Você está na página 1de 3

Bencana: Ketidakpastian Vs Ketahanan

Rabu malam kemaren, masyarakat Sumatera Barat kembali dibuai oleh gempa yang berpusat 682
km barat daya kepulauan Mentawai. Jika dibandingkan dengan goncangan gempa pada 30
September 2009, gempa kali ini terasa lebih kecil. Orang-orang yang berada di dalam ruangan
merasakan gerakan, benda-benda menggantung bergoyang-goyang, namun beberapa orang-orang
yang berada di luar ruangan mungkin tidak menyadari bahwa gempa sedang terjadi. Pada awalnya
sebahagian masyarakat yang berada pada daerah merah atau kuning memilih tenang dirumah
dan tidak melakukan evakuasi ke daerah yang lebih aman karena merasa yang terjadi hanya gempa
kecil. Ternyata gempa tersebut mencapai magnitude 8,3 (sumber: BMKG). BMKG-pun
mengeluarkan peringatan dini terhadap potensi tsunami karena magnitude gempa yang lebih dari
skala 7. Besarnya magnitude dan potensi tsunami inilah yang sekan membuat masyarakat yang
awalnya kalem, akhirnya beramai-ramai menuju tempat yang lebih aman dan akhirnya
mengakibatkan kepanikan dan kemacetan.

Peringatan tsunami memang harus segera dilakukan oleh BMKG karena kecepatan tsunami yang
mencapai 600km/jam sehingga mengakibatkan waktu evakuasi sangat terbatas, belum lagi jika
infrastruktur pendukung evakuasi belum optimal dan kepanikan masyarakat yang mengakibatan
kemacetan. Memang, jika dilihat dari jarak sumber gempa yang cukup jauh, diperkirakan
gelombang tsunami akan mencapai Mentawai sekitar 40 menit kemudian dan sampai di pantai di
pantai Padang bisa lebih sejam kemudian, namun apakah kita ingat kejadian gempa Aceh 2004
yang tsunaminya menewaskan lebih 35.000 jiwa di Sri Lanka? Padahal jarak Srilanka dengan pusat
gempa pada saat itu sangat jauh, 1.700 km. Berkaca dari hal tersebut, kesiap siagaan pemerintah
dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengurangi dampak tsunami terhadap keselamatan jiwa
manusia.

Kesiap siagaan menjadi penting karena gempa bumi sebagai pemicu tsunami tidak dapat diprediksi
dengan persis, baik itu lokasinya, kekuatan gempanya, maupun waktu terjadinya. Mungkin kita
masih ingat pasca gempa Aceh dahsyat 2004 yang diperkirakan telah melepaskan keseluruhan
energinya, ternyata masih disusul gempa besar Semeulue 2012. Begitu juga gempa beberapa waktu
yang lalu di wilayah Kalimantan yang selama ini dianggap tidak rentan terhadap gempa karena jauh
dari daerah subduksi lempeng. Begitu juga kejadian gempa pada malam hari Rabu kemarin, bukan
berada pada segmen yang selama ini diprediksi akan melepaskan energinya.

Majalah National Geographic edisi Indonesia pada publikasi perdananya April 2005 menetapkan
Padang sebagai kota pesisir dengan populasi paling terancam bencana di dunia mengalahkan kota-
kota padat lainnya seperti Semarang, Manila dan Makau. Majalah tersebut memperkirakan
kepadatan di wilayah terdampak bencana lebih dari 100.000 orang per km persegi. Namun
menurut penulis, hitungan sebelas tahun lalu itu akan jauh berkurang seiring dengan kebijakan
Pemerintah Daerah yang telah mempertimbangkan resiko bencana terutama tsunami dalam
penataan ruang. Selain itu masyarakat sudah mulai sadar akan kerentanan hunian di wilayah dekat
garis pantai. Tren hunian masyarakat mulai bergeser ke wilayah Timur menjauhi bibir pantai. Selain
soal tempat, waktu dan besarnya, kita juga tidak dapat memprediksi persis seberapa parah dampak
bencana tersebut terhadap kota dan utilitasnya. Menilik pada kejadian tiga gempa besar di dunia
yaitu Aceh 2004, Haiti 2010 dan Tohoku; Jepang 2011, gempa dan tsunami dahsyat ternyata
merusak infrastruktur penting seperti: jalan, jembatan, bandara, pelabuhan dan gedung
pemerintahan. Kekuatannya juga memutuskan jaringan vital seperti: air bersih, listrik dan signal
telepon selular. Collapse-nya fasilitas-fasilitas tersebut pastinya dapat memperparah penderitaan
pasca bencana. Mobilitas terganggu, aksesabilitaspun terbatas, sehingga pemenuhan kebutuhan
pokok masyarakat yang melakukan evakuasi atau yang bertahan di rumah pun terancam.
Berdasarkan pertimbangan inilah, ketahanan terhadap bencana perlu dipersiapkan.

Ketahanan atau dalam bahasa akademik lebih dikenal dengan resilience merupakan konsep baru
di bidang kebencanaan. Suatu kota dikatakan mempunyai ketahanan terhadap bencana bila kota
tersebut masih bisa mempertahankan fungsinya jika terjadi bencana. Dalam konteks sistem
perkotaan, ketahanan terdiri dari beberapa komponen. Pertama, ketahanan sruktural yang
berhubungan dengan sarana dan prasarana pendukung. Kedua, ketahan institutional yang
berhubungan dengan kapasitas dari semua lembaga dan kelompok sosial, baik itui eksekutif,
legislatif, akademisi, LSM, dan lain-lain. Terakhir, ketahanan sosial dan ekonomi yang berhubungan
dengan ketangguhan masyarakat beserta aktivitas perekonomiannya dalam menghadapi serta
beradaptasi terhadap bencana.

Ketahanan dalam konteks kesiap siagaan merujuk kepada dua prinsip, memperhitungkan skenario
terburuk (wors-case scenario) dan menyiapkan alternatif pengganti untuk kerusakan sistem dan utilitas
yang rusak karena bencana.. Sebagai contoh, ketika terjadi gempa besar, skenario terburuknya
jaringan jalan terputus sehingga distribusi logistik pengungsi terganggu. Alternatif solusinya,
barang-barang logistik didistribusikan melalui udara (helicopter), tentunya dengan mempersiapkan
temporary helipad untuk pendaratan. Helipad tersebut dapat memanfaatkan lapangan sepak bola yang
ada di dekat titik kumpul pengungsi. Solusi alternatif juga perlu direncanakan untuk utilitas lain
yang rentan terganggu paska gempa seperti, jaringan listrik, air bersih, serta signal komunikasi
sehingga kebutuhan mendasar masyarakat saat masa tanggap darurat bisa terjamin.
Dengan dipersiapkannya ketahanan infrastruktur kota, tentunya didukung oleh niat baik dan usaha
dari institusi serta masyarakat, diharapkan suatu kota dapat bertahan menghadapi bencana besar
seperti gempa dan tsunami, serta dapat bangkit dan pulih lebih cepat.

Você também pode gostar