Temperatur keluar evaporator
Arus listrik
Tegangan
Volume air
3.3.2 Pemeriksaan sebelum pengujian
Cek kondisi air di cooling tower
Cek motor pompa
Cek tekanan pada preasure gauge
3.3.3 Menjalankan mesin
Putar saklar pompa ke posisi on
Putar sakar kompresor ke posisi on
Putar saklar agitator ke posisi on
3.3.4 Prosedur pengambilan data pengujian
Mencatat data awal lembar pengujian
Pengambilan data dilakukan 3 kali dengan selang waktu
15 menit

15
BAB IV

DATA DAN ANALISA

4.1 Data Pengujian

No Menit
Titik Pengukuran Satuan
0 15 30 45
1 Temperatur Brine Masuk 23 19 18 18
2 Temperatur Brine Keluar 21 18 17 17
3 Temperatur Air (produk) dicetakan 19 18 17 17
4 Temperatur Air Masuk Cooling 25 26 26 26
Tower
5 Temperatur Air Keluar Cooling 23 21 21 20
Tower
6 Temperatur Discharge 24 80 83 83
7 Temperatur Suction 22 20 18 18
8 Temperatur Masuk Kondenser 23 68 72 73
9 Temperatur Keluar Kondenser 25 28 28 28
10 Temperatur Masuk Evaporator 24 -9 -9 -9
11 Temperatur Keluar Evaporator 23 19 17 17
12 Temperatur Liquid Line 22 27 27 27
13 Tekanan Discharge 5 7,5 7,5 7,5
14 Tekanan Suction 4,5 0,8 0,8 0,8
15 Arus Listrik 0 10,9 10,9 10,9
16 Tegangan 0 208,4 209 208,7
17 Volume Air (produk) 0 0,065 0,065 0,065
18 Kecepatan Aliran Brine 4 4 4

16
4.2 Analisa Data
4.2.1 Performansi Sistem Refrigerasi
14
= 21
344,756233,597 111,159
= = = 4,05
372,176344,756 27,49

15,38+ 273
= (35,11+273)(15,38+273)
= 5,1
4,05
= = 100% = 79%
5,1

Wk = 0,7 3 208,7 10,9 0,8 = 2206 = 2,206


2,206
= (21)
= 27,49 = 0,08
2,57 2,57
= (14) = 0,08(344,756233,597) 100% = 0,08

4.2.2 Perhitungan Beban


1. Beban Cooling Tower

= = 1000 0,006 = 6

= 4,19

= (26 20) = 6

= = 6 4,19 6 = 150,85

2. Beban Brine

= = 1036 0,001 = 1,036

= 2,481

= (18 17) = 1

= = 1,036 2,481 1 = 2,57

17
4.3 Analisa Keseluruhan
Berdasarkan data pengamatan bahwa antara temperatur air dan
temperatur brine memiliki sebesar 1 atau bahkan hingga 01 baik ketika
menggunakan TXV sebagai alat ekspansinya ataupun low side float valve. Yang
membedakan, ketika menggunakan low side float valve, temperatur air dan
temperatur brine yang tercapai adalah 1 lebih renda dari pada ketika
menggunakan TXV.
Setelah selama kurang lebih 1 jam melakukan praktikum, sistem brine
cooling tidak menghasilkan es balok. Hal ini karena untuk menghasilkan es
balok temperatur air (produk) harus 0 atau bahkan harus lebih rendah dari
0. Untuk mencapai temperatur air (produk) dibawah 0, maka chilling time
harus ditambah (tidak cukup selama 3 jam).
Pada dasarnya, brine menangani produk secara optimal. Namun, pada
saat praktikum ini, percapaian temperatur jauh dari temperatur yang diinginkan.
Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya konsentrasi brine yang
tidak ideal dan brine tidak merendam produk secara keseluruhan.
Dari setiap pengukuran baik menggunakan TXV atau low side float
valve, temperatur air dan brine dari waktu ke waktu tidak banyak mengalami
perubahan. Dapat dikatakan apabila semakin rendah temperatur brine maka
rendah pula temperatur air (produk) didalam cetakan.

18
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan perhitungan dari hasil plot diagram p-h, dapat dinyatakan bahwa sistem
brine cooling lebih efisien ketika menggunakan low side float valve sebagai alat
ekspansinya daripada menggunakan TXV. Kemudian pada praktikum brine cooling yang
telah dilakukan selama 45 menit sistem brine cooling tidak menghasilkan es balok.
Semakin rendah temperatur brine semakin rendah pura temperatur air (produk) di dalam
cetakan. Perbedaan temperatur air dan brine berkisar antara 1 dan temperatur air
(produk) memiliki nilai temperatur paling rendah sebesar 19.

5.2 Saran
Untuk menghasilkan es balok menggunakan sistem brine cooling maka dibutuhkan
chilling time yang lebih dari 45 menit. Temperatur brine harus dibawah 0 dan
gunakanlah refrigeran yang memiliki nilai NBP -15 agar produk dapat membeku.

19
DAFTAR PUSTAKA

Kusnadi, Rinard. (2012). Analisis Performansi Sistem Brine Cooling Dengan Variasi
Konsentrasi Propyelen Glycol Air Sebagai Refrigeran Sekunder. Bandung: Politeknik Negeri
Bandung.

Dossat, Roy J. (1980). Principles Of Refrigeration Second Edition. Texas: University of


Houston.

Mitrakusuma, Windy H. (2012). Dasar Refrigerasi. Bandung: Politeknk Negeri Bandung.

Hadianto, Y. (2002). Bahan Pendingin Refrigerasi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Adam, Caesar. (2008). Analisis Performansi Sistem Refrigerasi Cascade dengan


Menggunakan Intercooler dan Alat Penukar Kalor Biasa. Bandung: Politeknik Negeri
Bandung.

20

Você também pode gostar