Você está na página 1de 13

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT UU NO.

42 TAHUN 2008

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemilihan umum (Pemilu) akan berlangsung di Indonesia pada tahun 2014, untuk memilih
anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden periode 20142019. Pemilu perlu didukung oleh
instrumen hukum berupa undang-undang, di antaranya undang-undang yang mengatur pemilu
presiden dan wakil presiden, yaitu UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden (UU Pilpres), yang saat ini sedang dibahas perubahannya di DPR-RI. Di
dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut pemilihan Presiden),
persentase digunakan tidak hanya dalam hal menentukan pasangan yang terpilih, namun juga
digunakan sebagai prasyarat dalam pencalonannya, terkait syarat pencalonan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden melalui suatu partai politik maupun gabungannya yang merupakan
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Pada ketentuan lebih lanjut,
tepatnya Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden, diberikan tambahan syarat partai politik maupun gabunganya tersebut
mendapatkan perolehan suara sah nasional minimal 20% pada pemilihan umum atau memiliki
minimal 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, yang secara konseptual dikenal
sebagaipresidential threshold. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-
59/PUU-VI/2008, ketentuan pencalonan pada tingkat undang-undang tersebut dinyatakan
konstitusional, dengan catatan, bahwa terdapat beberapa pendapat berbeda dari hakim konstitusi
yang mengadili uji materil norma undang-undang tersebut.Ketentuan persentase syarat
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tersebut menimbulkan suatu problematika pertentangan
norma (conflict of norm). Apabila meninjau ketentuan dalam UUD 1945, Pasal 6A ayat (2)
hanya sebatas menentukan perihal pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang tercatat sebagai peserta pemilu
legislatif dan secara gramatikal tidak ditentukan secara formal adanya prasyarat persentase yang
harus dipenuhi. Pengaturan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 menimbulkan kesan adanya konflik
norma secara vertikal dikarenakan pasal tersebut memperluas syarat pengajuan calon dari apa
yang telah ditentukan dalam UUD 1945.
Terkait dengan permasalahan tersebut, Mahkamah Konstitusi pada dasarnya telah menegaskan
justifikasi ketentuan persentase syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dimana Putusan
Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 menolak pengujian terhadap Pasal 9 undang undang No. 42
Tahun 2008. Mahkamah melegitimasi konstitusionalias ketentuan persentase syarat pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden atas dasar delegasi kekuasaan yang diberikan oleh UUD 1945
kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur setiap ketentuan dalam undang-undang
pemilu sepanjang tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat
ditoleransi. Namun sebagai hal yang patut untuk dicermati bahwa terdapat pendapat berbeda
(dissenting opinion) dalam putusan Mahkamah tersebut, dimana UUD 1945 sesungguhnya
dianggap tidak memberikan kekuasaan untuk mengatur lebih lanjut syarat pencalonan Presiden
dan Wakil Presiden, serta perihal pemilu legislatif dan pemilu Presiden yang seharusnya
diselenggarakan dalam waktu yang bersamaan. Dalam prospeksi, putusan ini tentu juga akan
membawa dampak perubahan secara prosedural-teknis pemilu yang diselenggarakan pada tahun
2019. Salah satu dampak paling nyata yang akan terjadi adalah tentang Presidential Treshold.
Meski MK menolak pengujian terhadap pasal ini dalam UU Pilpres, tentu dapat dipastikan
konsep ambang-batas suara minimal yang harus diperoleh partai politik untuk dapat
mencalonkan Presiden ini akan hilang. Dalam konteks permasalahan ini, kita tentu tetap melihat
Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution, the sole interpreter of the
constitution (meski tidak terlihat dalam Putusan atas permohonan uji materil oleh Yusril4). Hal
yang lebih penting lagi untuk diafirmasi dan ditegaskan adalah kita tetap melihat putusan MK
sebagai suatu putusan yang final and binding. Namun tentu sebagai akademisi adalah kewajiban
juga bagi kami untuk mencoba menelaah dan menganalisis lebih lanjut tentang putusan yang
menurut kami adalah putusan MK yang paling signifikan dampaknya terhadap sistem
ketatanegaraan Indonesia di tahun 2014, bahkan sejak MK berdiri.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang dapat disusun
adalah sebagai berikut :
1. manganalisis putusan Mahkamah konstitusi(MK) tehadap UU No.42 tahun 2008 tentang
pemilihan umum presiden dan wakil presiden terkait dengan presidential threshold?
2. apa pertimbangan MK menolak gugatan yuzril ihza mahendra terkait dengan perihal uji materi
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres.?

BAB II
PEMBAHASAAN

Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 sering dikorelasikan dengan istilah presidential


threshold sebagai terminologi ketentuan persentase syarat Penggunaan istilah threshold, dalam
hal ini presidential threshold, untuk mendeskripsikan persentase sebagai syarat pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden menimbulkan kerancuan. Secara teoritis, threshold merupakan
tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh agar dapat menempatkan perwakilan dan pada
umumnya dikembangkan pada negara-negara yang menggunakan sistem pemilu perwakilan
proporsional (proportional representation). Penggunaan istilah threshold dalam hal persentase
syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden menjadi rancu dikarenakan ketentuan tersebut
tidak memenuhi dua kriteria yang ditentukan tersebut, yakni :
1. Persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tidak ditujukan
sebagai ambang batas yang harus dipenuhi untuk menentukan siapa Pasangan Presiden dan
Wakil Presiden terpilih.
2. Sistem pemilihan Presiden di Indonesia tidak menggunakan sistem perwakilan proportional,
melainkan sistem pluralitas/mayoritas.11
Perihal kriteria yang pertama, bahwasanya persentase sebesar 20% (dua puluh persen) jumlah
perolehan kursi DPR atau 25% (dua puluh lima persen) jumlah perolehan suara sah nasional
adalah ditujukan untuk menentukan syarat kontestasi, bukan sebagai syarat keterpilihan.
Persentase yang ditegaskan sebagai syarat kontestasi tidak serta merta menjadikannya sebagai
ambang batas atau threshold. Sama halnya dengan kebijakan afirmatif 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik sebagai syarat partai politik dalam
pendaftaran menjadi calon peserta pemilu (vide Pasal 15 huruf d UU No. 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD).
Pendapat tentang Presidential Threshold
PT diatur dalam Pasal 9 UU Pilpres, yaitu pasangan calon diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR-RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional
dalam Pemilu anggota DPR-RI, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ini
berarti bahwa berdasarkan hukum positif PT di Indonesia sebesar 25 persen suara sah nasional
dari hasil pemilu legislatif atau 20 persen kursi parlemen yang terpilih.
Menurut Jimly Asshiddiqie, Pasal 9 UU Pilpres masih realistis untuk tetap digunakan
karena presidential memang harus menggunakan threshold yang besar. Kemudian perihal
kriteria kedua, agar persentase pemilu dapat diterjemahkan sebagaithreshold adalah ketentuan
tersebut digunakan dalam sistem perwakilan proporsional. Andrew Reynolds memaparkan
bahwa ambang batas yang secara formal diatur dan dipaksakan secara hukum berdasarkan
konstitusi atau ketentuan perundang-undangan digunakan untuk membatasi sistem perwakilan
proporsional. Dalam hal ini, sistem pemilihan legislatif yang menggunakan sistem perwakilan
proporsional adalah berbeda dengan sistem pemilihan kepala eksekutif yang mencari suara
mayoritas. Pemilihan Presiden
A. putusan Mahkamah konstitusi(MK) tehadap UU No.42 tahun 2008 tentang pemilihan umum
presiden dan wakil presiden terkait dengan presidential threshold
Masalah hukum terutama dan paling terlihat yang muncul dari putusan ini adalah
bagimana MK menetapkan suatu peraturan inkonstitusional, namun dengan syarat yang harus
terpenuhi terlebih dahulu. MK dalam pasal pertama amar putusannya menyatakan ada 4 pasal
dari UU No. 42 Tahun 2008 yang inkonstitusional. Dalam pasal kedua, MK lalu menyatakan
bahwa pasal tersebut diatas, yang telah terlebih dahulu dikatakan inkonstitusional, baru dicabut
pada tahun 2019. Pertanyaan turunan yang kemudian muncul dari permasalahan ini tentu adalah
bagaimana konstitusionalitas Pemilu Presiden 2014, bahkan pemilu yang selama ini terjadi?
Selain masalah hukum yang berkaitan dengan substansi putusan, masalah hokum lainnya adalah
yang berkaitan dengan proses yuridis-formal. Fakta terungkap bahwa ada jeda waktu sekitar 10
bulan setelah Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi sampai akhirnya perkara ini putusannya
dibacakan. Adapun dalam tenggang waktu 10 bulan itu terjadi Dalam prospeksi, putusan ini
tentu juga akan membawa dampak perubahan secara prosedural-teknis pemilu yang
diselenggarakan pada tahun 2019. Salah satu dampak paling nyata yang akan terjadi adalah
tentang Presidential Treshold. Meski MK menolak pengujian terhadap pasal ini dalam UU
Pilpres, tentu dapat dipastikan konsep ambang-batas suara minimal yang harus diperoleh partai
politik untuk dapat mencalonkan Presiden ini akan hilang. Disinilah perdebatan yang
sesungguhnya terjadi: apakah putusan MK ini sesungguhnya akan membawa perubahan positif
bagi sistem pemerintahan di Indonesia, sesuai dengan salah satu alasan MK mengabulkan
permohonan ini yaitu untuk memperkuat sistem presidensial

Garis Besar Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013


Perkara konstitusi yang diadili oleh MK sehingga melahirkan putusan ini adalah perkara
pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Permohonan ini diajukan oleh Effendi Gazali (selanjutnya akan disebut Pemohon). Secara garis
besar, argumentasi pemohon, dengan dilabeli faktor-faktor secara signifikan mengambat
kemajuan negara Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Politik transaksional yang terjadi berlapis-lapis, dimana pemohon bahkan menginventarisasi
akan dapat terjadi 4-5x politik transaksional ini dalam Pemilu,
yaitu5:
- Pada saat mengajukan calon anggota legislatif
- Pada saat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden karena ketentuan
Presidential Treshold
- Setelah diketahuinya hasil putaran pertama Pemilu Presiden (jika harus terjadi 2x
pemilu)
- Pada saat pembentukan kabinet
- Pada saat membentuk koalisi di DPR
2. Biaya politik yang tinggi dalam proses penyelenggaraan Pemilu, dimana klaim
pemohon adalah mengutip apa yang pernah disampaikan Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi, yaitu 1 Trilyun Rupiah dihabiskan untuk kampanye Pilkada Jawa
Timur.
3. Politik uang yang meruyak, sebagai salah satu unsur dari politik transaksional
tersebut diatas
4. Korupsi Politik
5. Tidak ditegakkannya sistem Presidensial atau diperkuatnya yang sebenarnya
Legitimasi Persentase Syarat Pencalonan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

Pertentangan norma yang terjadi perihal pengaturan persentase syarat pencalonan Presiden
dan Wakil Presiden seyogyanya telah ditegaskan konstitusionalitasnya dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Persentase syarat pencalonan Presiden
dan Wakil Presiden timbul sebagai bagian dari ius constituendum yang diwujudkan oleh
pembentuk undang-undang dengan dasar adanya penyerahan kekuasaan oleh UUD 1945 untuk
mengatur lebih lanjut ketentuan tata cara pemilihan Presiden sebagaimana diatur dalam UUD
1945. sebagai norma superior.17 Jimly Asshiddiqie memaparkan hal tersebut sebagai delegated
legislation yang menimbulkan proses penyerahan kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan
perundang-undangan (power of rule-making).18 Apabila merujuk ketentuan Pasal 10 ayat (1)
huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi
muatan yang harus diatur dengan undang-undang adalah berisi pengaturan lebih lanjut mengenai
ketentuan UUD 1945. Oleh karena itu, DPR-RI memegang kekuasaan untuk menentukan
substansi hukum perihal mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden dalam undang-
undang, termasuk setiap syarat-syarat kontestasinya sepanjang konstitusional.
Adapun secara teoritis Hans Kelsen memaparkan perihal mekanisme derogasi dalam
menyelesaikan permasalahan norma yang saling bertentangan. Derogasi dilakukan apabila
terdapat norma-norma yang saling berkonflik antara yang satu dengan yang lainnya, dimana
konflik tersebut terjadi jika dalam menerapkan Kedudukan UU No. 42 Tahun 2008 dalam tata
peraturan perundang-undangan Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD
1945

Ironisnya, hal seperti yang diimplikasikan oleh ahli Imran Putra Sidin inilah persis yang terjadi
dengan MK dalam kaitannya dengan putusan uji materil UU Pilpres oleh Effendi Gazali, jika
dibandingkan dengan putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008. Dalam putusan-putusan yang
disebut terakhir MK intinya berpendapat bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden setelah
pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD, dan DPD adalah diperkenankan karena merupakan suatu
konvensi ketatanegaraan. Tentu mengherankan jika 6 tahun kemudian MK memutus hal yang
180 derajat berbeda dengan hal ini. Disinilah pendapat ahli Hukum Tata Negara UGM Zainal
Arifin Muchtar10, bahwa putusan MK juga terpengaruh oleh keadaan politik, mungkin dapat
dikatakan benar. Kesan lain yang muncul dari pernyataan ahli tersebut seolah mengafirmasi dan
mengingatkan kembali akan apa yang ada dibenak penulis selama ini. Kami selalu berpikir
bahwa prinsip ne bis in idemtidak benar-benar diterapkan oleh MK. Untuk suatu tujuan yang
sama, seorang pemohon hanya secara formalitas saja menambahkan beberapa pasal yang hendak
diujikan maupun yang menjadi batu uji, agar permohonannya tidak ne bis in idem dengan
permohonan sebelumnya.

Pertimbangan MK dalam Putusan


Inti dari pertimbangan MK dalam putusan ini adalah bahwa MK juga melihat bahwaPasal
22 E ayat (1) memang seharusnya dibaca dalam satu tarikan nafas, yang akan mengakibatkan
maknanya memang adalah Pemilu dilaksanakan secara serentak. MK juga berpendapat bahwa
dengan alasan penguatan sistem Presidensial, melihat original intent dari pembentuk UUD,
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga Negara untuk memilih secara
cerdas, maka memang sudah benar permohonan pemohon untuk mencabut pasal-pasal yang
berkaitan dengan praktik Pemilu terpisah yang terjadi saat ini.

Persentase Syarat Pencalonan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Yang Demokratis
Penyelenggaraan pemilu yang tidak demokratis sepanjang era Orde Baru merefleksikan
harapan pembangunan hukum yang responsif pada era reformasi, terutama dalam pemilihan
kepala pemerintahan. Triwahyuningsih memaparkan bahwa mekanisme pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden yang demokratis ditentukan oleh dua prosedur. Pertama, kontestasi yang adil
dengan diimbangi dengan kesempatan yang sama dan sarana yang relatif seimbang. Kedua,
partispasi publik terkait dengan hak warga negara untuk memilih calon tersebut. Dalam rangka
memenuhi aspek keadilan, ketentuan Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 pada dasarnya berusaha
menentukan persyaratan yang sama untuk setiap subyek hukum yang terikat. Kontestasi yang
adil ditunjukkan bahwa sebelum pemilihan umum presiden diselenggarakan, semua partai politik
atau gabungan partai politik terikat kepada persyaratan yang sama, yakni 20% jumlah perolehan
kursi atau 25% jumlah perolehan suara sah. Apabila mengacu pada teori justice as fairness dari
John Rawls dimana keadilan yang fair terwujud dengan memberikan aturan menguntungkan bagi
pihak yang berada pada posisi lemah, adanya formulasi dua jenis persentase dan frase gabungan
partai politik dalam pengaturannya berusaha untuk memaktubkan teori keadilan tersebut.25 Dua
jenis persentase diberlakukan untuk membuka peluang bagi partai politik yang tidak
mendapatkan kursi di lembaga legislatif akibat pengaturan ambang batas formal pemilu DPR,
sehingga dapat menggunakan ketentuan persentase perolehan suara. Kemudian perihal frase
gabungan partai politik mengupayakan terwujudnya keadilan yang imparsial dengan
memberikan peluang yang relatif sama bagi setiap partai politik, termasuk bagi partai politik
dengan perolehan suara dan kursi yang minim untuk terlibat dan dapat menyalurkan aspirasi
dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

B. PERTIMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENOLAK GUGATAN YUZRIL IHZA


MAHENDRA DALAM PERIHAL UJI MATERI UNDANG-UNDANG NO 42 TAHUN 2008
TENTANG PILPRES
Yusril Ihza Mahendra, Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB), mengajukan gugatan
terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres)
terhadap UUD 1945, ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada 13 Desember 2013. Dan pada Selasa
kemarin, sidang perdana mulai digelar. Yusril memohon pengujian untuk Pasal 3 ayat 4, Pasal 9,
Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 UU Pilpres, terhadap Pasal 4 ayat 1 pasal 6a ayat 2, Pasal 7c, Pasal
22e ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945. Menurut pakar hukum tata negara tersebut, seharusnya dalam
sistem presidensial, pemilihan presiden lebih dulu digelar dan baru kemudian digelar pemilihan
legislatif. Atau pemilihan presiden dan legislatif dilakukan bersamaan. Tidak mungkin,
pemilihan legislatif diadakan lebih dulu, baru kemudian diadakan pemillihan presiden. Sebab hal
itu justru menganut sistem parlementer.

Mahkamah Konstitusi menolak gugatan mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza
Mahendra terkait dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam UU tentang Pemilu
Presiden dan pelaksanaan pemilu serentak pada 2019. Hal tersebut terungkap dalam sidang
pembacaan putusan gugatan UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden, Kamis (20/3). Sidang
dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Terhadap dua gugatan tersebut, MK
berpegang pada putusan sebelumnya. Pemilu serentak tetap dilangsungkan pada 2019 dan
ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) diserahkan kepada pembentuk UU
sebagai kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy). Dengan demikian, persyaratan untuk
partai politik atau gabungan partai politik dalam mengajukan pasangan calon presiden dan calon
wakil presiden pada pemilu presiden 9 Juli 2014 tetap harus memperoleh minimal 20 persen
kursi DPR atau mendapat suara sah secara nasional 25 persen dalam pemilu legislatif 9 April
2014. Pemilu presiden dan pemilu legislatif juga baru diadakan serentak pada 2019, bukan tahun
ini.

Pertimbangan MK

Dalam gugatannya, Yusril mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 3 Ayat (5); Pasal 9;
Pasal 14 Ayat (2); dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden yang
dinilai bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1); Pasal 6 A Ayat (2); Pasal 7C; serta Pasal 22 E Ayat
(1), Ayat (2), dan Ayat (3) UUD 1945. Namun, MK hanya mempertimbangkan norma-norma
yang dipersoalkan Yusril dengan batu uji berbeda dan menolak mempertimbangkan pengujian
norma-norma yang sudah pernah diuji di MK. Dalam pertimbangannya, MK tetap merujuk pada
putusan sebelumnya, misalnya putusan Nomor 56/PUU-VI/2008, 51-52-59/PUU-VI/2009,
26/PUU-V1I/2009, 4/PUU-XI/2013, dan 14/PUU-XI/2013. Terkait dengan pelaksanaan pemilu
serentak yang baru dimulai 2019 yang dipersoalkan Yusril, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil
Sumadi mengungkapkan, hal tersebut telah dipertimbangkan dalam putusan 14/PUU-XI/2014
yang dimohon oleh Effendi Ghazali. Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan Effendi
Ghazali yang pada dasamya pemilu serentak (legislatif dan presiden) sesuai dengan original
intent para pembuat UUD atau sering disebut pemilu lima kotak.
Demikian pula dengan permintaan Yusril untuk menghapus syarat ambang batas pencalonan
presiden/wakil presiden, MK juga kembali mengutip putusan sebelumnya. "Menurut Mahkamah,
putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014 ataupun putusan
Mahkamah Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 bertanggal 18 Februari 2009 telah menyebutkan
secara tegas bahwa ketentuan a quo (presidential threshold) merupakan kebijakan hukum terbuka
atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk
undang-undang, ungkap Hakim Konstitusi Harjono. Dengan demikian, semua permohonan
Yusril kandas. Tak satu pun yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
presidential threshold (PT), menurut MK dalam Putusan No. 51-52-59/PUU-VI/2008
merupakan (1) norma konkret penjabaran Pasal 6A ayat (2) UUD N RI Tahun 1945, legal
policy terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD N RI Tahun 1945, dan tata cara
pilpres berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD N RI Tahun 1945 sebagai kebijakan legislasi dan
kebijakan threshold yang didelegasikan dalam pelaksanaan pemilu; (2) tidak ada korelasi logis
dengan pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil karena dengan
syarat tersebut berarti proses demokrasi Dengan mengesampingkan segala perdebatan yang
terjadi tentang formalitas maupun substansi putusan dikaitkan dengan tugas dan kewenangan
MK yang telah dieksploitasi dalam tulisan ini, seperti yang sudah diawal tulisan ini kita harus
menerima putusan MK sebagai final and binding dan menerima MK sebagai the sole interpreter
of the constitution. Bertolak dari hal ini kita kemudian dapat melangkah untuk melihat apa
prospeksi dari putusan ini dalam kaitannya dengan pelaksaanaan Pemilu yang akan
datang. Pengaturan PT dalam revisi UU Pilpres, yang sedang berlangsung pembahasannya saat
ini, bertentangan dengan amanat Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 6A
UUD N RI Tahun 1945. Amanat konstitusi tersebut mencerminkan sistem presidensial yang
dianut Indonesia. Sistem presidensial harus dibangun berdasarkan konstitusi termasuk dalam
penyelenggaraan pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif agar bisa tercipta
sistem yang efektif dan optimal. Oleh karena itu, pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia termasuk revisi UU Pilpres harus berdasarkan pada Konstitusi dan menghormati
prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang menempatkan UUD N RI Tahun 1945 sebagai
hukum tertinggi (the supreme law of the land). Atas dasar itu, maka PT dalam revisi UU Pilpres
tidak perlu ada pengaturannya, karena amanat konstitusi itu mengandung makna presiden dipilih
langsung oleh rakyat, sehingga legitimasi pemerintahan bukan dari partai melainkan langsung
dari rakyat, partai politik berperan sebagai fasilitator dalam menjalankan mekanisme demokrasi,
dan tidak akan mengurangi makna kedaulatan rakyat. Ketentuan mengenai PT dalam revisi UU
Pilpres harus mempertimbangkan das sollen dan das sein, oleh karena itu revisi UU Pilpres perlu
dilakukan terutama terkait dengan pengaturan PT, yaitu dengan menghapus PT dari revisi UU
Pilpres dan mengembalikan pengaturannya pada Konstitusi.Ketentuan persentase syarat
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalamPasal 9 UU No. 42 Tahun
2008 merupakan kewenangan dari DPR-RI untuk mengaturnya berdasarkan penyerahan
kewenangan dari UUD 1945 yang bersifat tidak kaku dan pada dasarnya setiap kontitusi tidak
mengatur syarat kontestasi secara lebih spesifik. Ketentuan persentase syarat pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden berusaha mengupayakan keadilan dapat terwujud secara imparsial
dengan formulasi bahasa hukumnya dan dapat menjadi pengaturan yang bersifat futuristik.
Adapun penggunaan istilah presidential threshold dalam konteks persentase syarat pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden adalah tidak tepat.Apabila ditilik lebih jauh perihal hadirnya
ketentuan ambang batas ini di dalam ketentuan undang-undang pemilu presiden 2008, tidak lepas
dari keinginan untuk membatasi pencalonan Presiden dan Wakilnya berdasarkan ketentuan Pasal
6A ayat (5) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa tata cara pelaksanaan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang dalam hal ini
Pemerintah (Presiden) dan DPR secara bersama mendapatkan kewenangan konstitusional untuk
mengatur lebih lanjut tentang tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
dalam konteks ini dibentuknya undang-undang nomor 42 tahun 2008.
Menghadapi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 ini, pakar hukum tata negara Indonesia
yang merangkap sebagai Ketua Dewan Syuro PBB Prof. Dr. Yusril Izha Mahendra juga
mengajukan permohonan yudicial riview terhadap materi UU No. 42 Tahun 2008 Tentang
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terkhusus pada Pasal 3 ayat (4), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2)
dan Pasal 112. Yang notabene untuk Pasal 9 dan Pasal 10 (1) sudah final diputuskan dan ditolak
oleh MK, maka permohonan yang diajukan oleh pemohon harus dinyatakan nebis in idem.
Namun putusan final dari Mahkamah Konstitusi belum ada dari perkara pemohon karena masih
dalam tahap proses. Dalam pertimbangannya, MK tetap merujuk pada putusan sebelumnya,
misalnya putusan Nomor 56/PUU-VI/2008, 51-52-59/PUU-VI/2009, 26/PUU-V1I/2009, 4/PUU-
XI/2013, dan 14/PUU-XI/2013. Terkait dengan pelaksanaan pemilu serentak yang baru dimulai
2019 yang dipersoalkan Yusril, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengungkapkan, hal
tersebut telah dipertimbangkan dalam putusan 14/PUU-XI/2014 yang dimohon oleh Effendi
Ghazali. Menurut mahkamah, putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23
Januari 2014 ataupun putusan Mahkamah Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 bertanggal 18 Februari
2009 telah menyebutkan secara tegas bahwa ketentuan a quo (presidential threshold) merupakan
kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal
policy oleh pembentuk undang-undang, ungkap Hakim Konstitusi Harjono. Dengan demikian,
semua permohonan Yusril kandas. Tak satu pun yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

B. Saran
Diharapkan penggunaan suatu istilah hukum digunakan secara konsekuen untuk menghindari
adanya kerancuan dalam pemaknaannya. Selain itu kedepannya diperlukan kajian yang lebih
mendalam perihal parameter yang dapat digunakan dalam menentukan persentase syarat
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang digunakan agar dapat menjadi ketentuan hukum
yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. RajaGrafindo
Persada. Jakarta. Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta.
Revisi UU No 42 Kental Kepentingan diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/node/242350
tanggal 22 Juli 2013.
225705663-Putusan-MK-Tentang-Pemilu-Serentak-Analisis-Permasalahan-dan-Prospeksi
Rev_Perubahan_Makna_Pasal_6A_ayat_2_UUD_NRI_1945_Jurnal
Ambang Batas 20% Realistis, Media Indonesia, 10 Juli 2013.

http://analisisputusanmk.blogspot.com/2014/06/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html tgl
25/4/15

Você também pode gostar