Você está na página 1de 10

Sepanjang sejarah hukum mulai dari zaman Yunani atau Romawi hingga dewasa ini

kita dihadapkan dengan berbagai teori hukum. Dari hasil kajian antropologi sendiri telah
terbukti bahwa hukum berkembang dalam masyarakat, Ibi ius ibi societas dimana ada
masyarakat disitu ada hukum. Para pakar telah mengklasifikasikan aliran-aliran filsafat
hukum adalah sebagai berikut:
a. Soerjono Soekanto membagi aliran filsafat hukum adalah sebagai berikut: Mazhab
formalitas, Mazhab sejarah dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme, Aliran
sociological yurisprudence dan Aliran realism hukum.
b. Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah sebagai
berikut; Teori Yunani dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan utilitarianisme,
Teori hukum murni, Pendekatan sejarah dan antropologis, dan Pendekatan sosiologis.
c. Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengaruh adalah sebagai
berikut; Aliran hukum alam, Aliran hukum positif, Mazhab sejarah, Sociological
jurisprudence, Pragmatic legal realism

Aliran menurut Lili Rasdji adalah sebagai berikut:


1. Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam, bisa dibilang sebagai sebuah paradigma yang paling tua
sekaligus serta paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari
ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam, sesungguhnya
merupakan perkembangan atau penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam. Dalam
teori hukum alam, hukum sebagai nilai yang universal dan selalu hidup di sanubari
orang, masyarakat maupun negara. Hal ini disebabkan karena hukum niscaya harus
tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.
Bahkan disebutkaan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem
hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi
hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior dari hukum negara. Hal ini
terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari tindakan-
tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang mereka bentuk adalah sama sekali
tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif atau relatif. Hukum alam tampil sebagai
suatu hukum dari akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan
tentang tindakan kemauan dari seseorng yang menampilkan diri (bertindak) sebagai
legislator moral atau hukum.

1
Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata,
namun juga berorientasi pada pencapaaian nilai-nilai keadilan bagi masyarakat. Para
pemikir hukum paradigma hukum alam, berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuh
esensial (essential value) dari hukum, bahkan sering diidentikkan sebagai sebuah nilai
yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena
hukum tidak hanya berfungsi sebgai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool),
namun juga berfungsi sebagai cermin rasa keadilan dan kedaulatan rakyat suatu
negara.
Pada abad ke-5 SM masih bersifat primitif, yaitu hukum masih bersifat primitif, yaitu
hukum masih dipandang sebagai suatu keharusan alamiah, baik semesta alam maupun
alamiah. Namun, pada abaad ke-4 SM para filsuf mulai insaf peran manusia dalam
membentuk hukum misalnya Socrates. Socrates menuntut upaya para penegak hukum
mengindahkan keadilan sebagai nilai yang melebihi manusia. Demikian juga pendapat
Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (348-322 SM) yang mulai mempertimbangkan
bahwa manakah aturan yang lebih adil yang harus menjadi alat untuk mencapai tujuan
hukum, walaupun mereka juga tetap mau taat pada tuntutan-tuntutan alam sehingga
zaman ini dikenal dengan zaman atau aliran hukum alam.
Pada abad ke-8 sebelum Masehi, aliran hukum alam dalam pemikiran di zaman
Romawi dimunculkan oleh pemikir-pemikir yang dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang
berkembang di Yunani, terutama oleh pikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Salah satu
tokoh Romawi yang banyak mengemukakan pemikirannya tentang hukum alam adalah
Cicero, seorang yuris dan seorang negarawan. Cicero mengajarkan konsep tentang a true
law (hukum yang benar) yang disesuaikannya dengan right reason (penalaran yang
benar), serta sesuai dengan alam, dan yang menyebar diantara kemanusiaan dan sifat
immutable dan enternal. Hukum apapun harus bersumber dari true law itu. Pada
kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa, kita lahir untuk keadilan. Dan hukum
tidaklah didasarkan pada opini, tetapi pada mans very nature. Selain Cicero sebagai
salah seorang tokoh pemikir zaman Romawi tersebut, maka salah satu pemikir terkenal
adalah Gaius. Gaius membedakan antara ius civile dan ius gentium. Ius Civile adalah
hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu, sedangkan ius gentium adalah
hukum yang berlaku universal yang bersumber pada akal pemikiran manusia.
Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi mempunyai perbedaan yang konkret mengenai
pandangan terhadap hukum. Menurut pendapat Achmad Ali, pemikiran Yunani tentang
hukum lebih bersifat teoritis dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih
2
menitikberatkan pada hal-hal yang praktis dan berkaitan dengan hukum positif.
Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran disekitar abad ke-16 dan muncul
kembali pada abad ke-19, oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Rudolf Stammler.
Stammler memberikan pokok-pokok pikirannya mengenai hukum alam sebagai berikut:
a. Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil;
b. Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan
untuk menentukan kebenaran yang relatif dari hukum dalam setiap situasi.
c. Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan
membawanya lebih dekat pada tujuannya.
Pada prinsipnya hukum alam bukanlah sesuatu aturan jenis hukum, melainkan
merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum,
kemudian diberikan sebuah lebel yang bernama hukum alam. Hal ini sejalan dengan
pandangan Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa istilah hukum alam ini
didatangkan dalam berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada masa yang
berbeda-beda pula. Dengan demikian, hakikat hukum alam merupakan hukum yaang
berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedman, sejarah hukum alam adalah
absolute justice (keadilan yang mutlak) di samping kegagalan manusia dalam mencari
keadilan. Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola pikir
masyarakat dan keadan politik di zaman itu.
Pendapat Friedmann di atas, sejalan dengan pendapat Dias yang mengatakan bahwa,
hukum alam itu adalah :
a. Ideal-ideal yang menurut perkembangan hukum dan pelaksanaannya;
b. Dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi
suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya;
c. Metode untuk menemukan hukum yang sempurna;
d. Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didiskusikan melalui akal;
e. Kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam masyarakat.
Selain Friedmann dan Dias yang merupakan penggagas aliran hukum alam, juga ada
Thomas Aquinas, seorang filsuf yang terkenal melalui bukunya Summa Theologica dan
De Regimen Principum. Pemikiran yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas mengenai
hukum alam banyak mempengaruhi gereja bahkan menjadi dasar pemikiran gereja
hingga saat ini. Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam empat golongan, yaitu :

3
a. Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengtaur segala hal dan
bersumber dari segala hukum. Rasio ini yang tidak dapat ditangkap oleh panca
indra manusia.
b. Lex Divina, bagian dari Rasio Tuhan yang ditangkap oleh manusia berdasarkan
waktu yang diterimanya.
c. Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex
aeterna di dalam rasio manusia.
d. Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh
manusia berhubungan dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh keadaan
dunia.
2. Aliran Positifisme
Aliran Hukum Positif juga yang sering dikenal dengan positivisme hukum menurut
Hans Kelsen seperti yang dikutip oleh Lili Rasjidi merupakan suatu teori tentang hukum
yang senyatanya dan tidak mempersoalkan senyatanya itu, yakni apakah hukum positif
itu adil atau tidak adil. Selain itu dapat juga dikatakan bahwa hukum positf merupakan
kebalikan hukum alam. Sebab, aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang.
Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Menurut aliran positivisme, hukum
ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis dalam arti yang mutlak. Artinya adalah
ilmu pengetahuan hukum adalah undang-undang positif yang diketahui dan
disistematikan dalam bentuk kodifikasi-kodifikasi yang ada. Positivisme hukum juga
berpandangan bahwa perlu dipisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara
hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya / antara das Sollen dan das Sein).
Dalam kacamata positivis tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is
command from the lawgivers). Bahkan bagi sebagian aliran Positivisme Hukum yang
disebut juga Legisme, berpendapat bahwa hukum itu identik dengan Undang-undang.
Positivisme Hukum juga sangat mengedepankan hukum sebagai pranata pengaturan yang
mekanistik dan deterministik. Aliran ini memiliki beberapa tokoh terkemuka diantaranya
Hans Kelsen, John Austin, L.A. Hart, Rudolf Von Jhering, Georg Jellinek, Roguin, Jeze,
Saleiles, dan Ripert. Akan tetapi penulis hanya akan membahas aliran positivisme yang
dikembangkan oleh John Austin dan L.A Hart, karena peran andil mereka yang cukup
signifikan dalam perkembangan aliran ini sehingga banyak menuai kritikan yang bersifat
kontroversial dari para filosuf hukum lainnya.
a. Melalui aliran ini John Austin mengeluarkan suatu karya mengenai teori
hukum yaitu digantinya perintah yang berdaulat yakni negara bagi tiap cita
4
keadilan dalam definisi hukum. Sehingga buah pemikirannya sangat terlihat
dalam pendefinisian hukumnya, yaitu peraturan yang diadakan untuk
memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal
yang berkuasa atasnya. Sedangkan inti dari ajaran Austin dapat diikhtisarkan
dalam beberapa butir berikut: Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat
atau bahasa aslinya: Law...was the command of sovereign. Bagi Austin: No
low, no sovoreign; and no sovoreign, no low;
b. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-
ketentuan lain yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau
keburukannya;
c. Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of sovoreignty) mewarnai hampir
keseluruhan dari ajaran Austin. Hal ini dapat dikhtisarkan sebagai berikut:
i. Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu
atribut negara yang bersifat internal maupun eksternal;
ii. Sifat ekskternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum
internasional, sedangkan sifat internal kedaulatan negara tercermin
pada hukum positif;
iii. Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Yaitu ketaatan
tersebut terletak pada legitimasi kedaulatan negara yang didasarkan
pada undang-undang yang berlaku dan diakui secara sah, dan
subjeknya merasakan a moral duty to obey ( ada kewajiban moral
untuk mentaatinya).
Sedangkan tokoh aliran ini yang juga terpenting adalah H.L.A Hart, yang mana
tercerminkan dalam esensi positivismenya betapa kuatnya pengaruh teori hukum murni
dari Hans Kelsen. Yang mana diartikan esensi positivisme sebagai berikut:
a. Pernyataan bahwa hukum adalah perintah manusia;
b. Pernyataan bahwa tidak ada hubungan yang penting antara hukum dan
kesusilaan atau hukum sebagai apa adanya dan hukum yang diharapkan;
c. Pernyataan bahwa studi hukum harus dibedakan dengan studi hukum dari
sudut historis, atau dari sudut sosiologis atau dari sudut kritis (Critical Legal
Studies);
d. Pernyataan bahwa sistem hukum bersifat tertutup (Close Legal System) di
mana putusan yang benar adalah yang tidak mempertimbangkan tujuan
kesusilaan dan standar moral;
5
e. Pernyataan bahwa penilaian moralitas tidak dapat dipertahankan sebagai
pernyataan mengenai fakta atas dasar argumen rasional, bukti-bukti.
H.L.A Hart telah memberikan kritik terhadap konsep hukum sebagai perintah
penguasa yang bersifat memaksa (ajaran Austin yang mana hukum sebagai alat untuk
mencapai tujuan dimaksudkan untuk menunjukan bahwa hukum tergantung dari
paksaan, dan bahwa hak untuk memaksa adalah monopoli mutlak negara). Dia
mengatakan bahwa konsep hukum Austin memiliki tiga cacat (defects). Pertama,
dalam primary rules of the social structure tidak mencerminkan kepastian
(uncertainty); cacat kedua, konsep hukum Austin bersifat statis (static character); dan
cacat ketiga, konsep hukum Austin tidak efesien (ineffeciency). Tidak hanya H.L.A
Hart, pemikiran Austin juga sangat ditentang keras oleh Mazhab sejarah dan Mazhab
Sociological Jurisprudence yang mempertahankan ketidaktergantungan hukum dari
kekuasaan dan perintah
3. Aliran Mazhab Sejarah
Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari
aliran pemikiran hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun
kerangka teoritik berikutnya. Disamping itu kelahiran satu aliran sangat terkait dengan
kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu pertama kali muncul. Dengan kata lain
lahirnya satu aliran atau mazhab hukum dapat dikatakan sebagai jawaban fundamental
terhadap kondisi kekinian pada zamannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan kritik
positivisme dan aliran sejarah terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis
terhadap positivistik. Demikian juga halnya dengan kritik yang ditujukan oleh
postmodernisme terhadap kemapanan modernisme. Kelahiran mazhab sejarah dipelopori
oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui tulisannya yang berjudul Von
Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (Tentang Pekerjaan pada
Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), di pengaruhi oleh dua
faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya L esprit des Lois dan
pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19.
Disamping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari pendapat
Thibaut yang menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan
pada hukum Prancis (Code Napoleon). Kedua pengaruh tersebut bisa digambarkan
sebagai berikut:
Menurut Friedmann Aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua kekuatan
besar yang berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut Friedmann adalah:
6
a. Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam, kekuasaan
akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan
suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, cirri
khas nasional, dan kondisi sosial;
b. Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap
tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-
keadaan zamannya.
Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran aliran/mazhab sejarah merupakan reaksi
tidak langsung dari terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif. Hal pertama
yang mempengaruhi lahirnya mazhab sejarah adalah pemikiran Montesqueu dalam
bukunya L esprit des Lois yang mengatakan tentang adanya keterkaitan antara jiwa
suatu bangsa dengan hukumnya. Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar
penting dari Lesprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar
didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan
keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.
Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi perbandingan
mengenai undang-undang dan pemerintahan. Seperti yang telah diuraikan diatas, selain
dipengaruhi oleh pemikiran Montesque lahirnya mazhab sejarah juga banyak
dipengaruhi oleh semangat nasionalisme Jerman yang mulai muncul pada awal abad 19.
Dengan memanfaatkan moment (semangat nasionalisme), Savigny menyarankan
penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang kodifikasi hukum yang tersebar dalam
pamfletnya Uber Die Notwetdigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur
Deutschland (Keperluan akan adanya kodefikasi hukum perdata negara Jerman).
Hakikat dari setiap sistem hukum menurut savigny adalah sebagai pencerminan jiwa
rakyat yang mengembangkan hukum itu. Dikemudian hari hal tersebut oleh G. Puchta,
murid Savigny yang paling setia, dicirikan sebagai Volkgeist, menurut Puchta hukum
adalah perwujudan dari kesadaran yang umum ini. Dikatakannya:
Hukum itu bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat bersama-sama
dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu
kehilangan kebangsaannya.

4. Sociological Yurisprudence (living law


Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum
menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Aliran ini
berkembang di Indonesia dan di Amerika, dipelopori oleh Roescoe Pound, Eugen

7
Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich, Gurvitch, dan lain-lain. Akan tetapi Romli
Atmasasmita berpendapat bahwa aliran ini berasal dari Oliver Wendell Holmes (1841-
1935) yang juga menurut para teoritis merupakan tokoh terpenting dalam aliran Realisme
Hukum. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum
yang hidup di dalam masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum
positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Singkatnya
yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan
hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis.
Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang sebagai
hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini adalah hukum
adat yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai kebiasaan yang lama
kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat tersebut tanpa tertulis. Dalam
masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan
peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan rasio
demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum
sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam
filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat
dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh
masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam
masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh
sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas
(sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya.
Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat,
sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.
Dalam hal ini penulis hanya akan membahas pemikiran dari dua tokoh aliran ini yang
kami anggap berperan penting dalam perkembangan aliran ini yaitu Roescoe Pound dan
Eugen Ehrlich. Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial
(Law as a tool of social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan
harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan
manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis
8
dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang
bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang
dilakukan oleh penguasa negara. Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak
persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum
digantikan dengan primat pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia
(Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan
keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public
interest).
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these
positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua aliran tersebut ada
kebenarannya. Hanya, hukum yang sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup
terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan
akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman
dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat
bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan
dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang
membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang
berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu
Eugen Ehrlich (1862-1922) dalam karyanya Fundamental Principles of the
Sociology of Law (1913) yang telah melakukan kritik terhadap peranan ahli hukum
dengan sebutan Lawyers Law. Sebutan sinis ini telah membuka mata para ahli para
ahli hukum ketika itu atas kekeliruannya dalam memahami konsep hukum dan
penerepanya dalam masyarakat. Bahkan Ehrlich lebih jauh mengkritisi peranaan para
hakim yang hanya menerapkan hukum atas suatu fakta tanpa mempertimbangkan aspek-
aspek sosiologis atas putusannya. Pernyataan Ehrlich yang sangat terkenal sebagai
pelopor aliran ini adalah pusat gravitasi perkembangan hukum sepanjang waktu dapat
ditemukan, bukan di dalam perundang-perundangan dan dalam ilmu hukum atau
putusan pengadilan melainkan di dalam masyarakat itu sendiri. Aliran sangat
mempengaruhi para ahli hukumnya untuk betul-betul menarik perhatiannya kepada
problem-problem kehidupan sosial yang nyata. Kritik yang bisa dilontarkan terhadap
pendapat Ehrlich yang demikia itu adalah, bahwa ilmu hukum yang dilahirkanya menjadi
tanpa bentuk (amorphous), bahkan menjadikan arti penting dari hukum itu tenggelam
dan menuntun kepada kematian ilmu tersebut.

9
5. Aliran Pragmatic Legal Realism
Pendasar madzab ini ialah John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl
Llewallyn, Jerome Frank, William James, dll. Menurut Llewellyn, realisme inibukanlah
merupakan suatu aliran di dalam filsafat hukum akan tetapi hanyalah merupakan gerakan
dalam cara berpikr tentang hukum. Adapun cirri dari gerakan ini ialah :
a. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
b. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagi alat
untuk mencapai tujuan sosial.
c. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara sollen dan sein untuk
keperluan seuatu penyelidikan.
d. Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh karena
realism bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan-
pengadilan dan orang-orangnya.
e. Gerakan realism menerapkan pada perkembangan setipa bagian hukum haruslah
diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya.
Pendekatan yang harus dilakukan oleh gerakan realism untuk mewujudkan program
tersebut diatas telah digariskan sebagi berikut :
a. Ketrampilan diperlukan bagi seseorang dalam memberikan argumentasinya yang
logis atas putusan-putusan yang telah diambilnya bukan hanya sekedar argument-
argumen yang diajuakan oleh ahli hukum yang nilainya tidak berbobot.
b. Mengadakan perbedaan antara peraturan-peraturan dengan memperhatikan
relativitas makna peraturan-peraturan tersebut.
c. Menggantikan kategori-kategori hukum yang bersifat umum dengan hubungan-
hubungan khusus dari keadaan-keadaan yang nyata.
d. Cara pendekatan seperti tersebut diatas mencakupjuga penyelidikan tentang faktor-
faktor/unsure-unsur yang bersifat perseorangan maupun umum dengan penelitian
atas kepribadian sang hakim dengan disertai data-data statistik tentang ramalan-
ramalan apa yang akan diperbuat oleh pengadilan, dll.

10

Você também pode gostar