Você está na página 1de 3

1

spektroskopi fluorometri hanya dapat menggunakan senyawa yang berfluoresensi


supaya terjadi fluoresensi harus terjadi persiapan cahaya yang kuat oleh suatu molekul. Senya
tak berfluorosensi pun dapat di analisis oleh spektrofluorometri namun harus diubah menjadi
senyawa yang dapat berfluoresensi. Dengan suatu pereaksi tertentu, senyawa yang tidak
berfluoresensi dapat diubah menjadi senyawa yang berfluoresensi. Metode ini penting baik untuk
senyawa organic maupun aorganik, dan banyak senyawa anorganik membentuk kompleks yang
mudah beerfluoresensi dengan pereaksi organic. ]Molekul yang dapat menyerap cahaya dengan
kuat adalah senyawa aromatik, heterosiklik dan konjugasi.
Jika dilihat dari struktur molekulnya maka Struktur molekul yang mempunyai
ikatan rangkap mempunyai sifat fluoresensi karena strukturnya kaku dan planar; EDG
(OH-, -NH2, OCH3) yang terikat pada sistem dapat menaikkan intensitas fluoresensi;
EWG (NO2, Br, I, CN, COOH) dapat menurunkan bahkan menghilangkan sifat
fluoresensi; Penambahan ikatan rangkap (aromatik polisiklik) dapat menaikkan
fluoresensi. Heterosiklis dengan atom N, S dan O mempunyai sifat fluoresensi;
Heterosiklis dengan gugus NH, jika medianya asam akan menaikkan intensitas
fluoresensi.

Senyawa obat yang dapat berfluorosensi yaitu seperti diatas


2.

Maksimum dari spektrum fluoresensi setelah pada panjang gelombang yang lebih panjang jika
dibandingkan dengan maksimum dari spektrum eksitasi. Ini disebabkan karena perbedaan energi
dari excited state dan ground state pada waktu absorbsi lebih besar dari proses emisi.

Pada larutan dengan konsentrasi tinggi, sebagian besar cahaya diserap lapisan larutan yang
paling dulu kontak dengan radiasi eksitasi, sehingga fluoresensi hanya terjadi pada bagian yang
menyerap cahaya tersebut. Dengan demikian, pada analisis kuantitatif harus didunakan larutan yang
encer (serapan tidak lebih dari 0,02) supaya dapat memenuhi persamaan fluoresensi:

Prosedur analisis, yaitu mula-mula dibuat kurva kalibrasi (grafik hubungan fluoresensi
dengan konsentrasi). Tahap selanjutnya adalah mengukur intensitas fluoresensi dari zat yang
diperiksa, lalu membaca konsentrasi dari kurva kalibrasi tersebut. Selama pengukuran, kondisi
percobaan harus dijaga supaya tetap konstan. Pengotoran dapat menurunkan efisiensi dari
fluoresensi sehingga mengurangi sensifitas (quenching). Analisa campuran dilakukan dengan
memilih radiasi eksitasi pada panjang gelombang yang berbeda dimana masing-masing komponen
campuran tersebut. Bila tidak mungkin, pengukuran dilakukan pada panjang gelombang yang
berbeda dimana masing-masing komponen campuran tersebut berfluoresen

Perbedaan antara eksitasi dan emisi


Emisi
Pemancaran sinar dari S1 S0
Waktunya amat singkat (10-8) detik
Jika eksitasi dihentikan,fluoresensi terhenti
Emisi foton sama nilainya dengan energi ang diserap oleh suatu molekul.

Eksitasi
Peroses sutu molekul melangsungkan suatu transisi (emisi) dari tingkat triplet
ke tingkat dasar.
Pemancaran sinar dari T1 S0
Waktunya lebih lama (10-4 detik)
Jika eksitasi dihentikan,fosforisensi masih dapat berlangsung
Biasanya didahului oleh L.A.S.
Secara teoritis spektra eksitasi identik dengan spektra absorsi u.v.
Spektra ini dapat digunakan untuk menentukan spesifik yang menyebabkan
timbulnya emisifluoresensi/ fosforisensi dan yang menimbulkan emisi yang
maksimal disebut eksitasi. Sedangkan Spektra emisi adalah duplikat dari
spektra eksitasi. Hanya timbul pada yang lebih panjang. emisi dipilih suatu
yang menimbulkan intensitas maksimal. Itu yang menyebabkan terdapat 2 cara.
Agara mendapatkan 2 panjang gelombang, yaitu panjang gelombang spesifik
(eksitasi) dan panjang gelombang maksimum (emisi).
Kurva Kalibrasi Emisi hanya dapat digunakan untuk analisis emisi saja,
kurva kalibrasi eksitasi juga hanya dapat digunakan untuk analisis eksitasi saja.
Karena mereka memiliki panjang gelombang yang berbeda sehingga akan
menghasilkan kurva kalibrasi yang berbeda juga.
Rohman, A., dan Gandjar, I.G. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Depkes RI. 1994. Farmakope Indonesia Edisi Ke-Empat. Jakarta : Kemenkes RI.
Damiani, P.C., Bearzotti, M., Cabezon, M.A. 2000. Spectrofluorometric determination of Ibuprofen in
Pharmaceutical formulations. J. Pharm. Biomed.Anal 25 : 679-683.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia edisi IV, 1061, 1062, 1069, Departemen Kesehatan Indonesia,
Jakarta Anonim, 1995, Farmakope Indonesia edisi III, 775,776, Departemen Kesehatan Indonesia,
Jakarta Mulja, 1995, Analisis Instrumental, 90, Airlangga Univercity Press, Surabaya
Iskandar, tari. 2014. https://www.academia.edu/19752586/Spektroskopi_Fluorometri
diakses pada 14 nov 05:49

Você também pode gostar