Você está na página 1de 17

REFERAT

Obat Analgetik Opioid dan Non-Opioid

Pembimbing:

dr. Hendra Deswandi, Sp. An

Penyusun:

Nia Nurhayati Zakiah 2012730067

Dias Rahmawati Wijaya 2013730134

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

RSUD SYAMSUDDIN, S.H SUKABUMI

2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karuniaNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat dengan judul Obat Analgetik Opioid dan Non-Opioid. Referat
ini penulis ajukan sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan kepanitraan klinik
Stase Anestesi di Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Penulis menyadari referat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan
saran sangat diharapkan guna perbaikan selanjutnya. Atas selesainya referat ini, penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dokter yang
telah memberikan persetujuan dan pembimbingan. Semoga referat ini dapat menambah ilmu
pengetahuan bagi penulis dan para pembaca.

Sukabumi, November 2017

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Rasa nyeri (nosisepsi) merupakan masalah unik, disatu pihak bersifat melindungi
badan kita dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Ketidak mampuan seseorang untuk
berkomunikasi secara verbal tidak menjadikan orang tersebut tidak mengalami nyeri dan
tidak membutuhkan terapi anti nyeri yang sesuai. Oleh karena itu perlu ditekankan
pentingnya pemeriksaan dan penatalaksanaan nyeri yang teliti terutama bila berhadapan
dengan pasien dengan gangguan kesadaran, pasien anak dengan gangguan pertumbuhan dan
gangguan kemampuan pra verbal, dan pasien dengan gangguan kemampuan komunikasi
akibat penyakit tertentu atau akibat kendala bahasa.

Hal utama untuk praktek penaggulangan nyeri adalah diagnosis yang tepat. Teknologi
yang semakin canggih dan tuntutan untuk menjadi lebih efisien mengakibatkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang baik menjadi kurang diperhatikan saat merawat pasien.
Kurangnya baiknya anamnesis akan membatasi kesempatan pasien untuk mendapatkan
pertolongan nyeri yang tepat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

a. Metode Penghilang Nyeri


Biasanya digunakan :
Analgetik golongan opioid untuk nyeri hebat
Golongan anti inflamasi non steroid (NSAID) untuk nyeri sedang atau ringan
Metode menghilangkan nyeri :
Oral, rektal, transdermal, sublingual, subkutan, intramuskular, intravena atau perinfus.
Cara yang sering digunakan adalah intramuscular opiod.
Metode regional misalnya :
Epidural opioid (dewasa : morfin 1-6 mg, petidin 20-60 mg, fentanil 25-100 g)
atau
intraspinal opioid ( dewasa : morfin 0,1-0,3 mg, petidin 10-30 mg, fentanil 5-25
g)
Metode infiltrasi : luka operasi sebelum pembedahan selesai

b. Terapi
WHO Pain Ladder with Pain Management Guidelines

WHO pain ladder telah dikembangkan pada tahun 1986 untuk mengelola
nyeri pada pasien dengan penyakit kanker. Sekarang konsesus seluruh dunia

4
mempromosikan penggunaan management tersebut untuk pengelolaan medis untuk
semua rasa sakit yang terkait dengan penyakit serius, termasuk rasa sakit akibat luka.
1. Step 1: Mild pain 1-4/10
Tatalaksana: non-narkotik
- Acetaminophen 650 mg atau
- ASA 650 mg atau
- Ibuprofen 400 mg
- Jenis NSAID lainnya
- Adjuvants
2. Step 2 : Moderate pain 5-7/10
Tatalaksana: tambahkan opioid
- Acetaminophen 325 mg + codein 30 mg
- Acetaminophen 325 mg + codein 60 mg
- Acetaminophen 325/500 mg + oxycodone 5 mg
- Adjuvants
Note : pertimbangkan opioid yang lebih kuat jika rasa sakit tidak terkontrol
dengan kombinasi obat tersebut. Yaitu pemberian dosis codein 400 mg/hari dn
oxycodone 80 mg/hari.
3. Step 3 : Severe pain 8-10/10
- Morfin 5-10 mg
- Dilaudid 1-4 mg
- MS-Contin dengan pemberian long acting 30-60 mg
- Fentanil 25 g + morfin sulfat 5 mg
- Adjuvants
Note : pertimbangkan dosis rendah pada orang tua
Terapi adjudvant obat yang dapat membantu meningkatkan efek analgesic non-
opioid
1. NSAID : dapat digunakan sebagai co-analgesik dan berguna dalam mengurangi
peradangan
2. Tricyclic Antidepresant : notriptyline, desipramine, amitriptyline adalah obat
pilihan, walaupun amitriptyline dapat meyebabkan kebingungan pada orang tua.
Tetapi penelitian telah membuktikan keefektifan oba tersebut untuk mengobati
nyeri neuropati dan saraf.

5
3. Obat anticonvulsant : gabapentin. pregablin dan carbamazepine dapat mengurangi
nyeri.

c. Obat-obatan Anti Nyeri


- Opioid
Adalah semua zat baik sistemik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering
digunakan dalam anestesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan
paska pembedahan.
Opium ialah getah candu. Opiat adalah obat yang dibuat dari opium. Narkotik
adalah istilah tidak spesifik untuk sema obat yang dapat menyebabkan tidur.

Mekanisme kerja
Reseptor opioid tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat, tapi lebih
berkonsentrasi di otak tengah yaitu sistem limbik, talamus, hipotalamus,
korpus striatum, sistem aktivasi retikular dan di korda spinalis yaitu
substansia gelatinosa dan dijumpai pula saraf usus
Molekul opioid dan polipeptida endogen (menkefalin, beta-endorfin,
dinorfin) berinteraksi dengan respetor morfin dan menghasilkan efek

Reseptor opioid diidentifikasikan menjadi 5 golongan :

Reseptor (mu) : -1 analgesia supraspinal, sedasi


-2, analgesia spinal, depresi napas, eforia,
ketergantungan fisik, kekakuan otot
Reseptor (delta) : analgesia spinal, epileptogen
Reseptor (kappa) : -1 nalagesia spinal
-2 tidak diketahui
-3 analgesia supraspinal
Reseptor (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung
Reseptor (epsilon) : respon hormonal

Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid ialah di reseptor substansia


grisea, yaitu di periakuaduktus dan periventrikular. Sedangkan pada system

6
spinal tempat kerjanya di substansia gelatinosa korda spinalis. Morfin (agonis)
terutama bekerja di reseptor dan sisanya di reseptor .

Golongan opioid:

1. Agonis : Mengaktifkan reseptor.

Contoh : morfin, petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein,


alfaprodin

2. Antagonis : Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan


mencegah agonis merangsang reseptor.

Contoh : Nalokson, naltrekson

3. Agonis-antagonis

Pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin

Klasifikasi opioid:

Natural (morfin, kodein, papaverin, tebain)

Semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivat tebain)

Sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil, dan remifentanil)

- Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih
mudah dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver somniferum.
Morfin paling mudah larut dalam air, dibandingkan golongan opioid lain dan kerja
analgetiknya cukup panjang.
Terhadap sistem saraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan
stimulasi. Digolongkan depresi (analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi
alveolar) dan stimulasi (parasimpatis, miosis mual, muntah, hiperaktif refleks
spinal, konvulsi, sekresi hormon ADH. Sirkulasi darah otak sebenernya secara
langsung tak terganggu, tetapi kalau terjadi depresi napas dan hiperkapnia baru
terjadi peningkatan aliran darah otak dan peningkatan tekanan intracranial.

7
Terhadap system jantung-sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan
berakibat bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis terapetik
pada dewasa sehat normal tidur terlentang hampir tidak mengganggu sistem
jantung-sirkulasi. Morfin menyebabkan hipotensi ortostatik.
Dosis besarmerangsang vagus & bradikardi .
Menyebabkan hipotensi ortostatik

Terhadap sistem respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat melepaskan


histamine, sehingga menyebabkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu di
kontraindikasi pada asma dan bronchitis kronis.
Melepaskan histamin konstriksi bronkus

Terhadap saluran cerna morfin menyebabkan kejang otot usus, sehingga


terjadi kontipasi. Kejang sfingter oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga
tidak dianjurkan digunakan untuk gangguan empedu. Kolik empedu menyerupai
serangan jantung, sehingga untuk membedakannya diberikan antagonis opioid.

Sal cerna : kejang otot usus konstipasi


Kejang sfingter oddi kolik empedu

Terhadap sistem eksresi ginjal, morfin dapat menyebabkan kejang sfingter


buli-buli yang berakibat retensio urin.
Kejang sfingter buli-buli retensi urin

Adiksi dan Toleransi

Toleransi morfin ditandai oleh peningkatan dosis pada penggunaan obat


secara berulang untuk mendapatkan efek klinis yang sama seperti sebelumnya.
Toleransi morfin hanya pada efek depresinya dan tidak pada efek stimulasinya.
Toleransi ini dapat kembali normal setelah pasien puasa morfin selama 1-2
minggu.

Adiksi morfin ialah keadaan ketergantungan fisik dan psikis yang ditandai
oleh sindroma menarik diri (withdrawal syndrome) yang terdiri dari ketakutan,
kegelisahan, lakrimasi, rinorea, berkeringat, mual- muntah, diare, menguap terus,
midriasis, hipertensi, takikardi, kejang perut dan nyeri otot.

8
Efek Samping

Jarang dijumpai alergi morfin. Gejala seperti alergi kadang ditemukan di


tempat suntikan berupa bentol kecil dan gatal. Mual dan muntah sering dijumpai.
Pruritus sering dijumpai pada pemberian morfin secara epidural atau intrarektal,
tetapi pruritus ini dapat segera dihilangkan dengan nalokson, tanpa
menghilangkan efek analgesinya.

Ambilan, distribusi dan eliminasi

Penggunaan : subkutan, IM, IV, epidural, intratekal. Absorpsi dosis paruh


waktu kira-kira 30 menit setelah suntikan subkutan dan 8 menit setelah
intramuscular. Sepertiga morfin yang diabsorpsi akan berikatan dengan albumin
plasma. Sebagian besar morfin akan dikonjugasikan dengan asam glukoronat di
hepar dan metabolitnya akan dikeluarkan oleh urin 90% dan feses 10%.

Penggunaan dalam anesthesia dan analgesia

Morfin masih popular sampai sekarang. Pada premedikasi sering


dikombinasikan dengan atropin dan fenotiasin (largaktil). Pada pemeliharaan
anestesi umum sebagai tambahan analgesia dan diberikan secara intravena.

Untuk digunakan sebagai obat utama anestesi harus ditambahkan


bensodiazepin atau fenotiasin atau anestetik inhalasi volatil dosis rendah. Pada
orang tua dan anak dikuragni dan jangan diberikan pada anak umur 5 tahun ke
bawah karena membahayakan. Dosis anjuran untuk menghilangakan nyeri sedang
: 0,10,2 mg/kgBB subkutan & I.M dapat diulang tiap 4 jam, untuk nyeri hebat
dapat diberikan dosis 1-2 mg I.V dan dosis dapat diulang apabila nyeri dirasakan
kembali.
Untuk mengurangi nyeri paska bedah atau nyeri persalinan dapat diberikan
dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2 mg intratekal, dosis dapat diulang setelah 6-12
jam .
Keuntungan premedikasi dari morfin adalah:
Menghilangkan rasa cemas dan memberikan ketenangan
Mengurangi dosis obat anestesi
Membantu untuk mencegah takipnea

9
Memberikan efek analgetik
Memudahkan control ventilasi bila hal yang tidak diinginkan

Kerugian premedikasi dari morfin:

Dapat menimbulkan muntah-muntah pasca bedah, konstipasi dan ileus


Menimbulkan depresi pernapasan dan menghambat induksi pada anestesi
inhalasi
Mengacaukan ukuran pupil untuk mengetahui dalamnya stadium anestesi
Menimbulkan efek adiksi.

- Petidin (Mepridine, Demerol, Pentalgin)


Adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi
mempunyai efek klinik dan efek samping hampir sama dengan morfin.
Perbedaan dengan morfin :
a. Lebih larut dalam lemak
b. Metabolisme oleh hepar lebih cepat & menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat & asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analegesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin
c. Bersifat atropin meyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan &
takikardi
d. Menyebabkan konstiapsi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan
e. Efektif menghilangkan gemetaran paska bedah yang tak ada hubungannya
dengan hipotermi dapat diberikan dengan dosis 20-25 mg I.V pada orang
dewasa
f. Lama kerja petidin lebih pendek
Penggunaan klinis
Untuk premedikasi dapat diberikan dosis 25-100 mg atau (0,5-1
mg/kgBB IM
Dosis I.M 1-2 mg/kg BB dapat diulang 3-4 jam.
Dosis I.V 0,2-0,5 mg/BB
Subkutan tidak dianjurkan karena bersifat iritasi

10
Dapat untuk analgesia spinal, dosis 1-2 mg/BB
Efek samping
Kardiovaskuler
Dapat menimbulkan hipotensi ortostatik pada dosis terapeutik, henti
jantung
Respirasi
Depresi pernapasan dan mengeluarkan histamine dari jaringan
Konstipasi
- Fentanil
Zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai
efek klinik dan efek samping yang mendekati sama, namun fentinil dengan
kekuatan 100 kali morfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan petidin ,
dapat menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena
ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi
fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisir oleh hati
dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat
urin.
Efek depresi napas lebih lama dibanding efek analgesinya. Dosis 1-3 g/kgBB
nalgesinya berlangsung 30 menit namun tidak digunakan untuk paska bedah .
Dosis besar 50-150 g/kgBB digunakan untuk induksi anestesi & pemeliharaan
dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis rendah pada bedah
jantung.
Efek Samping yang dapat terjadi kekakuan otot punggung namun dapat di
cegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar mencegah: peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron & kortisol

- Sufentanil
Cara kerja dan kegunaanya sama dengan fentanil, efek pulih lebih cepat dari
fentanil. Kekuatan analgesi 5-10 kali fentanil, Dosis 0,1-0,3 mg/kgBB.

- Alfentanil
Kekuatan analgesi 1/5 1/3 fentanil
Insiden mual muntah sangat besar

11
Mula kerja cepat
Dosis analgesi : 10-20 g/kgBB

- Tramadol
Analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor dan kelemahan
analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan oral, IM, IV,
dengan dosis 50-100mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam , dosis maksimal 400
mg/hari.
Farmakodinamik
Tramadol memiliki 2 mekanisme yang berbeda pada manajemen nyeri
yang keduanya bekerja secara sinergis yaitu agonis opioid yang lemah dan
penghambat pengambilan kembali monoamine neurotransmitter. Tramadol
mempunyai bioavailabilitas 70-90% pada pemberian peroral serta
pemberian peroral, serta dengan pemberian dua kali sehari dapat
mengendalikan nyeri secara efektif
Farmakokinetik
Setelah pemakaian secara oral seperti dalam bentuk kapsul atau tablet,
tramadol akan muncul di dalam plasma selama 15-45 menit, mempunyai
onset setelah 1 jam yang mencapai konsentrasi plasma pada manusia
selama 2 jam.
Tramadol mengalami metabolism hepatic, secara cepat dapat diserap
pada traktus gastrointestinal, 20% mengalami metabolism didalam hati
dengan hampir 85% dosis oral yang dimetabolisme pada relawan muda
yang sehat.
Pada wanita hamil dan menyusui tramadol dapat melintasi plasenta dan
tidak merugikan janin bila digunakan jauh sebelum melahirkan, hanya
0,1% yang masuk kedalam air susu ibu, meskipun demikian tramadol tidak
dianjurkan selama masa kehamilan dan laktasi
- Antagonis
- NALOKSON
Nalakson adalah antagonis murni opioid dan bekerja pada reseptor mu,
delta, kappa, sigma. Pemebrian nalakson pada pasien setelah mendapat morfin

12
akan terlihat laju napas meningkat, kantuk menghilang, upil mata dilatasi,
tekanan darah apabila sebelumnya rendah dapat meningkat.
Biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir pembedahan
dengan dosis dicicil 1-2 g/kgBB I.v , dapat diulang tiap 3-5 menit, sampai
ventilasi baik. Pada keracunan opioid nalakson dapat diberikan per-infus dosis
3-10 g/kgBB. Untuk depresi napas neonatus yang ibunya mendapat opioid
beri nalokson 10 g/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Satu ampul
nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10 ml 1 ml = 0,04 mg.

- NALTREKSON
Naltrekson merupakan antagonis opioid kerja panjang diberi peroral
(bertahan sampai 24 jam) pada pasien yang ketergantungan opioid. Waktu
paro plasma 8-12 jam. Pemberian per oral dapat bertahan sampai 24 jam.
Naltrekson peroral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus, mual, muntah
pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa menhilang kan efek analgesinya

Analgetik Non Opioid

Banyak obat memiliki sifat analgetik yang tidak berkaitan dengan reseptor
opioid misalnya acetaminophen dan NSAID (non-streroid anti inflammatory drug).
Golongan obat anlgetik non-opioid dianggap kurang meyakinkan untuk mengurangi
nyeri pasca bedah, kecuali kalau sifat nyeri pasca bedah tersebut nyeri ringan ata nyeri
sedang. Golongan obat analgetik nonopioid ini digunakan sebagai tambahan
penggunaan opioid dosis rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa
depresi napas. Golongan analgetik nonopioid selain bersifat anti inflamasi juga
bersifat analgesic, antipiretik dan anti pembekuan darah.

Kerja obat ini menghambat aktivitas ensim siklo-oksigenase, sehingga terjadi


penghambatan sintesis prostaglandin perifer. Prostaglandin dihasilkan oleh fosfolipif
sendiri secara langsung tidak menyebabkan nyeri, tetapi menurunkan respons
terhadap inflamasi, sehingga mengurangi nyeri perifer. Analgetik NSAID jumlahnya
sangat banyak.

Asam asetil salisilat

13
Asam asetil salisilat (aspirin) digunakan untuk mengurangi nyeri ringan atau
sedang dan biasanya dikombinasi dengan analgetik lain untuk 3-4 hari. Aspirin lebih
bersifat antipiretik. Dosis oral tablet 250-500 mg/8-12 jam.

Indometasin

Indometasin (confortid) 25 mg/8-12 jam bermanfaat untuk mengobati arthritis.

Diklofenak

Diklofenak (voltaren):

dosis dewasa oral : 50-100 mg/8-12 jam

IV : 75 mg

suppositoria: 50-100 mg/12 jam

Ketorolak

Ketorolak (toradol) dapat diberikan secara oral, intramuscular atau intravena.


Tidak dianjurkan untuk intratekal atau epidural. Setelah suntikan intramuscular atau
intravena efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan
lama kerja sekitar 4-6 jam dan penggunaannya dibatasi untuk 5 hari.

dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.
Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan untuk berat < 50 kg,
manula atau gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg.

Sifat analgetik ketorolak setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac = 12 mg


morfin = 100 mg petidin, sedangkan sifat antipiretik dan anti inflamasinya rendah.
Ketorolak dapat digunakan secara bersamaan dengan opioid.

Cara kerja ketorolak ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa


mengganggu reseptor opioid di sitem saraf pusat. Seperti NSAID lain tidak dianjurkan
digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita sedang
menyusui, usia lanjut, anak usia < 4 tahun, gangguan perdarahan dan bedah
tonsilektomi

Ketoprofen

14
Ketoprofen (profenid) dapat diberikan secara oral kapsul atau tablet 100-200
mg setiap hari, per rectal 1-2 setiap hari, intramuscular 100-300 mg per hari atau
intravena perifus dihabiskan dalam 20 menit.

Piroksikam

Piroksikam (feldane) dapat diberikan secara oral, rectal, atau ampul 10-20 mg.

Ternoksikam

Tenoksikam (tilcotil) biasanya diberikan intramuscular, intravena ampul 20


mg setiap hari yang dilanjutkan dengan oral. Hasil metabolism dibuang lewat ginjal
dan sebagian lewat empedu

Meloksikam

Meloksikam (movicox) adalah inhibitor selektif Cox-2 dengan efektivitas


sebanding diklofenal (voltaren) atau piroksikam (feldane) dalam mengurangi nyeri,
tetapi dengan efek samping minimal. Dosis per hari satu tablet 7,5 mg atau 15 mg

Acetaminofen

Acetaminofen (paracetamol, panadol) tidak punya sifat antiinflamasi dan sifat


inhibitor terhadap sintesis prostaglandin sangat lemah, karena itu tidak digolongkan
sebagai NSAID. Biasanya untuk nyeri ringan dan dikombinasikan dengan analgetik
lain. Oral 500-1000 mg/4-6 jam, dosis maksimal 4000 mg/hari. Dosis toksis dapat
menyebabkan nekrosis hati, karena ia dirusak oleh enzim mikrosomal hati.
Acetaminofen lebih disukai disbanding aspirin, karena efek samping terhadap
lambung dan gangguan pembekuan darah minimal.

Efek samping golongan NSAID

1. Gangguan sistem saluran cerna


lambung merasa nyeri, panas, kembungm mual-muntah, konstipasi, diare,
dyspepsia, perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa lambung dan perforasi.
2. Hipersensitivitas kulit : pruritus, sindrom steven-johnson
3. Gangguan fungsi ginjal : terjadi penurunan aliran darah ginjal, penurunan laju
infiltrasi glomerulurs, retensi natrium, hiperkalemia
4. Gangguan fungsi hepar : peningkatan kadar SGOT, SGPT
5. Gangguan sistem darah : terjadi trombositopenia, anemia aplastik

15
6. Gangguan kardiovaskular : akibat retensi air dapat menyebabkan edema hipertensi
dan gagal jantung
7. Gangguan respirasi berupa tonus otot bronkus meningkat, asma
8. Keamanannya belum terbukti pada wanita hamil, wanita menyusui, proses
persalinan, anak kecil, manula.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief S.A., Suryadi K.A., Dachlan M.R. 2009. Ilmu Dasar Anestesi Dalam Petunjuk
Praktis Anestesiologi Edisi ke 2. Jakarta: FKUI.
2. Sugiarto, Adhrie,dkk. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: FKUI
3. Tantri, Aida,dkk. 2009. Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. Jakarta: FKUI.
4. World Health Organization.(2009). WHOs Pain Relief Ladder.
www.who.int/cancer/palliative/painladder/en/
5. World Health Organization.(2016). International Association for the Study of Pain.

17

Você também pode gostar