Você está na página 1de 23

1. Apa penyebab jari tangan kanan sulit menggenggam?

Sulit menggenggam (parese: kelemahan otot akibat gangguan saraf tepi yang
disebabkan oleh peradangan kronis saraf tepi/ neuritis perifer) yang terjadi
pada morbus hansen disebabkan oleh invasi Myocobacterium leprae ke saraf
perifer yang mengakibatkan kerusakan saraf.

2. Bagaimana mekanisme jari tangan kanan sulit menggenggam?


Mekanisme:
M. leprae masuk ke dalam tubuh melalui sistem respirasi bakteri
bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk ke sel Schwann bakteri mulai
bermultiplikasi di dalam sel, melepaskan diri dari sel terinfeksi dan masuk ke
dalam sel yang belum terinfeksi. (belum tampak tanda dan gejala klinis)
bakteri semakin banyak, bacterial load meningkat infeksi mulai dikenali
oleh sistem imun limfosit dan makrofag menginvasi jaringan terinfeksi
timbul manifestasi klinis:
Di saraf: mati rasa (sensoris), parese atau paralise (motorik), kulit
kering (otonom).

3. Bagaimana mekanisme abnormalitas status dermatologicus?
Interpretasi : abnormal
Mekanisme:
Efloresensi awal yang nampak adalah makula, dan kemudian seiring
dengan invasi M. leprae yang makin meluas maka terbentulah patch
yang ukurannya dari numular dan kelamaan menjadi plakat, serta ada
yang diskret dan sebagian konfluen.

4. Dimana lokasi predileksi Morbus hansen?

Kerusakan saraf akibat kusta sering didaapatkan pada


N. Ulnaris:

Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis

Clawing kelingking dan jari manis

Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis


medial
N. medianus

Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari
tengah

Tidak mampu aduksi ibu jari

Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah

Ibu jari kontraktur

Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

N. Radialis

Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

Tangan gantung (wrist drop)

Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

N. popliteal lateralis

Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

Kaku gantung (foot drop)

Kelemahan otot peroneus

N. tibialis posterior

Anestesia telapak kaki

Claw toes

Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis

N. fasialis

Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus


Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir

N. trigeminus

Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata

Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

5. Bagaimana tahapan mekanisme reaksi Morbus hansen?


Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum diketahui
dengan pasti sampai saat ini. Mengenai patofisiologi yang belum jelas
tersebut akan diterangkan secara imunologik. Dimana reaksi imun tubuh kita
dapat menguntungkan dan merugikan yang disebut reaksi imun patologik dan
reaksi kusta tergolong di dalamnya. Reaksi kusta dapat dibedakan menjadi
reaksi reversal atau reaksi upgrading dan eritema nodosum leprosum (ENL).
Reaksi reversal yang terjadi pada kusta tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti)
sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang pernanan utama
dalam reaksi kusta ini adalah sistem imunitas seluler, yaitu bila terjadi
peningkatan SIS yang mendadak. Meskipun faktor pencetusnya belum
diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat
kuman M leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada
pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan
saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang
memadai. Seperti yang sudah dijelaskan di atas yang memiliki peranan untuk
menentukan tipe kusta adalah SIS. Tipe kusta yang termasuk borderline ini
dapat berubah menjadi tipe TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS,
sebab setiap perubahan tipe selalu terjadi perubahan SIS juga. Begitu pula
reaksi reversal terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai
peningkatan SIS hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL,
berarti makin tinggi tingkat multibasilarny makin besar kemungkinanan
timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun
humoral, berupa fenomena kompelks imun akibat reaksi antara antigen M
leprae + antibodi (IgM & IgG) + komplemen yang kemudian akan
menghasilkan komplek imun. Dengan terbentuknya kompleks imun ini maka
ENL termasuk di dalam golongan penyakit komplek imun. Kadar antibodi
imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe
tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman
jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada
saat pengobatan. Hal ini terjadi karena banyak kuman kusta yang mati dan
hancur yang kemudian kuman kuman lepra ini akan menjadi antigen,
dengan demikian akan meningkatkan terbentuknya komplek imun. Kompleks
imun ini terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat mengendap
dan melibatkan berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain
dapat mengakibatkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis,
arthritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat
disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan
secara imunologik.

Reaksi Tipe I (reversal Reaksi Tipe II ( eritema


reaction) nodusum leprosum)

Pada kusta Borderline Pada pasien multi-basiler


(LL dan BL)

Segera setelah pengobatan Umumnya terjadi pada 6


atau setelah memulai pengobatan 6 bulan
6.
pengobatan pertama
Bagaimana
tatalaksana Umumnya demam ringan Demam ringan hingga
pada kasus? atau tanpa demam berat, malaise
Tatalaksana Morbus Hansen tipe BL + Reaksi Lepra tipe I
Non-Farmakologi
Melakukan penjelasan tentang penyakit lepra serta perawatan terhadap
bagian tubuh yang mati rasa
Farmakologi
MDT untuk Multibasilar
- Rifampicin 600mg/bulan dalam pengawasan
-DDS 100mg/hari
-Klofazamin300mg/bulan dalam pengawasan, diteruskan 50mg/hari atau
100mg/hari atau 3 kali 10mg setiap minggu.
Pengobatan dilakukan 12-18 bulan.
-Pemberian prednison

Minggu pemberian Dosis harian yang


dianjurkan

Minggu 1-2 40 mg

Minggu 3-4 30 mg

Minggu 5-6 20 mg

Minggu 7-8 15 mg

Minggu 9-10 10 mg

Minggu 11-12 5 mg
Morbus Hansen

Epidemiologi

Kusta termasuk penyakit tertua, kata kusta berasal dari bahasa India yaitu kustha,
dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Penyakit kusta merupakan penyakit yang
sangat ditakuti oleh masyarakat karena sering kali mengakibatkan mutilasi pada
anggot tubuh terutama bagian kaki. Kusta atau lepra merupakan penyakit yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae termasuk bakteri gram negatif yang tahan
asam. Mycobacterium leprae sudah tidak terlalu banyak penderitanya saat ini, namun
di beberapa daerah di Indonesia M leprae masih bisa ditemukan.

Penularan kusta saat ini masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan
anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M leprae dapat bertahan hidup didalam
droplet beberapa hari. Masa tunas kusta sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40
tahun, umumnya 3-5 tahun.

Sampai saat ini kusta hanya pernah ditemukan menginfeksi manusia, dan pernah
dilaporkan ditemukan pada armadilo liar. Hal ini juga menjadi pemersulit pembiakkan
M leprae. M leprae belum dapat dibiakkan dengan medium buatan maupun biakan sel,
hanya dapat tumbuh pada mouse footpad dan armadilo. Kusta bukan merupakan
penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat
dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M
leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu
menjadi tempat lesi pertama. Seperti yang dikatakan di atas penyakit kusta dapat
menyerang semua umur baik anak-anak maupun dewasa. Di Indonesia penderita
anak-anak di bawah umur 14 tahun, didapatkan 11,39% tetapi anak di bawah umur
1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita dibawah usia 1 tahun
penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada tidaknya kusta konginetal.
Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang dengan usia 25-35 tahun.1

Kusta juga sering mengenai masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah, dari data
penelitian semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat penyakitnya,
sebaliknya semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat makan akan semakin
membantu penyembuhan. Selain itu dari penelitian ada perbedaan reaksi infeksi M
leprae yang mengakibatkan gambaran klinis di berbagai suku bangsa. Hal ini diduga
disebabkan faktor genetik yang berbeda.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena
penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan dari masyarakat disekitarnya. Hal ini
akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan
sensorik, serta dengan adanya anestetik disertai paralisis dan atrofi otot.

Etiologi

Kuman penyebab dari kusta adalah Mycobacterium leprae. M leprae merupakan basil
tahan asam berukuran panjang 3 8 m dan lebar 0,5 m.

Patogenesis

Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginoklusikan M leprae pada kaki mencit dan
berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai sepesimen, bentuk lesi
maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tubuh
diperlukan jumlah minimum M leprae di tempat suntikkan namun jumlah maksimal
tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan.

Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r,
sehingga kehilangan respon imun selularnya akan menghasilkan granuloma penuh
kuman terutama di bagian tubuh yang relatif dingin yaitu hidung, cuping telinga, kaki
dan ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi
salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi. Sebenarnya M
leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat,
bahkan dapat sebaliknya. Ketidak seimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang merangsang
timbulnya granuloma setempat dan menyeluruh yang dapat sembuh atau progresif.
Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala
klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intesitas infeksinya.

Gejala Klinis

Tabel 1. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

Klasifikasi Zona Spektrum Kusta

Ridley danTT BT BB BL LL
Jopling

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)


Puskesmas PB MB

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler.
Yang termasuk tipe multibasiler adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-
Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasiler adalah tipe I,
TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.

Multibasiler berarti mengadung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan
pausibasiler berarti mengadung sedikit kuman, yakni tip TT, BT dan I. Beberapa
perbandingan dari berbagai tipe tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini

Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB)

Sifat Lepromatosa (LL) Bordeline LepromatosaMid Borderline (BB)


(BL)
Lesi: Makula Makula Plakat

Bentuk Infiltrat difus Plakat Dome-shaped (kubah)

Jumlah Papul Papul Punched-out

Distribusi Nodus Sukar dihitung, masihDapat dihitung, kulit sehat


ada kulit sehat jelas ada
Permukaan Tidak terhitung, praktis
tidak ada kulit sehat Hampir simetris Asimetris
Batas
Simetris Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat
Anestesia
Halus berkilat Agak jelas Agak jelas

Tidak jelas Tak jelas Lebih jelas

Tidak ada sampai tidak


jelas
BTA Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak

Lesi kulit Bannyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif

Sekret hidung

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasiler (PB)

Indeterminate
Sifat Tuberkuloid (TT) Bordeline
Tuberculoid (BT) (I)
Lesi Makula saja, makulaMakula dibatasiHanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat: infiltrat saja
Bentuk Satu atau beberapa
Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu
Jumlah dengan satelit Variasi
Asimetris
Distribusi Masih asimetris Halus, agak berkilat
Kering bersisik
Permukaan Kering bersisik Dapat jelas atau
Jelas dapat tidak jelas
Batas Jelas
Jelas Tak ada sampai tidak
Anestesia Jelas jelas
BTA
Hampir selaluNegatif atau hanyaBiasanya negatif
Lesi kulit negatif 1+

Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negative

Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan
kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-
Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai dengan BTA positif, maka akan
dimasukkan kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta
tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif harus
diobati dengan rejimen MDT-MB.

Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada
tahun 1995. WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung
lesi kulit dan saraf yang terkena. Hal ini dapat di lihat di tabel 4.

Antara diagnosa secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan terdapat
persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang
harus didasarkan kepada hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang
tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab
ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai
dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya.
Begitu juga dengan dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada beberapa tempat
dan dari tempat mana biopsinya di ambil. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk
diagnosis klini, dimulai dengan inspkesi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan dengan
alat yang sederhana misalnya jarum, kapas, tabung rekasi masing-masing air panas
dan air dingin, pensil tinta dan sebagainya.

Tabel 4. Bagan klinis menurut WHO (1995)


Sifat PB MB
1. Lesi kulit 1 5 lesi Lebih dari 5 lesi

(makula datar, papul yang Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih


meninggi, nodus) simetris
Distribusi tidak simetris
Hilangnya
Hilangnya sensasi yangsensasi kurang jelas
jelas
1. Kerusakan saraf
(menyebabkan Hanya satu cabang Banyak cabang
hilangnya saraf
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)

Kelainan kulit pada penyakti kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula
saja, infiltrat saja atau keduaya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain ada
tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, mesikpun tidak
selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap
rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara
tersebut baruah pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin dengan
menggunakan 2 tabung reaksi.

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom di daerah lesi yang dapat
jelas dan dapat pula tidak, yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda
Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada
gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan
bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang
kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut
sedikit sangat sukar menentukannya. Gangguan fungsi motoris diperiksan dengan
menggunakan Voluntary Muscle Test (VMT).

Kusta yang mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsitensi, ada atau tidaknya nyeri spontan dan nyeri tekan. Hanya beberaoa saraf
superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N.
radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Bagi
tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral atau menyeluruh, sedang
bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.

Deformitas atau cacat yang disebabkan oleh kusta dapat dibedakang menjadi 2 yaitu
deformitas primer dan deformitas sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung
oleh granuloma yang terbentuk sebagi reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-
tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas
primer, terutama kerusakan pada saraf baik saraf sensorik, motorik dan saraf autonom.
Cacat sekunder dapat berupa kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.
Gejala-gejala kerusakan saraf karena kusta diantaranya:

1. N. Ulnaris:

Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis

Clawing kelingking dan jari manis

Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis medial

1. N. medianus

Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah

Tidak mampu aduksi ibu jari

Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah

Ibu jari kontraktur

Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

1. N. Radialis

Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

Tangan gantung (wrist drop)

Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

1. N. popliteal lateralis

Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

Kaku gantung (foot drop)

Kelemahan otot peroneus

1. N. tibialis posterior

Anestesia telapak kaki

Claw toes

Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis

1. N. fasialis

Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus


Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir

1. N. trigeminus

Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata

Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N.
orbikularis palpebarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-
sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.

Infiltrat granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar
palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe
lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena
infiltrasi granuloa pada tubulus seminiferus testis.1

Untuk dapat membuat diagnosis klinis dan tipenya, perlu diketahui terlebih dahulu
cara membuat diagnosis kedua bentuk polat TT dan LL yang telah diuraikan secara
sistematis pada tabel 1 diatas.

Kusta dapat dibedakan menjadi kusta histoid dan kusta tipe neural:

1. Kusta Histoid

Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepormatosa yang pertama
dikemukakan oleh WADE pada tahun 1963. Secara klinis berbentuk nodus yag
berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya
timbul sebagai kasus relaps sensitif atau relaps resisiten.

1. Kusta tipe neural

Kusta tipe neural murni mempunayi tanda sebagai berikut:

Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit

Ada satu atau lebih pembesara saraf

Ada anestesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang disarafinya

Bakterioskopik negatif

Tes Mitsuda umumnya positif


Untuk menentukan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau tipe
nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf.

Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum diketahui
dengan pasti sampai saat ini. Mengenai patofisiologi yang belum jelas
tersebut akan diterangkan secara imunologik. Dimana reaksi imun tubuh kita
dapat menguntungkan dan merugikan yang disebut reaksi imun patologik dan
reaksi kusta tergolong di dalamnya. Reaksi kusta dapat dibedakan menjadi
reaksi reversal atau reaksi upgrading dan eritema nodosum leprosum (ENL).
Reaksi reversal yang terjadi pada kusta tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti)
sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang pernanan utama
dalam reaksi kusta ini adalah sistem imunitas seluler, yaitu bila terjadi
peningkatan SIS yang mendadak. Meskipun faktor pencetusnya belum
diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat
kuman M leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada
pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan
saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang
memadai. Seperti yang sudah dijelaskan di atas yang memiliki peranan untuk
menentukan tipe kusta adalah SIS. Tipe kusta yang termasuk borderline ini
dapat berubah menjadi tipe TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS,
sebab setiap perubahan tipe selalu terjadi perubahan SIS juga. Begitu pula
reaksi reversal terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai
peningkatan SIS hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL,
berarti makin tinggi tingkat multibasilarny makin besar kemungkinanan
timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun
humoral, berupa fenomena kompelks imun akibat reaksi antara antigen M
leprae + antibodi (IgM & IgG) + komplemen yang kemudian akan
menghasilkan komplek imun. Dengan terbentuknya kompleks imun ini maka
ENL termasuk di dalam golongan penyakit komplek imun. Kadar antibodi
imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe
tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman
jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada
saat pengobatan. Hal ini terjadi karena banyak kuman kusta yang mati dan
hancur yang kemudian kuman kuman lepra ini akan menjadi antigen,
dengan demikian akan meningkatkan terbentuknya komplek imun. Kompleks
imun ini terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat mengendap
dan melibatkan berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain
dapat mengakibatkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis,
arthritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat
disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan
secara imunologik.

Reaksi Tipe I (reversal Reaksi Tipe II ( eritema


reaction) nodusum leprosum)

Pada kusta Borderline Pada pasien multi-basiler


(LL dan BL)

Segera setelah pengobatan Umumnya terjadi pada 6


atau setelah memulai pengobatan 6 bulan
pengobatan pertama
Pemeriksaan
Umumnya demam ringan Demam ringan hingga

Pemeriksaan atau tanpa demam berat, malaise
bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)

Pemeriksaan bakterioskopin digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan


pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat kerokan jaringan kulit atau usapan dan
kerokan mukosa hidung yang diwarnai degan pewarnaan terhadap basil tahan asam
(BTA), yaitu Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.

Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman,
setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai
jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya yaitu untuk riset atau rutin. Untuk riset
dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimmal 2-4 lesi lain yang paling aktif,
berarti yang paling eritamtosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga
tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena atas
dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak.
Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan
ditempat yang sama pada pegamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.

Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut
didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik,
sehingga kerokan jaringan mengadung sedikit mungkin darah yang akan menganggu
gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis melampaui
subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengadung
sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya mengandung kuman M. leprae. Kerokan
jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan
pewarnaan yang klasik, yaitu Ziehl-Neelsen dan cara-cara lain.

Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pagi hari
yang ditampung dengan sehelai plastik. Perhatikan sifat cairang hidung tersebut
apakah cair, serosa, bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah atau tidak.
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel
kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil di daerah
septum nasi, selanjutnya dikerjakan seperti biasa.

Sediaan mukosa hidung sudah jarang dilakukan karena kemungkinan adanya M.


atipik, M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif, bila diobati, hasil
pemeriksaan mukosa hidung negatif terlebih dahulu, rasa nyeri saat pengambilan.

M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan, dibedakan bentuk utuh
(solid), batang terputus (fragmented) dan butiran (granuler). Bentuk solid adalah
kuman hidup, sedangkan fragmented dan granuler merupakan bentuk mati. Secara
teori penting untuk membedakan bentuk solid dan nonsolid, berarti membdekan
antara M. leprae yang hidup dan yang mati. Dalam praktik susah untuk membedakan
bentuk yang solid dan yang tidak solid karena dipengaruhi banyak faktor.

Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.

0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP

2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP

3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP

4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP

6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada


pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalag IB rata-rata semua lesi yang
dibuat sediaan.
Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan denan jumlah
solid dan nonsolid.

Rumus :

Syarat perhitungan:

Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya karena untuk mendapatkan 100 BTA harus
mencapai dalam 1000 sampai 10.000 lapangan pandang

Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus


dicari dalam 100 lapangan.

Ada pendapat bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat pula dihitung IM-nya
tetapi tidak dinyatakan dalam % tetap dalam pecahan yang tidak boleh diperkecil atau
diperbesat.

Pemeriksaan Histopatologik

Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis, kalau ada kuman M leprae
masuk, tergantung pada sistem kekebalan seluler orang tersebut bila sistem imunitas
selulernya baik maka makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya
histiosit ketempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit,
makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian
akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang
berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab
utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh,
histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa
dan sebagai alat pengangkut penyebarluasaan.

Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran


histopatologik tipe tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman
atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannnya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak
kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.

Pemeriksaan serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh


seseorang yang terinfeksi M leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae yaitu antibodi anti phenolic glycolipid (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35 kD.

Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan


(LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat
membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit misalnya pada
narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta lainnya adalah:

Uji MLPA (mycobacterium leprae particle aglutination)

Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent assay)

ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)

ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)

Pengobatan

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diamniodifeni
sulfon) kemudian kloafizimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan
3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin dan
klaritromisin.

Untuk mencegah resistensi pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi drug


treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia
sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan
kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS karena DDS
adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai
dengan para penderita yang ada di negara berkembang dengan sosial ekonomi rendah.

Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk:

Mencegah dan mengobat resistensi

Memperpendek masa pengobatan

Mempercepat pemutusan mata rantai penularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:

Efek terapeutik obat

Efek samping obat

Ketersediaan obat

Harga obat

Kemungkinan penerapannya

DDS
DDS merupakan obat pertama yang berhasil untuk mengobati M leprae yang dalam
keadaan dorman atau sleeping. Dengan DDS kuman aktif kembali dan akhirnya bisa
mati karena efek DDS. Memang ada beberapa kasus kusta yang resisten terhadap
DDS, kusta yang resisten terhadap DDS adalah tipe multibasiler tidak pernah
dilaporkan ada kusta tipe pausibasiler yang resisten terhadap DDS, karena pad kusta
pausibasiler kadar SIS dalam darah penderita tinggi dan tidak perlu waktu lama untuk
membunuh kuman yang tersisa.

Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer terjadi
pada penderita yang ditulari oleh M leprae yang telah resisten dan manifestasinya
dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL), bergantung pada kadar SIS
penderita. Derajat resistensinya yang rendah dapat diobati degan dosis DDS yang
lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai
lagi. Resistensi dari DDS dapat terjadi karena monoterapi DDS, dosis yang terlalu
rendah, minum obat tidak teratur, minum obat tidak adekuat baik dosis maupun lama
pemberiannya, pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun.

Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemina hemolitik,
leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksis,
hepatitis, hipoalbuminemia dan methemoglibinemia.

Rifampisin

Rifampisin adalah salah satu obat yang menjadi sala satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg / kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar
kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan
tidak boleh diberikan setiap minggu karena efek sampingnya. Efek samping yang
dapat terjadi adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like
syndrome, dan erupsi obat.

Klofazimin (lamprene)

Dosis sebagai antikusta adalah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, atau 3 x
100 mg setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasti sehingga dpat digunakan pada
ENL dengan dosis yang lebih besar yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru
timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu kasus telah dibuktikan pada
tahun 1982.

Efek sampingnya adalah perubahan warna kulit menjadi merah kecoklatan pada kulit
dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis yang
lebih besar. Hal ini bisa terjadi karena Klofazimin merupakan zat warna yang
dideposit terutama pada sel sel sistem retikuloendotelial, mukosa dan kulit.
Pigmentasi bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak penggunaan
obat dihentikan. Efek samping lain yang terjadi karena penggunaan dosis besar adalah
nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi
penurunan berat badan.

Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini
jarang digunakan. Distribusi protionamid di dalam tubuh tidak merata sehingga kadar
hambat minimalnya sukat ditentukan.

Obat alternatif

Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang panting aktif terhadap.


Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal
yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susuanan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang
membutuhkan penghentian pemakainan obat.

Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui haru hati-hati, karena
dalam percobaan pada hewan muda kuinolon mengakibtakan atropati.

Minosiklin

Termasuk kedalam golongan tertasiklin, mempunyai efek bakterisid yang lebih tinggi
dari pada klofazimin tetapi lebih rendah dibandingkan rifampisin. Dosis harian yang
bisa diberikan adalah 100 mg. Efek samping dari penggunaan minoksidil adalah sama
seperti tertrasiklin dapat mengakibatkan berubahnya warna gigi pada anak, kadang-
kadang dapat menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai
saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizzined, dan unsteadiness. Oleh
sebab itu minosiklin tidak boleh diberikan pada anak-anak dan ibu yang hamil.

Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotik makrolif dan mempunyai aktivitas baktersid terhadap


M leprae. Pada penderita kusta lepromatosa dosis harian 500 mg dapat membunuh
99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek diare yang
terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 200 mg.

Sediaan obat-obat di atas merupakan obat dapat di sesuaikan dengan tipe dari kusta,
beberapa terapi kombinasi yang dapat dilakukan adalah:

MDT untuk multibasiler (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA positif)

Untuk kusta tipe multibasiler dapat digunaka:

Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengunaannya harus diawasi

DDS 100 mg setiap hari

Klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari


atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.
Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan
syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis harus negatif. Apabila
bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis
negatif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara kinis setiap bulan dan
secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan
kusta multibasiler ini hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang
relatif sangat singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika dibandingkan dengan
cara sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10 tahun sampai seumur hidup.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah
RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis tetap
negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan
atau disebut Releas From Control (RFC).

Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian oral dapat
dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.

MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT dengan BTA negatif) adalah:

Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan

DDS 100 mg setiap hari

Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah
6-9 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan
baru secara klinis, dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.

Sejak tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksaan RFC. Apabila RFT telah
tercapai tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis, penderita tidak lagi diawasi
sampai RFC, walaupun akhir-akhir ini banyak yang menganjurkan diberlakukan
kembali antara lain untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps.

Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta


dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasiler dengan lesi tunggal, pausibasiler dengan lesi
2-5 buah, dan penderita multibasiler dengan lesi lebih dari 5 buah.

Sebagai standar pengobatan. WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah
memperpendek masa pengobatan menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan
pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulot 2-5 bulan tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah
dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.

Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO
Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.

Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan
DDS sehingga hanya bisa mendapat klofa-zimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan
menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400mg dan minoksiklin 100 mg setiap hari
selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400mg atau
minoksiklin 100 mg setiap hari selama 18 bulan.
Pengobatan ENL

Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosterois, antara lain prednisolon.
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisolon 15-30 mg
sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi
perlu diberikan 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin
tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bia reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan.
Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai
diberhentikan sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikesteroid. Dapat
ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedative atau bila berat, penderita dapat
menjalani rawat-inap. Ada kemungkinan kortikosteroid dapat mengakibatkan
ketergantungan, ENL akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada
dosis tertentu, sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikostreoid terus
menerus.

Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi harus
berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada
orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat.

Klofazimin kecuali kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-
reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg
sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan
secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin
dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu
efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit
menjadi bewarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tapi masih bersifat
reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obatnya dihentikan. Masih ada
obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama penaggulangan ENL ini,obat-
obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.

Pengobatan reaksi reversal

Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat
pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat
ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan
prednisolon 40 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus
secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya
kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap
kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Analgetik dan sedativ kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi
reversal kurang efektif, oleh karena itu tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid
tidak efektif untuk reaksi reversal.

Pengobatan reaksi kusta yang dianjurkan Sub Direktorat Kusta Direktorat Jendral
Pengedalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Departemen Kesehatan
Indonesia dapat dilihat skema di bawah ini.

Tabel 5. Pemberian Prednisolon


Minggu pemberian Dosis harian yang dianjurkan

Minggu 1 2 40 mg

Minggu 3 4 30 mg

Minggu 5 6 20 mg

Minggu 7 8 15 mg

Minggu 9 10 10 mg

Minggu 11 12 5 mg

Pemberian lampren

ENL yang berat dan bekepanjangan dan terdapat ketergantungan pada steroid
(pemberian prednisolon tidak dapat diturunkan sampai 0), perlu ditambahakn
klofazimin untuk dewasa 300 mg/ hari selama 2-3 bulan. Bila ada perbaikan
diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-3 bulan. Jika ada perbaikan diturunkan
menjadi 100mg/hari selama 2-3 bulan dan selanjutnya kembali ke dosis klofazimin
semula, 50 mg/hari, kalau penderita masih dalam pengobatan MDT, atau dihentikan
bila penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis prednisolon
diturunkan secara bertahap.

Pencegahan Cacat

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang
cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang
disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera
mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana
misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung
tangan billa bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata
untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari.
Hal ini dimulai dengan memeriksa sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada
tidaknya memar, luka , atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan
diminyakyi agar tidak kering dan pecah.

WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan
mata bagi penderita kusta. Pada pertemuan yang ketujuh (1977) dibuat amandemen
khusus untuk mata, hal ini dapat di lihat pada tabel di bawah ini.1

Cacat pada tangan dan kaki


Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada
kerusakan atau deformitas yang terlihat

Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan


atau deformitas yang terlihat

Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan pada mata


(termasuk visus)

Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi


tidak terlihat, visus sedikit berkurang

Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat (misalnya


lagoftalmus, iritis, kekeruhan kornea) dan
atau visus sangat terganggu.
Rehabilitasi

Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain
dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke
asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain ialah dengan
cara kekaryaan yaitu dengan memberi lapangan pekerjaan yang sesuai untuk cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri selain
itu dapat dilakukan terapi psikologik.

Daftar Pustaka

Mulyati, K. Pudji, Susilo, J. Leprosi. Dalam: Sutanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin,
P.K., Sungkar, S., editor. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi keempat. Jakarta:
FK UI; 2008.h.319-25.

Você também pode gostar