Você está na página 1de 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bidang kesehatan yang paling terpengaruh oleh dampak globalisasi, yakni antara
lain bidang perumahsakitan, tenaga kesehatan, industri farmasi, alat kesehatan dan
asuransi kesehatan.
Di bidang perumahsakitan misalnya, manajemen pelayanan kesehatan belum
efisien. Mutunya masih relatif rendah. Disinilah justru letak keunggulan rumah sakit
swasta asing yang telah terbiasa bekerja dengan sistem manajemen profesional.
Kehadiran rumah sakit swasta asing akan menguntungkan kelompok konsumen tertentu
karena mempunyai lebih banyak pilihan pelayanan kesehatan yang kian bermutu, namun
rumah sakit swasta nasional akan tersaingi dan kesenjangan pelayanan kesehatan antara
kelompok yang mampu dan yang kurang mampu akan menjadi lebih lebar.
Oleh karena itu upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah langkah
terpenting untuk meningkatkan daya saing usaha Indonesia di sektor kesehatan. Hal ini
tidak ringan karena peningkatan mutu tersebut bukan hanya untuk rumah sakit saja tetapi
berlaku untuk semua tingkatan pelayanan kesehatan mulai dari Puskesmas Pembantu dan
Puskesmas, baik di fasilitas pemerintahan maupun swasta.
Peningkatan kualitas pelayanan adalah salah satu isu yang sangat krusial dalam
manajemen, baik dalam sektor pemerintah maupun sektor swasta. Hal ini terjadi karena
di satu sisi tuntunan masyarakat terhadap perbaikan kualitas pelayanan dari tahun ke
tahun menjadi semakin besar, sedangkan disisi lain, praktek penyelenggaraan pelayanan
tidak mengalami perbaikan yang berarti.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia diamanatkan bahwa Kesehatan
merupakan salah satu aspek dari hak asasi manusia, yaitu sebagaimana yang tercantum
dalam pasal 28 H ayat (1) : setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
Pembangunan Kesehatan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum sebagai yang
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan Kesehatan
tersebut diselenggarakan dengan berdasarkan kepada Sistem Kesehatan Nasional ( SKN )
yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia secara terpadu
dan saling mendukung guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Sebagai pelaku dari pada penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah masyarakat,
pemerintah ( pusat, provinsi, kabupaten/kota ), badan legeslatif serta badan yudikatif.
Dengan demikian dalam lingkungan pemerintah baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah harus saling bahu membahu secara sinergis melaksanakan pembangunan
kesehatan yang terencana, terpadu dan berkesinambungan dalam upaya bersama-sama
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Keberhasilan pembangunan Kesehatan berperan penting dalam meningkatkan
mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia. Untuk mencapai keberhasilan
dalam pembangunan bidang kesehatan tersebut diselenggarakan berbagai upaya
kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu. Dalam hal ini Puskesmas sebagai
Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan merupakan penanggung jawab penyelenggara
upaya kesehatan untuk jenjang pertama di wilayah kerjanya masing-masing. Puskesmas
sesuai dengan fungsinya ( sebagai pusat pembangunan berwawasan kesehatan, pusat
pemberdayaan masyarakat dan keluarga serta pusat pelayanan kesehatan dasar )
berkewajiban mengupayakan, menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan yang
bermutu dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang
berkwalitas dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan Nasional yaitu
terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang.

B. Tujuan Umum
Terselenggaranya pelayanan kesehatan dasar yang bermutu dan memuaskan
dalam rangka terwujudnya peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

C. Manfaat
1. Memberikan penjelasan tentang kualitas atau mutu pelayanan kesehatan di Indonesia
2. Memberikan informasi tentang sejauh mana pelayanan kesehatan di Indonesia
3. Untuk mengetahui beberapa aspek yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan di
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konsep Dasar Mutu Pelayanan Kesehatan


Banyak pengertian tentang mutu antara lain:
1. Mutu adalah tingkat kesempurnaan dan penampilan sesuatu yang sudah diamati
( Wnston Dictionary, 1956 )
2. Mutu adalah sifat ang dimiliki oleh suatu progam ( Donabedian,1980 )
3. Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri suatu barang atau jasa yang didalamnya
terkandung pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna ( DIN
ISO 8402, 1986 )
Jadi, Mutu ( quality ) dapat didefinisikan sebagai keseluruhan karakteristik barang
atau jasa yang menunjukkan kemampuan dalam memuaskan kebutuhan konsumen, baik
kebutuhan yang dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat.
Beberapa pengertian tentang mutu pelayanan kesehatan:
1. Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap
jasa pemakai pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata- rata
penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi
( Azhrul Aswar,1996 )
2. Mutu pelayanan kesehatan adalah Memenuhi dan melebihi kebutuhan serta harapan
pelanggan melalui peningkatan yang berkelanjutan atas seluruh proses. Pelanggan
meliputi pasien, keluarga, dan lainnya yang datang untuk mendapatkan pelayanan
dokter, karyawan ( Mary R. Zimmerman )

Secara umum pengertian mutu pelayanan kesehatan adalah derajat kesempurnaan


pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan dengan
menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di rumah sakit atau puskesmas secara
wajar, effisien, dan efektif serta diberikan secara aman dan menuaskan secara norma ,
etika, hukum dan sosial budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan
pemerintah , serta masyarakat konsumen.

Selain itu mutu pelayanan kesehatan diartikan berbeda sebagai berikut :


1. Menurut pasien/ masyarakat empati , menghargai, dan tanggap sesuai dengan
kebutuhan dan ramah.
2. Menurut petugas kesehatan adalah bebas melakukan segala sesuatu secara profesional
sesuai dengan ilmu pengetahuan, keterampilan , dan peralatan yang memenuhi
standar.
3. Menurut manajer / administrator adalah mendorong manager untuk mengatur staf dan
pasien/ masyarakat yang baik.
4. Menurut yayasan atau pemilik adalah menuntut pemilik agar memiliki tenaga
profesional yang bermutu dan cukup.
Untuk mengatasi adanya perbedaan dimensi tentang masalah peayanan kesehatan
seharusnya pedoman yang dipakai adalah hakekat dasar dari diselenggaranya pelayanan
kesehatan tersebut. Yang dimaksud hakekat dasar tersebut adalah memenuhi kebutuhan
dan tuntunan para pemakai jasa pelayanan kesehatan yang apabila berhasil dipenuhi akan
menimbulkan rasa puas (client satisfaction) terhadap pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan.
Jadi yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada
ringkat pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Makin
sempurna kepuasan tersebut, makin baik pula mutu pelayanan kesehatan. Sekalipun
pengertian mutu yang terkait dengan keputusan ini telah diterima secara luas , namun
penerapannya tidaklah semudah yang diperkirakan. Masalah pokok yang ditemukan ialah
karena kepuasan tersebut bersifat subjektif. Tiap orang, tergantung dari kepuasan yang
dimiliki, dapat saja memiliki tingkat kepuasan yang berbeda untuk satu mutu pelayanan
kesehatan yang sama. Disamping itu sering pula ditemukan pelayanan kesehatan yang
sekalipun dinilai telah memuaskan pasien, namun ketika ditinjau dari kode etik serta
standar pelayanan profesi, kinerjanya tetap tidak terpenuhi.

B. Menilai Mutu Pelayanan Kesehatan


Dalam salah satu tulisannya tentang Quality Assurance in Hospital, Donabedian
mengatakan bahwa pada waktu yang lalu pertanyaan "Bagaimana mutu pelayanan
kesehatan dapat dinilai" tidak dapat diajukan. Hal itu terjadi karena mutu pelayanan
kesehatan disamakan dengan suatu misteri: nyata, dapat dirasakan dan dihargai, tetapi
bukan subjek yang dapat diukur. Bahkan, sebelumnya usaha ke arah itu sering dianggap
remeh. Tetapi, selanjutnya Donabedian mengatakan bahwa sekarang kita berada pada
arah yang sebaliknya.

Artinya, penilaian terhadap mutu pelayanan kesehatan semakin menjadi tuntutan


berbagai pihak. Baik dari provider 'pemberi ' pelayanan kesehatan, perusahaan asuransi
kesehatan (pihak ketiga), maupun pihak masyarakat selaku. Selain menjadi tuntutan
semua pihak, ternyata menilai mutu pelayanan kesehatan pun bukan suatu yang mustahil.
Sebenarnya, berbagai topik yang dibicarakan saat ini bukan merupakan hal yang baru,
termasuk masalah mutu pelayanan kesehatan. Bila kita cermati catatan sejarah, kita akan
melihat betapa pada masa lalu tenaga-tenaga kesehatan telah peduli terhadap masalah
yang satu ini. Pada 1860, Florence Nightingale telah meletakkan dasar mutu pelayanan
kesehatan dengan menyeragamkan sistem pengumpulan data statistik rumah sakit dan
evaluasinya. Data yang dikumpulkan oleh Nightingale tersebut menunjukkan angka
kematian yang bervariasi antar rumah sakit. Di Amerika Serikat, saat terjadi
perkembangan pelayanan kesehatan yangpesat, banyak bermunculan pihak pemberi
layanan kesehatan dan perusahaanasuransi sebagai jembatan antara provider dengan
konsumen.
Oleh karena itu, pada saat itu bermunculanlah berbagai kepentingan yang tak
lepas darimasalah politik, ekonomi, sosial, dan aspek hukum. Perhatian terhadap
mutupelayanan kesehatan muncul meskipun pada saat itu orang-orang yang
memperhatikan masalah tersebut baru memiliki kemampuan yang terbatas.
Selanjutnya, pada 1955, Komisi Gabungan mulai menekankan tentang arti
penting audit medik. Hasilnya, pada Januari 1981 audit medik ditetapkan sebagai bagian
dari Quality Assessment Standard 'Standar Penilaian Mutu'. Standar ini mengharuskan
rumah sakit memperhatikan seluruh data statistik, medical record, komite antibiotik
dalam suatu sistem audit medik, bersamaan pula dengan pengawasan praktik klinik,
laporan insiden, dan lain-lain.
Pada akhir 1986, Komisi Gabungan tersebut meluncurkan proyek baru yang
berjudul The Agenda for Change 'Agenda untuk Perubahan'. Tujuan program tersebut
adalah untuk membangun suatu pengawasan yang berorientasi pada outcome 'hasil' dan
evaluasi terhadap proses yang dapat membantu suatu rumah sakit atau pihak pemberi
layanan kesehatan lainnya dalam meningkatkan mutu pelayanan. Program tersebut
didesain untuk meningkatkan kemudahan dalamproses akreditasi dan memberi tekanan
pada pentingnya hasil klinis serta administrasi.
Dalam perkembangannya, Komisi Gabungan tersebut mengubah namanya
menjadi Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization 'Komisi
Gabungan untuk Akreditasi Organisasi Pelayanan Kesehatan'. Penambahan nama tersebut
merefleksikan jangkauan yang luas dari pelayanan kesehatan yang unik, yang berbeda
dengan organisasi lainnya. Biasanya, ada 2 pertanyaan mendasar yang muncul
sehubungan dengan penilaian medik. Pertama, apa yang dimaksud dengan mutu medik
dan pelayanan kesehatan? Kedua, bagaimana cara mengukur yang tepat?
Definisi 'mutu' dalam pelayanan kesehatan memang sulit ditunjukkan dengan
tepat bila diharapkan dapat memenuhi semua dimensi. Definisinya akan tergantung dari
perspektif mana kita melihat. Konsumen dapat mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan 'mutu' pelayanan kesehatan adalah kemampuan dokter dalam melakukan
diagnosis dan pengobatan yang tepat. Pihak manajemen rumah sakit dapat mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah kemampuan rumah sakit
dalam memberikan sejumlah pelayanan dengan biaya yang cukup rendah.
Contoh berikut dapat memberikan gambaran tentang betapa ada sedikit bias
dalam pengartian mutu pelayanan kesehatan. Seorang pasien datang ke suatu pusat
pelayanan kesehatan dengan infeksi saluran pernapasan atas. Melalui berbagai tes, dokter
yang menangani mengetahui bahwa pasien tersebut mengalami tekanan darah tinggi yang
tidakbiasa. Dokter tersebut kemudian memutuskan agar pasien melakukan kunjungan
lanjutan untuk memantau hipertensinya. Namun, pasien tersebut merasa baik-baik saja.
Pasien hanya merasa sedikit demam dan membutuhkan antibiotik. Dokter menjelaskan
bahwa antibiotik tidak efektif melawan virus. Namun, pertemuan ke-2 dan seterusnya
tidak pernah terjadi karena pasien kecewa. Kekecewaan pasien terjadi karena ia merasa
tidak berhasil mendapatkan antibiotik. Sementara itu, dokter tersebut juga frustasi karena
pasiennya tidak datang pada kunjungan berikutnya untuk penanganan hipertensi. Di lain
pihak, rumah sakit lebih melihat pada tingginya angka kegagalan pertemuan lanjutan
yang berkaitan dengan penggunaan berbagai fasilitas rumah sakit.
Menurut Nancy O. Graham, definisi mutu pelayanan kesehatan meliputi masalah
teknis, aspek saintifik, dan art 'seni' dalam memberikan pelayanan. Seni dalam
memberikan pelayanan kesehatan berkaitan dengan cara yang dilakukandokter dalam
melakukan tindakan medis dan komunikasi terhadap pasien. Lebih lanjut, Graham
mengatakan bahwa suatu hal yang mustahil mendiskusikan arti mutu tanpa melihat pada
nilai-nilai yang ada pada tenaga medis, pasien, dan institusi. Karena, artinya akan sangat
tergantung pada nilai-nilai yang ada pada ketiga komponen tersebut. Bukan hal yang
mustahil bila artinya akan berubah seiring dengan perubahan nilai yang ada pada
masyarakat, perubahan ilmu pengetahuan, dan sumber daya yang ada.
C. Persepsi Mutu Pelayanan Kesehatan
1. Menurut pasien/masyarakat
Pasien/ masyarakat melihat layanan kesehatan yang bermutu sebagai suatu
layanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakan dan
diselenggarakan dengan cara yang sopan dan santun, tepat waktu, tanggap serta
mampu menyembuhkan keluhan serta mencegah berkembangnya atau meluasnya
penyakit.
Pandangan pasien ini sangat penting karena pasien yang merasa puas akan
mematuhi pengobatan dan mau datang berobat kembali.
2. Menurut pembeli layanan

Pemberi layanan kesehatan mengaitkan layanan kesehatan yang bermutu dengan


ketersediaan peralatan , prosedur kerja atau protokol, kebebasan profesi dalam setiap
melakukan layanan kesehatan sesuai dewngan teknologi kesehatan mutakhir, dan
bagaimana keluaran atau layanan kesehatan tersebut.
Sebagai profesi layanan kesehatan membutuhklan dan mengharapkan adanya
dukungan teknis, administrasi, dan layananan pendukung lainnya yang efektif serta
efisien dalam menyelenggarakan layanan kesehatan yang bernutu tinggi.
3. Menurut penyambung dana/asuransi
Penyandang dana / asuransi mengangap bahwa layanan kesehatan yang bermutu
sebagai suatu layanan kesehatan yang efisien dan efektif. Pasien deharapkan dapat
disembuhkan dalam waktu yang sesingkat mungkin sehingga biaya layanan kesehatan
dapat menjadi efisien. Selanjutnya, upaya promosi kesehatan pencegahan penyakit
akan digalakkan agar pengguna layanan kesehatan semakin berkurang.
4. Menurut pemilik sarana layanan kesehatan
Pemilik sarana layanan kesehatan berpandangan bahwa layanan kesehatan yang
bermutu merupakan layanan kesehatan yang menghasilkan pendapatan yang mampu
menutupi biaya operasional dan pemeliharaan, tetapi dengan tarif layanan kesehatan
yang masih terjangkau oleh pasien atau masyarakat, yaitu padatingkat biaya ketika
belum terdapat keluhan pasien masyarakat.
5. Menurut administrator kesehatan/pemerintah
Administrator layanan kesehatan tidak langsung memberikan layanan kesehatan ,
tetapi ikut bertanggung jawab dalam masalah mutu layanan kesehatan. Kebutuhan
akan supervisi, kebutuhan keuangan dan logistik akan memberikan suatu tantangan
dan terkadang administator layanan kesehatan kurang memperhatikan prioritas
sehingga timbul persoalan dalam layanan kesehatan. Pemusatan perhatian terhadap
beberapa dimensi nutu layanan kesehataan tertntu akan membantu administator
layanan kesehatan dalam menyusun prioritas dan dalam menyediakan apa yang
menjadi kebutuhan dan harapan pasien , sserta pemberi layanan kesehatan.
6. Menurut ikatan profesi
Keberhasilan penerapan pendekatan jaminan mutupelayanan kesehata akan
menimbulkan kepuasan pasien. Dengan demikian, tugas pelayanan kesehatan selama
ini dianggap suatu beban yang berat dan ada kalanya disertai dengan keluhan /
kritikan pasien dan/ masyarakat akan berubah menjadi suatu kepuasan kerja. Jaminan
mutu pelayanan kesehatan akan menghindarkan terjadinya malpraktik sehingga
dokter dapat terhindar dari tuntunan pasien.
D. Hubungan Antara Kepuasan, Harapan Dan Persepsi Pasien Terhadap Pelayanan
Kesehatan Yang Diterima

Kepuasan terhadap pelayanan kesehatan akan dinyatakan melalui hal- hal sebagai
berikut:

1. Komunikasi dari mulut ke mulut


Informasi yang diperoleh dari asien atau masyarakat yang memperoleh pelayanan
yang mmuaskan ataupun tidak, akan menjadi informasi yang dapat digunakan untuk
sebagai referensi untuk menggunakan atau memilih jasa pelayanan kesehatan
tersebut.
2. Kebutuhan pribadi
Pasien atau masyarakat selalu membutuhkan pelayanan kesehatan yang tersedia
sebagai kebutuhan pribadi yang tersedia pada waktu dan tempat sesuai dengan
kebutuhan. Pasien atau masyarakat mengharapkanadanya kemudahan dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang baik dalam keadaan biasa ataupun gawat
darurat.
3. Pengalaman Masa lalu
Pasien atau masyarakat yang pernah mendapatkan pelayanan kesehatan yang
memuaskan akan kembali ke pelayanan kesehatan yang terdaulu untuk memperoleh
layanan kesehatan yang memuaskan sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan
pengalaman yang lalu.
4. Komunikasi eksternal
Sosialisasi yang luas dari sistem pelayanan kesehatan mengenai fasilitas, sumber daya
manusia, serta kelebihankelebihan yang dimiliki suatu konstitusi pelayanan
kesehatan akan mempengaruhi pemakaian jasa pelayanan oleh masyarakat atau
pasien.
E. Dimensi Mutu Yang Digunakan Untuk Mengevaluasi Mutu Yang Digunakan
Mutu suatu organisasi pemberi pelayanan yang sulit diukur dan lebih bersifat
subjektif sehingga aspek mutu menggunakan beberapa dimensi/ karakteristik sbb:
1. Communication, yaitu komunikasi atau hubungan antara penerima dengan pemberi
jasa.
2. Credibility adalah kepercayaan pihak penerima jasa terhadap pemberi jasa.
3. Security, yaitu keamanan terhadap jasa yang ditawarkan
4. Knowing the Custoer, yaitu pengertian dari pihak pemberi jasa pada penerima jasa
atau pemahaman atau pemberi jasa terhadap kebutuhan dengan harapan pemakai jasa
5. Tangible, yaitu bahwa dalam memberikan pelayana terhadap pelanggan harus diukur
atau dibuat standarnya
6. Realibility, yaitu konsistensi kerja pemberi jasa dan kemampuan pemberi jasa
7. Responsiveness, yaitu tanggapan pemberi jasa terhadap kebutuhan dan penerima jasa
8. Competence, yaitu kemampuan atau keterampilan pemberi jasa yang dibutuhkan
setiap orang dalam perusahaan untuk memberikan jasanya kepada penerima jasa
9. Access, yaitu kemudahan pemberi jasa untuk duhubungi oleh pihak pelanggan
10. Courtessy, yaitu kesopanan, aspek perhatian, kesamaan dalam hubungan personal
F. Manfaat Program Jaminan Mutu
Jaminan mutu pelayanan kesehatan atau Quality Assurance in Healthcare
merupakan salah satu pendekatan atau upaya yang sangat mendasar dalam memberikan
pelayanan terhadap pasien. Kita sebagai profesional pelayanan kesehatan baik sebagai
perorangan ataupun kelompok harus selalu berupaya memberikan pelayanan kesehatn
yang terbaik mutunya kepada semua pasien.
Pendekatan jaminan mutu pelayanan kesehatan tersebut baik yang menyangkut
organisasi, perencanaan ataupun penyelenggaraan pelayanan kesehatan itu sendiri telah
menjadi suatu kiat manajemen yang sistematis serta terus menerus dievaluasi dan
disempurnakan. Bidan berperan penting dalam penerapan mutu manajemen pelayanan
kesehatan baik secara langsung ataupun tidak langsung saat penyelenggaraan pelayanan
kesehatan kepada pasien.
Adanya perubahan sosial budaya masyarakat dan perkembangan pengetahuan dan
teknologi, peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan dan perkembangan
informasi yang begitu cepat, serta diikuti oleh tuntutan masyarakat akan pelayanan
kesehatan yang baik, mengharuskan sarana pelayanan kesehatan untuk mengembangkan
diri secara terus-menerus seiring dengan perkembangan yang ada pada masyarakat
tersebut.
G. Muramnya Mutu Pelayanan Kesehatan Di Indonesia
Pelayanan kesehatan yang baik merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Semua
orang ingin merasa dihargai, ingin dilayani, ingin mendapatkan kedudukan yang sama di
mata masyarakat. Kebutuhan ini adalah wujud dari level kedua Teori Maslow. Akan tetapi
sering terdapat dikotomi dalam upaya pelayanan kesehatan di Indonesia. Sudah begitu
banyak kasus yang menggambarkan betapa suramnya wajah pelayanan kesehatan di
negeri ini. Seolah-olah pelayanan kesehatan yang baik hanya diperuntukkan bagi mereka
yang memiliki dompet tebal. Sementara orang-orang kurang mampu tidak mendapatkan
perawatan kesehatan yang adil dan proporsional. Orang-orang miskin sepertinya tidak
boleh sakit.
Tidak dapat dimengerti apa yang membuat adanya jurang pemisah antara si kaya
dan si miskin dalam domain pelayanan kesehatan. Dokter yang ada di berbagai rumah
sakit sering menunjukkan jati dirinya kepada pasien secara implisit. Bahwa menempuh
pendidikan kedokteran itu tidaklah murah. Oleh sebab itu sebagai buah dari mahalnya
pendidikan yang harus ditempuh, masyarakat harus membayar arti hidup sehat itu dengan
nominal yang luar biasa.
Pelayanan kesehatan sepertinya sering tidak sebanding dengan mahalnya biaya
yang dikeluarkan. Rumah sakit terkadang tidak melayani pasien dengan baik dan ramah.
Dokter terkadang melakukan diagnosis yang cenderung asal-asalan.Suramnya wajah
pelayanan kesehatan di Indonesia haruslah menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk
memperbaiki kondisi tersebut. Bukan hanya peranan dokter ataupun Menteri Kesehatan
dalam perwujudan hidup sehat melainkan partisipasi semua masyarakat.
Memilih berobat ke luar negeri tidak bisa dianggap sebagai sebuah tindakan
mengkhianati bangsa. Karena kenyataannya rumah sakit-rumah sakit yang ada di
Indonesia tidak memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk memberikan kredit jaminan
kesehatan lebih baik pada pasiennya. Namun ada pihak-pihak tertentu yang melakukan
perawatan ke luar negeri karena ketidakpercayaannya terhadap kapasitas dokter-dokter
dan rumah sakit yang ada di negeri ini.

H. Permasalahan yang Mempengaruhi Pelayanan Medis Rumah Sakit


Lingkungan politik, ekonomi dan sosial yang serba tidak menentu sebagai
dampak berkepanjangan dari krisis multidimensional di negara ini, mengakibatkan
organisasi milik pemerintah maupun swasta sulit menentu arah perkembangan di masa
mendatang. Bahkan untuk beberapa di antara organisasi tersebut yang menjadi masalah
bukannya perkembangan, tetapi bagaimana organisasinya bisa tetap hidup di tengah
berbagai tantangan mulai dari desentralisasi sampai globalisasi dan liberalisasi
perdagangan. Demikian pula hal yang terjadi pada banyak fasilitas pelayanan medik
milik pemerintah maupun swasta.
Kenyataan yang kini dihadapi di negara ini berikut dengan aneka ragam
permasalahannya, menurut organisasi untuk beradaptasi terhadap berbagai perubahan
lingkungan yang perlu diakomodasikan demi kelangsungan hidup organisasi, maupun
perkembangan selanjutnya. Permasalahan pokok yang dihadapi oleh Sistem Pelayanan
Medik, antara lain adalah: Ada kesenjangan antara kebutuhan dan permintaan terhadap
pelayanan rumah sakit. Dibandingkan negara-negara tetangga, jumlah tempat tidur rumah
sakit di Indonesia relatif masih rendah, yaitu 60 tempat tidur RS per 100.000 penduduk,
atau ke-8 paling rendah di dunia dalam rasio tempat tidur dibandingkan jumlah
penduduk. Angka ini di Indonesia hampir relatif tak berubah sejak 10 tahun terakhir.
Sebenarnya kebutuhan riil akan pelayanan kesehatan di Indonesia sangat besar. Ini
tercermin dari derajat kesehatan yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara
tetangga. Angaka kematian ibu masih sekitar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Walaupun
pasokan tempat tudur rumah sakit masih sangat rendah, ternyata pemakaian tempat tidur
juga masih rendah. Bed Occupancy Rate (BOR) hanya sekitar 55-57 persen selama 10
tahun terakhir. Rata-rata tiap hari dari 100.000 penduduk hanya 30 orang yang sedang
dirawat di rumah sakit. Data di atas menunjukkan bahwa kebutuhan yang tinggi ini tak
diiringi dengan permintaan yang tinggi.
Menurunnya hari-hari rawat sebesar 12,3 persen pada ruang rawat kelas III RSU
pemerintah untuk pasien miskin selama dekade terakhir, ini menunjukkan tingkat
kepercayaan masyarakat yang menurun di samping ketidakjangkauan pembiayaan,
padahal setiap tahunnya total hari rawat meningkat 1 persen.
Jenjang rujukan antara Puskesmas dengan semua kelas RSU tidak berjalan secara
hierarkis sesuai kebutuhan. Begitu pula rujukan antara RSU kelas A, B, C, dan D tidak
berjalan secara efektif dan efisien. Pemerataan mendapatkan pelayanan medik yang
bermutu, efisien dan berkesinambungan belum dirasakan oleh masyarakat luas.
Hampir 50 persen dari masyarakat yang mempunyai keluhan sakit sama sekali
tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan formal. Sebagian besar dari mereka melakukan
pengobatan sendiri, sedangkan sisanya berobat ke dukun atau bahkan sama sekali tidak
berobat.
Adanya perbedaan pemahaman antara pejabat/instansi di pusat dan daerah tentang
hakekat otonomi daerah di bidang kesehatan. Masalah ini sangat berkaitan erat dengan
masalah sosialisasi dan kebutuhan tindak lanjut dari peraturan perundang-undangan yang
baru.
Konflik kepentingan antara pusat dan daerah adalah keberaneka ragaman dan
kelokalan. Sementara pengalaman masa lalu lebih didominasi oleh wajah tunggal dalam
segala bidang dengan pola penyeragaman dan terpusat. Keanekaragaman dan kelokalan
itu dapat terlihat dari:
Peraturan daerah
Sumberdaya daerah

Kemungkinan akan semakin melebarnya jurang kesenjangan di bidang kesehatan


(pelayanan medis) karena adanya perbedaan antara daerah yang kaya dan daerah yang
miskin dilihat dari pendapatan daerah, juga antara daerah yang memiliki (concern) secara
politis tinggi dengan yang perhatiannya rendah.

Rumah sakit pendidikan beban ganda pendidikan dan pelayanan, kepemimpinan


ganda Depdikbud-Depkes, karena masalah RS pendidikan menjadi beban RS karena
mahasiswa menjadi beban pembiayaan RS (subsidi pendidikan masih tinggi). Pemerintah
belum mampu menjamin pengadaan darah yang aman dan memadai. Rumah sakit masih
terlalu besar mensubsidi PT Askes dengan tarif ditetapkan oleh Askes dengan adanya
SKB 2 menteri. Jadi perlu ditinjau kembali kerjasama Askes dengan RS/Puskesmas.

Dari permasalahan di atas dapat ditentukan 11 pokok isu strategis, yaitu:

1. Rendahnya pemanfaatan fasilitas medik oleh masyarakat karena masih rendahnya


keterjangkauan secara biaya, geografis dan pengetahuan
2. Adanya kesenjangan anatara kebutuhan dan permintaan terhadap pelayanan medik
yang tersedia;
3. Kesenjangan pelayanan medik antara daerah;
4. Kerjasama lintas sektor, lintas program dan lintas unit dalam pembangunan kesehatan
masih belum optimal;
5. Mekanisme pasar yang tidak terkendali di kota/kabupaten sebagai dampak negatif
globalisasi dan perubahan yang cepat dari masyarakat;
6. Desentralisasi manajemen pelayanan kesehatan masih lebih banyak ditentukan oleh
suprasistem di luar Depkes;
7. Ditjen Pelayanan Medik belum memiliki konsep desentralisasi;
8. Mutu SDM yang kurang profesional;
9. Reformasi sistem pelayanan medik yang berazaz demokrasi, akuntabilitas dan
transparansi belum tercapai;
10. Kurangnya pemberdayaan masyarakat dalam sistem pelayanan medik;
11. Sistem rujukan pelayanan medik yang belum berjalan secara efektif dan efisien.
Kesebelas isu strategis tersebut berkaitan dengan mutu, efisiensi, keadilan dan
pemerataan pelayanan medik.

I. Reorientasi Konsep Pelayanan Rumah Sakit


Berbeda dengan paradigma lama yang berorientasi pada aspek negatif penyakit
(angka kesakitan, angka kematian, angka kecacatan), paradigma baru pengembangan
pelayanan rumah sakit memasuki millenium III berorientasi pada nilai positif kesehatan
yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup seoptimal mungkin, pengurangan penderita
fisik dan kejiwaan serta peningkatan martabat dan kemampuan untuk mandiri, sekalipun
mengidap penyakit kronis dan fatal.
Kesehatan dipandang sebagai sumber daya yang memberikan kemampuan pada
individu, kelompok, dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mengelola bahkan
merubah pola hidup, kebiasaan dan lingkungan. Hal ini sesuai dengan arah pembangunan
kesehatan kita yang meninggalkan paradigma lama menuju paradigma sehat, dalam
rangka menuju Indonesia Sehat 2010.
Mengembangkan Rumah sakit menjadi suatu "Institusi Sehat" menghasilkan:
Rumah sakit yang semula adalah "wahana penyembuhan" perlu berubah menjadi
"wahana pemeliharaan kesehatan" bagi seluruh anggota atau "kekuatan keluarga".
Rumah sakit harus mampu berubah bentuk dan sistem pelayanannya sesuai
dengan tuntutan kliennya yang tidak lagi harus orang atau penduduk sakit, tetapi adalah
manusia atau penduduk sehat yang ingin tetap sehat.
Karena sifatnya pemeliharaan, maka Rumah sakit bukan lagi hanya menjadi
"rumahnya orang yang sedang sakit akan tetapi juga menjadi suatu "tempat pemeliharaan
kesehatan yang menyenangkan" juga meliputi orang sehat. Implikasi yang paling penting
dari dampak reformasi ini adalah dihasilkannya reorientasi pelayanan rumah sakit serta
pemberdayaan terhadap pasien dan karyawannya.
J. Pelayanan Medis Prima
Departemen Kesehatan pada tahun 1999 mengeluarkan kebijakan mengenai
pelayanan prima untuk mengantisipasi masalah dan tantangan di bidang pelayanan
kesehatan. Di bidang perumahsakitan pelayanan kepada pasien berdasarkan standar
keahlian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga pasien dapat
memperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan kepada rumah
sakit. Melalui pelayanan prima rumah sakit diharapkan akan menghasilkan keunggulan
kompetentif (competentif advantage) melalui pelayanan yang bermutu, efisien, inovatif
dan menghasilkan customer responsiveness.
Cara pandang pelayanan prima adalah:
1. Karyawan medik, paramedik, dan karyawan lain merupakan aset terpenting rumah
sakit yang harus diberdayakan. Mutu proses pelayanan kesehatan hanya akan dapat
meningkatkan kalau karyawan mempunyai komitmen dan kompeten dalam
pekerjaannya.
2. Efisiensi rumah sakit merupakan prasyarat pelaksanaan yang bertanggung jawab atas
misi sosial yang diemban. Efisiensi dapat dicapai tidak hanya dari upaya manajerial.
Efisiensi proses pelayanan akan mampu meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
3. Inovasi pelayanan medis rumah sakit melalui pemanfaatan teknologi tepat guna yang
cost effective dan strategi diferensiasi pelayanan adalah suatu cara untuk merebut
pasar. Pemanfaatan teknologi tepat guna dan diferensiasi teknologi maju akan
menghasilkan pemberdayaan profesional untuk komitmen pada visi.
4. Kunci sukses pengelolaan rumah sakit sebagai badan usaha terletak pada bagaimana
mengelola sifat self developing, self governing, dan self disciplining dari profesional
agar terjadi pemberdayaan profesional untuk melaksanakan pemberdayaan customer,
sehingga terjadi pelayanan prima.
5. Mutu proses pelayanan rumah sakit akan meningkatkan kepuasan pengguna
pelayanan kesehatan. Nilai-nilai kepuasan pengguna harus diperhatikan dengan baik,
sehingga akan menghasilkan pemberdayaan para pengguna (customer
responsiveness). Kepuasan para pengguna akan memicu kesuksesan dalam keuangan
secara berkesinambungan.
6. Kesuksesan dalam bidang ekonomi akan memungkinkan rumah sakit berbuat banyak
untuk mewujudkan berbagai misi, termasuk melindungi orang miskin, menjadi
tempat bergantung hidup anggota organisasi, dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat luas. Lebih lajut, kesuksesan ekonomi (keuangan) akan meningkatkan
mutu proses pelayanan dan komitmen sumber daya manusia.
Pelayanan kesehatan, memiliki tiga fungsi yang saling berkaitan, saling
berpengaruh dan saling bergantungan, yaitu fungsi sosial (fungsi untuk memenuhi
harapan dan kebutuhan masyarakat pengguna pelayanan kesehatan ), fungsi teknis
kesehatan (fungsi untuk memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat pemberi
pelayanan kesehatan) dan fungsi ekonomi (fungsi untuk memenuhi harapan dan
kebutuhan institusi pelayanan kesehatan). Ketiga fungsi tersebut ditanggung jawab oleh
tiga pilar utama pelayanan kesehatan yaitu, masyarakat (yang dalam prakteknya
dilaksanakan bersama antara pemerintah dan masyarakat), tenaga teknis kesehatan (yang
dilaksanakan oleh tenaga profesional kesehatan) dan tenaga adminstrasi/manajemen
kesehatan (manajemen/ adminstrator kesehatan).
Tujuan pelayanan kesehatan adalah tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
memuaskan harapan dan kebutuhan derajat masyarakat (consumer satisfaction), melalui
pelayanan yang efektif oleh pemberi pelayanan yang memuaskan harapan dan kebutuhan
pemberi pelayanan (provider satisfaction), pada institusi pelayanan yang diselenggarakan
secara efisien (institutional satisfaction). Interaksi ketiga pilar utama pelayanan kesehatan
yang serasi, selaras dan seimbang, merupakan paduan dari kepuasan tiga pihak, dan ini
merupakan pelayanan kesehatan yang memuaskan (satisfactory healty care).
Dalam menghadapi persaingan, maka rumah sakit harus meningkatkan program
peningkatan kualitas dan evaluasi secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip utama yang
melandasi program peningkatan kualitas dan evaluasi adalah:
1. Customer Focus
a. Perhatian rumah sakit difokuskan pada pengguna, baik internal mapun eksternal.
b. Kewajiban dan hak pengguna telah ditetapkan, jelas dikomunikasikan dan
dilaksanakan.
c. Umpan balik pengguna, diteliti dan digunakan untuk melakukan perbaikan.
2. Kepemimpinan (Leadership)
a. Kepemimpinan harus tampak di lingkungan rumah sakit
b. Nilai-nilai rumah sakit tercermin dalam praktek
c. Pelayanan rumah sakit terkoordinasi dengan baik
d. Perbaikan Kinerja Rumah Sakit
e. Pencapaian misi dan tujuan organisasi harus terukur
f. Hasil-hasil yang dicapai digunakan untuk peningkatan kinerja
g. Perbaikan yang terus menerus harus menjadi perhatian untuk rumah sakit.
h. Kegiatan perbaikan yang berkelanjutan melibatkan setiap orang.

3. Outcome dan Perbaikan-Perbaikan


a. Setiap standard memiliki outcome yang diharapkan.
b. Outcome yang ditetapkan haurs dapat dipenuhi.
c. Ada bukti-bukti perbaikan outcome.
4. Upaya penerapan Best Practice
a. Pelayanan medik rumah sakit harus sesuai stadard dan kode etik.
b. Rumah sakit memanfaatkan informasi dari majalah ilmiah, seminar- seminar dan
kerja sama dengan pihak lain untuk meningkatkan kinerja.
c. Tersedia data yang menjelaskan bahwa rumah sakit telah menerapkan pelayanan
medis terbaik (best practice).

Salah satu strategi penting untuk melakukan evaluasi peningkatkan kualitas


pelayanan medik rumah sakit adalah melalui standarisasi dan akreditasi.
Walaupun penilaian outcome pada akreditasi rumah sakit baru dimulai dengan
empat clinical indicators dan baru pada beberapa rumah sakit yang mengakui akreditasi
12 pelayanan, namun diharapkan bagi rumah sakit-rumah sakit yang telah terakreditasi
program akreditasi ini dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan program
pengendalian mutu untuk menghasilkan outcome yang baik dari berbagai pelayanan,
termasuk pelayanan medis.
Departemen Kesehatan akan terus bekerjasama dengan berbagai stakeholder terkait
untuk mengoptimalisasikan akreditasi RS. Pelaksanaan akreditasi oleh badan akreditasi
yang independent berbasis outcome, difokuskan pada kebutuhan dan harapan customer
dan dengan komponen pelayanan yang menjawab EEQS Equity, Efficiently, Quality and
Sustainability), agar RS dapat bersaing di tingkat regional bahkan internasional.
Untuk mengatasi kesenjangan antara kondisi pelayanan medik di Indonesia dengan
keunggulan rumah sakit swasta asing, rumah sakit-rumah sakit di Indonesia perlu
melakukan aliansi strategi. Aliansi bertujuan untuk memperoleh keunggulan kompetitif,
meningkatkan fleksibilitas untuk mengantisipasi perubahan-perubahan pasar dan
teknologi.
Aliansi dalam sistem pelayanan kesehatan digolongankan ke dalam dua jenis:

1. Aliansi lateral: berbagai jenis organisasi serupa berkumpul bersama mengambil


keuntungan dari sumber daya yang dikumpulkan sehingga dapat meningkatkan
kekuatan dan kemampuan setiap anggota yang pada gilirannya meningkatkan seluruh
jaringan.
2. Aliansi integratif: organisasi-organisasi pelayanan kesehatan bekerjasama dengan
tujuan utama untuk memperkuat posisi pasar dan meningkatkan keunggulan
kompetitif. Integrasi ke hilir berupa hubungan dengan praktek dokter bersama, home
care (ambulatory) ataupun dengan pengelola asuransi. Integrasi ke hulu dapat berupa
hubungan dengan pabrik farmasi, pembuangan alat-alat kedokteran, sekolah-sekolah
perawat, jaringan laboratorium klinik sampai ke dunia pendidikan kedokteran.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public


goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah
penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan
kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit,
penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga
berencana, kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.
B. Saran
Agar selalu menerapkan Asuhan keperawatan dalam memberikan pelayanan
kepada pasien maupun keluarga,sehingga dapat menentukan asuhan keperawatan yang
sesuai baik bagi individu maupun keluarga.Komunikasi dengan pasien maupun keluarga
perlu ditingkatkan terutama mengenai sesuatu yang berhubungan dengan rencana dan
tujuan keperawatan yang akan diberikan, sehingga pasien atau keluarga mengetahui
rencana dan jenis perawatan yang akan diterimanya.Meningkatkan disiplin kepada
karyawan yang sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga dapat menumbuhkan
kehandalan pelayanan kesehatan dan akhirnya meningkatkan mutu pelayanan di
Puskesmas.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika.
__________. 2004. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta : Widya Medika.
2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika.
Anjaswati, Tri. 2002. Analisis Tingkat Kepuasan Klien terhadap Perilaku Caring Perawat.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi IV).
Jakarta : Rineka Cipta.
BPS. 2008. Pendataan Program Perlindungan Sosial. BPS. Jakarta.
Depkes. 2008. Petunjuk Tehnis Program Jaminan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas dan
Jaringannya. Jakarta : Dirjen Binkesmas.
Aditama. Tjandra Yoga. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Universitas Indonesia Press.
Jakarta, 2002.
Ahmad Djojosugito, Kebijakan Pemerintah Dalam Pelayanan Kesehatan Menyongsong AFTA
2003, Pusat Data dan Informasi PERSI, Jakarta, 2001.
Azwar. Azrul. Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara. Jakarta. 1996.
Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Boy S, Sabarguna, Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit, Penerbit Konsorsium Rumah
Sakit Islam Jateng DI Yogyakarta, 2004.
Depkes RI, Rancangan Pembangunan Kesehatan 2005, Jakarta, 2005.
Depkes RI, Standar Pelayanan Rumah Sakit, Cetakan IV, Jakarta, 1996.
, Renstra Pembangunan Kesehatan 2005 - 2009, Jakarta, 2005.
Effendy. Nasrul. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi Kedua. EGC : Jakarta,
1998.
Eli Nurachma, Asuhan Keperawatan Bermutu Di Rumah Sakit, Jurnal Keperawatan dan
Penelitian Kesehatan, Jakarta, 2007.
Entjang. I.. Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Citra Aditya Bakti. Jakarta, 2003.
Guwandi. Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit. Rineka Cipta. Jakarta, 1991.
Laksono Trisantoro, Good Governance dan Sistem Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan,
Surabaya, 2005
5.

Você também pode gostar