Você está na página 1de 8

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Dosen Pengampu : Sani Susanti S.Pd, M.Pd

Oleh

NAMA : VINITA BUTAR BUTAR

NIM : 4171111055

KELAS : DIK A MATEMATIKA

JURUSAN MATEMATIKA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2017
A. Aliran Perennialisme
Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced Learners
Dictionary of Current English diartikan sebagai continuing throughout the whole year atau
Lasting for a very long time - abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu
aliran Pernnialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang kepada nilai-nilai dan
norma yang bersifat kekal abadi.[1]
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke dua puluh.
Perennialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perennialisme
menentang pandangan Progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu-sesuatu yang
baru. Perennialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian dan
ketidak teraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio cultural. Oleh karena
itu, perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut.[2]
Perennilisme melihat bahwa akibat dari kehidupan jaman modern telah menimbulkan
banyak krisis diberbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini
Pernnialisme memberikan jalan keluar berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau,
regressive road to culture. Oleh sebab itu Perennialisme memandang penting peranan
pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia jaman modern ini kepada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan yang telah terpuji
ketangguhannya.[3]
Perennialisme dalam konteks pendidikan dibangun atas dasar suatu keyakinan
ontologisnya, bahwa batang tubuh pengetahuan yang berlangsung dalam ruang dan waktu ini
mestilah terbentuk melalui dasar-dasar pendidikan yang diterima manusia dalam
kesejarahannya. Robert M. Hutchins, salah seorang tokoh perennialisme menyimpulkan bahwa
tugas pokok pendidikan adalah pengajaran. Pengajaran menunjukkan pengetahuan sedangkan
pengetahuan itu sendiri adalah kebenaran. Kebenaran pada setiap manusia adalah sama, oleh
karena itu, dimanapun dan kapanpun ia akan selalu sama.[4]
Pola dasar pendidikan perennialisme hanya dibatasi pada prinsip-prinsip umum dari teori
dan praktek pendidikan yang dilaksanakan oleh penganut Perennialisme. Bahkan harus diakui
bahwa prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan Perennialisme tidak selalu secara mutlak
konsisten dengan asas-asas filosofis yang menjadi dasar pandangannya.[5]
Perennialisme memandang kebenaran sebagai hal yang konstan, abadi atau perennial.
Tujuan dari pendidikan, menurut pemikir perenialis, adalah memastikan bahwa para siswa
memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasan-gagasan besar yang tidak
berubah.[6] Pikiran Plato tentang pola dasar pendidikan aliran ini adalah bahwa essensi ilmu
Pengetahuan dan nilai-nilai ialah manifestasi daripada hukuman universal yang abadi dan
sempurna, yakni idea (yang supernatural).
B. Aliran Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran yang berdiri sendiri,
melainkan merupakan suatu gerakan dan kumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Selama
dua puluh tahunan merupakan suatu gerakan yang kuat di Amerika Serikat. Banyak guru yang
ragu-ragu terhadap gerakan ini, karena guru telah mempelajari dan memahami filsafat Dewey,
sebagai reaksi terhadap filsafat lainnya. Kaum progresif sendiri mengeritik filsafat Dewey.
Perubahan masyarakat yang dilontarkan oleh Dewey adalah perubahan secara evolusi,
sedangkan kaum progresif mengharapkan perubahan yang sangat cepat, agar lebih cepat
mencapai tujuan.
Filsafat progresif berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini tidak
mungkin benar dimasa mendatang. Karenanya, cara terbaik mempersiapkan para siswa untuk
suatu masa depan yang tidak diketahui adalah membekali mereka dengan strategi-strategi
pemecahan masalah yang memungkinkan mereka mengatasi tantangan-tantangan baru dalam
kehidupan dan untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang relevan pada saat ini. Melalui
analisis diri dan refleksi yang berkelanjutan, individu dapat mengidentifikasi nilai-nilai yang
tepat dalam waktu yang dekat.
Progresivisme didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak
(child-centered) bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Tulisan-tulisan John
Dewey pada tahun 1920-an dan 1950-an berkontribusi cukup besar pada penyebaran gagasan-
gagasan progresif.
C. Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir
didasari atas suatu tanggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri
dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini. Rekonstruksionisme
dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun
masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Dalam publikasinya Dare the School Build a New Social Order,George mengemukakan
bahwa sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat
baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan, dan kesukuan (rasialisme).
Aliran ini dalam satu prinsip sependapat dengan perenialisme, bahwa ada satu kebutuhan
yang amat mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang,
yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan.[7]
D. Aliran Esensialisme
Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930, dengan beberapa orang pelopornya,
seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed, dan Isac L. Kandell. Pada tahun
1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut The Esensialist Commite for the
Advancement of American Education. Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah seorang
guru besar pada Teacher College,Columbia University. Ia yakin bahwa fungsi utama sekolah
adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda.
Gerakan back to basics yang dimulai pertengahan tahun 1970-an adalah dorongan skala
besar yang mutakhir untuk menerapkan program-program esensialis di sekolah-sekolah dan
tidak semua teori aliran ini berasal dari filsafat esensialisme. Tujuan pendidikan aliran ini
adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang
terakulmulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu
kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua orang.[8]
E. Aliran Idealisme
Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan pula
fisik. Parmenides, filosof dari Elea (Yunani Puba), berkata, Apa yang tidak dapat dipikirkan
adalah tidak nyata.Plato seorang filosof idealisme klasik (Yunani Purba), menyatakan bahwa
realitas terakhir adalah dunia cita. Dunia cita merupakan dunia mutlak, tidak berubah, dan asli
serta abadi. Realitas akhir tersebut sebenarnya telah ada sejak semula pada jiwa manusia.
Schoupenhaur menyatakan bahwa Dunia adalah ide saya. Menurut Hegel, dunia adalah roh,
yang mengungkapkan diri dalam alam, dengan maksud agar roh tersebut sadar akan dirinya
sendiri. Hakikat roh dapat berupa ide atau pikiran. Mereka dapat mewakili pandangan
metafisika idealisme.[9]
Menurut Plato tentang teori pengetahuan, idealisme mengemukakan pandangan bahwa
pengetahuan yang diperoleh melallui indera tidak pasti dan tidak lengkap, karena dunia
hanyalah merupakan hasil akal belaka, karena akal dapat membedakan bentuk spiritual murni
dan benda-benda diluar penjelmaan material.
Menurut pandangan idealisme, nilai itu absolute, apa yang dikatakan baik, benar, salah,
cantik, atau tidak cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pada
hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia, melainkan merupakan bagigan dari
alam semesta.
Idealisme memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan teori pendidikan,
khususnya filsafat pendidikan. Tokoh idealisme merupakan orang-orang yang yang memiliki
nama besar. Sampai sekarang orang akan mengakui kebesaran hasil pemikirannya, baik
memberikan persetujuannya maupun memberikan kritik, bahkan penolakan.[10]
F. Aliran Realisme
Pada dasarnya realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis.
Realisme berbeda dengan materialisme dan idealisme yang bersifat monistis. Realisme
berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri ataas dunia fisik dan dunia rahani. Realisme
membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subyek yang menyadari dan mengatahui disatu
pihak, dan dipihak lainnya adalah adanya realita diluar manusia, yang dapat dijadikan sebagai
objek pengetahuan manusia.[11]
G. Aliran Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan
spiritual, atau supranatural. Demokritos (460-360 SM), merupakan pelopor pandangan
materialisme klasik, yang disebut juga atomisme. Demokritos beserta para pengikutnya
beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi
lagi (yang disebut atom-atom) atom-atom merupakan bagian dari yang begitu kecil sehingga
mata kita tidak dapat melihatnya. Atom-atom itu bergerak, sehingga dengan demikian
membentuk realitas pada panca indera kita.[12]
Materialisme maupun positivisme, pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan
secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (1959), materialisme belum pernah menjadi
penting dalam menentukan sumber teori pendidikan. Menurut Waini Rasyidin (1992), filsafat
positivisme sebagai cabang dari materialisme lebih cenderung menganalisis hubungan faktor-
faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara factual.[13]
H. Aliran Pragmatisme
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada
filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang
manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1893-
1914), Wiliam James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952).
Realitas dan dunia yang kita amati, tidak bebas dari ide manusia dan sekaligus juga tidak
terikat kepadanya. Realitas merupakan interaksi antara manusia denga lingkungannya.
Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap
realitas.
Pragmatisme yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti, tidak pasif dan tidak
begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Pikiran (rasio) tidak bertentangan dan tidak terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian
dari dunia.
Pragmatisme mengemukakan pandangannya tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Kaidah-
kaidah moral dan etik tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan kebudayaan,
masyarakat, dan lingkungannya. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai
dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran pengetahuan dengan metode empiris.
Pragmatisme telah memberikan sumbangan besar terhadap teori pendidikan. Menurut
Dewey, terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan antara satu dengan yang
lainnya. Kedua teori tersebut adalah paham konservatif dan unfolding theory (teori
pemerkahan).[14]
I. Aliran Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme itu unik yakni memfokuskan pada pengalaman-pengalaman
individu. Filsafat-filsafat lain berhubungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk
mengidentifikasi dan memahami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan manusia dan
nilai.
Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan
skeptis. Filsafat spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang
pengnalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada
dalam diri individu. Jadi pengalaman tidak banyak pengaruh terhadap diri individu.
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu
pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa
sebagaimana benda-benda tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan.
Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri. Melainkan merupakan suatu
potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan
pilihan-pilihan diantara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar.
Eksistensialisme sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi.
Setiap individu dipandang sebagai makhluk yang unik, dan secara unik pula ia bertanggung
jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971)
mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena
keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu
manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan adalah
kemerdekaan.[15]
Menurut pendapat saya, aliran filsafat pendidikan yang sesuai diterapkan di
Indonesia adalah :
Aliran filsafat pendidikan Realisme , karena aliran tersebut memiliki kelebihan
diantaranya
1. Program pendidikan terfokus sehingga peserta didik dapat menyesuaikan
diri secara tepat dalam hidup, dan dapat melaksanakan tanggung jawab
sosial dalam hidup bermasyarakat.
2. Peranan peserta didik adalah penguasaan pengetahuan yang handal
sehingga mampu mengikuti perkembangan IPTEK .
3. Dalam hubungannya dengan disiplin, tata cara yang baik sangat penting
dalam belajar. Artinya belajar dilakukan secara terpola berdasarkan pada
suatu pedoman . Karena peserta didik perlu mempunyai disiplin mental dan
moral untuk setiap tingkat kebaikan .
4. Kurikulum komprehensif yang berisi semua pengetahuan yang berguna
dalam penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab sosial . Kurikulum
berisi unsur-unsur pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan
berfikir dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja.
5. Metodenya logis dan psikologis , semua kegiatan belajar berdasarkan
pengalaman baik langsung maupun tidak langsung. Metode mengajar
bersifat logis, bertahap dan berurutan .
Dan Salah seorang tokoh atau penganut Realisme yang sangat terkenal
adalah Johan Amos Comenius yang merupakan pemikir pendidikan .
Beberapa prinsip belajar yang dikemukakan oleh Comenius adalah :
1. Pelajaran harus didasarkan pada minat peserta didik . keberhasilan dalam
belajar tidak karena dipaksakan dari luar , melainkan merupakan suatu
hasil perkembangan pribadinya.
2. Pada pertemuan awal atau permulaan pembelajaran , guru harus
menyampaikan informasi tentang garis-garis besar pembelajaran yang akan
dipelajari peserta didik .

Você também pode gostar