Você está na página 1de 5

HAKEKAT AGAMA

Agama dalam kehidupan manusia tidak berada dalam ruang hampa. Ia tidak sekadar mengisi kekosongan
atau memenuhi kebutuhan batin, tetapi ia memberi corak kehidupan, baik di masa sekarang maupun akan
datang. Ia bahkan menjadi acuan sekaligus penentu dalam pencarian makna hidup yang hakiki.

Sebaliknya, jika agama masih berada dalam ruang hampa, dalam arti belum membuahkan keteguhan hati
dan ketenangan batin bagi pemeluknya, berarti ada ketimpangan antara agama dan keberagamaannya. Bisa
jadi ia beragama sekadar formalitas (kepemelukan pasif), atau bisa jadi kepemelukan aktif tetapi belum
menemukan makna agama yang hakiki, sehingga ia terperangkap pada keberagamaan yang semu,
melelahkan, dan tak bermakna. Maka tidak heran jika ia tidak berhasil memperoleh ketenangan yang sejati,
dan tidak pula menemukan makna hidup yang hakiki.

Untuk itulah memahami hakikat agama sangatlah penting, sebab pandangan seseorang terhadap agama
banyak ditentukan oleh pemahamannya terhadap agama itu sendiri. Banyak sekali orang yang mempelajari
agama hanya memperoleh sisi kognitif (pengetahuan)-nya saja tanpa memperoleh keluasan pemahaman,
apalagi menemukan makna agama yang hakiki. Indikasinya terletak ada tidaknya perubahan positif dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk dalam keberagamaannya itu.

Perlu digarisbawahi bahwa tujuan mempelajari agama itu adalah untuk memahami ajaran agama sedalam-
dalamnya. Istilah memahami di sini memiliki makna yang luas, tidak terbatas pada pemahaman teks-teks
agama ansich, tetapi bisa meliputi pemahaman makna agamis, filosofis, psikologis dan sosiologis serta
pengaruhnya terhadap kehidupan individu dan masyarakat, yang pada gilirannya dapat menemukan hakikat
agama dan keberagamaan.

Pada umumnya agama yang dianut oleh umat beragama dari masa ke masa masih tetap cenderung mewarisi
(mengikuti) agama yang dianut oleh orang tua mereka. Demikian juga dalam agama Islam (Qs. al-Baqarah,
2:132-133). Hal ini menurut Thabathabai, agama dalam konteks al Quran adalah kebiasaan sosial yang
lazim dalam masyarakat. Yaitu tradisi sosial dan adat istiadat yang baik, benar dan natural sesuai dengan
ajaran Islam, bukan yang menyimpang dari jalan Allah.Dalam pengertian ini agama dipahami sebagai asal-
usul tradisi, yaitu sebagai sesuatu yang berasal dari langit dan melalui wahyu, melahirkan prinsip-prinsip
tertentu, yang aplikasinya bisa dianggap sebagai atau berupa tradisi. Namun perlu diingat, bahwa tradisi itu
berkembang dalam lingkup ortodoksi. Karena itu tak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak mungkin tradisi
tanpa ortodoksi, dan sebaliknya ortodoksi tanpa tradisi. Hal ini karena ortodoksi bukanlah proses yang
membawa tradisi, tetapi ortodoksi juga merupakan kebenaran yang berada dalam tradisi itu sendiri.

Dalam konteks tradisi dan ortodoksi itulah, barangkali ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa
agama itu warisan turun temurun. Dan karena itulah orang tua yang mengharapkan anak-anaknya kelak
menjadi orang-orang yang baik, merasa perlu membekali tuntunan hidup mulai dini, baik melalui
pendidikan agama di lingkungan keluarga maupun di sekolah.

Kemudian pada tataran yang lebih tinggi, pendidikan agama diarahkan pada pemahaman sebuah definisi,
bahwa agama adalah ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Dari definisi
ini kemudian diperkenalkan teks-teks kitab suci yang dipahami sebagai pernyataan, misalnya, hanya
agama Islam yang benar, antara lain: Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (Muhammad Saw.) (dengan
membawa) petunjuk (al Quran) dan agama yang benar (Islam) untuk dimenangkan-Nya atas segala agama,
walaupun kaum musyrikin tidak menyukai. (Qs. at Taubah, 10:33).

Terlepas apakah ini ada atau tidak ada pertentangan dengan paham pluralisme agama, biasanya melalui
teks-teks kitab suci (ayat-ayat al Quran) ini, keyakinan terhadap agamanya semakin kuat, rasa terikat
dengan ajaran agamanya pun kian tumbuh dan berakar kuat. Sebab, bila tradisi tersebut secara etimologi
dan konseptual dihubungkan dengan masalah transmisi, maka agama disebut dengan religi (dari bahasa
Latin, religare), yang juga memiliki makna yang hampir sama, yakni mengikat. Artinya, bahwa agama
adalah pengikat antara manusia dengan Tuhan dan antara manusia dengan manusia dalam sebuah
komunitas sakral yang disebut ummah (umat).

Secara harfiah memang kata agama bisa diterjemahkan dalam berbagai makna, antara lain ganjaran, siksa,
kebiasaan, ketundukan, kerendahan hati dan kepatuhan. Al Quran juga memiliki ayat-ayat yang
menunjukkan kata agama (al dn) bisa berarti pahala, hukum, ketaatan, penghambaan, kecenderungan, dan
tunduk sepenuhnya kepada kebenaran. Seperti dalam Tafsir al Mizn, Allamah Thabathabai mengatakan
bahwa makna agama dalam ayat 29 surat at Taubah, adalah ketaatan. Yang berarti, bahwa orang-orang
yang dimaksud dalam ayat ini tidak mematuhi dan tidak pula mengikuti kebenaran, atau mereka
menganggapnya tidak menjadi agama yang benar.

Abudullah Jawadi Amuli, teolog Islam, berpendapat bahwa agama adalah kumpulan keyakinan dan
kepercayaan, hukum dan etika, yang bertujuan untuk menyempurnakan dan mengatur masyarakat manusia.
Tetapi, kumpulan keyakinan itu terkadang batil, terkadang benar, dan terkadang gabungan benar dan batil.
Jika kumpulan itu benar, maka disebut agama yang benar, dan bila batil disebut pula agama batil. Agama
yang benar adalah keyakinan, aqidah dan undang-undangnya bersumber dari Tuhan, sementara agama batil
berasal dari selain Tuhan.

Pendapat lain, setelah mengkaji berbagai makna kata agama, termasuk ensiklopedi Islam, teolog Barat,
John Nas, dalam Trikh Jame Adyn, mengatakan bahwa agama adalah suatu ketetapan Allah untuk
membimbing manusia menuju keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia juga mengutip dari
Jorjani, bahwa agama adalah hukum dan undang-undang Ilahi yang mengajak orang-orang berakal
menerima dan mengikuti seruan Nabi-Nya (Muhammad Saw.).

Beberapa pengertian agama di atas, bila dianalisis berintikan tiga paham, yaitu paham kewajiban, paham
kepatuhan, dan paham balasan. Dan karena itu, paham kewajiban dan kepatuhan ini biasanya ditanamkan
sejak dini oleh orang tua dan guru dengan cara pembiasaan (skills) yang dibumbui dengan motivasi paham
balasan. Bahkan di majlis-majlis taklim pun kebanyakan materi pengajiannya juga seputar ketiga paham
itu, sehingga tidak heran kalau paham ini melekat di benak umat.

Menurut penulis, paham ini tidak salah, bahkan sangat penting. Tetapi ada kelemahannya, yaitu membuat
kepatuhan terhadap agama hanya karena rasa takut akan siksa (neraka)-Nya dan berharap balasan (surga)-
Nya. Kalau demikian, seakan-akan kepatuhan manusia itu dibutuhkan oleh Tuhan, sehingga Tuhan seakan-
akan perlu promosi melalui agama-Nya. Bagaimana jika Tuhan tidak menciptakan surga dan neraka
sebagai balasan, apakah manusia tetap patuh terhadap agama?

Pandangan ini tentu akan berbeda jika konsepsi agama, seperti yang dikatakan oleh Syahid Murtadha
Muthahhari, bahwa agama adalah kepasrahan dan ketaatan kepada Tuhan. Konsepsi inilah, menurut
Nurcholis Madjid, yang lebih tepat dengan makna generik Islam. Karena perkataan itu (Islam) sebagai kata
benda verbal yang aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini sikap pasrah atau
menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap itulah yang disebut sebagai sikap keagamaan yang benar dan
diterima Tuhan: Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah kepada-Nya (al Islam) (Qs. Ali
Imran, 3:19).

Untuk itulah dalam memahami agama perlu berpikir kritis dan analitis, dipahami secara kontekstual dan
tidak hanya secara tekstual dalam rangka menemukan hakikat agama, sehingga tidak keliru dalam
interpretasi dan implementasinya.
MANUSIA DAN AGAMA

A. PENGERTIAN MANUSIA.

Manusia dalam bahasa Arab disebut dengan insan yang artinya ramah, mesra dan berpuas hati. Ketiga
arti ini merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh manusia.

Ada pendapat yang menghubungkan kata insan dengan kata an-nisyan yang berarti pelupa. Pendapat
ini mengacu pada fitrah manusia yang memang sering lupa dan salah.

Menurut El-Alaqqad, manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang diciptakan dengan sifat-sifat
ke-Tuhan-an, sehingga dapat memenuhi 3 hal :

1. Manusia itu betapapun hebatnya, tetap sebagai makhluk, sesuatu yang diciptakan dan ditentukan,
bukan pencipta dan penentu sesuatu.

2. Segala perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
SWT. di akhirat, oleh karena itu manusia harus memikirkan dengan sebaik-baiknya sebelum melakukan
sesuatu perbuatan.

3. Pada diri manusia ada sifat-sifat ke-Tuhan-an, berupa segala sifat yang baik yang harus dikembangkan
dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan perilaku. Apabila manusia dapat mengembangkan dan
mewujudkan sifat-sifat tersebut, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan hidup.

Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang penuh dengan kekurangan-
kekurangan. Namun dibalik kekurangannya, Allah SWT. memberikan kelebihan yang menjadikannya
sebagai makhluk yang mulia. Kelebihan-kelebihan tersebut adalah :

1. Manusia diberikan hidayah oleh Allah SWT yang sangat lengkap, yakni :

Hidayah ath-Thabiiyyah ( petunjuk insting / naluri )

Hidayah al-Hissiyah ( petunjuk panca indera )

Hidayah al-Aqliyah ( petunjuk akal )

Hidayah ad-Din ( petunjuk agama )

1. Manusia dikaruniai oleh Allah SWT. bentuk yang paling baik. ( Surah at-Tin (95) : 4 )

4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .

1. Manusia diberikan rezki oleh Allah SWT. dengan rezki yang baik-baik. ( Surah al-Mumin (40) :
64 )

Kelebihan yang dimiliki oleh manusia tersebut, membedakanya dengan makhluk yang lain yang harus tetap
dipelihara agar ia hidup mulia, bahagia dan sejahtera.

Menurut al-Ghazali, ada 5 perangkat hidup manusia yang harus dipelihara dan dijaga dengan baik agar ia
mencapai kesempurnaan hidup, di dunia dan akhirat. Kelima perangkat itu adalah :

Agama

Jiwa

Akal

Keturunan

Harta benda

B. ASAL-USUL MANUSIA
Jumhur ulama berpendapat bahwa manusia yang mendiami bumi ini berasal dari satu keturunan, yaitu Nabi
Adam dan Hawa. ( Surah an-Nisa (4) : 1 )

Nafsin wahidah berarti diri yang satu ( Adam ) dan kata zaujaha berarti isterinya ( Hawa ).

C. TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA

Tujuan penciptaan dan tugas kehidupan manusia ( terkait dengan kedudukan dan fungsinya ) adalah
sebagai abdun ( hamba ) dan khalifah ( wakil ) Allah dimuka bumi ini.

Dalam kedudukan dan fungsinya sebagai hamba, maka tujuan da tugas kehidupan manusia adalah
beribadah kepada Allah SWT. ( Surah adz-Dzariyat (51) : 56 )

Dalam kedudukan dan fungsinya sebagai khalifah ( wakil ) Allah SWT di dunia ini, maka tujuan da tugas
kehidupan manusia adalah menciptakan suatu tatanan kehidupan sosial yang berakhlak mulia. ( Surah Hud
(11) : 61 ) dan ( Surah al-Araf (7) : 56 )

D. HAKEKAT MANUSIA

Menurut pandangan Islam, manusia itu merupakan perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-
masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, tidak tergantung adanya oleh yang lain.

Ruh yang berasal dari Allah itulah yang menjadikan hakekat manusia, dan inilah yang membedakan
manusia dengan hewan. Jasad manusia yang berasal dari ruh untuk menjalani kehidupan material, alam
material bersifat sekunder dan ruh adalah yang primer. Karena ruh tanpa jasad yang material tidak dapat
dinamakan manusia. Hubungan antara ruh dan jasad adalah hubungan penciptaan, bukan hubungan kausal,
adanya ruh dan jasad manusia, bergantung pada iradah Allah untuk menciptakannya.

E. KEBUTUHAN HIDUP MANUSIA

Kebutuhan hidup yang dianggap paling pokok pada manusia yaitu :

1. Kebutuhan biologis.

2. Kebutuhan psikis.

3. Kebutuhan sosial.

4. Kebutuhan paedagogis ( intelektual ).

5. Kebutuhan agama ( spiritual ).

Você também pode gostar